Minggu, 25 Juli 2010

SHAREISM

Hidup untuk berbagi. Banyak yang menyalahi itu namun ternyata menjalani. Status makhlk sosial bukan isapan jempol semata. Sungguh kuasa Sang Designer utama. Sebelum menjadi penghuni dunia dan masih menumpang dalam rahim, manusia sudah merasakan hasil dari berbagi, ketika sang ibu membagikan nutrisi yang dia serap bukan untuk dirinya sendiri. Berlanjut ketika sudah hijrah ke wadah yang lebih luas dan megah, maka kewajiban untuk berbagi mulai diperhitungkan.
Saya pernah melihat sebuah iklan salah satu produk di TV. Ada dua orang balita yang sedang makan es krim, salah seorang balita tidak sengaja menjatuhkan eskrimnya, dan teman di sampingnya dengan ikhlas membagikan secuil eskrim miliknya untuk temannya itu. Terlihat sangat indah.

Berbagi dalam hal kebaikan, apapun itu menjadi pekerjaan yang menyenangkan, meskipun banyak yang menyalahi. Konsep individualitas tak akan pernah bisa diterapkan dalam ranah yang saling membutuhkan ini.
Sesendiri dan sesunyi apapun hidup kita, bahkan ketika dengan tegas, manusia menyatakan nikmat menjalaninya, berbagi menjadi pekerjaan yang tak bisa dielakkan. Mungkin Anda seorang yang lengkap, kaya fasilitas, memiliki segala yang dibutuhkan, tak akan pernah bisa menyalahi kodrati sosialisme. Ya, Sekecil apapun itu. Saat Anda mengupdate status di jejaring sosial saja, sebenarnya tanpa sadar Anda melakukan proses sharing. Meskipun tidak meminta orang lain membagi miliknya, atau menginginkan orang lain melakukan sesuatu, Anda telah membagikan keluh kesah Anda, apa yang Anda alami dan rasakan pada satu momen. Itulah esensi membagi. Informasi, dan hal-hal yang mungkin tidak perlu, namun Anda merasa perlu menyebarluaskannya.
Anda kembali menyangkal. Anda bilang kalau Anda tidak senang menyebarluaskan aktivitas dan perasaan Anda melalui jejaring sosial, blog, atau sekedar curhat, Anda lebih senang menulis diari. Itu tetap saja berbagi. Anda membagikan apa yang Anda miliki kepada kertas yang begitu setia menampung tinta demi tinta dari lisan hati Anda.

Ada banyak hal yang bisa dibagi, harus dibagi, semestinya dibagi, dan nikmat dibagi. Jika buku diari rela membagikan tempat kosong untuk cerita Anda, mengapa tidak berbagi itu menjadi indah untuk Anda kepada orang-orang yang memang layak untuk dibagi, agar mereka bisa merasakan juga nikmat Tuhan yang belum sempat mereka rasakan hanya karena kehendak nasib.
Seperti yang saya lakukan saat ini, saya sedang membagi. Membagi apa yang saya tulis kepada Anda yang telah, tengah, atau akan berbagi.
Makassar, 25 Juli 2010

Selasa, 20 Juli 2010

OBSESI

Aku bermimpi, maka aku hidup. Itu yang selalu ku pegang dan ku bawa ke mana aku pergi, dan kapan pun waktu menunjukkan eksistensinya. Saat tertidur selalu ada pengharapan agar mempunyai mimpi baru, dan ketika terbangun selalu ada upaya agar mimpi itu tak sebatas khayalan.
Banyak penulis, orang bijak, dan motivator menyarankan agar tidak takut untuk bermimpi. I have dreams, I have obsessions. Banyak obsesi yang mengantri untuk diperhatikan dan diwujudkan. Kepala sudah semakin berat dan penuh menampung mereka. Bukan mereka yang menumpang, tapi aku yang mengasuhnya.
Memutuskan menghidupkan obsesi dalam kehidupan sudah menjadi keharusan manusia. Menghuni dunia tanpa sedikit pun asa seperti seorang gadis lugu, hidup dalam kamar, tanpa pintu dan jendela, dikuasai oleh konsep pemikiran yang kolot.
Lantas, apa salahnya kalau aku ingin jadi penulis, ingin jadi pengusaha, ingin jadi musisi, pemain film, dan profesi-profesi lainnya? Selama obsesi-obsesi itu tak merubah namaku dalam silsilah keluarga, dan mengganti kepribadianku dalam ruang jiwa, maka aku merasa halal mengasuh semua obsesi-obsesiku.
Saya berobsesi, maka saya mati. Aku akan mati karena obsesi, aku menjadi debu tak terhirup karena obsesi yang kupertahankan hanya sebatas imaji yang aku buat. Besok, ketika aku kembali terbangun, dan tak melakukan apa-apa, bisa saja obsesi itu berkhianat pada tuan rumah, membunuhku dengan tragis, dan betul-betul membuatku menjadi debu tak terhirup. Aku dan semua obsesiku, menantang arus, menyambung garis, dan membunuh lekukan.
Lewat laju obsesi yang semakin kencang, segelas teh manis menjadi kawan setia.
Makassar, 20 Juli 2010

