Rabu, 26 Januari 2011

(...........), (APA?), (UNTUK APA?)

Apa dan untuk apa......? Inilah dia hal yang menjadi identitasku. Aku ini apa? untuk apa aku ini? Pertanyaan-pertanyaan itu akan aku simpan untuk mengawinkannya dengan semua kejadian di setiap detik masaku.

Hari ini, esok, dan hari-hari setelahnya di saat ruh masih berbaur dengan tubuh, akan banyak kejadian yang menjelaskan kebiasan "apa dan untuk apa" itu?

Hai, untuk apa saja ,utuk siapa saja. Aku ingin menyapa semuanya, bukan sapaan yang hanya berbasa-basi sebagai trend dalam perbincangan, tetapi ketulusan yang dalam untuk menyapa.

Hai, aku ini manusia, kamu manusia juga kan...? Aku mengabarkan pada apa saja, pada siapa saja, bukan untuk menunjukkan kelebihan dan menutupi kelemahanku, namun sekedar mengenalkan diriku, memenuhi kodratNya untuk saling mengenal.

Aku manusia, sekarang aku tahu untuk apa aku jadi manusia. Akulah pemimpin dunia, penghisap daya-daya duniawi, akulah perawat dunia, pengunjung kesepian untuk aku seimbangkan. Pada tatanan tertentu aku ingin menikmati kesendirianku, melenyapkan gangguan, mengakrabkan ruh dengan tubuh, mengawinkan suasana dengan diriku sendiri.

Aku tahu aku apa dan aku tahu aku ini untuk apa. Sekarang aku terpuruk pada dimensi yang tak terdeteksi, ada lahan yang membuatku tak mampu ke mana-mana, menerjemahkan ribuan tanda adalah pekerjaan satu-satunya yang belum bisa menuai hasil sedikit pun. Ini tak bias lagi, namun sdah bersembuyi dan belum mampu aku temukan.

Hai, untuk apa dan siapa saja. Tak ada yang mendengarku. Apakah mereka berada di dimensi yang berbeda? Apakah aku ini makhluk individual yang akan menghuni dunia individual juga? Bukankah banyak di antaraku makhluk individual namun hidup di dunia kolektivitas? Mereka memberdayakan kebersamaan makhluk lain untuk semakin mengukuhkan keperkasaannya sebagai makhluk individual.

Aku ini apa dan untuk apa. Sekarang sudah jelas semuanya. Aku melupakan satu pertanyaan untuk menyempurnakan identitasku.

"Aku ini dari mana?"

Seandainya aku mempertanyakan asalku, maka aku akan mencari siapa penciptaku, dan jawaban itulah yang akan menuntunku menemukan jawaban agung tentang apa dan untuk apa. Ternyata asal akan merampungkan diri dan tujuan. Maaf aku telah melupakan pertanyaanmu. Pertanyaan yang seharusnya lebih awal aku tanyakan dan aku temukan.

Tibalah kita di titik penghabis masa, menemukan hal yang belum saatnya ditemukan, mendahulukan hal yang seharusnya di belakang, memberdayakan semua rasa hingga kita terkadang lupa "kita ini dari mana?"

Senin, 24 Januari 2011

ABJAD TAK BERNAMA

dkejdoe4jcro4r,ofjo4jcoj44t43....crrh2hri2rji3o3
shdciqwjickjdfqwoksjcfwklejfclkjwemfwkvgljkwel;jkgvlewgw

fesfjheifooewjrfefsdfnkdnfkdsnfad'f''f;asfld;wwsdkl;sakflkwqkffqwellf
fqkjefjqjfekwjfewjfoejwfeqf...fefhewhfiehwfhehfhqfhqwjhfoqehghe
hfdwhfiewhewfgwejgojewwjghorjgrgjorjgjorjghjrgorjogjrogjowjgowjg

Terkadang kita menuliskan hal yang tidka kita ketahui, tidak kita pelajari.
Terkadang kita menulis untuk diri sendiri,untuk orang lain, namun tak pernah menjalani
terkadang kita menulis sia-sia, hanya berakhir di tanda titik.

KETIKA KULITINTA DIPECAT

Jika tintaku habis dan Kau memang menginginkannya, maka izinkan aku menuliskanMu sebagai halaman terakhirku. Karena sampai saat ini,aku sangat lemah memikirkanMu.

Itulah harapanku, dan itulah takdirku, begitu caraMu membisikkannya padaku. Ketidak berdayaannku adalah satu-satunya energi untuk mengolah tinta itu menjadi kalimat-kalimat yang masih entah dan akan terus menjadi entah tanpaMU. Aku telah dan tengah melalui saat-saat bahagia di mana tinta yang kusematkan di setiap halamanku semakin ramai oleh penikmat tinta yang lain. Aku semakin bangga dengan pekerjaanku sebagai kulitinta. Semoga itu memang takdir yang Kau pilihkan untukku.

