Jumat, 28 September 2012

Unidentify Letter





Hey..kau tahu mengapa aku berpuisi?
Aku membebaskan kurungan abjad agar tak hanya berjejer berjumlah duapuluh enam

Hey, kau tahu mengapa aku berpuisi?
Aku membebaskan diriku agar tak berada dalam dunia yang nyata saja
Kini aku di udara, mungkin punah, karena aku tak menjumpai makhluk selain yang bersayap, sementara aku melayang karena gravitasi menolakku, bumi membenciku

Aku bersiul, mengeluarkan nada, bersimpuh tanpa gaya simpuh, menyimpul tali usang, aku berjumpa denganmu

Sudah duapuluh enam abjad berdiri, dan aku membuatnya acak-acakan, aku berpuisi, apakah aku hidup?

Sekali jumpa pudar meratap, tak ada memori, hanya ada detik berjauhan, menjauh, tak peduli

Bahkan ketika aku mencoba setia menunggunya, waktu selalu pergi, ia tak berindera, apalagi untuk merasa

Ibuku, ayahku, saudaraku, sahabatku, semuanya punah, tinggal aku, mungkin sebentar lagi, kita berpisah tanpa kenangan, tanpa masa lalu, masa depan untuk melupakan, itu di benakku

Aku lupa, jejak itu terhapus, mungkin terhapus, tapi ia ada, ia ada, ia tetap ada, hanya saja aku tak punya mata

Aku di udara, melayang tanpa sayap, berjumpa denganmu, berbisik di telingamu, merabamu, aku tidak ada dalam kerumunan, mereka di darat, ada juga di langit, aku di tengah, dan aku terlupakan, satu-satunya yang kuingat adalah diriku.

Dirimu? Aku tak mengingatmu, aku hanya mengenalmu, setelah ini tak ada lagi dirimu dalam otakku, aku sebentar lagi akan kehilangan otak

Bisakah aku bertanya sekali lagi? Jawablah!
Kau ternyata tak mempunyai lidah, kefasihanmu berbahasa tak mampu mengalahkan duapuluh enam abjad yang ku punya

Aku berbahasa? Setelah itu mati, karena sejarah tak ada di sini
Maka aku menuliskan ini, karena ini bukan memori, ini diriku, bukan perkara waktu, di dalamnya ada uraian keduapuluh enam abjad yang siap kau cerna, semoga bergizi

Untukmu wahai gravitasi

Apakah kau takut mereka meninggalkanmu? Mengapa kau menjerat mereka?
Kemudian ketika kau menolakku apakah mereka sudah cukup bagimu?

Kau tak perlu mematikan energimu untuk membuat mereka sepertiku, sebentar lagi kau hanya jadi yang terlupakan, karena Mars menunggu penghuni, ia hunian yang lengkap

Sebentar lagi semua akan cukup, tak perlu berlebih untuk mengkahiri, seperti abjad yang tak pernah berhenti, ia hanya cukup berjumlah duapuluhenam, namun tahukah kau berapa kata, berapa kalimat, berapa alinea telah terbentuk? Semua akan berhenti

Bukan pada waktunya, buka pada saatnya, tapi pada izinNya

Tulisan ini dibuat di Makassar, 30 April 2012

Rabu, 26 September 2012

SUDAHLAH


"Semua sudah aku lakukan." Katanya pelan.
Aku hanya bisa diam. Saat ini, bibirku sedang memusuhi abjad.

"Semua sudah aku lakukan." Katanya perlahan keras.
Aku lagi-lagi hanya bisa diam. Saat ini, bibirku semakin memusuhi abjad.

"Semua sudah aku lakukan." Katanya dengan keras.
Diamku juga mengeras. Bibirku seperti melaknat abjad.

"Apa kau tidak mengerti? Semua sudah aku lakukan. Semua sudah aku lakukan. Apa lagi?" Ia berteriak.
Telingaku bergetar.

"Ya, aku tahu." Seketika bibirku berdamai dengan abjad, meski terpaksa.
"Itu saja? Aku tahu, kau tahu. Semua orang juga tahu kau tahu aku sudah melakukan semuanya. Kau tak pernah mengerti. Bicara saja jarang, apalagi mengerti. Belum lagi memahami." Dia marah, mengelilingi ruangan sembari melemparkan sobekan-sobekan kertas yang sedari tadi menghuni kepalan tangannya.

"Aku bekerja siang dan malam, untuknya, untuknya. Aku bahkan tidak hobi lagi tidur. Tidur bagiku menjadi sebuah pantangan." Ia melunak dan duduk di sampingku.
"Kemudian, aku juga berdoa siang dan malam, meski aku tahu, Tuhan tak akan menjawab doaku begitu saja." Dia memanas.
"Lalu aku menunggu, menunggu, terus menunggu, aku menunggu sampai aku tak tahu lagi apa yang aku tunggu." Ia menangis.

Perlahan aku merasakan kepalanya bersandar di pundakku. Bajuku basah oleh keringat dan air matanya.

