Sabtu, 23 November 2013

ONEIROI

kau meletakkan mimpi
meletakkannya di langit tertinggi
langit yang tak pernah mampu
dijangkau retinamu

aku meletakkan mimpi
meletakkannya di depan pintu
pintu yang hanya mampu
dibuka mimpimu

Tuhan meletakkan tangga
meletakkannya di luar rumah
maka kugunakan tangga itu
menuju langit teringgi
memetik mimpimu
agar aku mampu membuka pintu
dan mimpi kita bertemu

Minggu, 17 November 2013

Elegi Tepuk Tangan

Saya penasaran terhadap orang yang pertama kali bertepuk tangan kemudian menjadi kebudayaan turun temurun. Apa yang ia saksikan, pikirkan, dan rasakan hingga memutuskan untuk bertepuk tangan?

Secara etimologi, tepuk tangan berarti menamparkan kedua telapak tangan untuk menghasilkan bunyi. Bunyi tepuk tangan ini dalam sejarah beberapa bangsa ternyata berbeda. Bangsa Romawi kuno, misalnya. Mereka memiliki kebudayaan tepuk tangan untuk memberi penghargaan bagi sebuah pertunjukan. Lain halnya dengan orang Tibet yang mengartikannya dengan pendekatan mistik. Mereka melakukannya sebagai upaya mengusir roh jahat. Meski begitu, ada juga yang berpendapat bahwa tepuk tangan sebenarnya terinspirasi dari alat musik perkusi yang digunakan saat upacara umum orang Mesir kuno.

Peneliti di Universitas Hartford, Connecticut, Amerika Serikat, Yvette Blanchard mengatakan manusia bertepuk tangan karena “dibuat”, bukan sejak lahir.

Jika dicermati, tepuk tangan memiliki tugas mulia. Taruhlah Anda seorang seniman, pembicara, atau hanya orang biasa yang sekadar menyampaikan opini di depan umum. Suara kita terasa didengarkan dan diakui bila disambut dan diantar dengan tepuk tangan. Sebuah bentuk penghargaan luar biasa melalui aktivitas yang biasa-biasa saja. Sungguh mulia kita yang bertepuk tangan untuk suara-suara yang layak didengarkan dan dihadiahi penghargaan. Namun apa jadiinya, jika tepuk tangan itu kian bergeser dari landasannya? Rasanya, kita telah mengajak tepuk tangan bepergian terlampau jauh lalu lupa mengantarnya pulang.

Anda mungkin pernah menyaksikan sebuah acara kuis berhadiah, atau dalam beberapa kompetisi dan perlombaan. Sang pembawa acara kerap harus menentukan pemenang dari beberapa peserta melalui tepuk tangan. Perihal ini menunjukkan tepuk tangan dianggap sebagai sebuah tolak ukur sempurna dan sahih. Demi mendapatkan hadiah, kita rela melakukan hal-hal gila sembari mengemis tepuk tangan. Penonton seperti dipaksa tepuk tangan untuk menentukan yang terbaik. Saya berani bertaruh, tidak semua penonton yang tepuk tangan itu tahu untuk apa tepuk tangan ditujukan. Yang mereka tahu adalah nasib seseorang ditentukan oleh tepuk tangan. Tepuk tangan telah kehilangan obyektivitasnya. Bayangkan jika semua kompetisi menerapkan peraturan serupa. Lambat laun anak cucu kita tidak lagi mengenal pemenang sebagai orang yang terbaik. Mereka akan hidup dalam pemahaman bahwa seorang pemenang adalah pengumpul tepuk tangan terbanyak.

Saya pernah menyaksikan seorang ulama didaulat memimpin doa dalam sebuah perhelatan kampanye pasangan calon gubernur beberapa bulan silam di televisi. Ia naik ke panggung melafalkan doa dengan nada meringis. Kata-katanya pun dipaksakan puitis. Sementara itu, hadirin berpaling dengan kesibukan lain. Memang ada yang menadahkan tangan, namun lebih banyak yang sibuk berbincang, bermain dengan ponsel dan mengipas-ngipas wajah. Selepas memimpin doa, para hadirin mengantarnya turun dari panggung dengan tepuk tangan. Rupanya kita ini manusia mekanis. Kita terbiasa dengan orang yang naik dan turun dari panggung. Kemudian, kita lupa, bahkan cenderung mengabaikan penyampaian seseorang di atas panggung tersebut. Kemunculan seseorang di atas panggung ditafsirkan hanya sebagai dua aktivitas lazim: naik dan turun. Kedua aktivitas itu membuat kita merasa harus tepuk tangan. Padahal, melalui doa, kita mengakui kekuasaan Tuhan dan betapa kecilnya kita yang hidup dari permohonan dan harapan untuk dikabulkan. Sedemikian larutnya kita dalam euforia, hingga doa pun dianggap mesti diberikan gemuruh tepuk tangan. Imbasnya, doa kehilangan esensinya sebagai permohonan khidmat. Akibat tepuk tangan, doa telah digiring menuju ruang kemeriahan, bukan keheningan. Tanpa sadar juga, tepuk tangan menjadikan doa tadi terlihat sebagai tontonan, bukan komunikasi intim dan penyerahan diri manusia kepada Tuhan. Atau mungkin di mata kita, sang pembaca doa itu seperti seorang peserta “ajang pencarian tepuk tangan” yang tengah berupaya menjadi pemenang.