Jika pikriranku berakhir,izinkan aku menuliskan namaMu dengan baik di halaman terakhirku. Itulah halaman yang masih ku pelajari dan masih belum aku pahami. Aku merasa banyak tinta yang sia-sia, aku merasa banyak halaman yang sombong hanya karena keberadaannya mendukung keberadaanku sebagai kulitinta, aku salah mengolah tinta untuk ada, aku salah menunggu kunjungan penikmat tinta atau kulitinta yang lain, aku salah menuai waktu untuk aku banggakan bahwa aku masih ada di setiap tekstur pertemuan.

Jika masa untuk pulang telah tiba,izinkan aku mengakhirinya dengan menuliskanMu di halaman terakhirku. Semakin lama alurku semakin tak jelas,tujuanku semakin samar, dan keberadaanku semakin bias. Aku kecewa pada diri sendiri yang tak mampu menjadi pribadi yang menyenangkan. Saat ini,sampai saat ini,aku terus menikmati tinta-tinta kebodohanku,tinta-tinta kemunafikanku, tinta-tinta kebohonganku, tinta-tinta tak bergunaku.

Namun,jika kau menakdirkanku untuk meninggalkan tinta-tinta itu, berikan aku satu detik untuk melisankanMu sebagai tinta abstrak terakhirku.

Minggu, 23 Januari 2011

MASIH RINDU PART III

Reruntuhan nafas sebagai sisa helaanmu masih kusimpan sampai saat ini. Itu adalah salah satu pemberian terbaikmu. Setelah ludah yang sangat gurih, kini kau menyuguhkan itu, karbondioksida dari kedua lubang hidungmu. Dari situlah aku bisa mendengar cerita tentang paru-parumu, tentang sebagian organ dalam tubuhmu yang tengah beraktivitas sangat normal, sangat bertanggungjawab. Katanya dia sempat mampir di hatimu dan membisikkan satu nama yang membuatku rindu padamu.

Ya....nama itu adalah namanya, nama yang sangat lihai di inderamu, terlalu dalam bagi maknamu, nama itu membuatku rindu padamu, rindu yang masih entah sampai kapan terus menjadi masih. Karbondioksida yang kau hembuskan berhasil aku tangkap sebagian, kini aku pelihara. Setidaknya akan ada yang aku ajak berbicara sebagai analogi kehadiranmu di sini.

Kali ini, aku tak perlu lagi menanyakan kabarmu, aku sudah menyerahkan semua harimu padaNya, biar Dia yang mengawasimu, aku hanya bisa menikmati karbondioksidamu.

Saat ini, aku tengah berusaha mempelajari ilmu fotosintesis dari dedaunan hijau di halaman rumahku, agar aku mampu mengurai karbondioksidamu menjadi oksigen segar yang akan ku peruntukkan padamu ketika kau butuh dan tak ada yang tersedia, maka pada saat itulah aku mengakhiri rinduku untuk ku tanam bersama takdir.

Jumat, 21 Januari 2011

DUA KUTUB MAGNET

Ada satu permintaanku padamu, ini hanya jika kau sudi. Aku hanya ingin memintanya padamu, karena tak seorang pun di dunia ini yang dititipkan kuasaNya kecuali dirimu. Berjuta detik sudah aku menumpang di dunia, dan baru kali ini aku ingin meminta. Tidak seperti mereka yang meminta berjuta-juta kali pula, melupakan lebih dari itu, dengan ragam harapan, ragam keinginan, dan kebanyakan satu balasan, pengkhianatan.

Hidup bukan kejam, hanya sedikit bervariasi, variasi yang sangat cocok antara takdir dan keinginan. Kamu pasti masih ingat, ketika kau melupakan. Ingat tidak? Ingat kan? kau pelupa yang hebat, lupa kalau waktu itu tak pernah berhenti, lupa kalau masamu tak banyak, lupa pulang ketika asyik keluar rumah, lupa kalau kau itu sering lupa.

Jadikan pertemuan ini sebagai pertemuan pertama. Pertemuan perdana antara kita berdua, tempat ini adalah ruang udara, di mana semua bisa mengawang, bisa melayang, bisa berada di antara, bisa juga tak pasti, seperti lidah-lidah mereka yang mengambang, seperti langkah-langkah mereka yang tak memikirkan juga tak merasakan.

Jadikan pertemuan kita ini sebagai perpisaha pula. Kita tak akan pernah bertemu lagi, entah kalau Tuhan berkehendak lain. Lebih baik kita berpisah, karena semakin lama akan semakin fatal, kau dan aku akan mengkhianati banyak hal, termasuk diri sendiri.

Lebih baik kita sama, agar kita dipisahkan. Lebih baik begitu sobat, karena lengket itu telalu sesak, kita butuh jarak agar bisa mengabdi lebih leluasa, memanfaatkan waktu masing-masing. Berhentilah menarik orang lain, karena itu hanya membatasi kelihaian mereka. Menyelamatkan tak mesi menarik kawan, kadang mereka harus berlari sendiri untuk itu.