Sabtu, 17 Juli 2010

GENGGAMAN RAHASIA

MULUTMU HARIMAUMU”, sebuah tagline dari iklan salah satu perusahaan telekomunikasi di Indonesia. Entah kenapa dua kata itu tangah membunuhku secara perlahan, menggerogoti dagingku, mengkontaminasi aliran darahku, merapuhkan tulang dan persendianku serta merasuki keyakinanku.
Setiap manusia memiliki idealisme dalam kehidupannya, paham itu sebuah kebenaran yang diakui oleh roh dan dijalankan oleh tubuh. Sesuatu yang diyakini itu diharapkan bisa membuat jalan yang dipilih mengantarkannya pada kebenaran yang hakiki dan keuntungan yang mutlak. Idealisme ini terkadang dilafalkan oleh lidah dengan sumpah tersirat. Konsisten pada apa yang dikatakan dan benar-benar yakin bahwa yang dikatakannya itu adalah sesuatu yang memang benar.

Suatu saat aku begitu yakin pada apa yang selama ini aku anut. Aku menggenggam sesuatu yang belum pernah aku lihat bagaimana wujudnya, namun aku yakin bahwa sesuatu di dalam genggamanku itu adalah sebiuah bom yang ketika aku buka akan meledakkanku menjadi puing-puing daging yang tak beraturan dan berhamburan, kemudian menjadi santapan lezat anjing-anjing liar.

Begitulah kehidupanku. Tak satu detik pun aku lalai untuk menjaga genggaman itu. Bahkan dalam keadaan tak sadar aku menitipkan jiwa yang tak pernah tidur untuk mengingatkanku agar tak membuka genggaman itu, jika tidak, bom mahadahsyat akan meledak dan siap meratakanku dengan tanah dan membaurkanku dengan debu-debu yang beterbangan di sana-sini. Hari demi hari kujalani rutinitas itu. Tak sekalipun aku tergoda untuk sekedar membuka sedikit celah agar aku bisa mengintip secuil wujud dari sesuatu yang bersarang di genggamanku, apalagi membukanya secara utuh walau hanya sekejap. Jangankan mengintip, menebak pun aku enggan, karena aku sudah sangat yakin, sekali lagi bahwa isi genggamanku itu adalah bom dengan ledalakan luar biasa yang akan dihasilkannya. Kujalankan sugesti itu terus-menerus.

Suatu saat, seorang sahabat membawa serta temannya ke rumahku, dia bermaksud mengenalkan orang itu padaku. Seperti lazimnya orang yang hendak berkenalan, maka tradisi berjabat tangan menjadi kewajiban mutlak yang mesti dilakukan. Dia mengulurkan tangannya dengan begitu ramah sembari menyebutkan namanya, “Dinda”. Saat itu, spontan aku menjadi orang yang sombong dan congkak. Tak sedikit pun aku memiliki hasrat untuk mengulurkan tanganku menyambut tangannya yang begitu ramah. Aku hanya menyebutkan namaku dengan senyuman, “Dirza”. Dinda menjadi tersinggung dan memasang wajah yang sangat tidak mengenakkan, sahabatku hanya terdiam menyaksikan peristiwa itu. Setelah Dinda pergi, barulah sahabatku mengambil tindakan interogasi menyoal tindakanku yang sangat tidak etis itu. Kemudian aku menjelaskan atas nama idealisme yang aku agungkan. “Bom, isi genggamanku ini adalah sebuah bom yang siap meledakkan kita semua ketika aku berani membukanya. Aku tak bermaksud untuk menyombongkan diri atau menunjukkan sikap tidak senang pada Dinda. Aku hanya ingin kita semua selamat.” Kataku dengan sangat yakin membujuk sang sahabat yang sama sekali tidak menerima alasanku. Sejak saat itu, aku tak berani menjabatkan tanganku pada orang lain, siapa pun itu, seberapa penting apapun, dan sedekat apa pun orang itu denganku. Sikap idealis tingkat tinggiku ini rupanya tak menghasilkan respon positif pada lingkunganku. Orang-orang yang selama ini menjadi tempat persinggahanku ketika lelah dan menjadikanku tempat persinggahan pula ketika lelah, satu per satu meninggalkanku, dengan satu alasan sama, muak dengan sikap idealis tingkat tinggiku yang bagi mereka hanya gonggongan anjing di siang hari. Awalnya, aku masih bisa bertahan, karena kuyakini dan sangat kuagungkan bahwa apa yang kulakukan ini memang benar. Namun, perlahan aku juga merasa jenuh dengan kesendirianku. Aku jenuh dengan rutinitasku menjaga genggaman itu agar tidak terbuka, dan kebosananku pada rasa penasaran tentang wujud di balik genggaman itu. Aku mulai merasa jenuh dengan idealisme yang aku merasa hanya aku seorang di dunia ini yang menganutnya.

