Rabu, 21 Desember 2011

BU

Bu...ini untukmu, kupanggil kau MATAR agar segersang apapun dunia nantinya, akan ada yang membuatku segar.

Bu.....ini untukmu, ketika jumlah abjad itu cuma sedikit, ia mampu merangkai jutaan kata.

Bu.....ini untukmu, aku tak mencintaimu seperti HARI IBU, memperingati momen tertentu, kau bukan momen, kau bukan kalender, kau waktu yang tak pernah sia-sia

Senin, 19 Desember 2011

SEJARAH

Selalu ada sebelum. setelahnya muncullah setelah. Selalu ada sebelum, sejarah perjalanan waktu. Ketika manusia banyak berteori tentang sejarah dan dia belum memahami waktu, maka sejarah hanyalah sebatas kata-kata.

Selalu ada sebelum, sebelum kau tidur, sebelum kau hidup, sebelum kau mati, sebelum kau terpenjara, sebelum kau menjadi bentuk manusia, sebelum kau sebentuk embrio, sebelum kau segumpal daging, sebelum kau menjadi anugerah, sebelum semua terjadi, ada sejarah yang menjadi sejarah dari semua sejarah.

Dia menciptakan sejarah dari semua sejarah tanpa menSEJARAHkan dirinya

Jumat, 16 Desember 2011

Senin, 12 Desember 2011

RINDU MEMBIRU

Sebelum malam berakhir, sebelum pagi hadir. Rindu sebenarnya keinginan yang sangat keinginan akan memoria di masa lampau. Entah sedetik sebelumnya atau seberapa lama, aku hanya mengukir sejarah, dan masa depan merindukan sejarah.

Menciptakan rindu, kemudian menikmatinya tak sesulit menjaganya. Bukan pada perosalan kesetiaan, tapi seberapa besar penghargaanku pada masa silam. Akulah di sini di ujung malam, ketika pagi tengah menyiagakan diri, menyegerakan, bergegas menjemput situasinya. Sebentar lagi itu akan menjadi miliknya, maka biarkan malam memilikiku, di ujung pertahanannya, toh aku masih berada dalam ruang sejarah, ruang silam yang masih tetap baru buatku.

Biru itu tenang, dan aku ingin rinduku membiru di ujung malam ini.
Bukan luka, bukan duka, tak perlu suka, hanya kesetiaan pada aktivitas menikmati. Sejarah tak akan pernah mati, bahkan ketika masa kini dan masa depan menjulang tinggi, kelak semua itu akan menjadi sejarah, dan pada saat itulah rindu hadir, rindu yang membiru, rindu yang tenang, seperti di ujung malam.

Untuk Matar yang entah di mana, masih menjadi sejarah

Selasa, 29 November 2011

TEORI AKSLERASI INTERNET

Ada satu teori fisika yang menarik untuk dibahas, yakni akselerasi. Akselerasi atau percepatan dalam definisi sederhana diartikan sebagai perubahan kecepatan atau bertambahnya kecepatan.

Kecepatan merupakan tolak ukur untuk sebuah langkah, maka akselerasi dibutuhkan agar kuota waktu bisa dimaksimalkan, atau menyisakan waktu lebih untuk kebutuhan langkah lain. Baiklah mari kita sederhanakan.
Bagaimana kalau efek internet dalam kehidupan saya deskripsikan layaknya teori akselerasi tersebut?

Kalau kita urai, akselerasi atau percepatan ini akan bercabang. Akselerasi secara general masih bersifat abigu bahkan relatif, masih bias, masih samar. Ketika Anda memutuskan untuk melakukan sebuah akselerasi, Anda mesti memutuskan apakah Anda termasuk ke dalam goolongan berikut ini:

1.Deras

Secara harfiah deras berarti berjalan dengan sangat cepat. Namun ada makna pragmatis yang terkuak di dalamnya. Deras selalu dikaitkan dengan aliran air. Duduklah di tepi sungai dan perhatikanlah aliran air yang mengalir deras, menghantam bebatuan, menghanyutkan mineral-mineral, bakteri-bakteri, oksigen, ikan yang mencoba melawan arus, limbah-limbah, zat-zat kimia dan jutaan atom. Apakah percepatan yang diakibatkan oleh kinerja internet membuatmu seperti aliran air sungai yang deras? Sangat cepat, keras menghantam batu-batu sungai, tapi justru menghanyutkan.

2.Buru-buru

Penafsiran kedua adalah buru-buru atau terburu-buru. Kata ini lekat pemaknaannya dengan aktivitas mengejar. Kemudian, ketika Anda memutuskan menafsirkan akselerasi internet untuk sebuah arti terburu-buru, apakah internet betul-betul membuat Anda XLlangkah lebih maju? Sementara Dikejar deadline, tergesa-gesa, dihantui rasa pesimis, meski mampu melakukannya dalam waktu singkat, tapi justru tidak akan menuai hasil maksimal, seperti mengukir di atas air, begitu cepat terukir tapi sama sekali tidak membekas.

3. Lekas

Apakah akselerasi internet membuatmu XLlangkah lebih maju dengan penafsiran lekas?
Secara harfiah, lekas berarti segera. Segera menuntut kecepatan yang tidak bisa diukur, bahkan itu masih bersifat harapan. "Semoga Anda lekas sembuh." Hanya sebuah pengharapan, disegerakan, tanpa jelas kapan akan bisa tercapai, tidak ada target waktu. Rasanya ini belum cukup membuat hidup XLlangkah lebih maju, karena kadar lekas masing-masing orang pastinya berbeda. Siapa tahu saja kadar lekas Anda jauh lebih rendah.

