Senin, 28 Oktober 2013

SAJAK UNTUK ADIK DAN ENGKAU KALA SIANG GULITA

suatu ketika adik bermain bola
bola ditendangnya menghantam air
air bergejolak memercik adik
adik basah dibalut baju
baju kuyup membungkus tubuh
tubuh manja menyergap bola

engkau cantik di mata
mata diserang warna-warna
warna-warna membentuk gradasi
gradasi memanen pujian
pujian menginap di lidah
lidah menyenggol bibir
bibir bergetar mengucap kata
kata habis menyisakan cinta
cinta berhenti di stasiun kata

aku suka mencintaimu
mencintaimu adalah memilihmu
memilihmu adalah memilahmu
memilahmu adalah memulihkanmu
memulihkanmu adalah menemukanmu
menemukanmu di antara jutaan sajak cinta
sajak cinta yang terus lahir sepanjang sejarah
sejarah yang ditinggalkan kekinian
kekinian yang mendambakan masa depan
masa depan yang kesepian hanya ditunggu kematian

aku suka bermain bola seperti adik
adik punya bola, aku juga
juga adik tak punya aku
aku tak punya adik

aku suka kecantikan seperti engkau
engaku cantik seperi "mencintai"
"mencintai" milikku, untuk dirimu
dirimu tak punya "mencintai"
pun diriku tak punya "dicintai"

Kata, Kita, dan Kota

Kata telah menjadi harta benda
Bagi penyair, bagi sastrawan, bagi para pencinta ungkapan

Kita telah menjadi dilema
Ingin selalu berdua
Namun menuntut bersatu

Kota telah menjadi rumah
Bagi kata yang tersebar di sepanjang suasana
Juga bagi kita yang hanya punya kata

Minggu, 06 Oktober 2013

PENGAKUAN YANG MENGAKU KAKU

dia seorang pakar pikiran
fasih membaca pikiranmu
dengan cara apapun kau menulisnya
bahkan ia seorang peramal pikiran
selalu tiba sebelum kau sempat memikirkannya

dia seorang pemikir yang baik
dia tidak hanya mampu memikirkan
cara-cara magis untuk menyenangkanmu
ia juga mampu memikirkanmu berkali-kali

sedang aku
hanya seorang pencinta miskin
kata orang pelit
aku hanya mampu mencintaimu satu kali
maklum, hidupku pun hanya sekali

Rabu, 02 Oktober 2013

Jalan, Eksistensi Sartre, dan Cinta Tak Harus Memiliki

Hanya karena kita terlalu akrab dengan jalan, bukan berarti kita bisa memilikinya. Sebagai pengguna jalan, mungkin kita perlu belajar menggunakan jalan sewajarnya. Ada beberapa golongan pengguna jalan yang semakin hari semakin mengukuhkan diri sebagai pemilik tunggal. Mereka adalah golongan yang begitu mencintai jalan hingga merasa memilikinya. Sebut saja demonstran, calon pemimpin yang tengah berkampanye, rombongan pejabat yang kebetulan lewat di jalan, orang yang menggelar hajatan di jalan, tukang parkir, dan “Pak Ogah”. Mereka adalah orang yang rasa memilikinya sangat tinggi. Mereka mencintai jalan, hingga semua kepentingannya harus digelar di jalan.

Demonstran dan orang-orang yang mengaku peduli itu mengemis, meneriakkan, dan mengentakkan kepedulian mereka di jalan. Berharap perhatian penguasa mampir di sana. Perjuangan bagi mereka diaktualisasikan dengan turun ke jalan. Mereka membakar ban di tengah jalan, berorasi, hingga menutup akses pengguna lain. Mereka adalah pemilik jalan saat itu. Mereka merasa ada jika berhasil menimbulkan kemacetan di jalan-jalan.

Ada juga calon penguasa yang berkampanye di jalan atau lapangan yang berhadapan langsung dengan jalan. Mereka gembira tatkala pengguna jalan berhenti serempak membentuk blokade dadakan. Baginya, jalan adalah tempat yang paling layak untuk merebut perhatian publik. Pengguna jalan dipaksa berhenti mendengar janji. Atau rombongan pejabat yang melintas di jalan seringkali tidak mempedulikan rambu-rambu lalu lintas. Mereka memaksa pengguna jalan lain minggirseolah-olah pengguna jalan lain hanya kelompok peminjam. Merekalah pemilik jalan.

Tidak melulu pejabat, politikus, atau demonstran yang merasa memiliki jalan. Orang-orang kecil seperti tukang parkir dan “Pak Ogah” pun merasa memiliki jalan dengan begitu egoisnya. Di sebuah mal yang berhadapan dengan jalan, tak jarang lalu lintas menjadi macet karena kehadiran tukang parkir. Mereka seenaknya membuka lahan sampai ke badan jalan. Jalan kehilangan fungsinya. Ada lagi “Pak Ogah” yang berkedok membantu kerja polisi mengatur lalu lintas. Persoalannya, pekerjaan mereka tidak berdasarkan situasi jalan, melainkan ada motivasi mendapatkan imbalan. Mereka dengan entengnya menyetop pengendara yang melaju lurus, karena kliennya ingin berbelok, misalnya. Hasilnya, keberadaan mereka justru mengacaukan arus lalu lintas.

Maka jelaslah penyebab utama kemacetan di kota. Bukan melulu karena jalan yang sempit dan jumlah kendaraan yang terus bertambah, tetapi begitu banyaknya orang yang ingin menarik perhatian dan menunjukkan eksistensinya di jalan. Mereka begitu percaya diri memperlakukan, menggunakan, dan menafsirkan jalan sebagai milik sendiri. Sangat ironis, ketika jalan yang sedari dulu kita yakini sebagai fasilitas umum bebas digunakan untuk kepentingan segelintir orang saja. Akibatnya, terjadi ketimpangan pemenuhan hak. Lebih parahnya lagi, fenomena ini akan terus memacu lahirnya cibiran, keluh kesah, pertentangan, pertengkaran, kesalahpahaman, hingga berbuah ketidaknyamanan

Teori eksitensi Jean-Paul Sartre berbunyi: “Eksistensi mendahului esensi.” Karena itu, satu -satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia. Menurut Sartre, manusia dikutuk untuk bebas. Kutukan adalah sebuah takdir. Orang yang dikutuk seperti dipaksa atau harus melakukan dan melakoni sesuatu. Mungkin demonstran, calon pemimpin yang berkampanye, rombongan pejabat yang lewat di jalan, tukang parkir, dan “Pak Ogah” adalah penganut teori itu. Meluhurkan kebebasan berbuat apa saja di jalan. Mungkin mereka merasa ada ketika berada di jalan demi keagungan eksistensialisme.

Mereka yang begitu mencintai jalan hingga menimbulkan gangguan bagi pengguna jalan lainnya mungkin harus kembali membaca, meresapi, merenungi, dan menghayati sebuah pepatah cinta klasik: “Cinta tak harus memiliki”.

Tulisan ini dimuat di Literasi Koran Tempo Makassar edisi Jumat, 20 September 2013

Chat Room Bloofers