Akhirnya, aku mulai memberanikan diri. Kuintip sedikit, setelah itu aku tutup lagi. Masih berada dalam kebimbangan luar biasa, antara aku akan menemukan sesuatu yang berbeda atau dia betul- betul akan meledakkanku. Tak bisa kubayangkan, bila aku tercatat dalam sejarah dengan wujud kepingan yang tersebar. Namun, rasa sendiri dan bersalah itu akhirnya mengalahkan ketakutan dan keyakinanku. Kubuka genggaman itu dengan berani, dan kutemukan sebatang cokelat yang masih utuh, masih padat. Aku heran luar biasa. Kujilat cokelat itu, dan kurasakan manis yang luar biasa. Baru kali ini aku merasakan cokelat semanis dan selezat ini. Namun, belum sempat aku menghabiskannya, cokelat itu meleleh dan menetes hingga ke dasar bumi. Aku sangat menyesal. Seandainya aku membuka genggaman itu sedari dulu, maka aku telah menjadi seorang yang sangat beruntung telah memilki dan menikmati cokelat terenak di dunia. Penyesalan itu menjadi kata yang tak bermakna lagi, bahkan sampai aku megulangi lafaznya berkali-kali. Mulutku ternyata harimau yang menyantapku begitu kejam.


MAKASSAR, 8 APRIL 2010

JALAN

Di sore hari ketika matahari telah menunjukkan tanda kepergiannya, aku tengah duduk berdua bersama seorang sahabat di kantin kampus. Menatap sekeliling yang mulai renggang dan hampir tak ada aktivitas sama sekali. Tas ranselku begitu setia membebani punggung yang sudah terbiasa dengan semua barang – barang yang juga tak kalah setianya mengisi ruang dalam tasku. Perbincangan hangat nan alot tentang kehidupan baru saja usai antara aku dan dia. Dan akhir dari perbincanan yang hangat itu adalah sebuah rencana untu kembali ke rumah masing- masing. Rencana itu pun kami jalankan. Jadilah kami berangkat untuk pulang. Terlebih dahulu aku harus mengantar sahabatku itu pulang ke rumahnya. Perbincangan hangat kembali terjadi sebagai episode lanjutan dari perbincangan tadi selama perjalanan. Tibalah aku di sebuah lorong menuju rumah sahabatku, namun aku ternyata memilih jalan yang salah. Sahabatku menegur dan menunjukkan jalan yang benar. Kami pun sampai pada tujuan. Dengan salam hangat perpisahan yang sementara (entahlah) aku menuju rumahku. Keesokan harinya kami bertemu kembali, melakuan hal yang sama, berbincang tentang hal yang kami anggap penting untuk didiskusikan setelah jam kuliah usai, dan begitu matahari kembali menunjukkan tanda kepergiaannya, kami pun meninggalkan kampus dan menuju rumah. Kesalahan yang sama aku ulangi lagi, yakni memilih jalan yang salah. Sahabatku kembali menunjukkan jalan yang seharusnya aku pilih sambil mengolokku dengan julukan pikun. Itulah aktivitas kami sehari-hari. Hidup ini menurut kami adalah rangkaian peristiwa, perasaan, dan rencana yang semestinya tidak dilewatkan begitu saja tanpa sebuah perbincangan yang bisa mengingatkan kita akan kesalahan dan menunjukkan kita tentang rencana yang baik. Selalu ada catatan-catatan yang harus dikoleksi dan ditelaah agar keesokan harinya, dua hari kemudian, seminggu, sebulan, setahun, dan watu-waktu mendatang ketika masih ada kesempatan untuk menikmati perjalanan waktu, kita tidak tersesat karena lupa jalan mana yang mengantar kita menuju rumah.
Kembali kami membahas catatan-catatan penting yang kami kutip dari semua kejadian dan perasaan yang sudah atau baru saja terkadi. Kembali pula kami menyimpan catatan baru yang bisa kami bawa untuk mengingatkan kami ketika salah jalan. Dan seperti kebiasaan sebelumnya, acara pulang ke rumah ketika matahari menunjukkan tanda kepergiannya, tidak ketinggalan. Dan lagi-lagi lupa menjadi kebiasaanku. Entah catatan-catatan yang kurangkai tidak mujarab bagiku untuk menemukan jalan yang tepat, aku dipaksa memilih jalan yang salah. Berulang-ulang aku melakukan itu seolah ada candu yang memerintahkan otakku untuk memilih jalan itu yang sudah jelas-jelas salah. Akhirnya sahabatku sampai pada titik jenuhnya untuk mengingatkan. Dengan penuh tanda tanya besar dia berucap padaku, “Apa kau tidak meresapi semua pembahasan kita tentang memilih jalan yang tepat…? Apa gunanya kita mencatat semua peta, semua petunjuk jalan namun kamu sendiri tidak bisa menggunakannya untuk memilih jalan yang benar? Ini baru jalan yang sempit, baru sebatas lorong, bagaimana