4. Cekatan

Cekatan adalah cepat mengerti, cerdik, siap menghadapi masalah. Penafsiran ini sepertinya lebih baik. Dalam proses akselerasi bukan hanya kecepatan yang dituntut maksimal, tapi juga persiapan akan kendala-kendala, batu sandungan yang tiba-tiba muncul, dan pemahaman. Tapi internet belum membuat saya XLlangkah lebih maju dalam penafsiran ini. Karena kadar akselerasi cekatan masih belum terlalu sempurna, masih banyak yang lebih cekatan, dan kemahirannya tidak mungkin pada semua aspek.

5. Pesat

Cepat sekali, meluncur dengan cepat, berkembang dengan cepat. Beginilah internet membuat hidup saya XLangkah lebih maju. Bukan semata kecepatan, kemudian penambahan kecepatan, mengejar deadline, mengatasi kesulitan di tengah perjalanan, menyegerakan, atau cepat dalam pemahaman. Semua definisi akselerasi itu belum menunjukkan perkembangan luar biasa, hanya perkembangan dalam hal waktu penanganannya. Ini berbeda dengan kata "pesat" yang memungkinkan sesuatu berjalan dengan sangat cepat dan berkembang dengan sangat cepat pula.

Sederhana, dari kelima penafsiran akselerasi itu, saya berhenti di kata "pesat" bahwa internet telah membuat saya menjadi XLangkah lebih maju.

Senin, 14 November 2011

PREDIKAT

Begitu mudah membuka halaman ini, tapi sama sekali tak mudah menggambarkanmu menjadi deretan kata-kata nyata, tak buta, bermakna, menjiwa.

Merindu, melebihi rindu yang berkecukupan. Tersirat keinginan membuatmu luar biasa, namun kau mendahului pengharapan itu, kau awal tanpa akhir.

Maka sebuah pesan singkat membumi di absurdnya jiwa.
Seperti susuna kalimat utuh normal yang terdiri dari subjek, predikat, objek dan keterangan, kau menempati predikat yang membuat subjek bekerja, objek menyediakan bahan, dan keterangan yang menyuguhkan ruang.

Hingga saat ini, aku masih menjadi subjek di mana kehadiranmu memaksaku bekerja dan mencukupkanku menjadi sebuah kalimat sederhana namun utuh.

Happy 1st Anniversary my home sweet home,
Blog Of Friendship

Sabtu, 12 November 2011

SETELAH INI

Setelah ini apa lagi?
Setelah duduk, apakah mesti berdiri lagi?
Setelah berdiri apakah mesti duduk lagi?

Setelah ini apa lagi?
Setelah tidur apakah harus bangun lagi?
Setelah bangun apakah harus tidur lagi?

Setelah ini apa lagi?
Setelah makan apakah harus lapar lagi?
Setelah lapar apakah harus makan lagi?

Setelah waktu apa lagi?
Setelah detik muncullah detik lagi

Setelah kamu, datanglah dia lagi

Setelah kalimat berhentilah di titik lagi.
Setelah bicara rehatlah dengan diam lagi.

Setelah cukup maka tak ada lagi.

Sabtu, 29 Oktober 2011

DEMAM KEKINIAN

Demam, freak,addict, kekinian, akan kekinian. Mungkin hasil dari dinamis. Atau kita hanya mengubah pola pikir untuk mengikuti?

Kekinian menawarkan kekayaan, kesegaran setelah disegarkan.
Kekinian melupakan garis start. Melahap habis rencana-rencana yang terstruktur hebat.

Kekinian, mengubahku menjadi dirimu,aku ingin di situ.

Kekinian membuang mimpi-mimpiku, membuatku takut dan bermain aman dengan alibi realistis.
Hukum gravitasi menjadi penjajah, dan aku tak mampu mengisi ruang hampa udara, mengisi sedikit sekat, melubangi yang rapat untuk melihat, masih banyak padang luas di luar sana.

Kekinian membuatku lupa, kau dulu menjadi tujuanku, bukan kini yang menjadi kepasrahanku.

Rabu, 19 Oktober 2011

UNBELIEVABLE MESSAGE

Ketika aku menjadi kenyataan dan kau sebatas pengandaian.
Rapat, tanpa sekat, aku mendekatkan diri, meraba setiap tekstur-tekstur abstrak, ku rasakan dari permukaan hingga dasarnya, sungguh absurd.
Suatu hari, aku menunggu di taman, dengan kursi panjang yang kosong sebelah, disitulah teksturmu kuletakkan,tekstur abstrak yang keabsahannya hanya mampu dikutip oleh intuisiku sendiri. Privasi.
Ada jenjang-jenjang ilusional yang mengurung dominasi kenyataan, hidup dalam sebuah ketiadaan yang ku buat menjadi ada, hal gila yang kusadari.
Hari ini masih seperti kemarin, setidaknya wajahmu masih serupa bentuk yang sama dalam imaji yang tak pernah berubah.
Untukmu, mahakaryaNya, terpental ke bumi dengan keragaman pesona, permainan kelima panca indera, menangkap sisi pragmatis ketidakmungkinan, bahwa ketidakmungkinan ada karena sumbangsih sebuah kemungkinan, kemungkinan yang kemudian menjadi tiada, dan tiada terlahir dari peran sesuatu yang ada.
Ketahuilah, aku tidak sedang bertahan, aku justru tengah membangun dinamisnya sebuah pengakuan. Pengakuan bahwa kau menyita sebagian tempat yang kujaga dengan baik. Tempat itu tak akan tergantikan oleh siapapun, karena tak ada kata penuh, mereka akan menempati tempatnya masing-masing, dan sekarang namamu menjadi penghuni tersegar di dalamnya.
Aku mengobrak-abrik logika, menuai hasil absurd dari kisah fiksi yang ku buat nyata dalam kenyataanku sendiri.
Jika kau tengah tertidur, ku pastikan aku mengirim ini sebelum kau terbangun.
Secara matematis, ada sebuah nilai yang tak akan pernah bisa diselesaiakan dengan teori apapun, rumus apapun, persamaan apapun, pertidaksamaan apapun,bahkan dirata-ratakan pun tak akan pernah bisa, ialah nilai tak terhingga. Kuyakinkan diriku bahwa kau masih menjadi pemilik nilai itu, setidaknya sampai saat ini ketika aku masih percaya bahwa Tuhan belum merubah takdirku, dimana kau menjadi salah satunya.
Makassar, 12 Oktober 2011

