Kamis, 13 Januari 2011

MATAR PUN BERAKHIR

Dia kembali setelah berhenti melangkah. Sikapnya masih mendiamkan paham. Dia kembali setelah belum sempat pergi.

Sorot matanya melingkar, melenyapkan sudut yang hanya bisa menjadi tempat beristirahat. Sebatang rumput liar diselipkan di telinganya. Kala itu embun masih menaburkan diri di ujung dahan, menyegarkan pandangan, suka duka berpisah.

Matar yang kering, tanpa tetesan sedikit pun, melayangkan pandangannya pada keheningan yang begitu leluasa merogoh habis kantong lisannya.

Pagi yang telah tiba menggantikan malam, malam yang kejam, kejam, sangat kejam, bahkan terlampau kejam. Malam yang membuatnya merasa gagal menjadi seorang manusia, cita-cita tertingginya.

Dia kembali sebelum sempat beranjak dari landasannya. Tumpukan koran masih merapat di kedudukannya. Pagi tanpa keramaian, di dalam kamar yang hanya mampu memuat dirinya, bersama sedikit udara. Matar yang kering terhempas di dalam khayalannya sendiri. Saat ini, dia tengah menyesali pengharapannya, juga menyalahkan kewajibannya.

"Mengapa aku harus melahirkannya, mengapa juga aku berani meminta kehadirannya?"
Tuturnya lemah. Terdengar jelas nafas yang terengah.

Matar yang kering, dia merasa gagal menjadi manusia. Matar lelah bertahan. Kali ini, masanya dianggap sebagai sisa kesempatan terakhir untuk merenungi, dan mencari alasan tentang mengapa.

Matar yang kering menitihkan air mata mendidih, mengelupas kulit-kulit lusuhnya. Di wajahnya tersimpan seribu kekecewaan, jumlah yang hanya bisa ditaksir, sementara taksiran mata dan pikiran hanya sebatas ketidaktahuan.

Selembar foto anaknya kini berada di genggamannya. Di angkatnya foto itu, disejajarkannya tepat di hadapan bola matanya yang semakin lemah.

"Kau anakku, atau justru musuhku? Kau impianku atau justru keenggananku. Mengapa aku gagal mengajarkanmu tentang kehidupan? Mengapa aku gagal membuatmu menjadi manusia? Hingga membuatku gagal pula menjadi manusia. Mengapa rahimku harus sia-sia? Mengapa semua nutrisi yang aku hibahkan padamu harus menjadi penyesalan terhebat? Mengapa aku harus menjadi ibumu?"

Matar yang terus mengering, malu menadahkan tangannya pada Tuhan, malu berdoa, bahkan masih merasa malu menundukkan kepalanya. Pagi terus berjalan, tetes-tetes embun di ujung dahan kini mulai memudar, jelas dilihatnya dari balik jendela kamarnya.

Dari arah itu pula dia melihat seorang ibu yang mengantar anaknya ke sekolah dengan sepeda tua. Sang anak melingkarkan tangannya di perut ibunya. Sang ibu dengan senyum merekah terus menggoyah roda. Sementara itu, Matar hanya bisa menampilkan air matanya yang sudah mengendap.

"Mengapa aku tidak bisa seperti mereka? Mengapa...? Mengapa saat ini, aku hanya bisa mengatakan mengapa?" Tuturnya semakin lemah. Foto di hadapnnya terhempas oleh udara yang menyusup lewat jendela. Bola mata Matar mengabaikan perjalanan foto itu di udara. Dia sudah kecewa.

"Aku ibu yang tidak perlu kau akui. Aku juga ibu yang tidak pantas kau banggakan. Aku menyesali semua pemberianku kepadamu. Bukan karena aku menyalahkanmu, tapi karena aku merasa tidak pantas menjadi seorang ibu selayaknya, maka aku lebih bangga bila kau menyebut diriku sebagai ibu yang kejam."

"Seharusnya, saat ini kau berada di sampingku, merengek memintaku membuatkanmu pisang goreng cokelat kesukaanmu. Seharusnya, saat ini aku tengah mengelus dahimu, membaacakan dongeng tentang seorang ibu yang membuatmu sangat bangga memilikinya."