jika kau ditugaskan oleh dosen untuk mengumpulkan makalah ke rumahnya yan belum sama sekali kau datangi. Seperti menuju sebuah tempat yang tidak kau kenali, bahkan sama sekai tak terpikir olehmu tentang keberadaan tempat itu. Jalan yang kau pilih tadi salah, jalan yang kau pilih kemarin pun salah, begitu juga dengan dua hari yang lalu, seminggu, sebulan, dan waktu-waktu sebelumnya. Semua pilihanmu di waktu-waktu sebelumnya seperti berjuta pertanyaan yang hanya memiliki satu jawaban, SALAH…….! Ada apa denganmu? Mungkin ini hanya sesuatu yang kecil dan mungkin orang yang melihatku memarahimu akan menganggapku gila karena menginterpretasikan sesuatu yang kecil secara berlebihan. Tapi sesuatu yang kecil jika terlalu banyak akan menjadi besar, dan perlahan menjadi sangat besar, sebesar gunung yang tak bisa kau lihat puncaknya. Begitu pula dengan kesalahan.” Aku sempat terdiam seolah tertampar oleh telapak tangan raksasa yang sanggup membangunkan putri tidur dari alam mimpinya yang sebelumnya tak ada yang bisa membuatnya beranjak. “ Maaf kawan, aku tidak tahu mengapa aku seperti ini, bahkan aku tidak sadar apakah aku telah melakukan ini berkali-kali atau tidak…? Tapi terima kasih telah mengingatkanku.” Jawabanku tampaknya tak membuatnya puas. Sangat jelas dari paras wajahnya yang tidak menunjukkan respon apa-apa, seolah baru saja aku tak menjawab pertanyaannya. “Sudahlah, mungkin lebih baik kita tidak berdiskusi dulu soal catatan-catatan hidup. Mari kita menyadari kesalahan masing-masing sampai benar-benar kau sadar bahwa selama ini kau salah jalan.” Jawabannya itu justru membuatku puas, seolah inilah yang aku tunggu selama ini, berhenti sejenak dari rutinitas perbincangan yang sama sekali tak membuatku melihat hingga aku salah pilih jalan berkali-kali,bahkan sering, dan parahnya lagi menjadi sebuah rutinitas.
Perjalananku menuju rumah sangat berbeda dari sebelumnya. Dulu, aku masih sibuk meresapi catatan-catatan yang kami perbincangkan, namun kali ini aku justru menyesali semua perbincangan itu. Yang timbul kali ini adalah rasa penasaran hebat tentang jalan salah yang membuatku candu itu. Malam itu, di kamar kecilku aku menyusun rencana baru. Sebuah perencanaan yang sesungguhnya di luar kebiasaanku. Aku seperti terlahir sebagai pribadi baru dan kesenangan yang baru pula. Aku begitu instan berubah menjadi seorang detektif penasaran yang akan mengulas habis apa di balik jalan salah itu.
Keesokan harinya menjadi hari yang baru bagiku. Perjalanan tanpa catatan-catatan penting, tanpa perbincangan menyoal catatan itu dan mengakhirinya ketika matahari kembali menunjukkan tanda kepergiannya. Jam kuliah usai mengawali aktivitas baruku. Misiku kali ini bukan mengenai menemukan jalan yang tepat, namun memilih jalan yang salah untuk mencari tahu magnet apa yang selalu menarikku ke jalan itu. Aku pun menuju tempat itu,dan nalar liarku membisikkan pesan bahwa kali ini dan sebelumnya sesungguhnya aku telah memilih jalan yang tepat. Aku tak tahu teori apa yang mendasari bisikan itu sehingga terdengar sangat akurat melebihi kebenaran umum yang disepakati semua manusia di dunia ini. Entah kenapa pula motorku berjalan begitu lambat, seolah aku mengendarai motor di jalan yang berlubang, padahal mulus, bahkan tanpa kerikil satu pun. Namun rasa penasaranku mencoba mengkhianati waktu itu hingga aku merasa begitu bersemangat menyusuri jalan itu.
Sepuluh meter pertama tak menjawab rasa penasaranku sama sekali. Keadaan yang tidak berbeda dengan jalan seberang yang menuju rumah sahabatku. Jalan sempit yang lazim disebut lorong, hanya berisi rumah yang berjejeran di sisi kanan dan sisi kiri jalan. Namun belum kutemukannya ujung jalan itu membuatku semakin bersemangat dan semakin penasaran mencari rahasia besar di jalan itu. Aku begitu yakin bahwa ada sesuatu yang benar yang selama ini sahabatku anggap salah. Sepuluh meter kedua aku menemukan tanah kosong yang hanya ditumbuhi rumput liar dan ditongkrongi oleh sapi dan kuda yang entah punya siapa. Mereka begitu asyik melahap rumput-rumput itu, dan sang rumput begitu ikhlas diahap. Masih terbilang biasa meskipun sudah berbeda dengan situasi di sepuluh meter peratama. Kulanjutkan