Sabtu, 08 Oktober 2011

TAK SANGGUP MEMBERI JUDUL

Dia menyebar seluas tanpa sekat. Dia berkembang serupa akar kuadrat. Radius terdekat. Ada udara di sini, ada dirimu di sini. Sesepuh persembahanku. Meresap menutup pori-pori, melingkupi, mendominasi, merebah, mengguling, menghidupi. Kau menghidupi. Sesering apapun ini terulang, ketahuilah bahwa akan selalu lahir perbedaan yang membuatnya jarang, bahkan satu-satunya, maka hilanglah bosan. Ini menuntut perbedaan, seperti ketika kau tertawa sesungguhnya kau membedakan kesedihan, kesedihan yang berwajah lain, namun tidak berpura-pura. Kesedihanmu yang terlupa, begitulah kau tertawa. Jangan tertipu pada keadaan, kita bisa saja terlihat sama, namun kita ada di lingkaran yang berjarak. Wahai sesepuh hatiku, mari bernostalgia, dengan sejarah yang masih kau bukukan, tak berarti kau museumkan. Kita akan hidup se"entah" kita menebak, maka mari menemani waktu, agar ia tak berjalan sendiri. Kehidupan nyata tak menyuguhkan sinopsis, maka kita mesti menghabiskan setiap adegannya, semoga ada klimaks hingga kita mengakhirinya dengan riuh tepuk tangan. Untukmu, sang entah, sesepuh hatiku, terbiaskan oleh nyata, tertutup oleh keinginanmu, aku membalik prediksi untuk sebuah transisi. Untukmu, Indirani Virzana

Kamis, 22 September 2011

NAMAMU, KEASLIAN RASA

Silvika...... nama asli tanpa samaran, nama gundah tanpa bias, nama rindu tanpa selaput. Aku mengenalmu dengan rasa tak peduli. Kau sudah masuk dalam sebagian hati yang akan jadi persembahan. Silvika.... Nama denotatif tanpa konotatif, nama realita tanpa analogi. Aku separuh, bilangan 0,5 yang yang menantimu menggenapkanku menjadi 1. Untuk jejak yang sudah kau anggap hitam, aku meminta maaf tanpa lelah. Aku mengkhianati sebuah aturan, ketika kemungkinan sudah tiada, aku memunculkan kemungkinan sendiri meski hanya sebuah serpihan imajinatif. Ada satu hal yang tidak bisa dikalahkan waktu, ialah dunia apatisme, dan aku apatis soal berapa lama aku harus meminta maaf kepadamu, menyatakan cinta di hadapanmu, mengeruk peluh untukmu, merobek malu buatmu, merepih zaman. Aku seimbang, meski kau tak mengharapkan namaku tertulis di buku besar dunia. Aku baik-baik saja meski kau tak mungkin mengkhawatirkanku. Aku akan mati, kau pun begitu, tapi sejarah selalu hidup. Silvika..... Nama senyumanku, meski kau membuang wajahmu ketika berhadapan dengan namaku Nama dengan jajaran yang tak pernah putus Nama sebentuk titik, berbiak menjadi garis hingga ia hanya akan putus oleh takdir

Rabu, 14 September 2011

DIANDRA 1

5...................4................................3.............................................2..................................1............................. Mari kita mulai, ada beberapa perjanjian yang telah disepakati, juga ada beberapa daftar warisan yang siap diturunkan kepadamu, ini dia 1. Kehidupan secara umum 2. Tentang waktu 3. Hukum gravitasi 4. Fotosintesis 5. Atom 6. Tujuan hidup 7. Konflik dengan kenyataan 8. Komedi 9. Membaca sendiri 10. Keberadaan 11. Kematian 12. Perbedaan 13. Persamaan 14. Sejarah 15. Batas 16. Ukuran 17. Bentuk 18. Bilangan matematis 19. Kecintaan 20. Sistematis logika sudah siap? Kehidupan secara umum berusaha mengecilkan sesuatu yang sangat besar. Ini lebih mudah untuk kau genggam. Anggaplah sebuah kursi itu bisa dilipat, sehingga kau mampu membawanya ke mana-mana, itulah kedudukanmu. Pikiran kita terkadang terlalu besar, terlalu luas, hingga tak ada tempat dan tak cukup waktu untuk menampung dan membahasnya satu per satu. Maka dengan "umum' yang beliau wariskan ini setidaknya kau mampu meraih gambaran besarnya, selebihnya bairkan kenyataan mendewaswakanmu. Jangan merumitkan sesuatu, bairkan ia rumit dengan sendirinya, agar ia lepas, agar ia bebas, agar ia bisa lumrah, lazim, dan biasa dalam persepsimu. Seperti cinta. Cinta itu biasa hanya saja merasakannya sungguh luar biasa. Aku Diandra, sosok yang bertugas menyampaikan warisan ini kepadamu. Ini baru yang pertama, sampai jumpa di urutan ke dua sampai duapuluh nantinya, semoga kita tidak mandek sebelum ia genap.