Masalahnya sederhana, kita terlena. Hanya karena tepuk tangan adalah bentuk penghargaan paling sederhana, mudah, dan sangat mendunia, kita malah lupa bahwa tidak semua hal pantas dihargai dengan tepuk tangan. Sungguh tepuk tangan kita semakin artifisial.

Ada sebuah jawaban nakal di kepala saya tentang orang yang pertama kali bertepuk tangan. Mungkin ia adalah seorang yang ingin bersuara, namun bisu. Satu-satunya kebaikan yang mampu ia lakukan adalah dengan kerja kedua tangannya. Namun dari semua buah tangannya, tak satupun didengarkan dan memperoleh pengakuan. Agar karyanya didengar lalu dihargai, ia pun membuat bunyi-bunyian dengan menepuk kedua telapak tangannya. Bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk dirinya sendiri.

Ketika budaya tepuk tangan terus terbawa arus kesalahpahaman, maka kita perlu menanyakan ini pada diri sendiri. Jika esok kita mati, relakah roh itu meninggalkan jasadnya, menghadap Tuhan dengan iring-iringan tepuk tangan?

Fadhli Amir
Aktor Kala Teater

Tulisan ini dmuat di kolom literasi Koran Tempo Makassar edisi Sabtu, 9 November 2013


Pernyataan Pura-Pura

Pernah seorang teman menyatakan bahwa aktor teater adalah pembohong yang ulung. Mendengar dan meresapi ini ada sebuah elegi di kepala mengenai aksi berpura-pura. Pernyataan ini pula melahirkan korban kepura-puraan.

Ada tiga subyek yang disakiti oleh pernyataan itu, ialah aktor teater, teater itu sendiri, dan orang yang menyatakannya. Subyek pertama adalah aktor teater. Ada sebuah konsep bernama inflasi imajinasi. Imajinasi membuat subyek merasakan kenyataan obyek imajinasinya. Meski bentuknya citra mental, tetap saja ada kenyataan di dunia imajinasi. Stanislavsky pun membahas imajinasi sebagai sebuah metode pendalaman karakter di dalam bukunya yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul “Persiapan Seorang Aktor”. Di bukunya itu, Stanislavsky mengisahkan pengalamannya ketika ditugasi sebuah peran. Maka, ia membuat citra mental di kepalanya tentang karakter yang akan ia mainkan. Ia berhadapan dengan cermin, mendandani wajahnya, menggunakan barang-barang di dalam kamarnya sebagai properti, sesuai penafsirannya terhadap karakter yang akan ia mainkan. Maka ketika menjumpai aktor memainkan sebuah peran, dan Anda tahu aktor itu dalam kehidupan sehari-harinya tidak demikian, yakinlah bahwa yang tengah ia perankan di panggung bukan sebuah kepura-puraan, melainkan kenyataan lain. Meski begitu, ada juga aktor yang gagal, sehingga apa yang diperankannya terkesan berpura-pura. Aktor yang demikian tidak berhasil memasukkan peran ke dalam dirinya. Dia tidak menjadi atau minimal seperti peran itu, tapi cenderung berbohong. Ia membohongi dirinya sendiri, bermaksud keluar dari dirinya dan menjadi orang lain, tapi malah berpura-pura menjadi orang lain di hadapan penonton.

