Hanya karena kita terlalu akrab dengan jalan, bukan berarti kita bisa memilikinya. Sebagai pengguna jalan, mungkin kita perlu belajar menggunakan jalan sewajarnya. Ada beberapa golongan pengguna jalan yang semakin hari semakin mengukuhkan diri sebagai pemilik tunggal. Mereka adalah golongan yang begitu mencintai jalan hingga merasa memilikinya. Sebut saja demonstran, calon pemimpin yang tengah berkampanye, rombongan pejabat yang kebetulan lewat di jalan, orang yang menggelar hajatan di jalan, tukang parkir, dan “Pak Ogah”. Mereka adalah orang yang rasa memilikinya sangat tinggi. Mereka mencintai jalan, hingga semua kepentingannya harus digelar di jalan.
Demonstran dan orang-orang yang mengaku peduli itu mengemis, meneriakkan, dan mengentakkan kepedulian mereka di jalan. Berharap perhatian penguasa mampir di sana. Perjuangan bagi mereka diaktualisasikan dengan turun ke jalan. Mereka membakar ban di tengah jalan, berorasi, hingga menutup akses pengguna lain. Mereka adalah pemilik jalan saat itu. Mereka merasa ada jika berhasil menimbulkan kemacetan di jalan-jalan.
Ada juga calon penguasa yang berkampanye di jalan atau lapangan yang berhadapan langsung dengan jalan. Mereka gembira tatkala pengguna jalan berhenti serempak membentuk blokade dadakan. Baginya, jalan adalah tempat yang paling layak untuk merebut perhatian publik. Pengguna jalan dipaksa berhenti mendengar janji. Atau rombongan pejabat yang melintas di jalan seringkali tidak mempedulikan rambu-rambu lalu lintas. Mereka memaksa pengguna jalan lain minggirseolah-olah pengguna jalan lain hanya kelompok peminjam. Merekalah pemilik jalan.
Tidak melulu pejabat, politikus, atau demonstran yang merasa memiliki jalan. Orang-orang kecil seperti tukang parkir dan “Pak Ogah” pun merasa memiliki jalan dengan begitu egoisnya. Di sebuah mal yang berhadapan dengan jalan, tak jarang lalu lintas menjadi macet karena kehadiran tukang parkir. Mereka seenaknya membuka lahan sampai ke badan jalan. Jalan kehilangan fungsinya. Ada lagi “Pak Ogah” yang berkedok membantu kerja polisi mengatur lalu lintas. Persoalannya, pekerjaan mereka tidak berdasarkan situasi jalan, melainkan ada motivasi mendapatkan imbalan. Mereka dengan entengnya menyetop pengendara yang melaju lurus, karena kliennya ingin berbelok, misalnya. Hasilnya, keberadaan mereka justru mengacaukan arus lalu lintas.
Maka jelaslah penyebab utama kemacetan di kota. Bukan melulu karena jalan yang sempit dan jumlah kendaraan yang terus bertambah, tetapi begitu banyaknya orang yang ingin menarik perhatian dan menunjukkan eksistensinya di jalan. Mereka begitu percaya diri memperlakukan, menggunakan, dan menafsirkan jalan sebagai milik sendiri. Sangat ironis, ketika jalan yang sedari dulu kita yakini sebagai fasilitas umum bebas digunakan untuk kepentingan segelintir orang saja. Akibatnya, terjadi ketimpangan pemenuhan hak. Lebih parahnya lagi, fenomena ini akan terus memacu lahirnya cibiran, keluh kesah, pertentangan, pertengkaran, kesalahpahaman, hingga berbuah ketidaknyamanan
Teori eksitensi Jean-Paul Sartre berbunyi: “Eksistensi mendahului esensi.” Karena itu, satu -satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia. Menurut Sartre, manusia dikutuk untuk bebas. Kutukan adalah sebuah takdir. Orang yang dikutuk seperti dipaksa atau harus melakukan dan melakoni sesuatu. Mungkin demonstran, calon pemimpin yang berkampanye, rombongan pejabat yang lewat di jalan, tukang parkir, dan “Pak Ogah” adalah penganut teori itu. Meluhurkan kebebasan berbuat apa saja di jalan. Mungkin mereka merasa ada ketika berada di jalan demi keagungan eksistensialisme.
Mereka yang begitu mencintai jalan hingga menimbulkan gangguan bagi pengguna jalan lainnya mungkin harus kembali membaca, meresapi, merenungi, dan menghayati sebuah pepatah cinta klasik: “Cinta tak harus memiliki”.
Tulisan ini dimuat di Literasi Koran Tempo Makassar edisi Jumat, 20 September 2013
3 komentar:
kalau di Jakarta, tambah metromini, tuh..
eksis bangeut mereka di jalan..
emang bisa manusia itu bebas, sebebas-bebasnya ?,
emang manusia itu bebas-sebebas-bebasnya ?
Posting Komentar