Sekarang, dengarkan permintaanku, lepaskan dayamu, dan aku akan melapskan dayaku juga, jauhilah persetubuhan kutub ini, agar tidak terjadi bencana, janganlah berlawanan, karena berlawanan bisa mempertemukan dalam lingkaran yang tak baik. Itulah permintaanku sebagai kutub sebelah, bagaimana deganmu sobat?

Hanya itu, dua kutub itu berpisah untuk memberikan ruang masing-masing membentuk kutub baru, membentu daya baru, setelah lelah bersama saling menarik, saling menggantungkan diri pada satu titik yang membuat hidup terlalu instan. Lebih baik melepaskan penyedia kehidupan untuk keluar mencari kehidupan sendiri.

Pertemuan hanya perpisahan yang bermula, dan perpisahan itu justru pertemuan yang juga bermula.

Rabu, 19 Januari 2011

MATAR IV

Jika tiba waktunya untuk pulang, maka tiba pula saatnya aku menutup halamannya. Jika suatu hari nanti, aku tak mampu menuliskan halaman lagi, tolong kuburlah semua halamanku bersama jasad yang sudah kosong. Kuburlah dia di dekatnya. Aku ingin dia bersama semua catatanku.

Detik ini aku menuliskan tentang jika waktu itu tiba. Kita tidak pernah tahu kapan kita akan pulang, maka kita butuh bekal manis untuk itu.

Jika tiba waktunya untuk pulang, maka tibalah saatnya aku menutup halamannya, semoga semua halaman itu cukup baginya. Tuhan, dengarlah ini, meski suaraku tak pantas Engkau dengar.

"Dia satu-satunya alasanku tentang dunia, dan aku tak ingin melupakannya, meski akan ada waktu di mana aku tak mengingat siapa-siapa kecuali diriku sendiri. Butuh air mata darah untuk bersujud di telapak kakinya. Itu pun hanya kesempatan sedetik. Kepantasanku menyicipi waktuMu adalah ketidakpantasanku mengakhiri halaman sebelum waktunya, namun jika masa itu telah tiba, jadikan dia orang terakhir yang aku pikirkan, tuliskan, dengarkan, perlihatkan, kemudian mengucapkan dengan cinta."

"Tuhan, selain Engkau, dan zat yang Kau pantaskan untukku, jadikan dia obyek terindah untuk inderaku, agar semuanya tidak sia-sia. Aku selalu mengingatnya, meski aku pernah lupa, bahwa dia itu ada di setiap kata."

"Jika aku tak punya cinta lagi, izinkan aku memungut semua butiran yang pernah terbuang, pernah diludahi, agar aku sempat membersihkannya, sebelum aku pantas memberikan itu di telapak tangannya."

"Tuhan, jika aku tak lagi punya jika, maka saat itulah aku melengkapkannya sebagai titik yang tak akan pernah berhenti, juga mencukupkannya sebagai hiasan masa yang tak akan pernah bisa diandaikan."

Maaf ini harus berulang, maaf ini harus terulang, maaf juga ini harus aku ulang. Maaf jika tak ada manfaatnya untukmu, tapi dia sangat bermanfaat bagiku, setidaknya ketika aku menyebut dan menuliskan namanya, aku memiliki sesuatu teristimewa

"MATAR"

HALAMAN YANG KU TUNGGU

Aku melewati banyak detik sampai akhirnya tiba di halaman ini. Halaman yang memuat semua tentangmu, tentang mereka, dan tentang kita. Apa kabar? Pertanyaan itu selalu ingin kuucapkan setiap mengingatmu, meski baru saja aku mendengar kabar tentangmu. Aku selalu rindu padamu, pada mereka, pada kita semua, entah mengapa tapi aku tak butuh alasan untuk itu.

Bangga rasanya bisa sampai di halaman ini, halaman yang memuat semua kebanggaan kita. Aku harus jujur, kalau baru kali ini aku grogi menatap halaman. Aku harus malu menatap halaman yang aku buat khusus untukmu.

Bagaimana ya...? Sulit, jujur sangat sulit. Aku harus mengerutkan kening berjam-jam untuk mengemas halaman ini, itu pun hanya memberiku daftar pertanyaan lagi. Kamu baik-baik saja kan? Sudah makan belum? Ah, itu pertanyaan basi.

Aku malu padamu, pada mereka, pada kalian semua yang mampu membuat halaman luar biasa, halaman yang selalu bersemangat. Sementara aku masih sibuk memikirkan analogi yang tepat untukmu, untuk mereka, untuk kalian. Aku masih belum lihai menuliskanmu dalam wujud yang sebenarnya, aku masih belum begitu memahamimu, aku malu.

Hmmmmmmmm.......