Subyek kedua adalah teater itu sendiri. Constantin Stanislavsky pernah menyatakan bahwa kebenaran di atas panggung berbeda dengan kebenaran dalam kehidupan nyata. Seorang yang menonton pertunjukan teater sejatinya menyaksikan realisme panggung, bukan realisme kehidupan dunia. Misalnya ketika sesesorang yang dalam kehidupan sehari-harinya sangat pendiam. Tiba-tiba ia harus berperan sebagai seorang yang cerewet. Ia mesti cerewet ketika memainkan perannya, meski sebenarnya ia seorang yang pendiam dalam kehidupan sehari-hari. Ia memiliki dua kenyataan. Kenyataan di kehidupannya sebagai orang pendiam dan kenyataannya di panggung sebagai orang cerewet. Keduanya adalah kenyataan, bukan kepura-puraan. Sehingga pandangan tentang teater yang mengumbar kepura-puraan rupanya menyakiti teater dan para penggiatnya. Sebab teater tidak bersifat mimetik. Teater tidak sekedar memindahkan, namun menciptakan realita. Bahkan ketika lakon yang dimainkan adalah jenis teater absurd, tetap saja yang disajikan adalah kenyataan. Tentunya dengan menyerap kehidupan sehari-hari kemudian menafsirkannya dalam bentuk pertunjukan. Sekali lagi, ini bukan aksi pemindahan realita, tapi penafsiran yang di dalamnya sudah ada riset, opini, dan rentetan pesan. Hal ini bahkan tergambar pada sejarah teater itu sendiri. Teater menurut sejarahnya berawal dari kebiasaan bangsa Yunani kuno melakukan upacara ritual penyembahan kepada dewa. Upacara ritual itu berifat dramatik, memiliki unsur cerita di dalamnya. Dengan begitu, teater sejatinya berawal dari sebuah gejolak dan penghayatan nyata manusia yang kemudian berkembang menjadi pertunjukan. Penonton sama sekali tidak sekedar menyaksikan fotokopi kehidupan.

Subyek ketiga adalah manusia itu sendiri, dalam hal ini orang yang menyatakan bahwa secara umum aktor dan teater adalah bentuk kepura-puraan. Hidup itu sebuah kenyataan. Maka siapa saja yang memandang teater sebelah mata, atau malah menutup matanya, itu sama saja ia mengalihkan pandangan terhadap kehidupannya sendiri. Bahkan, ia justru hidup tanpa sempat melihat kehidupan di sekitarnya. Menonton teater adalah bentuk menghormati, menghargai, mencintai, bahkan merayakan kehidupan.

Perihal kepura-puraan tadi, semua tergantung aktornya. Memang bukan perkara mudah menjadi seorang aktor teater. Fisik, mental, dan intelektual yang memadai sangat dibutuhkan. Melakonkan karakter idealnya menjadi, minimal seperti karakter tersebut. Sementara berpura-pura merupakan bentuk kegagalan seorang aktor. Maka jangan salahkan penonton yang pulang sebelum pertunjukan usai. Atau penonton yang tiba-tiba menuju ruang belakang panggung selepas pertunjukan mencari kenyataan yang dijanjikannya.
Pun demikian, jangan salahkan aktor ketika merasa hanya menyaksikan pertunjukan kepura-puraan. Bisa jadi, aktor itu gagal, atau mungkin kita yang tidak peka.

Bukankah kehidupan sebenarnya lekat dengan kepura-puraan? Tak perlu melulu penguasa atau calon penipu di kertas suara. Cukup diri kita sendiri yang setiap harinya tak pernah luput dari kebohongan. Seolah kebohongan menjadi pertahanan terakhir, mungkin sebuah pembelaan terhadap nasib dan kesalahan. Setiap kali berpura-pura, bukankah itu nyata? Atau kita tengah berpura-pura untuk berpura-pura?

Lagipula, setiap individu adalah aktor bagi kehidupannya sendiri. Sementara waktu yang banyak diisi kepura-puraan ikut ambil bagian. Maka, berpura-pura kah kita hidup?

“In Act We Trust"
Fadhli Amir
Aktor Kala Teater

Tulisan ini dimuat di kolom literasi Koran Tempo Makassar edisi Sabtu, 26 Oktober 2013

Selasa, 12 November 2013

Waktu dan Manusia

Saya selalu memikirkan bagaimana waktu itu bekerja. Saya teringat dengan pernyataan Fahd Djibran dalam bukunya “A Cat in My Eyes”. Ia dengan sangat percaya diri menyatakan “waktu itu mengkhianati jarak”. Buku itu adalah kumpulan cerpen, esai, dan puisi. Dalam salah satu bagian bukunya ia menceritakan perjalanannya dengan mobil menempuh jarak yang cukup jauh. Ia hendak menuju tempat yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Di perjalanan ia menemukan jalan – jalan yang asing. Pada saat itu ia merasa jarak yang ditempuh itu sangatlah jauh. Pada saat yang bersamaan ia merasa membutuhkan waktu yang lama untuk menempuh jarak itu. Ia memutuskan bahwa tempat yang ditujunya memang cukup jauh dan membutuhkan waktu yang juga cukup lama untuk sampai ke sana. Pada kesempatan yang lain ia kembali mengunjugi tempat itu untuk kedua kalinya. Karena sudah pernah mengunjugi tempat itu sebelumnya, ia punya memori perihal jalan yang harus ditempuh, kondisi jalanannya, dan pemandangan di sepanjang jalan menuju tempat itu. Hal yang berbeda pun ia rasakan. Ia merasa jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh. Berbeda dengan jarak yang ia rasakan ketika pertama kali mengunjugi tempat itu. Padahal, waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak tadi relatif sama. Namun, ia merasa jarak yang ditempuh dan waktu yang dibutuhkan untuk bisa sampai ke tempat itu lebih dekat dan sedikit bila dibandingkan dengan ketika pertama kali ia mengunjungi tempat itu.