Minggu, 11 September 2011

SINYAL DIANDRA

Ini aku, Diandra, sosok titipan Matar, sang legenda hidupmu. Aku tahu, kau Gandi firmansyah sang pemuja waktu, sang pecinta Matar. ini aku, Diandra, sosok titipan Matar yang kembali hadir menceritakan kisahnya yang tertunda, banyak hal tentangnya yang masih terdampar di dasar, mati setelah ia benar-benar mati. Ini tentang kematian dan keberadaan kematian, bahwa mati akan hidup dalam dirimu. Hidup dalam waktu yang kau puja dan masih menjadi teka-teki untukmu. Sebelum pesan ini bermakna, biarkanlah kau memaknainya sendiri agar sisi subyektifitasmu mampu mengalahkan objektifitas kenyataan yang kejam. Kau perlu fantasi untuk hidup, untuk menghidupi kehidupanmu. Sebelum pesan ini menjadi sampah, biarlah waktu membuangnya dalam sejarah-sejarah analogi mati. Sebelum kau jatuh cinta pada apapun, peliharalah kecintaanmu padanya, Matar sang legenda hidupmu. Surat ini kutulis sesaat setelah aku mengerti bahwa aku akan mewariskan Matar dalam hatimu, hati yang kau lupakan. Sebelum setelah menjadi kini, aku akan hadir DIANDRA

Rabu, 07 September 2011

DIANDRA

Ini untukmu Diandra, nama yang menjadi separuh ingatanku. Mungkin cuma kemungkinan yang mampu aku persembahkan untuk kenyataan yang masih merupakan masa depan, jika esok masih akan hadir. Aku tak berani memastikan semuanya, bahkan sedetik setelahnya pun masih menjadi rahasia bagiku, kau rahasiaku, rahasia yang masih menjadi rahasia. Bukan angin yang menerbangkanku, bukan pula sayap yang mengepakkan diri untukku, tapi gravitasi menolakku, dia mengabaikanku, bahkan dia rela membangkang, menyalahi hukum kekealannya. Kematian itu hidup, Diandra, dia ada, dan dia berada, dia mampu membunuh, dan dia pasti, tak seperti diriku padamu yang hanya sebatas kemungkinan. Maka, bila kematian itu menjadi cita-cita, janganlah khawatir tak akan meraihnya. Ini untukmu, Diandra, wajah yang masih samar namun sudah sangat lazim dalam sketsa penglihatanku. Deretan bilangan desimal menempatkanmu di urutan tak teridentifikasi, meski aku mampu menghitung dan menulisnya. Kau masih absurd, namun nyata dalam keabsurdannya. Ini untukmu, Diandra, pesan yang selalu hanya tersimpan dalam kotak outboxku, entah ke alamat mana tujuan sebenarnya. Ini dirimu, Diandra, sosok sesederhana kalimat itu tertuliskan dalam catatan-catatan saku yang usang. Ini sejarah, Diandra, di mana kematian tak mampu membunuhnya, dan itulah tempatmu.

PEMULA

Menyimpan pertanyaan tanpa menemui satupun jawaban ternyata mengasyikkan, setidaknya itu bisa menjadi salah satu alasan untuk menyambung hidup. Begitulah aku mempertanyakan pikiranku, pikiran yang aneh. Ketika malam sudah harus berpisah, karena pagi yang masih terlalu muda tengah mengudara, hadir di perjalanan waktu kali ini. Pagi yang masih terlalu muda bukannya masih awam untuk mencerna kehidupan, dia sudah cukup dewasa untuk mengawali hari, sedetik setelah pukaul 00.00 telah musnah setiap harinya. Ada sesuatu yang tak bisa dilakukan oleh sang pagi yang sudah dewasa bahkan pagi yang tengah menua. Dialah sang pemula, pemula yang betul-betul pemula, memulai segalanya. Kau tahu betapa sulitnya memulai sesuatu? Proses akan mengalir begitu saja, tapi garis start sangat tak semudah membayangkannya. Ada banyak yang merendahkan pemula, mereka yang di dalam anggapan personalnya bahkan telah mendunia dengan sebuah paradigma global bahwa pemula tak punya pengalaman. Lucu, sepertinya pengalaman tak berarti apa-apa bila tidak ada awal, dan pemula lah sang empunya garis start. Seperti menulis diari. “Dear diary” bukan awal yang baik. Bagaimana dengan ”Hari ini aku………….” Ah masih terlalu lazim, semudah itu memulai? Memulai untuk sesuatu yang baik dan membibitkan sesuatu yang luar biasa. Aku, tokoh yang terlalu subyektif ini masih terlalu risau memulai, mungkin awalku nantinya akan buruk,. Banyak bisikan bahwa akhir adalah segalanya, apa gunanya awal yang baik tanpa awal yang indah? Ada juga yang berteriak bahwa perjalananmu itu berada di tengah-tengah, dan itulah klimaks sesungguhnya. Bukankah proses yang membentukmu? Ya……tak ada hak untuk menyalahkan, tapi aku masih terlalu risau untuk memulai, mengawali itu sesuatu yang sakral. Akulah awalmu, awal yang tertunda. Aku tak ingin dilupakan ketika proses membentukmu dan akhir membuatmu merasa mencapai segalanya. Aku hanya ingin ketika pencapaianmu memuncak kau masih ingat rumah yang dulu menaungimu, tempat yang membuatmu merasa aman. Sesingkat itu alasanku merisaukan awal. Karena begitu sulit bagiku untuk mengawali, bairkanlah dirimu menjadi awal itu, sebisa mungkin agar awal menjadi bagian dari proses dan akhirmu yang terangkai tanpa sekat, tanpa skala, tanpa prioritas, seperti kecilnya atom yang berhasil membentukmu menjadi unsur hingga kau telah siap berubah menjadi senyawa kimia yang dewasa, tak lagi awam, tak lagi terlalu muda seperti sedetik setelah pukul 00.00.

Senin, 05 September 2011

SESAAT

Hanya sesaat, waktu yang sungguh subyektif, bahkan egosi, sangat egois. Sesaatmu tak dapat terukur juga tak sama dengan sesaatku, mungkin kau perlu menghabiskan waktu semenit untuk mencukupi waktu sesaat. Kau, mungkin 30 detik, kau 10 detik, kau 5 detik, kau sedetik.

Atau sekejam kau membuatnya cukup dalam sepersekian detik, lagi-lagi subyektif, kau tak mampu mengukur sepersekian detik itu secara matematis.

Memori tentang sesaat sungguh subyektif, egois.

Tak peduli seberapa lama sesaatmu. Hey....apa sesaat bisa diukur dengan seberapa lama?

Sesaat, seperti kilat, cepat, kejam, namun sangat indah bila kita mampu menggenapkan kadar keindahannya. Sesaat, tak tahu seberapa singkat, namun sangat mengesankan

Sesaat, ketika aku dan kau menjadi utuh tanpa menghiraukan semua itu akan berakhir dalam waktu yang sangat cepat

Selasa, 26 Juli 2011

ADA

Garis itu bermula, sejak titiknya mulai meniti jembatan, dengan kawan titik-titiknya.
Kemudian, garis itu memanjang, tak memperdulikan tekstur bumi, gesturnya bahkan tak tertebak.

Menyelundup mimpi, itulah yang dilakukannya, aku menokohkan diri kembali, karena semua tentangku, ceritamu hanya obyek ku.

Garis itu berhenti. Debu tak tahu, bahkan ia melumpuhkannya, garisnya memudar hingga tiada.

Mengapa harus bertanya? Karena aku serba tidak tahu.

Bibir angin membisikkan sebuah suara, mungkin hanya ilusi, tapi dia ada, begitulah eksistensiku, ada, meski sebenarnya tak ada.

Masih tentang ada dan tiada. Akulah garis itu, halusinasi sesaatmu, tapi ada. Mungkin hanya ilusi-ilusi liar yang tak diundang, tapi aku hadir, karena aku ada.

Kau membatasiku, itulah aku, karena aku batasmu, dan aku ada.

Kau mengungguliku, itulah aku, karena aku kalah, tapi aku ada.

Kau memotong perjalananku, itulah aku, karena aku lemah, tapi aku ada.

Tak perlu bukti nyata, karena aku tak nyata, meskipun aku masih ada.

Ssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssssttttttttttttttttt!!!

Diamlah......! denganrkan ini, anggaplah huruf-huruf ini sebagai suara, dia tak nyata tapi tetap ada.

ketika keberadaan bagimu hanya sebatas kenyataan, maka kau telah membatasi dirimu sendiri, sampai-sampai kau tidak mampu mengenal dirimu sendiri, karena ada hal yang tak nyata dalam dirimu, itulah diriku, dan aku ada.

MATAR

Minggu, 24 Juli 2011

SAMA......

Hari ini setelah kemarin, hari ini setelah dua hari yang lalu, hari ini setelah seminggu yang lalu, hari ini setelah sebulan yang lalu, hari ini setelah setahun yang lalu, hari ini setelah sewindu yang lalu, hari ini setelah seabad yang lalu.

Saat ini, saat di mana kemarin sama, namun aku belum menemukanmu, kau di mana?
Saat ini, saat di mana dua hari yang lalu sama, namun aku masih mencarimu, kau ke mana?
Saat ini, saat di mana seminggu yang lalu sama, namun aku kaget tak menjumpaimu, kau kenapa?
Saat ini, saat di mana sebulan yang lalu sama, namun aku masih bersamamu, kau nyata?
Saat ini, saat di mana setahun yang lalu sama, namun aku baru saja menikmati kedekatanku padamu, kau menghapus jarak?
Saat ini, saat di mana sewindu yang lalu sama, namun aku pertama kali melihatmu, kaukah itu?
Saat ini, saat di mana seabad yang lalu sama, namun aku belum ada, kau pun masih tiada, kitakah itu?

Saat ini, selalu sama dengan saat-saat sebelumnya, namun wujud, gravitasi, pancaran aura, energi magnetik, kekuatan indera, spasi, pertemuan batin, perpisahan udara, pelampisan ruang, dan keberadaanmu yang berbeda.

Andai kau ada saat ini, maka saat-saat sebelumnya akan sama, tanpa pengecualian, tanpa "namun".

"ANDAI" aku mampu menghapusnya, maka itu nyata, tak perlu diandaikan, karena jika situasional, menyalahi takdir, aku menafsirkanmu seperti saat ini, masih sama dengan saat-saat sebelumnya, kau tak ada, seperti sebelumnya, kau pun tak ada.

MATAR.........

Jumat, 08 Juli 2011

EKSAKTA URAI

%/ = - #

Hitung......hitung,......
Hitung aku........

cuma satu, untuk apa dihitung?

Satu juga bilangan kan? Kenapa tak dihitung?

Tapi tanpa dihitung pun sudah tahu

Kenapa bisa tahu? Aku ini jumlah

Kau itu tunggal

Kalau begitu uraikan diriku......Aku uraian 0,000000000000000000 sekian kan?

Jumlahkan aku dengan penjumlah 0,000000000000000000 sekian, lebur, rumuskan, hingga kau mendapatkan hasil = 1.

Setiap bilangan punya hak untuk dihitung.

UN / DIS / TIDAK

Jeda semakin tak teratur. Aku sempat melupakan mimpi, aku mengabaikan tujuan. Di sini tempat yang tak filosofis lagi, bukan bermaksud mengumbar aksara-aksara bertabir, hanya ingin membuatmu percaya bahwa sebenarnya aku belum menemukan kata terakhir yang pas untuk mengakhirinya.

Minoritas, itulah kaum jiwaku, mereka hanya segumpal titian yang tak pernah terjamah oleh telapak kakimu. Mereka meneriakkan suara-suara bising setiap saat, menelurkan bibit-bibit ekspektasi berlebih.

Tidak akan mungkin sempurna, hanya mampu berbuat sebanyak-banyaknya. Aku cacat, tak mampu berdiri dengan baik, kau bagaimana?

