Sabtu, 17 Juli 2010

TERATAI BIRU

Teratai, aku memanggilmu dengan nama itu di setiap pertemuan batinku denganmu. Aku suka dengan nama itu, sama seperti aku menyukai bunga teratai. Aku tak peduli dengan mawar merah yang menjadi simbolis cinta, karena aku merasa teratai memiliki keindahan sendiri, entah orang lain tapi aku merasa keindahan itu berbeda, sama seperti dirimu. Setiap perjalanan yang membuat rindu begitu gemar bertamu dalam ruang pribadiku, selalu ada sosok yang tak kukenali, namun ku pahami. Begitulah aku mencintaimu, dengan memahamimu, meskipun kau tak pernah memahamiku atau bahkan membuatmu percaya dan merasa aku memahamimu. Perbincangan yang biasa kerap terjalin di antara kita, dan k au tak tahu, di setiap perbincangan itu aku merekam semua lekuk senyuman, suara halus, dan semua output inderawi dalam dirimu. Kemudian aku memutarnya ketika aku sedang sendiri dan si rindu kembali bertamu di ruang pribadiku. Saat itulah senyumku menjadi tak biasa dan hela nafas begitu sangat berarti. Semuanya aku lakukan setiap waktu, sebisaku, dan sesempatku. Banyak kata-kata indah yang aku tulis tentangmu, tentu tak seindah aku mencintaimu, namun tulisan-tulisan itu seolah membuatku merasa telah melamarmu dank au mengatakan “ya” dengan penuh yakin seolah itu menjadi takdirmu. Maafkan aku yang selalu menikmati hatimu dalam alam khayal yang aku ciptakan sendiri. Karena hanya dengan itu aku bisa menyatakan cinta yang menghadirkan jawaban yang aku harapkan. Sungguh, tak ada niat memanfaatkanmu dalam imajinasi atau fantasi semu, karena bagiku hal yang surreal itulah realita sejati. Entah sampai kapan aku melakukan ini. Mungkin di saat rambutku memutih dan penglihatanku menjadi samar, atau hal yang jelas menjadi bias bagiku. Atau justru hanya sampai aku menuliskan ini untukmu. Aku tak bisa menjanjikan apa-apa, aku tak bisa mencintaimu selamanya, karena aku hanya bisa mencintaimu sampai Tuhan tak mengizinkanku lagi.
Biru, kuberi warna pada teratai itu. Bukan karena aku begitu menyukai warna biru, atau karena biru begitu menyejukkan bagiku, tapi justru karena kau mengahdirkan luka bagiku, seperti luka memar yang kemudian membekas dan berubah menjadi biru. Itu kutemukan ketika jawaban tidak kau lontarkan dengan sangat yakin kepadaku. Terasa begitu sakit, karena aku baru sadar bahwa imajinasiku diakaahkan oleh kenyataan, pada saat itu. Setelah itu, aku kemudian malas memutar semua rekaman tentangmu, menutup pintu rapat-rapat untuk sang rindu yang tetap rajin bertamu di ruang pribadiku. Memikirkanmu menjadi sesak hebat di setiap hela nafasku. Kemudian pertanyaan besar menghampiriku, masihkah aku mencintaimu? Apakah cintaku sebatas kenyataan? Tidakkah lagi khayalan itu membuatku hidup? Atau justru luka itu akan membuatku menghapuskan semua namamu di dunia ini? Agar tak ada lagi yang memanggil dan menanyakanmu. Pertemuan batin denganmu kuhindari, dan yang kubuat saat itu hanyalah membekukan semua air mata yang aku keluarkan, dan sampai saat ini tak ada lagi yang bisa mencairkannya.
Entah nama apalagi yang aku berikan untukmu. Mungkin akan lebih baik jika kau hidup dalam pikiranku tanpa nama, agar ketika aku menemuimu aku tak mengenalmu, dengan begitu tak ada lagi air mata yang membeku karena sakit yang kau berikan beitu gigil. Namun, tidak mungkin aku tidak mengenal orang yang sudah aku kenal jauh sebelum aku belajar mengenal. Kemudian ada seruan bahwa luka itulah yang membuatku mencintaimu. Aku sedikit ragu, dan aku tak tahu.
Teratai Biru, kali ini kulengkapkan namamu. Hanya kau yang kunamakan itu, dan semoga hanya aku pula yang menamakan itu. Kuletakkan keyakinan dalam ruang pribadiku. Nama itu kusebut berkali-kali sampai telingaku bosan mendengarnya, dan lidahku letih menuturkannya. Teratai Biru, telah kuterjemahkan kau dalam beragam suara dan bahasa, namun masih dalam wujud dan hati yang sama. Maaf aku tak bisa melupakanmu begitu saja. Begitu sulit bagiku menghilangkan ingatan yang sudah melekat dalam memoriku.
Teratai Biru, kau begitu lengkap. Aku tak tahu apakah saat ini aku masih mencintaimu. Karena nalarku tak mampu menngartikan perasaan itu, bukankah perasaan untuk dirasakan? Aku tak tahu, apakah aku masih saja mencintaimu, namun setiap kali bertemu denganmu, baik dalam khayal maupun di dunia nyata, hati ini masih bergetar hebat mengalahkan ritme detak jantung, bahkan dalam keadaan sangat cepat. Kau ku ukir di atas prasasti yang tak akan kuhancurkan walau ada prasasti baru yang harus aku ukir, mungkin dengan nama yang baru.

Makassar, 15 Juli 2010

Tidak ada komentar:

Chat Room Bloofers