Mungkin peristiwa yang dialami Fahd Djibran adalah hal yang lumrah dan sering kita alami. Dalam hal ini, waktu seperti memiliki kekuatan magis untuk mengubah segalanya. Peristiwa Isra’ Mi’raj dalam ajaran agama Islam menunjukkan salah satu aktivitas magis waktu. Dalam peristiwa itu, Nabi Muhammad mencapai tempat tertinggi dalam waktu semalam saja. Hal ini tentunya di luar logika. Namun Tuhan selalu menyuruh kita untuk belajar. Waktu bukanlah hal yang magis.

Secara ilmiah, waktu dapat dipelajari. Dalam ilmu fisika, waktu adalah besaran pokok yang melambangkan periode atau interval yang bisa diukur secara pasti dalam satuan detik. Albert Einstein dalam teori relativitasnya merumuskan itu. Menurut Einstein, semakin besar kecepatan gerak suatu benda atau partikel, waktu akan berjalan semakin lambat. Maka waktu yang sedikit bisa disiasati dengan pergerakan yang cepat. Tak heran, di negara – negara maju, penduduknya terbiasa dengan gerak cepat untuk mengefisienkan waktu agar bisa menyelesaikan serangkaian aktivitas. Arus ini berimbas pada kurangnya waktu untuk saling menyapa dan peduli sesama. Mungkinkah waktu sekejam itu?

Waktu juga berperan dalam menentukan kebutuhan dan kesenangan. Di masa kanak – kanak, kesenangan saya pada waktu itu begitu mudah didapatkan. Saya bisa merasa senang ketika bermain petak umpet, main kelereng, atau main perang – perangan dengan teman sebaya. Di masa remaja, kesenangan saya berubah. Kelereng, petak umpet, perang – perangan, perlahan menjadi hal yang sangat membosankan, bahkan memalukan. Saya akan merasa senang bila mendengarkan musik dari band – band luar negeri. Saya bisa merasa senang bila naik motor bersama teman – teman mengukur jalan. Beranjak dewasa, waktu kembali mengubah kesenangan saya. Naik motor, berkonvoi bersama teman – teman menjadi hal yang menjijikkan. Justru, berdiam diri di rumah, membaca buku, menonton film, menulis adalah aktivitas yang menyenangkan. Di masa itu pula, saya menjumpai seorang wanita selain ibu yang membuat saya jatuh cinta. Apakah waktu juga yang menumbuhkan sebuah perasaan cinta?

Waktu tidaklah kejam. Manusia yang membuatnya terasa menakutkan. Seperti di film “In Time”. Film fiksi ilmiah karya sutradara Andrew Niccol yang dirilis pada tahun 2011 itu bercerita tentang kehidupan manusia yang akan berhenti menua pada usia 25 tahun. Kemudian, di lengan mereka terpasang jam yang menunjukkan sisa waktu mereka. Di film itu, waktu menjadi mata uang dan alat untuk membeli keperluan hidup. Orang kaya memiliki banyak waktu, dan orang miskin sebaliknya. Film itu menceritakan bagaimana waktu adalah sesuatu yang menentukan hidup dan mati seseorang. Waktu yang dimiliki akan digunakan seefektif dan seefisien mungkin. Saya membayangkan bagaimana jika kehidupan kita sama persis dengan kejadian di film itu. Masih adakah di antara kita yang akan menambah jam tidur, meminta cuti kerja di saat yang tidak semestinya, berpesta pora, melalaikan tugas dan aktivitas lain demi bermain game, patah hati, merindu sambil menangis, atau duduk termenung melihat putaran jarum jam? Saya juga membayangkan, masih adakah orang yang rela menunggu dan membuat orang lain menunggu? Sementara menunggu adalah bunuh diri, dan membuat orang menunggu adalah pembunuhan secara perlahan.

Manusia itu hidup. Waktu tidak. Tapi waktu menghidupi manusia.

Tulisan ini dimuat di kolom literasi Koran Tempo Makassar edisi Jumat, 27 September 2013

Chat Room Bloofers