Sabtu, 12 Januari 2013

SEREMONIAL RINDU




Berbahagialah bulan. Ia meminjam sebagian cahaya matahari. Mereka yang sedang merindu memujanya sambil menorehkan kalimat yang sangat sering dilafalkan sang perindu "Kita masih bisa melihat bulan yang sama".

Matahari kian perkasa, kemudian melemah kala senja. Sang perindu gemar mencintai kelemahannya. Matahari hanya dinanti bila hujan sudah terlalu sering tiba. Dalihnya, kedinginan, butuh kehangatan, butuh semangat. Yang tak punya mesin cuci dan tak ada laundry terdekat merindukan matahari demi pakaian yang tak kunjung kering.

Hujan konon romantis. Banyak yang tiba-tiba menyukai kopi, duduk di balik jendela, menyaksikan air langit turun sempurna. Seolah tega melihat bumi basah, mungkin sengsara. Bagi perindu, kalimat ini menjadi sangat familiar: "Ada kenangan di setiap titik air hujan".

Hujan jadi besar kepala. Ia terus-menerus hadir, entah bagi pengagumnya, atau rumah yang digenanginya juga menjadi pengagumnya? Entahlah. Di musim penghujan ini, orang-orang sibuk mengungsi, juga menguras air di rumahnya. Maka, mereka juga menguras kenangan, entah kenangan siapa.

Hujan semakin dihujat. Sang perindu tak bisa lagi menyaksikan senja kesayangannya. Lebatnya hujan menutupi. Bulan pun seakan lenyap. Akhirnya, sang perindu memasang bulan di langit-langit kamarnya. Agar setiap berbaring ia dapat melihat bulan, meski bukan bulan yang sama.

Rinduku padamu tak tergantung apapun. Rinduku bukan karena bulan, hujan, atau matahari terbenam.

Pada suatu saat, aku memikirkanmu. Aku memikirkan hal-hal tentangmu. Aku memikirkan hal-hal tentangmu di masa lalu. Di saat yang sama kau juga memikirkanku. Itulah sederhananya rindu. Di antara pikiran kita ada Tuhan menyaksikan, mempersatukan. Masihkah kita memerlukan bulan?

Rinduku padamu bukan karena hujan. Aku menyukai hujan. Visual yang dihasilkannya sangat menarik. Tapi jika ia marah, banjir di mana-mana. Apakah rinduku padamu marah, dan menggenangi rindu-rindu yang lain? Atau bila ia hujan yang menggenangi rumah-rumah, haruskah aku mengurasnya untuk menemukan kenangan kita? Bagaimana jika ia mengalir, menghanyutkan semua yang tak berdaya? Haruskah aku memohon kepada matahari untuk menambah keperkasaannya mengeringkan laut?

Rinduku padamu tidak ada di dalam larutnya orang-orang menyaksikan matahari terbenam. Aku menyukai senja. Sangat menyukainya. Jika rinduku padamu adalah senja, di mana matahari akan terbenam, ketika usai, apakah rinduku juga akan usai? Kemudian berubah menjadi gelapnya malam? Rindu kita kelam.

Rindu kita sesederhana saling memikirkan. Ada Tuhan di tengahnya, mempersatukan. Kemudian ada waktu setelahnya, dan Tuhan di atasnya mempertemukan. Kita.

9 komentar:

Zeal*Liyanfury mengatakan...

mengukur kedalaman rindu, disinilah mataku dapat memandang lepas.. tanpa kotak berlabel apapun. tapi mungkin belum... rindu tak sesederhana barisan abjad yang diacak sedemikian rupa. rindu bagiku seumpama gerakan samudera dan disini aku telah menemukan permukaannya..
kemudian masih ada tanya: apakah rindu selalu dikaitkan dengan kenangan?

*wah! sebelum masuk kotak hitam ini saya baru tahu bahwa blackbox ternyata berwarna orange, hehe.. ^_^

Anonim mengatakan...

bagaimana kabar dirimu mas fadhli , The Black Box dari Makasar :)

BLACKBOX mengatakan...

baik mas... hehe

BLACKBOX mengatakan...

makasih atas kunjungannya

Ujang Arnas mengatakan...

Rinduku padamu tak tergantung apapun. Rinduku bukan karena bulan, hujan, atau matahari terbenam.

semua pujangga langsung tersadar setelah membaca ini.
keren!

cerita bintang mengatakan...

Seperti biasa, saya selalu menemukan karya yang menarik di blog ini! Terus menulis, ya.. :D

Asriani Amir mengatakan...

woooooww

Anonim mengatakan...

:)

Cevaliana mengatakan...

Tampaknya merana pada rindu membuat kita lebih mencermati di sekeliling kita. Dan karena didera rindu yang hebat mengantarkan saya pada tulisan Seremonial Rindu. Sesederhana itu.

Chat Room Bloofers