Wow, sama sekali tak mampu.

Baiklah, aku harus mengakui ini. Inilah pengakuanku sebagai orang bodoh, orang yang hanya berada di halaman tersembunyi, orang yang tersenyum sendiri ketika membuka lembarannya.

"Kau, mereka, dan kalian semua adalah orang yang memacuku untuk meneruskan halaman demi halaman, mengaturnya seindah yang aku bisa. Kalian semua adalah orang yang membuatku berpikir tentang bagaimana bisa memuatkannya makna. Kalian adalah orang yang selalu meramaikan halamanku, meski aku terkadang sulit meramaikan halaman kalian karena hal yang masih belum bisa aku katakan."

"Inilah tinta paling sederhana yang pernah aku torehkan, aku tak memperdulikan lagi analogi untuk saat ini, aku melupakan estetika, aku mengabaikan struktur cerita yang pas, aku tak tahu apa ini pantas untukmu, tapi di antara semua halaman-halaman yang pernah aku tulis dan perlihatkan padamu, inilah halaman yang sangat aku tunggu, halaman yang memuat dirimu, mereka, dan kalian semua

I love U Bloofers
Sebuah nama yang begitu fasih di lidah dan telah meresap di jiwa

Semoga halaman ini pantas untukmu

Maaf untuk semua kekuranganku

dan

Terima kasih untuk semua kelebihanmu, semua terlalu berarti bagiku

Senin, 17 Januari 2011

HATI YANG BERBEDA

Bacalah ini, bacalah di saat mulutmu lelah berkomat kamit. Kalimat ini tidak akan menguatkan kepedihanmu, apalagi membunuhmu.

Bacalah ini, dengan sisa kemampuan yang kau miliki, bacalah di saat inderamu telah lelah menyimpan masukan. Kalimat ini, tidak akan melumpuhkanmu, apalagi membunuhmu.

Kumohon, bacalah, sampai aku lelah memaksa takdir, sampai aku masih membanggakan harapanku sendiri.

Ada satu dentuman dalam udara yang menyelinap masuk ke auraku. Dialah suaramu ketika menyalahkan angin, juga teriakanmu ketika memarahi keadaan. Seperti analogi yang menyimbolkan sesuatu, maka aku menyimbolkanmu lewat kalimat ini. Bacalah ini, karena sebentar lagi kau akan mengenal siapa dirimu.

Hatiku, hatimu, hati yang berbeda, hati yang tak pernah sama.
Hatiku, hatimu, hati yang berbeda, hati yang berjarak.
hatiku, hatimu, hati yang berbeda, hati yang berbatas.
Hatiku, hatimu, hati yang berbeda, hati yang sudah matang.
Hatiku, hatimu, hati yang berbeda, hati yang selalu kuperjuangkan.

Hati kita selalu berbeda, selalu berbeda, tak akan pernah sama, maka dengan itulah aku menyerahkan hatiku untuk kau rasakan, hatiku yang berbeda ini akan membuat hatimu merasa berbeda pula.

Hatiku, hatimu, hati yang sudah ditakdirkan berbeda, dan penyatuan terindah adalah penyatuan perbedaan.

Sabtu, 15 Januari 2011

SI BULU

"Nyo...lapar, nyo.... minta inspirasi."
Begitulah dia menuliskan kalimat di wall akun facebookku.

Kalimat yang menyentakkan semua selaput jiwa hingga berbaur dengan atom-atomnya. Di saat lambung meminta nutrisi, di saat kebutuhan sudah tidak bisa ditoleransi, ketika indera manusia mulai mengalami disfungsi, ketika dedaunan semakin layu, ketika angin enggan bergerak, juga ketika harapan berubah menjadi keharusan.

Si Bulu yang malang, entah mengapa, dari mana, dengan apa, dan semua kebingungan yang menyertai pemahaman batin, terselubung pada mulanya, kini meletuskan nanah yang bersalah pada tuannya. Bisa ku bayangkan saat ini. Di tengah lambungnya yang mulai melilit, tenggorokan yang meretak, apa lagi yang bisa dilakukan?

Seribu doa dipanjatkan, dan ketika itu pula seribu jawaban turun, tanpa menerka lagi. Si bulu yang kelaparan, menulis sebatang cokelat di dahinya. Sebatang cokelat itu terlihat lezat, sebatang cokelat lezat itu fiksi, kenyataan yang bersembunyi.

Si Bulu sahabatku. Kau membuatku malu. Setiap hari aku merasakan kelaparan, dan pada setiap itu pula aku berhasil membunuhnya hanya dengan satu cara yang membuatku menjadi manusia ragawi saji. Aku berhasil mencukupkan kebutuhanku, menjaga tenggorokanku dari keretakan, mencegah lambung melilit, namun masih belum mampu menuliskan sebatang cokelat di dahiku.

