Selasa, 15 Maret 2011

TELAPAK KAKI DI UDARA

Ada dunia, ada cakram, ada tali, ada pengait, semua berlanjut, semua beriringan, bukan pada satu jalan, namun dalam arah yang berlawanan. Pagi yang indah, kalau itu masih pantas dikatakan pagi, apalagi memenuhi kelayakan keindahan. Di sana, di waktu yang tak bernama, hanya sebuah sejarah, bukan apa-apa, namun sebuah pertanyaan mengapa? Mengapa hanya matamu yang bergejolak, mengapa hanya bibirmu yang bergetar?, sendirian langit, di udara, pembaringan yang sangat sulit, ada telapak kaki yang berbicara, aku pernah melayang.

Masih tidak bisa dijelaskan, belum fasih otak ini menelusuri lorong-lorong kesimpangsiurannya, aku mengalah, kau justru kalah. Bagaimana bisa? Pertanyaan memisahkan kita, kita di dua arah, tidak berkawan, tidak juga berlawan, arah yang tak pernah bertemu. Aku di sini, di jalan yang tak kutemukan akhirnya, kau entah di mana. Apakah kita akan bertemu di perempatan, atau melayani tikungan yang sama? Ataukah kita akan bertemu di jalan ini, jalanku, atau mungkin saja jalanmu, aku tidak tahu. Silvia, wajah penuh dengan waktu, hari ini waktunya mulus, besok bisa saja penuh dengan luka, nanti akan keriput juga. Tapi wajahmu tak terlihat, tak terdengar, tak terespon indera, jika intuisi itu indera, akulah orang pertama yang menangkapmu dengan indera. Cakupan perasaan tak terbatas, pikiran bisa habis, tinta bisa habis, ide bisa habis. Aku terbatas, bahkan pada saat mati aku masih bisa merasakan telapak kakimu di udara, pembaringan tersulit dalam hidupku.

Mereka berkata, kita ini hanya berpura-pura, berpura-pura malu, berpura-pura tunduk, berpura-pura patuh, hanya dengan satu tujuan, mendapatkan perhatian Tuhan. Aku katakan dengan lantang pada mereka yang akhirnya diam, kita ini sebenarnya, sebenar-benarnya lupa, kalau patuh, kalau tunduk, kalau malu, kalau semua kebaikan itu alamiah jika kita memang baik. Pada posisi itu, aku tak mampu menemukan letakku.
Kemarin, aku melihatnya, melihat dengan senyum kokoh, mahal, sangat mahal, tak ada materi yang kumiliki untuk membelinya. Dia bahkan tidak mengkomersilkan senyumannya, mungkin privasi untuk yang lain.

Riandra, kini telapak kaki itu kupadatkan, butuh rumus kegilaan, aku gila, aku bangga, aku miring, aku belum punah. Waktu masih berjalan, berarti masih ada masa, meski tertunda, aku tak mau menunggu, aku mengikuti perjalanan udara saja, semoga kita bertemu di jalan yang sama, meski tujuan kita berbeda.

Peluhku berjibaku dengan kulit, tanah yang segar menanti saat-saat terjatuhnya, perjalanku masih padat, belum menguap, aku ingin sekali, meski macet, meski lampu merah terlalu lama, meski banyak kendaraan yang lalu lalang, aku hanya menunggu kendaraanmu, aku membawa telapak kakimu yang sudah aku padatkan, aku sisipkan di antara kedua paru-paruku, agar saat aku bernafas, aku tahu apa keinginanku.

Hiruk-pikuk kota mengabarkan polusi, bibir udara menjadi samar, gawat, kau akan terjatuh, kau akan ditabrak, kau akan mati.

TIDAK......................................!!!

Punah, tak bersisa, di mana arah mata angin? Aku ingin mencari muara, di sana aku akan meletakkannya, titipan Tuhan, titipan kejadian, sepasang telapak kaki di udara, dulunya mengambang, dulunya melayang, kini memadat, mendarat, mengesturkan tubuhnya, kita dan telapak kaki kita, Riandra dan aura keajaibannya, Silvia dan kemisteriusannya, aku dan ketidaktahuanku, mereka dan keegoisannya, dia dan senyuman privasinya, cerita ini dan ketertundaannya.

Jika berpikir membuatmu mandek, akhiri pikiran itu, rasakan deretan kata ini dengan fasih, tenang, nikmat, maka kau akan menemukan jawaban, telapak kaki adalah kita sendiri, kitalah sang telapak kaki, yang dulunya di udara, tinggi, di mana-mana, merasa hebat, merasa lebih, merasa puas, merasa bersalah, dan ketika memadat, ketika mendarat di bumi, semua terasa berat melangkah. Kita akan menjumpai, kita ingin menjumpai, kita inginkan takdir itu obsesi. Kita akan tahu setelah cerita ini berlanjut, ini hanya sinopsis, selamat menantikan TELAPAK KAKI DI UDARA 2

Meski macet, aku akan terus memacu gas, inilah awal perjalananku, Gandi Firmansyah, itulah namaku, teruskan pada udara, di sanalah rumahku.

6 komentar:

Qefy mengatakan...

Riandra dan Sivia sosok yang penuh dengan ketakjuban. Gila ya gilaaa, bangga menganga. Ini cerita membuats aya rindu menulis aura Kisah kekasihku 4. haha. Tapi entah kapan. Eh, saya salut sama Mas Fadhli yang begitu jeli mendalami setiap karakter. Semangat terus ya kawan :)

Budiman As'ady mengatakan...

kesemerautan yang mengindra, indra kebebasan, indah...

BLACKBOX mengatakan...

@Qefy; semoga bs mnjadi stimulus untuk meneruskan Kisa kekasihku 4, saya tunggu loh kang, dah penasaran bgt sama lanjutannya
@Budiman: Puisimu menggugah seleraku

zan P O P mengatakan...

di tunggu "telapak kaki di udara 2" nya...

ane suka gaya penulisan ente yg khas sob...tetep semangat...!!!

Anonim mengatakan...

berkunjung untuk follow sobat...

BLACKBOX mengatakan...

@Zan: makasih, saya jg suka postingan2x Anda
2Fadly; sama namanya, hehehe, thx ya

Chat Room Bloofers