Pernah seorang teman menyatakan bahwa aktor teater adalah pembohong yang ulung. Mendengar dan meresapi ini ada sebuah elegi di kepala mengenai aksi berpura-pura. Pernyataan ini pula melahirkan korban kepura-puraan.
Ada tiga subyek yang disakiti oleh pernyataan itu, ialah aktor teater, teater itu sendiri, dan orang yang menyatakannya. Subyek pertama adalah aktor teater. Ada sebuah konsep bernama inflasi imajinasi. Imajinasi membuat subyek merasakan kenyataan obyek imajinasinya. Meski bentuknya citra mental, tetap saja ada kenyataan di dunia imajinasi. Stanislavsky pun membahas imajinasi sebagai sebuah metode pendalaman karakter di dalam bukunya yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul “Persiapan Seorang Aktor”. Di bukunya itu, Stanislavsky mengisahkan pengalamannya ketika ditugasi sebuah peran. Maka, ia membuat citra mental di kepalanya tentang karakter yang akan ia mainkan. Ia berhadapan dengan cermin, mendandani wajahnya, menggunakan barang-barang di dalam kamarnya sebagai properti, sesuai penafsirannya terhadap karakter yang akan ia mainkan. Maka ketika menjumpai aktor memainkan sebuah peran, dan Anda tahu aktor itu dalam kehidupan sehari-harinya tidak demikian, yakinlah bahwa yang tengah ia perankan di panggung bukan sebuah kepura-puraan, melainkan kenyataan lain. Meski begitu, ada juga aktor yang gagal, sehingga apa yang diperankannya terkesan berpura-pura. Aktor yang demikian tidak berhasil memasukkan peran ke dalam dirinya. Dia tidak menjadi atau minimal seperti peran itu, tapi cenderung berbohong. Ia membohongi dirinya sendiri, bermaksud keluar dari dirinya dan menjadi orang lain, tapi malah berpura-pura menjadi orang lain di hadapan penonton.
Subyek kedua adalah teater itu sendiri. Constantin Stanislavsky pernah menyatakan bahwa kebenaran di atas panggung berbeda dengan kebenaran dalam kehidupan nyata. Seorang yang menonton pertunjukan teater sejatinya menyaksikan realisme panggung, bukan realisme kehidupan dunia. Misalnya ketika sesesorang yang dalam kehidupan sehari-harinya sangat pendiam. Tiba-tiba ia harus berperan sebagai seorang yang cerewet. Ia mesti cerewet ketika memainkan perannya, meski sebenarnya ia seorang yang pendiam dalam kehidupan sehari-hari. Ia memiliki dua kenyataan. Kenyataan di kehidupannya sebagai orang pendiam dan kenyataannya di panggung sebagai orang cerewet. Keduanya adalah kenyataan, bukan kepura-puraan. Sehingga pandangan tentang teater yang mengumbar kepura-puraan rupanya menyakiti teater dan para penggiatnya. Sebab teater tidak bersifat mimetik. Teater tidak sekedar memindahkan, namun menciptakan realita. Bahkan ketika lakon yang dimainkan adalah jenis teater absurd, tetap saja yang disajikan adalah kenyataan. Tentunya dengan menyerap kehidupan sehari-hari kemudian menafsirkannya dalam bentuk pertunjukan. Sekali lagi, ini bukan aksi pemindahan realita, tapi penafsiran yang di dalamnya sudah ada riset, opini, dan rentetan pesan. Hal ini bahkan tergambar pada sejarah teater itu sendiri. Teater menurut sejarahnya berawal dari kebiasaan bangsa Yunani kuno melakukan upacara ritual penyembahan kepada dewa. Upacara ritual itu berifat dramatik, memiliki unsur cerita di dalamnya. Dengan begitu, teater sejatinya berawal dari sebuah gejolak dan penghayatan nyata manusia yang kemudian berkembang menjadi pertunjukan. Penonton sama sekali tidak sekedar menyaksikan fotokopi kehidupan.
Subyek ketiga adalah manusia itu sendiri, dalam hal ini orang yang menyatakan bahwa secara umum aktor dan teater adalah bentuk kepura-puraan. Hidup itu sebuah kenyataan. Maka siapa saja yang memandang teater sebelah mata, atau malah menutup matanya, itu sama saja ia mengalihkan pandangan terhadap kehidupannya sendiri. Bahkan, ia justru hidup tanpa sempat melihat kehidupan di sekitarnya. Menonton teater adalah bentuk menghormati, menghargai, mencintai, bahkan merayakan kehidupan.
Perihal kepura-puraan tadi, semua tergantung aktornya. Memang bukan perkara mudah menjadi seorang aktor teater. Fisik, mental, dan intelektual yang memadai sangat dibutuhkan. Melakonkan karakter idealnya menjadi, minimal seperti karakter tersebut. Sementara berpura-pura merupakan bentuk kegagalan seorang aktor. Maka jangan salahkan penonton yang pulang sebelum pertunjukan usai. Atau penonton yang tiba-tiba menuju ruang belakang panggung selepas pertunjukan mencari kenyataan yang dijanjikannya.
Pun demikian, jangan salahkan aktor ketika merasa hanya menyaksikan pertunjukan kepura-puraan. Bisa jadi, aktor itu gagal, atau mungkin kita yang tidak peka.
Bukankah kehidupan sebenarnya lekat dengan kepura-puraan? Tak perlu melulu penguasa atau calon penipu di kertas suara. Cukup diri kita sendiri yang setiap harinya tak pernah luput dari kebohongan. Seolah kebohongan menjadi pertahanan terakhir, mungkin sebuah pembelaan terhadap nasib dan kesalahan. Setiap kali berpura-pura, bukankah itu nyata? Atau kita tengah berpura-pura untuk berpura-pura?
Lagipula, setiap individu adalah aktor bagi kehidupannya sendiri. Sementara waktu yang banyak diisi kepura-puraan ikut ambil bagian. Maka, berpura-pura kah kita hidup?
“In Act We Trust"
Fadhli Amir
Aktor Kala Teater
Tulisan ini dimuat di kolom literasi Koran Tempo Makassar edisi Sabtu, 26 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar