Kamis, 17 Maret 2011

TELAPAK KAKI DI UDARA 2

Aku menjalani hidupku sebagai Gandi Firmansyah. Aku mencari Silviana Larasati, katanya dia adalah wanita yang sangat berbeda, hidupnya dilumuti oleh semua cobaan tapa batas, tapi dia berhasil mempertahankan keperwanannya untuk kesekian kalinya, hingga saat kabar itu tersiar, dialah pahlawan keperawanan yang patut diacungi jempol. Banyak lelaki yang berusaha memperkosanya dengan tragis, tapi tak seorang pun dari mereka yang berhasil membuat Silvia ternoda, hebat. Baginya, jika hidup tanpa keperawanan, maka lebih baik mati dengan keperawanan. Aku berjalan, tanpa kendaraan, dia sulit ditemukan, harus berjalan kaki, siapa tahu menjumpainya sedang membeli minuman. Dia seorang pejalan kaki, wajah cantiknya yang luar biasa mempesonakan banyak pria, hingga dia memutuskan untuk berjalan, hidup nomaden, membiarkan kulitnya dibakar terik, agar wajahnya tak cantik lagi. Dia senang hidup sendiri, tanpa teman, tanpa siapapun yang mengenalnya, namun apa daya kecantikannya membuat nama Silviana Larasati sangat terkenal.

Peluh ini bercucuran dengan sangat liar. Apakah aku sedang mencari? Aku tak punya petunjuk sama sekali. Wajahnya saja tidak aku kenali, aku hanya mengenalnya lewat kabar orang-orang, tentang cerita bapak-bapak tua yang bermain catur di pos ronda. Apalagi?

.....................................................................................

Riandra, kamu sepertinya tidak bergairah. Ada apa? Menyesal menemaniku mencari Silvia? Jawablah, ini bukan dialog, ini bukan pembicaraan antar tokoh, aku tak perlu membentuk tanda kutip untuk mengurung kalimatku juga kalimatmu, buatlah sebebas mungkin, sebebas interpretasi subyektifitas kita. Riandra, wajahmu kokoh, masih termakan waktu, kau masih cantik menurutku, kau masih lugas. Ada pancaran tak terdeteksi dari wajahmu, membuat tandus itu menyegarkan.

....................................................................................

Gandi, kamu terdiam namun pandai berbahasa padaku, hati ini menangkap semua komunikasi batin kita. Aku tidak menyesali keadaan, ini semua takdir, ini semua ketetapan, apa yang pantas untuk disesali? Seperti katamu, kita inilah telapak kaki di udara, sangat bebas, namun begitu menginjak bumi, sangat berat untuk melangkah, entah seberapa tajam kerikil di bawah telapak kaki kita. Ada satu hal yang belum kumengerti, mengapa sorot matamu hanya sorot mata yang biasa? Padahal sudah 10 tahun kita menikah, kita belum pernah sekalipun bersetubuh. Katamu, kau tidak pernah siap, kau tidak pernah rela membagi cintamu dengan hasrat, nafsu, dan keinginan biologis, kau tidak mau menodai ikatan suci, padahal itu sudah halal, itu sudah diperbolehkan. Dulu, kau menganganggapku terlalu cantik, sekarang aku tak secantik dulu lagi, kau masih menolak. Aku mengerti, Gandi, semua perhatianmu, semua cintamu itu tulus, pernikahan kita memang adem ayem saja, tak ada masalah, saling memperhatikan, saling mengisi, tapi kau tidak pernah berniat memiliki keturunan dari rahimku.

.....................................................................................

Maaf, Riandra, aku tak bisa memadukan cinta dengan kebutuhan biologis, aku masih tak rela melihatmu berbadan dua, menjerit saat melahirkan, aku ingin anak instan, tapi kau menolak. Ini bukan keegoisan, maaf jika menentang hakikat manusia, bukannya tak mau melibatkan rahimmu, tapi keberanianku dimakan waktu.

.....................................................................................

Jika saja ada angin yang menerbangkan telapak kaki kita di udara, aku akan membiarkan telapak kaki itu terkatung-katung, saling berpencar, entah ke mana, mungkin telapak kakimu tersangkut di pohon, dan punyaku tenggelam di laut, pastinya ada jejak di udara sebagai satu-satunya warisan perjalanannya.
Ada satu jejak yang akan terhapus, dialah angin dari atoom-atom yang meledak, begitulah rumus tak terbaca, kemudian akhirnya tak ada sisa, yang ada hanyalah sejarah, cerita bertempo, cerita yang hanya meledak ketika masih hangat, setelah dingin, tak ada reaksi apa-apa. Sementara jejak yang tak akan pernah hilang adalah, udara itu sendiri, perjalanan kita akan terekam di sana, semua orang menghirupnya, dan akan menghirup perjalanan kita, begitu juga sebaliknya, di sana ada saksi kerinduanku, ada saksi obsesi berlebihku untuk kau akhirnya berniat memecahkan keperawananku, akulah satu-satunya istri yang masih perawan, aku sedih?

Simpan segala pertanyaan, biarkan dia menggumpal, nikmati, karena ini masih
Bersambung........

7 komentar:

auraman mengatakan...

waduh sedang menenangkan pikiran atau gimana ni mas, postingannya mulai berat lagi ni haha

Asriani Amir mengatakan...

Jika saja ada angin yang menerbangkan telapak kaki kita di udara, aku akan membiarkan telapak kaki itu terkatung-katung, saling berpencar, entah ke mana....


sya bahkan kadang berpikir, kapan bisa mendatangi tempat yg tak satupun kenal sy. lalu pergi lagi tanpa satupun yg merasa kehilangan

Ekbess mengatakan...

Halo Fadli, ditunggu kunjungannya di Kampung Buku nah! ^_^

Hans Febrian mengatakan...

visit visit visit..

BLACKBOX mengatakan...

@mas aul: hahahaha, gak jg mas, gak berat kok, ikuti sampe ending, bakalan terpecah semua teka-tekinya
@Kak acci: hmmmmm.....
@Ekbess: ok kak
@Hans: hahaha, thx

Anonim mengatakan...

Dikit bingung dengan ceritanya...

BLACKBOX mengatakan...

@fadly: gak apa-apa, bakalan ngerti di akhir

Chat Room Bloofers