Prosa-prosa ilusiku hanya tumpukan barang-barang bekas di bawah meja, bermilyar partikel debu menutupi semua huruf-hurufnya. Simbolis, aktivis, dan sedikit filosofis, itu dulu ketika hidupku masih baik-baik saja.

Lihatlah, semua begitu amburadul, tak ada aturan, perusak urutan, pembentuk kecenderungan, cenderung merujuk pada analogi-analogi mati.

Aku muak...................ini bukan teriakan, hanya bisikan, karena kaumku sedang tertidur, aku takut dia terbangun, dan semuanya akan musnah.

Bukan jeda yang membuatku lega, bukan spasi yang membuatku bernafas, bukan jarak yang membuatku merasa lapang. Itu bukan kebutuhan, hanya keinginan.

Aku tak mau berhenti, masih banyak yang yang menunggu di tepi jalan, sampai aku menemukan kata yang tepat untuk mengakhirinya, mungkin namamu.

I LOVE YOU LIKE IRREGULAR VERB

Minggu, 03 Juli 2011

KONSONAN

Bbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbbb

Kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk

ggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggg

Kita bagai konsonan yang membutuhkan vokal untuk membentuk sebuah kata.

I LOVE YOU as a structural sentence

Kamis, 30 Juni 2011

!!!

Bila kau kembali, lupakanlah bila ada sesosok bayangan yang mengikutimu, sesungguhnya bayangan itu tak akan pernah ada bila tak ada cahaya

Akulah bayangan itu, dan kaulah gelap itu.

Kamis, 23 Juni 2011

SEBUAH TANDA TANYA

Senang bisa kembali. Sudah terlalu jauh langkah ini berbicara, namun tak satu pun tinta yang tertera. Aku menyesal. Merngapa selama ini aku melupakan? Melupakan satu hal yang jenuh dilupakan.

Ini hanya awal, selalu itu yang memberikanku tenaga. Sebelum hari akhir itu berakhir, aku masih punya waktu. Tapi aku mencintaimu tak seperti waktu. Takdir bisa dikalahkan waktu. Masih seperti ini, masih terlalu sederhana untukmu. Kau tahu, jemariku kaku, bibirku melengket, tak ada satu makna pun yang tertorehkan. Aku telah pasif.

Untuk halaman yang selalu setia. Seperti rumah yang tak akan jenuh menunggu penghuninya untuk kembali, meski ia tidak tahu, mungkin saja penghuninya itu menginap di rumah temannya, atau mungkin dia masih terlelap di kantor setelah lembur.

Bagaimana bila sudah mati? Rumah itu menangis, tangisannya tak teraba suara. Tangisannya tak terdengar, hanya terasa. Pondasi yang mulai rapuh, atap yang bocor, dinding yang menipis, juga tanah yang sudah meretak.

Setelah, setelah itu membuatku lupa pada sebelum, sebelum aku melangkah dan menemukan setelah. Aku selalu bodoh menyelami fase, prosesku hanya rentetan dengan detik yang terlupa.

Bilangan, nalar, keinginan, kesemrawutan, perih, penantian, persembahan, topeng. Inilah nama-nama yang kukenali, diluarnya hanya kata-kata yang sangat keras memukulku.

Bila cinta tak teraba, atau hanya terlupa, selalu ada rumah yang membuatku rindu untuk kembali. Meski tak semanis dulu ketika aku menyapa, kali ini, pertemuan telah melahap kerinduan.

Seruput kehangatannya, keluarlah, ketika kau merasa harus keluar, tidurlah ketika kau merasa harus tertidur.

Bila tak bermakna, atau hanya deretan kata-kata palsu bertabir analogi mati, selangkah lagi kita akan terpisah, mungkin kau bukan takdirku.

Rabu, 01 Juni 2011

SAYA SEPERTI WAKTU, SAYA TIDAK TAHU

Inovasi Karya Anak Bangsa menuju Kemandirian Nasional

Itulah tema yang ditentukan panitia Blog Competition Compfest2011. Saya sangat bangga pada penyelenggara event yang selalu berupaya untuk menciptakan ide-ide segar, atau setidaknya merangsang orang-orang untuk mencari sesuatu yang baru. Inilah yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia kita. Mencari sesuatu yang baru. Bukankah sesuatu yang baru itu mengasyikkan? Makanya, event seperti ini harus dijadikan agenda rutin, agar sesuatu yang baru itu bisa muncul seperti rutinitas kita sehari-hari. Semakin banyak sesuatu yang baru, semakin banyak pula yang bisa diolah menjadi produk baru.

Pertama-tama terima kasih pada panitia penyelenggara event ini. Tema seperti ini sangat kuat, kuat dalam artian, susah untuk mengeneralkannya, karena terkhusus pada inovasi yang harus ditunjang oleh kreativitas tingkat tinggi. Saya sempat bingung ingin menuliskan apa di blog saya tercinta ini. Saya sangat gugup sekali, diksi-diksi yang biasanya sangat lancar mengalir, kali ini seperti tersumbat entah oleh apa. Tapi akan saya coba.

Iya....
Saya ingin mendefinisikan kata inovasi dulu, karena menurut saya, sumber permasalahan ada pada si inovasi ini. Kita akan kesulitan untuk menjelaskan bila maskud dari tema tersebut tidak dimengerti. Oleh karena itu, mari kita sama-sama mendefinisikannya.

Inovasi itu berarti “proses” dan atau “hasil” pengembangan dan/atau pemanfaatan / mobilisasi pengetahuan, keterampilan (termasuk keterampilan teknologis) dan pengalaman untuk menciptakan atau memperbaiki produk (barang dan/atau jasa), proses, dan/atau sistem yang baru, yang memberikan nilai yang berarti atau secara signifikan (terutama ekonomi dan sosial).

Inovasi sebagai suatu “obyek” juga memiliki arti sebagai suatu produk atau praktik baru yang tersedia bagi aplikasi, umumnya dalam suatu konteks komersial.

