Rabu, 12 September 2012

Dari Mata Jatuh Ke Tanah


Bagaimana ketika kau harus pergi, dan tak ada lagi raut wajah yang bisa kusentuh?
Sementara saat ini aku tak punya cukup waktu untuk memuaskan diri menyentuh raut wajahmu.

Pertanyaan ini besar. Selalu besar. Selalu membuatku merinding bila aku mendengungkannya dalam pikiran, dalam waktu yang memungkinkanku memikirkan apa saja.

Bagaimana jika Tuhan menakdirkan kau pergi lebih dulu, dan aku tak sempat mengucapkan salam perpisahan padamu?
Sementara saat ini aku tak punya cukup waktu untuk mempersiapkan diri menyambut kepergianmu?

Haruskah kesedihan kusembunyikan lewat isyarat, lewat tanda, lewat istilah, lewat syair, lewat diksi yang tak lazim? Padahal kesedihan yang nikmat adalah kesedihan yang gamblang.

Bagaimana ketika kau betul-betul pergi, dan tak ada lagi kaki yang bisa kucium dengan air mata?
Sementara saat ini aku tak memanfaatkan waktu untuk mengenal tekstur kulit kakimu, tebal atau tipis, halus atau kasar?

Kakimu adalah rumah bagi langkah-langkah yang penuh dengan darah, peluh, melupakan tujuan pribadi, mengubur kepuasan diri.

Bagaimana jika Tuhan tak mempertemukan kita sebelum kau benar-benar pergi, dan tak ada lagi raga yang bisa aku banggakan sebagai satu-satunya raga yang aku abadikan dalam berentah-entah cerita?
Sementara saat ini, aku masih belum sempat menyentuh tanah yang basah, di mana airnya berasal dari matamu sejak pertama kali aku melihat dunia.

Atau...

Bagaimana jika saat aku menuliskan ini, kau telah pergi, dan pertanyaan-pertanyaan ini tak berguna lagi?
Sementara saat ini, aku masih belum bisa menjawab itu sendiri.

Mungkin semua ini tak butuh jawaban, sama ketika pertanyaan ini muncul di pikiranmu:

"Mengapa kau menukar air matamu demi senyum yang tak pernah tahu bahwa ia ada karena air matamu sendiri?"

Suatu saat nanti, aku akan pulang dan menyaksikan matamu basah. Dan saat itulah aku akan semakin yakin perihal kau menyembunyikan air matamu sendiri. Kau hanya tak ingin aku malu jika tahu bahwa selama ini aku hidup karena tanah, di mana ia basah karena air yang berasal dari matamu.


5 komentar:

Anonim mengatakan...

Kata-katanya benar-benar menyentuh. Dan kutipan yang ini, "Mengapa kau menukar air matamu demi senyum yang tak pernah tahu bahwa ia ada karena air matamu sendiri?" tak bisa berkomentar mengucapkannya, Hebat ^._.^

BLACKBOX mengatakan...

wah, nama yang sama, cuma hurufnya beda, hehe, makasih ya....Anda juga perasa yang hebat

Budiman Asady mengatakan...

jangan... :)

Armae mengatakan...

Apakah, sedang merindukan rumah beserta isinya??? <~ ini bukan komen malah nanyak -_-"

chy' mengatakan...

angkat jempol. (lagi dan lagi)

Chat Room Bloofers