perjalananku. Sepuluh meter ketiga membuatku sedikit tertarik melihat anak-anak yang bermain bola di sebuah lapangan mini. Aku sangat suka dengan sesuatu yang meriah. Meriah tidak selalu mahal dan mewah. Sesuatu kecil yang bisa menghasilkan kesenangan luar biasa bagiku adalah sebuah kemeriahan. Meskipun membuatku mampir sesaat, namun suasana itu rasanya bukan sesuatu yang paling luar biasa di sepanjang jalan ini. Dan, kulanjutkan perjalananku di sepuluh meter keempat. Di sana suasana sudah menunjukkan sedikit keluarbiasaan bagiku. Di area ini ternyata dihuni oleh beberapa keluarga miskin dengan dinding-dinding rapuh dan atap bocor yang mereka gunakan sebagai tempat berlindung dan bermukim. Tampak seorang ibu memandikan anaknya yang kotor dan dekil. Mungkin anak itu adalah anggota kawanan anak-anak yang bermain bola di sepuluh meter ketiga. Terlihat juga seorang bapak tua yang sedang duduk di tangga rumah panggungnya sambil merenung, mungkin meratapi nasibnya atau memunculkan harapan dalam benaknya untuk hidup lebih baik. Dan masih banyak suasana lain yang tak sempat aku tangkap. Cukup mempesona, namun lagi – lag tak membuatku yakin bahwa itu adalah kebenaran yang aku cari. Dan, aku kembali melanjutkan perjalananku hingga aku harus berhenti di ujung jalan itu. Aku kecewa dan menyesal. Kecewa karena tak mendapatkan sesuatu yang aku cari dan menyesal mengapa harus menyempatkan diri menyusuri jalan yang tak berisi sesuatu yang istimewa, lagi-lagi menyesal karena harus berseteru dengan sahabatku dan menghentikan kebiasaan mencatatku. Adzan magrib membuatku mampir sejenak di ujung jalan itu untuk melaksanakan kewajibanku. Mungkin setelah shalat dan berdoa aku mendapatkan magnet yang aku cari itu. Sesuatu yang membuatku selalu memilih jalan yang salah bekali-kali. Setelah menjalani kewajiban, aku pulang, menyusuri jalan yang sama namun dari awal yang berbeda. Di mulutku hanya kata sesal dan kecewa. “Ternyata benar, selama ini aku memilih jalan yang salah.” Kataku dengan maksud meyakinkan diri sendiri bahwa aku memang salah.
“Entah kenapa aku ingin mengunjungi rumah sahabatku dan meminta maaf telah berbuat salah selama ini. Namun, aku begitu terkejut ketika sampai di halaman rumah sahabatku dan kudapati dia tengah mabuk berat, diapit oleh dua wanita yang begitu setia di pelukannya. Kulihat sekitar, tetangganya juga melakukan hal yang sama. “Apa aku berada di jalan yang benar atau salah sekarang ini…? Apa aku selama ini betul-betul mengantarkan sahabatku ini pulang ke rumahnya atau justru ke alamat yang salah. Dia yang selama ini mengajarkanku tentang mencatat peristiwa dan perasaan agar memilih jalan yang benar nantinya justru melakukan hal yang salah. Apa semua catatan dan semua perbincangan kami selama ini hanya bualannya saja ….? Atau topeng yang menyembunyikan wajah aslinya….? Memang tepat aku menuruti perintahnya untuk menghentikan semua perbincangan itu, karena semakin aku berbincang, ternyata kedoknya semakin tebal menyembunyikan identitas asli bahwa dia telah memilih jalan yang salah. Ya….dialah yang selama ini memilih jalan yang salah.
Tunggu dulu, perjalananku di jalan seberang berakhir di sebuah masjid yang memanggilku mampir ke rumah Tuhanku. Mungkin itulah kebenaran. Bukan mungkin, tapi aku sudah sangat yakin, itulah magnet yang meyeretku selama ini. Itulah yang mengingatkanku bahwa selama ini ketika aku mengantar sahabatku pulang ke rumahnya, rupanya aku memilih jalan yang salah. Dan jalan yang kupilih oleh temanku dianggap salah karena tak membuatnya sampai ke rumahnya adalah jalan yang benar. Di sana berisi rumah mewah, lapangan bola mini, pemukiman kumuh, dan berakhir di sebuah masjid. Ya…itulah jalan yang benar. Ternyata magnet itu adalah sebuah kebenaran yang mengajakku menghamipirinya selalu. Semua perbincangan tentang peta menuju jalan yang benar antara aku dan dia hanyalah kesalahan yang mengantarku ke jalan yang sesungguhnya, yakni jalan yang betul-betul benar. Jalan yang mulus tanpa kerikil sebiji pun, tanpa kesuraman, dan ketidakpastian. Aku telah menemukan jalan yang benar,” seruku dalam hati sambil meninggalkan sahabatku yang masih asyik berpesta di jalan yang salah.
Makassar, 11 Maret 2010

