Senin, 30 September 2013

TIDAK SEMUA ORANG KAMPUNG "KAMPUNGAN"

Jika saya diberikan kekuasaan menghapus satu kata di dalam kamus besar Bahasa Indonesia, saya ingin menghapus kata “kampungan”.

Ketika Anda sedang berselancar di dunia maya, kemudian seseorang menghampiri dan bertanya cara menyalakan komputer, kata apa yang mampir di kepala Anda? Saat berjalan-jalan di pusat perbelanjaan lalu menjumpai seseorang mengenakan daster dengan dandanan norak, menurut Anda dari manakah orang itu berasal?
Hingga saat ini, perilaku dan kebiasaan seseorang yang jauh dari modernisasi cukup digambarkan dengan satu kata, “kampungan”. Lebih parahnya lagi, orang-orang yang berlaku tidak baik, anarkis, kriminal, dan bodoh, pun diartikan sebagai orang yang “kampungan”.
Secara etimologi, “kampungan” berasal dari kata “kampung. Akhiran –an menjadikan kata benda“kampung” ini berubah menjadi kata sifat “kampungan”. Artinya “kampungan” adalah kata sifat yang berdasar pada sifat –sifat orang kampung. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, “kampungan” berarti: berkaitan dengan kebiasaan orang kampung; terbelakang (belum modern), kolot, tidak tahu sopan santun, tidak terdidik, kurang ajar.

Bila kita kembali pada definisi “kampungan” yang merupakan cerminan kebiasaan orang kampung, maka dapat disimpulkan bahwa orang kampung adalah orang-orang dengan kebiasaan yang tidak baik. Kebiasaan kita yang sulit dihindari adalah selalu berupaya menggeneralisasikan hal-hal yang tak bisa digeneralisasi. Seperti kebiasaan orang kampung yang kemudian dimaknai semuanya negatif. Tingkat pendidikan orang kampung jauh berbeda dengan pendidikan orang kota. Tingkat pendidikan yang rendah memungkinkan seseorang berlaku tidak baik, bodoh, dan terbelakang. Kemudian begitu saja disimpulkan bahwa orang kampung adalah orang yang berlaku tidak baik, bodoh, dan terbelakang. Akibatnya, apa yang terlihat adalah apa yang terbaca. Apa yang terbaca adalah apa yang tersurat. Otak kita sudah dijajah oleh fenomena generalisasi. Seperti ketika menjumpai orang yang berkulit putih dan bermata sipit. Sontak kita akan memastikan orang itu keturunan Cina. Atau pemikiran bahwa orang berkacamata adalah orang yang cerdas. Kita kah “kampungan” itu?

Perihal ketidakadilan penggunaan kata “kampungan” ini saya ingin mengajukan pertanyaan: mengapa kata “kampungan” ini hanya bermakna negatif? Apakah kita tak pernah mencapai kata sepakat untuk sebuah kata yang menggambarkan keindahan, keluhuran, dan hal-hal baik tentang kampung? Apakah semua sisi positif telah dijarah dan dimiliki oleh kota?
Masyarakat kampung hidup mengandalkan alam. Kondisi geografis desa dengan alam yang relatif perawan menjadikan profesi mereka bersinggungan langsung dengan alam, semisal petani, nelayan, peternak. Cara mereka bertani, menangkap ikan, dan beternak pun masih mengandalkan alam. Hal itu dimulai dari peralatan sampai membaca musim yang baik, waktu tanam, waktu melaut, dan perkiraan waktu panen. Semua hasil membaca alam. Dengan latar belakang pendidikan formal yang lebih rendah, rasanya sangat cerdas jika mereka mampu membaca alam begitu baik tanpa sempat membaca buku pelajaran paling mutakhir.

Orang kampung mungkin tidak hidup dengan kemajuan teknologi informasi. Toh dengan keterbatasan itu, mereka sanggup menghidupi keluarga mereka. Orang-orang kota pun setiap harinya berharap sokongan bahan pangan dari orang-orang kampung. Inikah makna kampungan? Jika iya, hampir seluruh masyarakat kota hidup dari ke - “kampungan” orang - orang kampung.

Komersialisasi seks bebas, , perjudian, perampokan, pembunuhan banyak terjadi di kota. Rasanya tak pantas bila menilai orang - orang kota itu kampungan. Atau dengan pertanyaan ini; mengapa perbuatan kriminal yang dilakukan warga kota itu tidak disebut “kota-an”? Jawabannya sederhana, tak ada kata “kota-an” di kamus besar Bahasa Indonesia. Tak ada satu kata sifat pun di negara ini yang sanggup mewakili perilaku orang-orang kota.

Saya teringat film “Upside Down.” Film yang dirilis tahun 2012 karya sutradara Juan Dieogo Solanas ini bercerita tentang dunia atas dan dunia bawah. Dunia atas adalah dunia dengan kekayaan yang melimpah, sementara dunia bawah adalah dunia yang melarat. Lelaki dunia bawah jatuh cinta dengan gadis dunia atas, padahal kedua dunia ini memiliki gravitasi masing-masing. Tapi lelaki dari dunia bawah ini mampu menciptakan alat bantu agar bisa menjangkau dunia atas dan melawan gravitasi dunianya untuk bertemu gadis pujaannya. Dunia atas pun bergantung pada sumber minyak dari dunia bawah. Peradaban dunia atas juga disokong oleh kecerdasan dunia bawah.

Memang, tak semua orang kampung itu tertinggal, bodoh, tidak baik. Pun begitu, tak semua orang kota itu maju, berpendidikan, berbudi luhur. Begitu pula sebaliknya. Lagi-lagi, menggambarkan perilaku seseorang atau kelompok masyarakat tak akan pernah cukup bila ditinjau dari letak geografisnya saja, juga tak akan pernah cukup dengan satu kata.

Tulisan ini dimuat di kolom literasi Koran Tempo Makassar edisi Kamis, 12 September 2013


4 komentar:

Rachel Emmanuella mengatakan...

Saya setuju. Kadang saya menggunakan kata 'desa' kalau menyebut obyek. Meski saya masih sering ngatain orang yang keterlaluan itu 'kampungan', tapi soal penggunaan kata dan ketidaksamaan sifat orang kampung (atau desa) yg lbh sopan dengan sifat orang-orang yg kita bilang 'kampungan' yang pada kenyataannya tinggal di kota semua X) pokoknya masih mencari kalimat penggambaran sifat buruk yang lebih halus dari 'kampungan' ^^

Catatan Harian Irfan mengatakan...

Bahwa yang beranggapan orang kampung itu kampungan salah besar,,,, mereka yang sudah hidup mapan di kota sebagian orang kampung semua,, mereka orang kampung yang mau bekerja keras dan mengadu nasib di Ibu kota

Unknown mengatakan...

saya setuju sekali dengan ide yang disampaikan dalam posting ini. moga banyak dibaca orang dan bisa mengubah apa yang perlu diubah...

Cevaliana mengatakan...

Couldn't agree more! Engga semua orang kampung itu kampungan. Dan, iya tulisan ini keren! Mengubah pola pikir bahwa telah terjadi pergeseran makna dari kata kampungan.

Chat Room Bloofers