Dari penjelasan makna kata inovasi di atas, saya akhirnya mampu merangkum dua buah kata untuk inovasi, yang mana dua kata ini adalah ruh dari inovasi. Pertama adalah karya. Inovasi adalah sebuah karya, sebuah hasil upaya fisik, mental, pikiran, manipulasi egoistis, kemudian berjalan secara berkesinambungan, menghasilkan sebuah pikiran dan terlahirlah karya.

Kedua adalah baru. Ini yang paling penting. Pada dasarnya, sejatinya, dan memang kodratnya bahwa inovasi itu harus bersifat baru. Baru dalam arti sebenarnya adalah tak pernah ada sebelumnya. Seperti bayi yang baru saja terlahir, meskipun dalam hal ini bayi bukan sebuah inovasi.

Maka dari itu, otak pas-pasan saya memutuskan untuk membahas inovasi dengan dua kata tersebut, karya dan baru, atau disatukan saja menjadi karya yang baru. Mari kita mulai.

Ada satu filosofi yang berhasil saya buat sendiri. Filosofi ini adalah hasil penalaran liar otak saya, entah yang mana, yang kiri atau yang kanan, saya tak mampu memikirkannya. Terkadang, kita selalu bosan dengan rutinitas kita sehari-hari, melakukan pekerjaan yang sama setiap harinya. Rutinitas itu menjadi momok, sehingga rasa bosan akan sangat mudah untuk menjalar, menginfeksi, kemudian menjadi benalu, menetap, terlebih lagi kalau ia mampu berkembang biak. Bayangkan kehidupan Anda, betapa sangat membosankannya.

Coba perhatikan, lebih teliti, sangat teliti, apa yang berbeda dari rutinitas Anda? Misalnya, Anda seorang karyawan swasta. Siklus hidup anda seperti ini:

Bangun, sarapan, ke kantor, pulang dari kantor, istirahat di rumah. Sederhananya seperti itu. Atau Anda tidak ingin yang sederhana? Baiklah, anggaplah, setelah pulang kantor Anda mampir dulu di cafe, nongkrong bersama teman - teman kantor, atau di setiap akhir pekan Anda berlibur ke luar kota, dan semacamnya. Menurut Anda apa yang berbeda dari semua itu? Apakah menurut Anda liburan di akhir pekan, mampir di cafe sepulang kerja, dan lain-lain itu sebuah inovasi untuk mengusir kejenuhan dalam rutinitas Anda? Kalau iya, betapa sempitnya pemahaman Anda terhadap inovasi. Sekarang pikirkan! Ketika Anda menyelipkan kegiatan-kegiatan santai, seperti liburan dan jalan-jalan misalnya, kemudian minggu depannya, minggu depannya lagi, terus bulan depannya sampai tahun depannya Anda tetap melakukan hal tersebut di sela-sela rutinitas Anda, bukankah itu sebuah pekerjaan yang berulang-ulang? Sesuatu yang berulang-ulang, berkali-kali, tidak pantas lagi dikatakan sebagai hal yang baru. Lantas, masihkah Anda bersikukuh untuk mengatakan bahwa semua itu bagian dari inovasi?

Nah, sekarang saya akan membeberkan rahasia, sebuah rahasia yang sebentar lagi tak menjadi rahasia. Atau lebih tepatnya sebuah rahasia yang hanya bernama rahasia namun tak pernah ber-esensi rahasia. Dari semua rangkaian rutinitas Anda, semua aktivitas Anda, ada satu elemen yang mungkin sering terlupakan bahwa ia telah menjadi simbol sejati inovasi. Padanyalah kita semestinya berkiblat. Dialah waktu, iya...waktu. Serutin apapun aktivitas Anda, dia akan selalu baru, baru, tak pernah berhenti menjadi baru. Setiap detiknya, waktu selalu mengalami perubahan, menyempitkan kesempatan manusia untuk hidup, mengatur jadwal kegiatan manusia, membuat manusia merasa dikejar massa, membuat manusia melakukan pekerjaan terjadwal, membuat dunia selalu baru, dan bertambah tua. Itulah waktu, dan filosofi waktu itulah yang mengilhami saya untuk mengaitkannya dengan sebuah inovasi.

Mari kita lanjutkan...!

Bagimana merangsang terciptanya inovasi dalam kehidupan kita, atau para penerus pelaku karya bangsa? Mari belajar seperti waktu, belajar untuk selalu memperbaharui diri, tak pernah berhenti melangkah, meskipun demikian, tetap menyimpan gudang memori untuk pelajaran yang telah berlalu, sebagai bekal catatan di masa depan.

Pertanyaan selanjutnya pasti akan muncul. Bagaimana menciptakan inovasi dengan filosofi waktu tadi? Nah, yang ini butuh sedikit keseriusan untuk menjawabnya. Maka dari itu, saya akan mencoba untuk serius. Baiklah, Anda-Anda sekalian tentu akan kebingungan bila ingin menciptakan inovasi dengan teori waktu tadi, karena kemampuan manusia itu terbatas, sementara waktu itu tidak terbatas. Maka, jawaban yang paling tepat untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana menciptakan inovasi dengan filosofi waktu tadi adalah dengan cara mengatakan tidak tahu, dan kita akan merasa bangga dengan ketidaktahuan itu. Mengapa harus bangga pada ketidaktahuan? Karena semua karya ada karena ilmu, semua ilmu ada karena pengetahuan, dan semua pengetahuan sebenarnya berasal dari ketidaktahuan. Nah, makanya, kalau Anda merasa banyak tidak tahu dalam beberapa hal, maka Anda patut berbangga, karena Anda memiliki banyak kesempatan untuk menjadi inovator. Betul kan?