LINGKAR BIRAHI HIDUP

Aku lelah hidup dalam lingkaran,
tak tahu di mana aku bermula dan kapan akan berakhir
Aku jenuh hidup dalam lingkaran,
menyusuri jalan yang sama dan menjumpai suasana yang tak berbeda


Suatu hari aku menjumpaimu di separuh jalanku,
dan kembali aku menemukanmu di separuh jalan berikutnya
Masih dengan wajah yang sama, wajah tanpa lekuk senyuman,
polos tak berbicara tentang keindahan
Kemudian aku menatapmu penuh harap
dan menitipkan asa itu agar kau jamah saat aku kembali


Namun, ketika aku menjumpaimu lagi di titik yang sama,
aku tak melihat harapan itu di dalam genggamanmu
Aku tak tahu di mana kau menyimpannya,
atau mungkin kau telah membuangnya di separuh perjalananmu


Aku ingin meninggalkan siklus yang penuh dengan birahi melelahkan ini
Jauh dalam angan ingin kujumpai titik peristirahatan
agar tak menjumpaimu lagi dengan wajah tanpa lekuk senyuman
dan masih dengan birahi liarmu yang seolah perlahan ingin membunuhku


Akulah penghuni lingkaran yang merindukan
sudut untuk berbaring, menghela nafas jeda dan
menciptakan sudut yang lain, di mana aku bisa menjumpaimu
dengan lekuk senyuman yang merona
Dengan harapan yang kau genggam erat dan kemudian kau simpan di hatimu


Akulah penghuni siklus lingkaran yang merindukan sudut
untuk berbaring dan menghela nafas jeda
Menyinggahi sudut yang lainnya untuk menempatkanmu
dalam keadaan terjaga tanpa jamah hati yang lain
Agar ketika aku kembali dan beristirahat di sudut itu,
aku bisa menjumpaimu telah terbangun dan memberiku sarapan
sepiring nasi goreng dengan telur dadar yang kau rangkai sedemikian rupa


Agar ketika aku kembali dan beristirahat di sudut itu,
aku bisa menemukanmu memberikanku buah dari harapan yang
aku tanam dalam hatimu, mungkin sepanjang perjalananku juga lah
kau begitu rajin merawatnya, menyiramnya meski dengan air mata


Aku pun kemudian bertanya,,
Mungkinkah kau menghuni sudut itu lagi???
Agar ketika aku kembali, aku bisa menemukanmu dengan wajah rindu
Yang dengan begitu lahap menyantap kedatanganku yang tiba dengan bibit harapan baru





