Selasa, 10 Mei 2011

RASA TANPA KAIDAH

Aku tiba.....

Sayang, hanya udara mengepul di atas kepalaku, bukan puing-puing rindu pada sebuah kerinduan. Inilah perihal otak, perihal logika, perasaan yang dibuat logis. Mengapa harus seperti itu? Pragmatisme itu bahkan bisa diilmiahkan, dengan ilmu linguistik mampu mengkaji keragaman rahasia bahasa, untuk kesekian kalinya, rasaku kau logiskan.

Semua ini tidak pada tempatnya. Aku haus, malah kau memberikanku jus jeruk. Rasanya manis, segar, dingin, tapi meninggalkan haus yang berkembang biak. Mengapa tidak kau berikan air putih saja? Tenggorokanku merindukan itu.

Aku tidak mengeluhkan hidup, bahkan menentangnya aku tak berani. Aku bukan sang empunya kehidupan, aku hanya ingin membuat waktu lebih indah, setidaknya rasaku bisa sedikit kaya. Lantas, mengapa kau logiskan? Aku tak ingin logika, aku ingin kepekaan, abstrak, tutur implisit, aksara-aksara simbol, agar aku, kau, dia, mereka, dan kita semua bisa belajar. Pada situasi tertentu, kaidah itu tak ada gunanya. "Pada situasi mana?" Katamu. Pada situasi di mana situasi itu keluar dari situasi, di mana dia menduniakan dunianya sendiri, aturan Tuhan bukan kaidah, tapi warna yang menciptakan gradasi indah pada situasi.

Tidak perlulah mencari simbiosisnya, biarkan simbiosis terjalin dengan alami, tanpa rumus, tanpa sebuah teori-teori, takdir menjadi indah bila alami. Begitu juga rasaku, menginginkan sebuah kealamian, bukan kelaziman struktur, konsep yang turun-temurun, bising, seperti tumpukan analogi tanpa tujuan di kepalaku.

Sekarang, tolong rasakan perasaanku, "mood" hanya menjajahmu. Itu hanya logikamu, logika yang bisa kau gagalkan, tapi perasaan, tak bisa digagalkan, hanya bisa ditahan, kalaupun musnah, itu sudah rasa Ilahi, rasa yang alamiah, takdir memecah kerapatan atom di dalamnya, sekuat apapun senyawa mengurungnya.

Giliranku......

Jangan memaksaku berhenti, atau mengajakku diam. Ketika lisan tak mampu berupaya, percayalah, masih hidup jutaan kata, jutaan yang kemudian beranakcucu, tanpa spasi, tanpa tanda koma, tanpa tanda baca, agar kau hanya mampu melihat, tak membacanya. Nah, pada saat itulah aku datang di sampingmu membacakan kata-kata itu, kemudian akan mengantarmu tidur. Setelah terbangun, jumpailah kata-kata itu telah menjadi debu di ranjangmu, di sekitarnya, di setiap sudutnya, begitulah aku memusnahkan diri ketika tak kau butuhkan lagi.

9 komentar:

Nik Salsabiila mengatakan...

Aaahhh..mas fadhli...selalu saja mencengangkan dg puisi2nya...makin q tak mengerti...maka di sanalah aku makin memahami...
berkarakter...
menjejak bumi tanpa ragu..
like this...
salam persahabatan mas...^^

Meutia mengatakan...

nice post..jujur aja awal2 membaca setiap postingan nya mas fadhli membuat otak ku berkerja keras untuk memahami setiap tautan kata..pada akhirnya aku bisa memahami dirimu wat tulisan2 ini ...salam bloofers

rinz mengatakan...

Ehhh.. Penuturannya jadi lebih halus dibandingkan dengan post-post yang sebelumnya. Keren!!! :)

Budiman As'ady mengatakan...

ah... selalu terbuai dengan rangkaian katanya, bermakna dalam...

trims. selalu bersemangat...

Hafsa Raqilla Blog mengatakan...

saya sangat suka..sangat bagus sekali puisinya.mantap..mantap..indahnya kata-kata yg terangkai..

Saluut untk mas fadhli..

:-)

BLACKBOX mengatakan...

wah, ini bukan puisi, hehehehe, tp thx all

I-one mengatakan...

T.O.P dah..

Hafsa Raqilla Blog mengatakan...

okelah ini bukan puisi mas..apapun namanya kata2 yang terangkai itu..pokoke aku suka ^_^

BLACKBOX mengatakan...

@hafsah: sy jg gak tau ini apa, unidentify writing kali, hahaha, tp makasih banyak ya....

Chat Room Bloofers