Rabu, 22 Agustus 2012

GRAVITASI


Gravitasi menuntutmu untuk selalu merapat dengan bumi. Mungkin kamu bisa membahasakannya dengan “membumi”. Ketika kau terjatuh dari jurang yang sangat curam maka kau akan terjatuh di bumi, di pelataran bumi, bukan di langit, bukan sempoyongan di awan, atau melayang di antara bumi dan langit. Gravitasi mengakrabkan kita dengan bumi.

Suatu hari aku lari-lari kecil di pagi yang segar. Olahraga sudah sangat jarang kulakukan, mungkin dengan menyediakan waktu di akhir pekan ini, berolahraga bisa menjadi pilihan yang tepat. Playlist di MP3 player sudah diatur dengan baik.

Aku mulai berlari, melangkahkan kaki dengan kecepatan yang lebih dari sekedar berjalan. Begitu aku membahasakan lari. Kita akan terus melangkah, harus melangkah, bahkan diam pun sebenarnya merupakan aktivitas melangkah, melangkah dari detik satu ke detik berikutnya, sementara itu akan ada aktivitas rutin yang mengiringi langkah manusia. Aktivitas rutin yang manusiawi tidak melangkah, mungkin statis, tapi ia akan selalu baru, karena apa? Karena waktu itu selalu dinamis.

Jogging track di Taman Macan, kota Makassar. Kota besar harusnya banyak memiliki area seperti ini, karena sejujurnya kebisingan itu akan netral dengan area-area yang segar. Aku terus berlari dengan kecepatan kosntan, bukan hanya aku, ada banyak yang melakukan hal sama denganku. Ada juga ibu-ibu dan bapak-bapak lansia senam di pinggir area Taman Macan ini, instrukturnya terlihat begitu semangat memperagakan beberapa gerakan-gerakan senam yang diiringi music house.
Aku masih berlari, kali ini kecepatan lariku bertambah, aku melakukan percepatan. Sampai saat aku mulai lelah, aku hanya mampu berjalan mengitari jogging track sekali kemudian berhenti meneguk air putih yang sudah kubawa dari rumah. Nikmatnya. Aku baru saja tersadar, kaum kota yang diperbudak oleh kesibukan setiap harinya akan merasa senang menghirup udara segar yang bertebaran dari pohon-pohon yang rindang, jauh dari kebisingan hiruk pikuk, setidaknya untuk sekali seminggu. Sementara itu, kaum desa tidak demikian, mereka akan sangat menginginkan laju kendaraan yang padat, cafe-cafe, gedung-gedung yang tinggi, baliho-baliho yang berdiri di pinggir-pinggir jalan.

Ternyata manusia akan merasakan hal yang rutin itu sangatlah biasa, dan di waktu sengganggnya ia merindukan hal-hal yang istimewa, hal yang tidak pernah dijumpai di rutinitasnya. Kita adalah makhluk yang tidak pernah bersyukur, selalu menampung begitu banyak keinginan di kepala. Ketika musim kemarau datang, gersang, kering, tandus, panas, maka kita akan merindukan air hujan. Hujanlah…………hujanlah…….hujanlah sederas-derasnya. Kemudian Tuhan menjawab doa kita. Musim hujan pun datang, dingin, angin, basah. Kemudian kita kembali merinduka terik matahari. Tuhan bisa saja menjawab semua keinginan kita, tapi apakah semua manusia memiliki keinginan yang sama di waktu yang sama? Jika Tuhan memenuhi keinginan seseorang di suatu waktu, kemudian orang lain menginginkan berbeda, makan bumi akan kebingungan aksi apa yang harus ia tunjukkan, kita akan saling membunuh, kita akan saling memaki, kita akan saling tak percaya, penuh iri dengki, dendam, benci.

“Matar…..aku ingin terbang. Belikan aku sayap. Aku kan capek jalan.”
“Di dunia ini tak satu pun yang menjual sayap, nak. Kalau kamu mau terbang belajar yang giat, maka suatu saat kau akan tahu bagaimana caranya untuk terbang.”
Kemudian aku di 25 tahun yang lalu itu menjadi sangat bersemangat. Aku jadi rajin belajar, mengarjakan PR, mengulang kembali pelajaran di rumah, mengurangi waktu untuk main, dan nonton TV, demi satu keinginan, terbang, jauh dari bumi.
Sekarang aku sudah dewasa, aku sudah membaca begitu banyak buku. Ternyata aku tak bisa membuat sayap. Manusia hanya bisa terbang dengan pesawat atau alat bantu, tapi tak bisa sebebas burung-burung terbang, betul betul berada di ruang antara baumi dan langit, melayang, di tengah-tengah.

Aku tertawa kecil mengingat momen-momen itu. Saat ini, ketika aku beristirahat, duduk meneguk air, kemudian menengadah ke langit, aku mempertanyakan satu hal. Apakah manusia yang ingin terbang itu merasa jenuh dengan bumi? Tidakkah hukum gravitasi bekerja? Mengapa gravitasi tidak menarik manusia-manusia yang tengah terbang itu? Apakah bumi jenuh menampungnya, atau mereka itu terlalu berat, maka bumi mematikan energi gravitasinya?

Atau seperti ini? Mengapa bumi harus memiliki gaya gravitasi?