Si Bulu, temanku, kau menamparku dengan tragis. Kelaparan yang kau rasakan ternyata kelaparan yang paling dahsyat. Kelaparanmu sangat memukul keadaan, mampu memanipulasi takdir, menghentakkanku ke bawah jurang, bahkan di saat lapar pun kau lebih tinggi dariku sobat.

"Inspirasi buat apa nyo...?" Balasku di wall nya.

Kau mendiamkan jawaban untuk melanjutkan pertanyaan, kau berusaha mendewasakanku untuk tidak meminta, namun mencari, itulah yang diinginkan jawaban, begitu katamu dengan bahasa partikel udara yang berhasil aku pahami. Aku masih terlalu dangkal, aku salah, membenarkan yang salah.

Aku sudah lama membuatnya berteriak, telingaku tertutup, menangkis suaranya. Aku sudah lama membiarkannya menunggu, menunggu saat sapa di mana aku menjadi hangat baginya. Dia sedang lapar, Tuhan.

Si Bulu.......manusia yang tak mampu kudefinisikan, manusia yang saat ini membuatku malu memikirkan. Kalau saja aku bisa melahap inspirasi hingga aku merasa puas, maka aku tidak merasa serendah ini. Aku masih gagal menjadi manusia.

"Aku lapar, dan aku membutuhkan inspirasi untuk membuatku kenyang, agar aku bisa mencari jawaban, bukan meminta, itulah keinginan jawaban padamu."

Terima kasih untuk Heru Purwanto a.k.a. Hileud Blue

Salam gila, nyo!

Kamis, 13 Januari 2011

MATAR PUN BERAKHIR

Dia kembali setelah berhenti melangkah. Sikapnya masih mendiamkan paham. Dia kembali setelah belum sempat pergi.

Sorot matanya melingkar, melenyapkan sudut yang hanya bisa menjadi tempat beristirahat. Sebatang rumput liar diselipkan di telinganya. Kala itu embun masih menaburkan diri di ujung dahan, menyegarkan pandangan, suka duka berpisah.

Matar yang kering, tanpa tetesan sedikit pun, melayangkan pandangannya pada keheningan yang begitu leluasa merogoh habis kantong lisannya.

Pagi yang telah tiba menggantikan malam, malam yang kejam, kejam, sangat kejam, bahkan terlampau kejam. Malam yang membuatnya merasa gagal menjadi seorang manusia, cita-cita tertingginya.

Dia kembali sebelum sempat beranjak dari landasannya. Tumpukan koran masih merapat di kedudukannya. Pagi tanpa keramaian, di dalam kamar yang hanya mampu memuat dirinya, bersama sedikit udara. Matar yang kering terhempas di dalam khayalannya sendiri. Saat ini, dia tengah menyesali pengharapannya, juga menyalahkan kewajibannya.

"Mengapa aku harus melahirkannya, mengapa juga aku berani meminta kehadirannya?"
Tuturnya lemah. Terdengar jelas nafas yang terengah.

Matar yang kering, dia merasa gagal menjadi manusia. Matar lelah bertahan. Kali ini, masanya dianggap sebagai sisa kesempatan terakhir untuk merenungi, dan mencari alasan tentang mengapa.

Matar yang kering menitihkan air mata mendidih, mengelupas kulit-kulit lusuhnya. Di wajahnya tersimpan seribu kekecewaan, jumlah yang hanya bisa ditaksir, sementara taksiran mata dan pikiran hanya sebatas ketidaktahuan.

Selembar foto anaknya kini berada di genggamannya. Di angkatnya foto itu, disejajarkannya tepat di hadapan bola matanya yang semakin lemah.

"Kau anakku, atau justru musuhku? Kau impianku atau justru keenggananku. Mengapa aku gagal mengajarkanmu tentang kehidupan? Mengapa aku gagal membuatmu menjadi manusia? Hingga membuatku gagal pula menjadi manusia. Mengapa rahimku harus sia-sia? Mengapa semua nutrisi yang aku hibahkan padamu harus menjadi penyesalan terhebat? Mengapa aku harus menjadi ibumu?"

Matar yang terus mengering, malu menadahkan tangannya pada Tuhan, malu berdoa, bahkan masih merasa malu menundukkan kepalanya. Pagi terus berjalan, tetes-tetes embun di ujung dahan kini mulai memudar, jelas dilihatnya dari balik jendela kamarnya.

Dari arah itu pula dia melihat seorang ibu yang mengantar anaknya ke sekolah dengan sepeda tua. Sang anak melingkarkan tangannya di perut ibunya. Sang ibu dengan senyum merekah terus menggoyah roda. Sementara itu, Matar hanya bisa menampilkan air matanya yang sudah mengendap.

"Mengapa aku tidak bisa seperti mereka? Mengapa...? Mengapa saat ini, aku hanya bisa mengatakan mengapa?" Tuturnya semakin lemah. Foto di hadapnnya terhempas oleh udara yang menyusup lewat jendela. Bola mata Matar mengabaikan perjalanan foto itu di udara. Dia sudah kecewa.

