Saya selalu memikirkan bagaimana waktu itu bekerja. Saya teringat dengan pernyataan Fahd Djibran dalam bukunya “A Cat in My Eyes”. Ia dengan sangat percaya diri menyatakan “waktu itu mengkhianati jarak”. Buku itu adalah kumpulan cerpen, esai, dan puisi. Dalam salah satu bagian bukunya ia menceritakan perjalanannya dengan mobil menempuh jarak yang cukup jauh. Ia hendak menuju tempat yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Di perjalanan ia menemukan jalan – jalan yang asing. Pada saat itu ia merasa jarak yang ditempuh itu sangatlah jauh. Pada saat yang bersamaan ia merasa membutuhkan waktu yang lama untuk menempuh jarak itu. Ia memutuskan bahwa tempat yang ditujunya memang cukup jauh dan membutuhkan waktu yang juga cukup lama untuk sampai ke sana. Pada kesempatan yang lain ia kembali mengunjugi tempat itu untuk kedua kalinya. Karena sudah pernah mengunjugi tempat itu sebelumnya, ia punya memori perihal jalan yang harus ditempuh, kondisi jalanannya, dan pemandangan di sepanjang jalan menuju tempat itu. Hal yang berbeda pun ia rasakan. Ia merasa jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh. Berbeda dengan jarak yang ia rasakan ketika pertama kali mengunjugi tempat itu. Padahal, waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak tadi relatif sama. Namun, ia merasa jarak yang ditempuh dan waktu yang dibutuhkan untuk bisa sampai ke tempat itu lebih dekat dan sedikit bila dibandingkan dengan ketika pertama kali ia mengunjungi tempat itu.
Mungkin peristiwa yang dialami Fahd Djibran adalah hal yang lumrah dan sering kita alami. Dalam hal ini, waktu seperti memiliki kekuatan magis untuk mengubah segalanya. Peristiwa Isra’ Mi’raj dalam ajaran agama Islam menunjukkan salah satu aktivitas magis waktu. Dalam peristiwa itu, Nabi Muhammad mencapai tempat tertinggi dalam waktu semalam saja. Hal ini tentunya di luar logika. Namun Tuhan selalu menyuruh kita untuk belajar. Waktu bukanlah hal yang magis.
Secara ilmiah, waktu dapat dipelajari. Dalam ilmu fisika, waktu adalah besaran pokok yang melambangkan periode atau interval yang bisa diukur secara pasti dalam satuan detik. Albert Einstein dalam teori relativitasnya merumuskan itu. Menurut Einstein, semakin besar kecepatan gerak suatu benda atau partikel, waktu akan berjalan semakin lambat. Maka waktu yang sedikit bisa disiasati dengan pergerakan yang cepat. Tak heran, di negara – negara maju, penduduknya terbiasa dengan gerak cepat untuk mengefisienkan waktu agar bisa menyelesaikan serangkaian aktivitas. Arus ini berimbas pada kurangnya waktu untuk saling menyapa dan peduli sesama. Mungkinkah waktu sekejam itu?
Waktu juga berperan dalam menentukan kebutuhan dan kesenangan. Di masa kanak – kanak, kesenangan saya pada waktu itu begitu mudah didapatkan. Saya bisa merasa senang ketika bermain petak umpet, main kelereng, atau main perang – perangan dengan teman sebaya. Di masa remaja, kesenangan saya berubah. Kelereng, petak umpet, perang – perangan, perlahan menjadi hal yang sangat membosankan, bahkan memalukan. Saya akan merasa senang bila mendengarkan musik dari band – band luar negeri. Saya bisa merasa senang bila naik motor bersama teman – teman mengukur jalan. Beranjak dewasa, waktu kembali mengubah kesenangan saya. Naik motor, berkonvoi bersama teman – teman menjadi hal yang menjijikkan. Justru, berdiam diri di rumah, membaca buku, menonton film, menulis adalah aktivitas yang menyenangkan. Di masa itu pula, saya menjumpai seorang wanita selain ibu yang membuat saya jatuh cinta. Apakah waktu juga yang menumbuhkan sebuah perasaan cinta?
Waktu tidaklah kejam. Manusia yang membuatnya terasa menakutkan. Seperti di film “In Time”. Film fiksi ilmiah karya sutradara Andrew Niccol yang dirilis pada tahun 2011 itu bercerita tentang kehidupan manusia yang akan berhenti menua pada usia 25 tahun. Kemudian, di lengan mereka terpasang jam yang menunjukkan sisa waktu mereka. Di film itu, waktu menjadi mata uang dan alat untuk membeli keperluan hidup. Orang kaya memiliki banyak waktu, dan orang miskin sebaliknya. Film itu menceritakan bagaimana waktu adalah sesuatu yang menentukan hidup dan mati seseorang. Waktu yang dimiliki akan digunakan seefektif dan seefisien mungkin. Saya membayangkan bagaimana jika kehidupan kita sama persis dengan kejadian di film itu. Masih adakah di antara kita yang akan menambah jam tidur, meminta cuti kerja di saat yang tidak semestinya, berpesta pora, melalaikan tugas dan aktivitas lain demi bermain game, patah hati, merindu sambil menangis, atau duduk termenung melihat putaran jarum jam? Saya juga membayangkan, masih adakah orang yang rela menunggu dan membuat orang lain menunggu? Sementara menunggu adalah bunuh diri, dan membuat orang menunggu adalah pembunuhan secara perlahan.
Manusia itu hidup. Waktu tidak. Tapi waktu menghidupi manusia.
Tulisan ini dimuat di kolom literasi Koran Tempo Makassar edisi Jumat, 27 September 2013
1 komentar:
sekali lagi, selamat atas dimuatnya tulisan ini... :)
Posting Komentar