Makassar, 30 Maret 2010


The Scene Art Line

TERATAI BIRU

Teratai, aku memanggilmu dengan nama itu di setiap pertemuan batinku denganmu. Aku suka dengan nama itu, sama seperti aku menyukai bunga teratai. Aku tak peduli dengan mawar merah yang menjadi simbolis cinta, karena aku merasa teratai memiliki keindahan sendiri, entah orang lain tapi aku merasa keindahan itu berbeda, sama seperti dirimu. Setiap perjalanan yang membuat rindu begitu gemar bertamu dalam ruang pribadiku, selalu ada sosok yang tak kukenali, namun ku pahami. Begitulah aku mencintaimu, dengan memahamimu, meskipun kau tak pernah memahamiku atau bahkan membuatmu percaya dan merasa aku memahamimu. Perbincangan yang biasa kerap terjalin di antara kita, dan k au tak tahu, di setiap perbincangan itu aku merekam semua lekuk senyuman, suara halus, dan semua output inderawi dalam dirimu. Kemudian aku memutarnya ketika aku sedang sendiri dan si rindu kembali bertamu di ruang pribadiku. Saat itulah senyumku menjadi tak biasa dan hela nafas begitu sangat berarti. Semuanya aku lakukan setiap waktu, sebisaku, dan sesempatku. Banyak kata-kata indah yang aku tulis tentangmu, tentu tak seindah aku mencintaimu, namun tulisan-tulisan itu seolah membuatku merasa telah melamarmu dank au mengatakan “ya” dengan penuh yakin seolah itu menjadi takdirmu. Maafkan aku yang selalu menikmati hatimu dalam alam khayal yang aku ciptakan sendiri. Karena hanya dengan itu aku bisa menyatakan cinta yang menghadirkan jawaban yang aku harapkan. Sungguh, tak ada niat memanfaatkanmu dalam imajinasi atau fantasi semu, karena bagiku hal yang surreal itulah realita sejati. Entah sampai kapan aku melakukan ini. Mungkin di saat rambutku memutih dan penglihatanku menjadi samar, atau hal yang jelas menjadi bias bagiku. Atau justru hanya sampai aku menuliskan ini untukmu. Aku tak bisa menjanjikan apa-apa, aku tak bisa mencintaimu selamanya, karena aku hanya bisa mencintaimu sampai Tuhan tak mengizinkanku lagi.
Biru, kuberi warna pada teratai itu. Bukan karena aku begitu menyukai warna biru, atau karena biru begitu menyejukkan bagiku, tapi justru karena kau mengahdirkan luka bagiku, seperti luka memar yang kemudian membekas dan berubah menjadi biru. Itu kutemukan ketika jawaban tidak kau lontarkan dengan sangat yakin kepadaku. Terasa begitu sakit, karena aku baru sadar bahwa imajinasiku diakaahkan oleh kenyataan, pada saat itu. Setelah itu, aku kemudian malas memutar semua rekaman tentangmu, menutup pintu rapat-rapat untuk sang rindu yang tetap rajin bertamu di ruang pribadiku. Memikirkanmu menjadi sesak hebat di setiap hela nafasku. Kemudian pertanyaan besar menghampiriku, masihkah aku mencintaimu? Apakah cintaku sebatas kenyataan? Tidakkah lagi khayalan itu membuatku hidup? Atau justru luka itu akan membuatku menghapuskan semua namamu di dunia ini? Agar tak ada lagi yang memanggil dan menanyakanmu. Pertemuan batin denganmu kuhindari, dan yang kubuat saat itu hanyalah membekukan semua air mata yang aku keluarkan, dan sampai saat ini tak ada lagi yang bisa mencairkannya.
Entah nama apalagi yang aku berikan untukmu. Mungkin akan lebih baik jika kau hidup dalam pikiranku tanpa nama, agar ketika aku menemuimu aku tak mengenalmu, dengan begitu tak ada lagi air mata yang membeku karena sakit yang kau berikan beitu gigil. Namun, tidak mungkin aku tidak mengenal orang yang sudah aku kenal jauh sebelum aku belajar mengenal. Kemudian ada seruan bahwa luka itulah yang membuatku mencintaimu. Aku sedikit ragu, dan aku tak tahu.
Teratai Biru, kali ini kulengkapkan namamu. Hanya kau yang kunamakan itu, dan semoga hanya aku pula yang menamakan itu. Kuletakkan keyakinan dalam ruang pribadiku. Nama itu kusebut berkali-kali sampai telingaku bosan mendengarnya, dan lidahku letih menuturkannya. Teratai Biru, telah kuterjemahkan kau dalam beragam suara dan bahasa, namun masih dalam wujud dan hati yang sama. Maaf aku tak bisa melupakanmu begitu saja. Begitu sulit bagiku menghilangkan ingatan yang sudah melekat dalam memoriku.
Teratai Biru, kau begitu lengkap. Aku tak tahu apakah saat ini aku masih mencintaimu. Karena nalarku tak mampu menngartikan perasaan itu, bukankah perasaan untuk dirasakan? Aku tak tahu, apakah aku masih saja mencintaimu, namun setiap kali bertemu denganmu, baik dalam khayal maupun di dunia nyata, hati ini masih bergetar hebat mengalahkan ritme detak jantung, bahkan dalam keadaan sangat cepat. Kau ku ukir di atas prasasti yang tak akan kuhancurkan walau ada prasasti baru yang harus aku ukir, mungkin dengan nama yang baru.