"Aku ibu yang tidak perlu kau akui. Aku juga ibu yang tidak pantas kau banggakan. Aku menyesali semua pemberianku kepadamu. Bukan karena aku menyalahkanmu, tapi karena aku merasa tidak pantas menjadi seorang ibu selayaknya, maka aku lebih bangga bila kau menyebut diriku sebagai ibu yang kejam."

"Seharusnya, saat ini kau berada di sampingku, merengek memintaku membuatkanmu pisang goreng cokelat kesukaanmu. Seharusnya, saat ini aku tengah mengelus dahimu, membaacakan dongeng tentang seorang ibu yang membuatmu sangat bangga memilikinya."

"Kau pergi setelah aku gagal. Dan aku kembali setelah aku belum sempat ke mana-mana. Aku akan mati, sebentar lagi. Aku ingin tak ada nisan di kuburanku, aku ingin kau lupa berziarah. Jangan membanggakanku, nak! Jangan menangisiku, nak! Aku ini hanya tumpukan sampah yang menyumbat pengairan."

"Anakku, izinkan aku memangilmu "anakku". Sebenarnya ini kesalahan bagiku, tapi aku ingin mengakhiri masaku dengan melakukan sebuah kesalahan lagi, kesalahan yang mungkin kau harapkan. Berbahagialah di sana bersama ibu yang aku titipkan untuk ayahmu. Ibu yang semoga bisa membuatmu melupakan Matar, aku."

Air mata yang mengendap itu meletus menjadi cairan kesedihan yang tak terhingga. Matar yang sudah hampir berbaur dengan tanah itu lesu, merapatkan sekujur tubuhnya di lantai. Meninggalkan pagi yang belum pergi. Matar yang malang meninggalkan kesalahannya, mencukupkan kemalangannya, mengakhiri hidupnya dengan sebotol racun yang sudah meresap di lambungnya, setelah dengan sangat menyesal mempersembahakn air susu yang tercemar virus HIV pada anaknya.

Kini anaknya terjangkit AIDS, terbaring lemah bersama ayah dan ibu tirinya, namun masih merindukan sosok Matar, ibu yang tak akan pernah bisa digantikan oleh siapapun.

Hikmah :

1. Berikan yang terbaik untuk orang terkasih.
2. Penyesalan bukan perenungan terbaik.
3. Pengorbanan adalah pertanggungjawaban terindah dalam kehidupan.
4. Seberapa kejam kehidupan membuatmu benci, sorang ibu tetaplah ibu.

Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Cermin Berhikmah Di BlogCamp

SUMPAH AKSARA

Kami, aksara-aksara yang ternoda bersumpah

Akan selalu memutihkan seruan, menampik semua kebohongan tanda, dan menyatukan titik yang terpisah, agar tidak ada lagi ketimpangan padanya.

Kami, aksara-aksara ternoda bersumpah

Senantiasa berbaju bahasa, menutupi ketelanjangan tiada, mengindahkan batas-batas serupa, dan merapikan pandangan suara, agar tidak ada lagi kesalahan padanya.

Kami, aksara-aksara yang ternoda bersumpah

Tetap setia di ujung pena, mengukir sejarah jiwa, meniupkan cinta di pembaringan udara, melucuti kepuasan demi kebutuhan dan keharusan, agar tidak ada lagi kejayaan padanya.

Kami, aksara-aksara yang teroda bersumpah

Takkan henti mendiamkan lidah, membutakan mata, dan menutup rapat telinga, agar tidak ada lagi indera yang sia-sia padanya.

Kami, aksara-aksara yang ternoda bersumpah

Mendiami tempat yang bercerita, merawat pergerakan masa, dan menutup kisah dengan semua kemenangan makna, agar tidak ada lagi penyesalan padanya.

Kami, aksara-aksara yang ternoda bersumpah

Akan mengakhiri sumpah, menyalami jamah firasat, merangkul sudut dengan erat, agar tidak ada lagi air mata yang berdarah.

DENGAN SUMPAH INI, KAMI MENYATAKAN DIRI SEBAGAI AKSARA YANG TERNODA. TELAH TERNODA OLEH KEBODOHAN JIWA, KEKALAHAN RAGA, DAN KETIDAKSEPAKATAN MEREKA MENYIMPAN, MENYUSUN, JUGA MENERKA PRIBADI DUNIA.

Selasa, 11 Januari 2011

SELAMAT ULANG TAHUN, AYAH (UNFINISHED SENTENCE)

Jam dinding menunjukkan waktu 15 menit lagi jam 00.00. Aku masih saja bingung ingin mengatakan apa, juga memberikan apa untuknya.

Sesaat kemudian aku telah sadar bahwa waktuku tinggal 10 menit lagi untuk memikirkan ini. Aku ingin mengatakan hal yang tak biasa, karena dia adalah sosok yang luar biasa bagiku.