"Kau pergi setelah aku gagal. Dan aku kembali setelah aku belum sempat ke mana-mana. Aku akan mati, sebentar lagi. Aku ingin tak ada nisan di kuburanku, aku ingin kau lupa berziarah. Jangan membanggakanku, nak! Jangan menangisiku, nak! Aku ini hanya tumpukan sampah yang menyumbat pengairan."

"Anakku, izinkan aku memangilmu "anakku". Sebenarnya ini kesalahan bagiku, tapi aku ingin mengakhiri masaku dengan melakukan sebuah kesalahan lagi, kesalahan yang mungkin kau harapkan. Berbahagialah di sana bersama ibu yang aku titipkan untuk ayahmu. Ibu yang semoga bisa membuatmu melupakan Matar, aku."

Air mata yang mengendap itu meletus menjadi cairan kesedihan yang tak terhingga. Matar yang sudah hampir berbaur dengan tanah itu lesu, merapatkan sekujur tubuhnya di lantai. Meninggalkan pagi yang belum pergi. Matar yang malang meninggalkan kesalahannya, mencukupkan kemalangannya, mengakhiri hidupnya dengan sebotol racun yang sudah meresap di lambungnya, setelah dengan sangat menyesal mempersembahakn air susu yang tercemar virus HIV pada anaknya.

Kini anaknya terjangkit AIDS, terbaring lemah bersama ayah dan ibu tirinya, namun masih merindukan sosok Matar, ibu yang tak akan pernah bisa digantikan oleh siapapun.

Hikmah :

1. Berikan yang terbaik untuk orang terkasih.
2. Penyesalan bukan perenungan terbaik.
3. Pengorbanan adalah pertanggungjawaban terindah dalam kehidupan.
4. Seberapa kejam kehidupan membuatmu benci, sorang ibu tetaplah ibu.

Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Cermin Berhikmah Di BlogCamp

12 komentar:

zico mengatakan...

sebuah cerita, yang penuh dengan makna... dengan dihiasi bahasa realis. dan mengandung pesan akan hakikat kejadian hidup yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya.

teruslah berkarya, sobat.

Shohibul K.U.C.B mengatakan...

Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam K.U.C.B
Artikel anda akan segera di catat
Salam hangat dari Markas New BlogCamp di Surabaya

auraman mengatakan...

apapun ceritanya ibu adalah ibu, pengorbanan seorang ibu tidak bisa digantikan, semoga menang ya mas lombanya :D

dhe_bie mengatakan...

dan dengan bangga Dhe bilang, ini adalah jawaban dari kerinduan dhe atas tulisan fadhli..

tetap berkarya sahabatku.. karena aku percaya masih banyak cerita yang bisa kau rangkai tentang MATAR.. :)

ikaru22 mengatakan...

Awalnya saya mengerutkan kening membaca ceritanya. Tapi akhirnya saya paham... :D

Setuju dengan kang auraman, apapun yg terjadi, sosok seorang ibu tak akan pernah bisa tergantikan... :)

jumialely mengatakan...

permasalahan dalam hidup tak perlu di akhiri dengan meminum racun, karena hidup adalah milik sang pemilik hidup. Atas stempel komandan blogcamp JURI datang menilai. Terima kasih atas cerita penuh hikmah. salam hangat

Anonim mengatakan...

semangat pagi !!, Saya juga mempunyai cerita sedih tentang perjuangan herman mas,.. :D

Unknown mengatakan...

bahsa yang indah kawan. kamu punya gaya bahasa yang unik, aku suka itu. terus lanjutkan. teruslah juga berbakti pada ibumu......

Qefy mengatakan...

Stooop, jangan kecewa Matar. tetap ayunkan semangatmu ya. Salam sukses :)

BLACKBOX mengatakan...

makasih bwt semuanya...........
telah meramaikan blog saya.......

SecR3t Pr4yER mengatakan...

Sangat menyentuh...
Bagaimanapun keadaan qt.. qt harus te2p berjuang.. dan berjuang...
karna qt dilahirkan sama...
u kembali padaNya...

kang ian dot com mengatakan...

masya allah efeknya mengerikan banget ya HIV ini..
jangan coba2 sebelum menyesal..
salam sukses ya

Chat Room Bloofers