Ia seorang penyair.
Hidup dan matinya adalah kata-kata:
Kata-kata yang nyata. Saat lahir ia menagis, meneriakkan kata.
Masa kecilnya diliputi kesenangan bermain layang-layang.
Saat sebuah layangan putus, ia meneriakkan “Ayo!”
yang juga sebuah kata. Masa remajanya diserang kata-kata.
Ketika pertama kali jatuh cinta kepada gadis di samping bangkunya.
Lalu ia menulis surat cinta. Surat berisi kata-kata.
Dan ia semakin dewasa dengan kata-kata. Ia paham menggunakan kata yang tepat
untuk pernyataan yang akurat . Lalu uban tumbuh di kepalanya.
Hitam rambutnya dibersihkan masa tua,
dan ia semakin bijak menggunakan kata.
Bibirnya bergetar seperlunya. Ia juga paham mengatakan cinta.
Entah cinta sebagai kata benda, kata sifat, atau justru kata kerja.
Jelasnya, cinta hanya kata di bibir tuanya.
Ia seorang pemalu.
Hidup dan matinya adalah malu-malu:
Malu-malu mengungkap kata.
Kala ia lahir, ia berteriak, namun ia bayi yang pemalu,
hanya mampu menangis dan masih malu tertawa.
Masa kecilnya diliputi tawa. Ia menyeberangi jembatan tua menuju sekolah.
Setiap hari, ia balapan lari bersama temannya, lalu sampai ke sekolah
dengan seragam basah. Peluh bersandar di setiap serat kain bajunya.
Tetapi ia seorang pemalu. Ia malu kepada matahari yang mengeringkan kerongkongannya,
juga malu pada matahari yang membuatnya terus berkeringat.
Ia malu mengungkap keluh saat diserang milyaran peluh.
Maka ia menaruh rasa malunya di ujung tiang bendera. Memberi hormat saat upacara.
Ia terus menjadi seorang pemalu.
Ibunya miskin, ayahnya tiada. Adiknya kelaparan. Ia malu, terus malu-malu pada negaranya.
Ia seorang penyair pemalu.
Hidup dan matinya adalah kata-kata yang malu-malu:
Sejak lahir hingga menjelang matinya ia terus menulis puisi.
Membacakannya di hadapan Tuhan.
Ternyata Tuhan menyukai puisi-puisinya.
Di antara semua puisinya, Tuhan begitu mencintai salah satunya.
Bacalah itu di pusaranya, ada sebuah nama “Abdul” di sana.
Ia seorang hamba Tuhan, pemalu pula. Setiap hari hanya mampu beribadah,
dan mengirimkan permintaan juga keluh kesah, hingga seluruh yang ia punya,
melalui doa-doa yang juga adalah kata-kata.
Ia seorang penyair, tetapi malu-malu.
Ia malu menunjukkan kemaluannya di tempat umum
Kecuali di toilet umum.
Ia malu menampakkan wajahnya di hadapan Tuhan
Sebab wajahnya terlampau buruk, dan Tuhan tak menyukai hal-hal buruk.
Ia malu keluar rumah. Sebab rumahnya pelindung sempurna,
dan dunia luar senang mencerca.
Ia malu mengatakan “Aku mencintaimu” kepada gadis pujaannya.
Maka ia menulis sajak cinta untuk kekasihnya.
Sayangnya, gadis itu tak bisa membaca.
Makassar, 2013
Fadhli Amir
1 komentar:
sip...
:)
maaf, ndak pernah bw lagi.
hilang..
Posting Komentar