Aku mencoba membuka semua kosakataku, tapi entah mengapa kalimat-kalimat pamungkasku mengendap dan enggan mencair.

Tinggal 5 menit lagi, dan aku masih gagal menyiapkan apa-apa. Aku sudah menggelengkan kepala.

Berikutnya aku sudah sampai pada batas waktunya, 00.01. Tiba-tiba pintu kamarku terbuka menampakkan sesosok luar biasa itu, dia kemudia berujar dengan senyuman khasnya,

"Niatmu utnuk memberikan ucapan selamat ulang tahun kepadaku adalah kado terindah yang pernah saya terima."

Aku malu sekaligus bangga menjadi anaknya.

Unformed Message

Dia mau ke mana?

Tok...tok...tok.....

Ada apa?
Dia bingung

Mereka tidak peduli

Menurut kami, dia itu subyektif

Dia sudah di tengah jalan

Mereka mawas diri

Menurut kami, dia itu mulai setengah obyektif

Dia sudah sampai

Mereka menyerah

Menurut kami, dia itulah jalan kita


??????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????

pertanyaan itu bukan tanda kebodohan, tapi simbolis keingintahuan.

Aku kemudian muncul memecah udara menjadi kepingan tak terlihat.

Absurd, kaya, dan selalu maniak akan pertanda.

Aku menyulitkan kemudahan agar tidak memandang remeh apapun dan siapapun.

Aku memudahkan kesulitan agar tidak membebani diri dengan kekhawatiran yang masih bisa siusahakan

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Command and request is different

,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

Selipkan jeda di setiap aktivitas lahiriah maupun batiniah.

.

(the end)

Minggu, 09 Januari 2011

MASIH RINDU PART II

Aku ini sebuah selokan. Penuh dengan air hitam, sisa-sisa pembuangan, korban keserakahan, juga penderitaan yang berlebihan. Apa kabar kau di atas sana? Masihkah kau bergejolak seperti dulu? Aku sudah lama tidak memantau dirimu. Mungkin saja kau sudah berubah. Tapi mungkin saja air-air hitam yang aku larutkan ini masih dari pembuanganmu.

Hahahahahaha......tidak apa-apa, aku justru merindukan itu. Mungkin suatu saat nanti, ketika kemungkinan sudah habis terjual, aku hanya mampu membeli ketidakmungkinan. itulah yang akan membuatku hidup.

Aku ini selokan. Memadatkan diri dengan endapan air-air hitam, terkuras habis ketika hujan mengguyur, kemudian terpisah dari reruntuhan sisa-sia pembuangan. Aku siap menuju samudera.

Masih aku simpan dengan hangat ludahmu di sini. Belum terjamah buangan yang lain. Aku rapikan bersama senyawa khusus. Aku membangunnya bertahun-tahun, hujan badai pun akan aku lawan demi menjaga ludahmu. Ludah yang masih segar.

Saat ini, aku tak peduli, seberapa kejam orang mencelamu, juga seberapa kuat dia mempertahankanmu. Aku hanya peduli pada ludahmu, ludah yang sangat gurih itu.

Kapan kau akan meludahiku lagi? Aku merindukan itu, masih merindukan itu, dan semoga takdir manggariskanku selalu merindukan itu.

Baiklah, aku selokan di depan rumahmu, menampung semua pembuanganmu, kemudian mengalirkannya ke samudera, di sanalah tempat teraman. Suatu saat, jika kau berkunjung di sana, akan tertulis separuh dari air samudera itu sebuah kalimat,

"AKU SELURUHNYA, BERSAMA SEMUA LUDAHMU AKAN MENGUAP MENJADI AWAN YANG SELALU SETIA MENAUNGIMU"

Jumat, 07 Januari 2011

MASIH RINDU PART I

Setiap hari kita berdiri di landasan masing-masing. Kau di sana dengannnya, juga aku di sini tanpa siapa-siapa. Tenanglah, aku sudah biasa sendiri. Keheningan sudah cukup ramai bagiku. Oh, iya, kemarin aku mendengar kabar buruk tentangmu. Lagi-lagi kelakuanmu di luar kendali. Aku masih belum mengerti, mengapa dia tidak mampu membimbingmu? Hanya dua kemungkinan, kau yang keras kepala, atau dia yang terlena dengan keberhasilannya.

Hai.....aku hanya menyapamu malam ini, malam yang masih terus sama, masih dengan rindu yang terjaga, asa yang sudah musnah, dan kasih sayang yang hanya bisa ada di kepala. Aku menyapamu lewat bulan yang tampak pucat, semoga dia lihai mengantarkan pesanku kepadamu.

Kamu sedang berjibaku dengan apa saja? Aku masih menyimpan semua ludahmu, di wajah ini, itulah ciuman terhebatmu. Ludah yang berlumut, masih terasa segar untukku. Aku tahu, kau masih mengabaikanku, sampai kapan pun aku tak mengharap lebih.