"Ibuku mati, dia sudah mati." Raut wajahnya datar saja, air mata terus mengalir.
"Padahal, sekian lama aku bekerja, berdoa untuknya, dan ia mati begitu saja, tanpa pamit kepadaku, tanpa menitipkan pesan apapun."

"Bicaraah, aku mohon." Pintanya sungguh sedih.

"Dia pamit padamu, kau hanya tidak tahu. sebelum ia mati, ia memanggilmu, tapi kau sibuk bekerja, setelah itu kau sibuk berdoa. Katamu bekerja dan berdoa adalah privasi, butuh ketenangan. Maka dia membiarkanmu. Sudahlah. Inilah kehidupan, sudahlah. Kau akan baik-baik saja. Nikmati kesedihanmu dengan cara terbaik, tidak berlarut-larut." Kataku diiringi senyumnya

-Flash Fiction-

Inspired by" Coldplay - Fix You"

Selasa, 18 September 2012

PULANGLAH DIANDRA



Debu menjadi suci ketika air tak ada. Aku bisa saja jadi apa saja, asal Tuhan mau, asal kau siap, asal dia tiada. Aku akan ada saat dia tak ada, begitu mudahnya kau membuat fatwa. Kemudian, tak ada yang tahu. Tuhan enggan menyebar rahasia, ia bahkan enggan menyebut kalau itu rahasia. Sementara kau menyimpan rahasia, katamu aku tak berhak tahu soal rahasia itu? Itukah rahasia? Aku tahu, sudah tahu. Kau memberitahu. Itukah rahasia?

Isyarat lalu berbicara ketika lugas takut bersuara. Aku bisa saja jadi apa saja, asal Tuhan mau, asal kau siap, asal dia tiada. Aku akan berguna saat dia tak ada, begitu mudahnya kau mengatur kadar. Kemudian, mata memicing, kening mengkerut, wajah menjadi asing, kau pergi.

Alibi mempesona ketika jujur melemah. Aku bisa saja jadi apa saja, asal Tuhan mau, asal kau siap, asal dia tiada. Aku akan mempesona saat dia tak ada, begitu mudahnya kau membaca kharisma. Kemudian, kakiku lumpuh, tak sanggup mengejarmu. Maka kubiarkan batinku yang menyusulmu. Dengan begitu, ia akan menemukanmu sampai ke ruang rahasia apapun kau bersembunyi.

Nyeri berkembang biak, ketika nyaman sudah punah. Aku bisa saja jadi apa saja, asal Tuhan mau, asal kau siap, asal dia tiada. Aku adalah pundak yang memikul apa saja, begitu mudahnya kau beranalogi. Kemudian, nyeri terus bertambah, menjalar dengan bebasnya. Sampai saat ini mereka masih bertahan, mungkin mereka sudah jadi bangsa maju, bangsa nyeri yang maju.

Di kulitku masih ada sidik jarimu, ketika itu satu-satunya peninggalanmu. Ku jaga itu meski nyeri semakin keji mencoba membunuhku pelan-pelan. Aku bisa saja jadi apa saja, asal Tuhan mau, asal kau siap, asal dia tiada. Aku pasti tekstur lembut saat dia tak ada, begitu mudahnya kau memastikan hal yang masih mungkin. Kemudian, sidik jarimu lekat, meski nyeri terus menyerang, akan terus melekat. Bahkan angin sekencang apapun meniupnya, akan terus kulekatkan. Dengan begitu, aku merasa kau menyentuhku untuk pertama kalinya.

Rambutku beruban. Aku sudah tua, tentu ketika tak lagi muda. Aku bisa saja jadi apa saja, asal Tuhan mau, asal kau siap, asal dia tiada. Aku menua saat kau tak ada, begitulah aku membaca diri. Aku memang menua saat kau tak ada, bahkan lebih cepat dari perkiraanku, dari pengalaman mereka yang telah menua lebih dulu.

Aku adalah rumah, ketika kau gelandangan. Aku bisa saja jadi apa saja asal Tuhan mau, tapi aku hanya ingin jadi rumah bagimu. Rumah di mana setiap senja kau melangkah dengan sangat bersemangat menuju ku. Pulanglah.....

Rabu, 12 September 2012

Dari Mata Jatuh Ke Tanah


Bagaimana ketika kau harus pergi, dan tak ada lagi raut wajah yang bisa kusentuh?
Sementara saat ini aku tak punya cukup waktu untuk memuaskan diri menyentuh raut wajahmu.

Pertanyaan ini besar. Selalu besar. Selalu membuatku merinding bila aku mendengungkannya dalam pikiran, dalam waktu yang memungkinkanku memikirkan apa saja.

Bagaimana jika Tuhan menakdirkan kau pergi lebih dulu, dan aku tak sempat mengucapkan salam perpisahan padamu?
Sementara saat ini aku tak punya cukup waktu untuk mempersiapkan diri menyambut kepergianmu?

Haruskah kesedihan kusembunyikan lewat isyarat, lewat tanda, lewat istilah, lewat syair, lewat diksi yang tak lazim? Padahal kesedihan yang nikmat adalah kesedihan yang gamblang.