Suatu hari aku berjalan di tengah hutan mencari jalan menuju perkampungan terdekat, aku tersesat. Di tengah pencarianku segerombolan harimau datang dan mengejarku, aku berlari sekuat tenaga, berlari sekencang-kencangnya, sejauh-jauhnya, dan aku tak peduli rintangan apapun, termasuk jurang yang curam di depanku, aku terjatuh dan aku mati merapat ke bumi. Ketika awan yang memiliki gaya gravitasi, mungkin aku akan terjatuh di awan, bukankah itu lebih empuk?

Atau begini saja, bukan hanya bumi yang memiliki gaya gravitasi, tapi awan dan langit juga. Jadi di bumi ada 3 tombol. Tombol pertama untuk tombol mengaktifkan gaya gravitasi bumi, kedua untuk mengaktifkan gaya gravitasi awan, ketiga tombol untuk mengaktifkan gaya gravitasi langit. Ketiga jenis tombol itu ada di mana-mana, tersebar di seluruh penjuru bumi. Untuk mengantisipasi tabrakan keinginan manusia, maka manusia dibekali dengan alat yang ketika ia menekan salah satu tombol gravitasi hanya ia yang akan merasakan efeknya, jadi ketika ia menekan tombol, orang lain yang tak ingin beralih dari bumi tidak akan ikut berpijak di awan atau di langit.
Hahahaha…..ada-ada saja. Tapi dengan keberadaan tombol gravitasi itu, keinginan manusai untuk terbang juga masih ada, karena ruang di tengah masih kosong, dan ruang yang kosong itu tidak memiliki sesuatu yang padat untuk dipijak. Tapi apakah awan kuat menahan beban manusia? Apakah tekstur langit itu sekuat bumi? Apakah di awan ada aspal, ada rumput, ada tanah becek? Apakah di langit ada jogging track?

Gravitasi membuatku merapat dengan bumi, membumi, membuat kakiku sangat akrab dengannya, membuat rumput, padang ilalang, buah-buahan, sayur mayur, bunga-bunga akhirnya tumbuh di bumi, bukan di awan, bukan di langit. Kau tahu, Diandra, gravitasi pula yang mempertemukan kita, ia juga membuat kita terpisah. Tapi karena gravitasi pula kita masih sama-sama berada di bumi ini, maka sebelum kau mati, aku tak perlu khawatir kau berada di luar angkasa, berada di negeri antah berantah, atau berada di ruang hampa udara. Karena gravitasi, kakiku lekat ke bumi, dan energinya mengalir menuju kakimu yang lekat juga. Karena gravitasi kita mudah bertemu, juga mudah berpisah, namun tenanglah, kita berada di bumi yang sama.
Oh, iya, karena gravitasi maka bentuk bumi yang bulat mampu mempertahankan segala hal yang berdiri di atasnya, laut tidak tumpah, gunung tidak berguguran, manusia tak berjatuhan ke lubang hitam.

Ah, aku ingin pulang, aku berharap ketika pulang, gaya gravitasi masih berlaku, dan aku masih menemukan rumahku berdiri kokoh. Aku melangkah menuju rumah tanpa harus terbang, ada gravitasi yang membumikanku.

Untuk gravitasi
Apakah kau takut manusia meninggalkan bumi?
Apakah kau ingin manusia tetap di sini, agar bumi tetap ramai, tanpa harus hijrah ke planet Mars, toh bumi menyediakan semuanya, semua yang dibutuhkan dan diinginkan, hanya saja manusia melairkan keinginannya dan mengabaikan kebutuhannya.
Hari ini, aku menggunakanmu untuk berlari, untuk duduk, untuk merasakan tekstur tanah, untuk melihat bunga-bunga tumbuh tidak dalam posisi terbalik.
Terima kasih, gravitasi untuk semua kerja kerasmu yang tak pernah mati. Terima kasih Tuhan, kau menghadirkan gravitasi.
Surat itu pun kuakhiri, kusimpan dalam amplop merah, kemudian menguburkannya, ia juga perlu membumi. Kemudian aku kembali memasak. Hari ini mau makan apa, ya? Semoga tak ada satupun manusia yang berhasrat menyantap gravitasi.

4 komentar:

Ujang Arnas mengatakan...

hha pantas saja saya curiga dengan mentionnya, hha ternyata lagi bahas gravitasi di sini. imajinasi tentang 3 tombol itu boleh juga, semoga cepat terealisasikan.hha

Saya betah di sini! lanjut kanda!hha

BLACKBOX mengatakan...

hahahaha...tombol imajinasinya kalo terwujud keren juga ya...hehe
wah makasih kalo betah, anggap saja rumah sendiri

Nik Salsabiila mengatakan...

Wow..baru kali ini fadhli mengkhayalnya tingkat dewa...wakakaka
biasanya kamu selalu sibuk dengan rentetan kata yang meloncat-loncat ajaib di ruang hitammu. Tapi kali ini kamu bahkan melompat keluar dari ruang imagi yang biasa kubatasi sekat nyata...#eaaa....
Matar selalu bijak yah...bahkan dulu, aku juga sempat berfikir sepertimu fadh..ingin membuat sayap...untukku, dan untuk matar..(mungkin)..:D

BLACKBOX mengatakan...

iya...ternyata gravitasi membuatku lekat dengan Matar, Bumi kupeluk di mana ada Matar dan Diandra di sana.

Chat Room Bloofers