Kamu baik-baik, ya...! Jadilah diri sendiri, tapi menjadi diri sendiri bukan berarti mengabaikan penilaian orang lain.

Ada satu pernyataan lagi yang sudah cukup lama aku simpan. "Jika aku bisa memilih takdir, maka salah satu takdir yang aku pilih adalah dirimu."

HABIS

Ma......aku kehabisan kata-kata untuk menulis. Sebenarnya abjad-abjad itu masih ada di sini, tapi aku enggan menggunakannya, aku malu karena lagi-lagi aku hanya bisa merangkainya menjadi namamu. Kalimat-kalimat itu hanya memalukan bila kembali menceritakanmu.

Hanya itu yang bisa aku lakukan. Aku malu sebagai anak yang hanya bisa menuliskan ibunya di buku catatan.

Rabu, 05 Januari 2011

CURHAT ARTIS

"Aku ini eksis bukan terkenal."

Jika artis idolamu menyatakan ini, apa yang ada dalam pikiranmu tentangnya?

"Aku hanya ingin ada sebagai manusia, juga terus ada sebagai manusia yang menyadari dirinya sebagai manusia, bukan orang yang menunggu pengakuan orang atas keberadaannya.

Ada dan terkenal itu jauh berbeda. Aku terus ada, di setiap penglihatan, pendengaran, atau perhatianmu tak berarti menyimpan keinginan kuat agar kau mengetahui apalagi memuja keberadaanku.

Jika aku terus berada dalam bayang-bayangmu, maka ketahuilah tak ada maksud agar aku menjadi bintang ataupun bahan kekagumanmu. Aku hanya ingin menunjukkan keberadaanku sebagai manusia pada diri sendiri juga kepada yang menciptakanku.

Saat ini, lewat susunan abjad ini, aku mengakui keberadaanku sendiri, entah masih sebagai manusia, pernah sebagai manusia, atau sebatas pengharapan sebagai manusia, aku masih terlalu miskin memahaminya.

Aku masih ada, kawan. Masih dengan hati yang sama, wajah yang setiap detiknya terus menua, namun masih dengan cita-cita yang sama, menjadi manusia seutuhnya.

Tak perlu menanyakan namaku, memanggilku lewat senyuman saja sudah cukup. Karena aku tidak ingin jadi bahan pembicaraanmu, pembicaraannya, juga pembicaraan mereka. Berentilah bertepuk tangan, cukup berikan senyuman, atau kalau belum tertahan juga, cukupkan dirimu dengan ingatan bahwa kau pernah mengetahui keberadaanku."

"CURHAT ARTIS"

Senin, 03 Januari 2011

AMBIGU

Pikirkan sesuatu tentang diam. Adakah suara lantang di dalamnya? Aku diam bukan karena tidak tahu, kawan. Aku diam, karena ketika aku bersuara, akan sangat menyakitkan bagimu. Tutur kataku akan melumpuhkan kepercayaan dirimu.

Begini caraku. Bila diam itu membahasakan ambiguitas, maka kau salah memaknai ambiguitas itu. Bagiku ambigu bukan bias, suatu yang masih samar, atau inkonsistensi. Ambigu itu kaya, kawan. Dia menyimpan banyak hal yang bisa kau pelajari satu-satu.

Aku masih ambigu pada hidup, hidup juga masih ambigu kepadaku. Semua itu karena aku masih belum bisa memahami makna tunggal yang mewakili pribadiku sendiri, juga menyatukan persepsi hidup yang sangat kompleks.

Aku diam, karena takut menyakitkanmu. Aku khawatir, jika aku bersuara, aku hanya akan menawarkan jutaan atom yang belum mampu kau rangkai menjadi senyawa.

Pertemuan kita kali ini sangat berarti bagiku. Aku bisa menikmati ambiguitasmu yang payah bersembunyi. Mengapa kau malu menunjukkannya kepadaku? Aku tak butuh makna tunggalmu yang miskin, aku tak mau mendefinisikanmu dalam satu teori yang membutakan aku tentang kekayaan makna, itulah alasanku mengagungkan ambiguitas.

Aku diam,karena aku menikmati kebingunganmu. Aku bersyukur kau menjadi bingung, karena akhirnya kau bisa menaruh perhatian pada pertanyaan. Jawaban itu tidak selalu memuaskan, kawan. Tidak ada salahnya lebih menggantungkan diri pada pertanyaan, agar kau lihai mencari sesuatu, banyak suatu, yang lebih kaya.

Aku masih diam, karena aku tengah mendalami ambigu. Bila lisanku bercabang ribuan, maka pungutilah tiap serpihan ribuan itu untuk kau jadikan pertanyaan, sebagai alasanmu untuk menikmati hidup.

Chat Room Bloofers