Bagaimana ketika kau betul-betul pergi, dan tak ada lagi kaki yang bisa kucium dengan air mata?
Sementara saat ini aku tak memanfaatkan waktu untuk mengenal tekstur kulit kakimu, tebal atau tipis, halus atau kasar?

Kakimu adalah rumah bagi langkah-langkah yang penuh dengan darah, peluh, melupakan tujuan pribadi, mengubur kepuasan diri.

Bagaimana jika Tuhan tak mempertemukan kita sebelum kau benar-benar pergi, dan tak ada lagi raga yang bisa aku banggakan sebagai satu-satunya raga yang aku abadikan dalam berentah-entah cerita?
Sementara saat ini, aku masih belum sempat menyentuh tanah yang basah, di mana airnya berasal dari matamu sejak pertama kali aku melihat dunia.

Atau...

Bagaimana jika saat aku menuliskan ini, kau telah pergi, dan pertanyaan-pertanyaan ini tak berguna lagi?
Sementara saat ini, aku masih belum bisa menjawab itu sendiri.

Mungkin semua ini tak butuh jawaban, sama ketika pertanyaan ini muncul di pikiranmu:

"Mengapa kau menukar air matamu demi senyum yang tak pernah tahu bahwa ia ada karena air matamu sendiri?"

Suatu saat nanti, aku akan pulang dan menyaksikan matamu basah. Dan saat itulah aku akan semakin yakin perihal kau menyembunyikan air matamu sendiri. Kau hanya tak ingin aku malu jika tahu bahwa selama ini aku hidup karena tanah, di mana ia basah karena air yang berasal dari matamu.


Kamis, 06 September 2012

SILUET SENJA

Aku melihat sebuah siluet di kala senja. Ia tipis, datar, dimakan senja yang hanya dijatahi waktu sedikit setiap harinya. Senja tak seperti pagi yang cerah. Tak seperti siang yang garang. Tak seperti malam yang punya bulan.

Bagiku senja seperti waktu, mungkin duduk menyaksikan matahari menghilang dari pandangan. Merenungi berjam-jam seharian, apakah ia bermanfaat atau hanya menyaksikan perjalanan waktu belaka.

Hari ini, semua terlihat sama. Hiruk-pikuk, tegur sapa, tanya jawab, memesan dan menerima. Senja mencukupkan ruang bagiku untuk duduk, tak perlu di tepi pantai, cukup di teras rumah yang biasa-biasa saja tanpa teh, susu, kopi, tanpa minuman lain. Membiarkan semuanya lewat, sedang diri ini hanya terpaku, cukuplah aliran darah, detak jantung dan hela nafas yang berbicara.

Senja mencukupkan waktu bagiku untuk melihat ke belakang sembari bersiap menanti perjalanan setelahnya. Mungkin lelap, mungkin lelah, mungkin akan insomnia, atau mungkin akan kembali sibuk. Tak apa.

Bukan jeda, karena sudah terlalu banyak jeda sepanjang hari ini. Jeda ke kamar mandi, jeda ke luar ruangan untuk batuk, jeda makan siang, jeda untuk mengecek jejarig sosial. Bagiku senja lebih tepat sebagai waktu tersendiri untuk menyibukkan diri menganga. Betapa peralihan yang sangat lembut ada pada senja.

Lalu mengapa kau menaruh siluetmu pada senja?

Tentu kau tak mau menjawab. Biarkan aku menjawabnya, meski itu belum tentu benar. Siluet yang selalu berwarna gelap adalah kesiapanmu menjamu malam. Kau merangkum secara keseluruhan perjalananmu sedari pagi. Lalu, siapkah kau menjamu malam dengan perjalananmu sedari pagi?

Malam tak pernah menuntut jamuan apa-apa. Hanya saja, misteri tak terduga akan terkuak di kala malam. Bagaimana kita menjadi pujangga seketika, melakukan pertemuan-pertemuan penting, menyanjung bulan dan bintang, menyebut "galau" sebagai kata yang sangat sastrawi, seolah-olah kesedihan adalah satu-satunya yang dimiliki kesusastraan.

Mungkin kita harus siap menjamu malam, agar ia tak berpikir dua kali mengungkap rahasia mengapa malam selalu menjadi milik kita yang setia memandangi langit, menjadikan langit sebagai tempat pertemuan rindu, menjadikan rindu semakin menggebu-gebu, dan menjadikan puisi begitu sibuk berdeklamasi saat itu.

Dan...

Siluet senja adalah keseluruhan waktumu sedari pagi yang begitu siap menyambut kedatangan malam. Membuat kejadian-kejadian tadi menjadi cerita beragam di waktu malam, untuk dibagi, untuk ditertawakan, untuk ditangisi, untuk dikatakan rahasia dengan pernyataan, "maaf ini rahasia", untuk menunggu doa-doa yang begitu kreatif diamini banyak orang.

Atau....

Untuk menunggu Tuhan begitu indah disebutkan.

Dedicated to Teh Bonit

Chat Room Bloofers