Makassar, 15 Juli 2010

SURAT YANG TERBENAM

Surat yang terbenam, kunamakan ia
Ku tulis ini ketika menjelang senja,
Suara kepulangan matahari kucerna baik-baik

Surat ini kutujukan untuk matahari yang nyaris terbenam
Karena aku tahu, kau sangat menyukai matahari terbenam

Setengah gelas susu cokelatku masih bertahan menunggu tuannya akan menghabisi nyawanya
Tibalah aku di gerbang rumahku, tempat tinggal yang sudah lama aku tinggalkan
Ternyata, kepergianku merobohkan semua kenangan tentangnya

Lentik jarimu hanya mimpiku, mungkin saja mimpi buruk, karena aku tak mampu meraihnya
Bisa saja rona wajah itu menjadi haram untuk kulahap dengan mataku,
Tersisa banyak dan tak ku ketahui jumlahnya
Ya…. Tulang-tulang kering yang sudah ditinggalkan gumpal daging
Menunggu anjing-anjing liar siap melahapnya

Aku kering kerontang, jauh lebih tandus dari Gurun Sahara
Aku tahu kau tak peduli
Mana mungkin kau sudi menjadi oase untukku
Orang gila pun segan mengharapkan itu

Sayang, maaf, aku memanggilmu sayang
Sebuah sapaan yang pasti tak kau kehendaki
Aku tak lagi merindukanmu
Tak seperti dulu ketika candu bersua begitu membabibuta
Bukannya tak menyayangimu, tapi lebih merelakanmu hanya menjadi harapan untukku
Bukankah gila merindukan seseorang yang bisa kujumpai?
Aku menjumpaimu sayang, di setiap detik-detik khayal
Aku bahkan membelai rambutmu di ujung lelapku
Hei…sayang, aku menikahimu tanpa saksi, tanpa penghulu
Makanya aku tak berani menyetubuhimu
Sayang, aku menempatkanmu dalam setiap imajinasiku

Aku tak peduli cercaan sang idealis dan realis yang menentang surrialis
Aku hanya peduli dengan semua mimpi yang kubangun
Karena menjumpaimu sebagai istriku di ruang khayal bukan pekerjaan mudah
Aku harus mengalahkan malu terlebih dahulu

Sayang, maaf, kata itu sudah membuatku jatuh cinta
Aku menulis semua kata ini dengan jujur, tanpa ritme yang kau akan tagih

Di bawah pikiran tentang hidupku sendiri
Aku menyiapkan meja dan dua buah kursi
Di atas meja itu kuhidangkan semua kepedihan yang masih aku bingkai
Ada air dari darah dan peluh yang masih setia
Dan kau pun menghidangkan kekecewaan dan kebencian dengan keji
Aku melahapnya dengan penuh semangat
Karena aku berharap kau akan tersenyum padaku, meski dengan rupa sinis

Aku ingin bahkan sangat ingin menjadi sejarah untukmu
Karena masih ada sebua asa bodoh kusimpan rapi dalam dadaku
Katakan ini pada anak-anakmu kelak
“Nak, dia adalah orang yang jauh lebih pantas menjadi ayahmu”

Hahahahaha…..
Aku tertawa, tentu tidak menangis, untuk apa?
Untuk kau?
Bisa saja, tapi lebih baik aku menangis untuk diriku sendiri
Karena aku melupakan satu hal, bahwa aku ternyata memiliki tetes air mata

Apakah semua perasaan yang begitu lantang, begitu bodoh, begitu lembut, begitu beragam
Orang menyebutnya cinta…..
Aku ? aku tidak peduli

Ku panggil kau sayang dengan tulus, bukan berharap, dan bukan terpaksa
Kau masih kekasihku, meskipun hanya dalam mimpiku
Kau akan tetap menjadi kekasihku meskipun aku tak akan bisa tertidur dan tak bisa lagi bermimpi

Kau masih kekasihku, sekarang, bukan untuk selamanya
Kau masih kekasihku sampai hati ini lebur menjadi tanah

CAMBA, 30 JUNI 2010

Chat Room Bloofers