Kita sering terlalu jauh untuk mencari sebuah inovasi, eksperimen-eksperimen, praktikum-praktikum, dan lain sebagainya, dan kita lupa bahwa ada banyak hal sederhana yang terabaikan justru mampu menjadi aktor-aktor penting untuk sebuah kelahiran inovasi. Ketidaktahuan bisa ditindaklanjuti. Ketidaktahuan bila dimaksimalkan akan melahirkan pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan menghasilkan upaya untuk mencari jawaban. Anggaplah seorang anak tidak tahu hasil penjumlahan 1+1. Dia lantas mencaritahu jawabannya, dia menulis 1 kemudian 1, dan menurutnya, 1 bila ditambahkan 1 menjadi 11. Secara matematis itu mutlak salah. Namun, dalam dunia imajinatif, tak ada kebenaran yang mutlak, bahkan kesalahan bisa menjadi sebuah kebenaran bila kita kreatif mengolahnya. Sederhana memang. Seorang anak ini melakukan sebuah kesalahan penjumlahan. Namun, mari kita meneliti baik-baik. Sebenarnya, si anak ini telah berhasil melakukan sebuah inovasi. Dia menggunakan logikanya, inderanya sehingga mendapatkan angka 11 sebagai hasil penjumlahan 1+1. secara logika itu benar, angka 1 bila ditambahkan 1 menjadi 11. Ini luar biasa. Sang anak menggunakan kemampuan inderanya, kemudian mengolah dengan logika nakalnya. Hal yang paling luar biasa adalah, dia telah mampu keluar dari kaidah-kaidah matematis untuk menyelesaikan soal matematika tersebut. Dia telah mencoba cara baru, di dunia baru, semuanya terjadi karena proses kreativitas imajinasinya, dan kesemuanya itu berangkat dari kesalahan dan berakar dari ketidaktahuan.

Inilah potret kehidupan bangsa kita. Terlalu banyak kaidah-kaidah yang harus dipatuhi, sehingga "kenakalan" imajinasi itu tertutupi. Terlalu banyak kaidah pun berlanjut pada pelanggaran-pelanggaran aturan. Mengapa? Karena mereka merasa jenuh. Tapi itu cuma intermezo.

Konsep sederhana telah saya tawarkan, tepatnya dua konsep sederhana, pertama konsep waktu, kedua konsep ketidaktahuan. Akhirnya, tibalah saya pada tahap merangkum kedua konsep ini. Inovasi karya anak bangsa akan terus menggema jika kita selalu memperhatikan gerak waktu yang tak pernah kita ketahui kapan berakhirnya. Pada saat itulah, kita bisa menyadari, bahwa gerakan waktu itu konstan, namun tak pernah berhenti. Maka, seyogianya kita tak pernah berhenti mencari ide, sampai batas yang tak kita ketahui. Memelihara pertanyaan-pertanyaan yang terkadang membuat kita minder hanya karena ketidaktahuan.

Jika hidupmu berada dalam ketidaktahuan. Sarapanlah, pertanyakan ketidaktahuanmu, dan keluarlah mencari jawabannya tanpa rasa takut salah. Karena kesalahan menurutmu bisa saja benar di dunia lain, yang mungkin pada dunia kaidah bisa salah.
Keep think different

Sumber referensi : www.google.co.id

Tulisan ini diikutsertakan dalam Blog Competition COMPFEST 2011

Blogging Competition Compfest 2011

Selasa, 31 Mei 2011

DUNIA KETIKA

Apa yang indah...?
Apa......?

Ketika kau mengusir jenuh, yang ada hanya kuadrat-kuadrat ilusi tanpa hingga, kemudian membunuh realita, menumbuhkan dunia yang mengajakmu hilang?

Ketika kau menutup jalan, membiarkan tak satu pun kendaraan yang lewat, kemudian kau tertunduk pilu di atas aspal, dengan air mata yang meretakkan jalan?

Ketika kau bermimpi, dan kau terbangun, yang barusan itu cuma mimpi, dan otakmu lumpuh?

Ketika kau berteriak dan tak satu pun yang mendengarmu?

Ketika inderamu menjadi sia-sia?

Apa yang indah........?
Apa.......?

Ketika lisanmu menjadi beku, kemudian dia lenyap, bercucuran atom-atom yang sesaat lagi akan wafat?

Ketika kau melangkahkan kakimu menuju tempat yang tak pernah kau rencanakan, kemudian kau hanya bisa memasrahkan diri pada perjalanan waktu?

Ketika kau hanya mampu mengatakan ketika, seandainya?

Apa.....?

Apa.....?

Apa yang indah......?

Ketika semua tanda telah kau lahap, namun tak satu pun menjadi nutrisi untuk kehidupanmu?

Ketika semua cahaya meninggalkanmu, membiarkanmu hitam, pekat, larut dalam gelap, dan hanya ada satu alasan untuk tetap bertahan, yakni kau memang tak bisa ke mana-mana?

Ketika sepuluh, sebelas, duabelas, tigabelas, empatbelas, limabelas, dan belasan lainnya menghampirimu dan berkata, "Jumlahkan aku tanpa sebuah keganjilan!"

Ketika teka-teki hanya membuat kepalamu pecah, dan kau bahkan tak mampu memungut pecahannya?

Ketika kau hanya mampu bercermin dan menganggap, aku pantas seperti ini?

Ketika kau hanya mampu berkata,"kumohon...!"?

Ketika hidupmu terlalu pasif, ketika rasamu terlalu labil, ketika sekujur kehidupanmu terlalu perih, ketika kesederhanaanmu bersembunyi?

Ketika semuanya situasional, dan kau mensituasionalkan rasamu?

Apa yang indah...............?

Apa.......?

Jawablah.....?

Kali ini aku butuh jawaban.......


Yang indah di antara semua deretan "ketika"mu adalah ketika kau merasa bangga memiliki kehidupan, merasakan kehidupan, dan mempertahankan kebenaran kehidupan, juga ketika kau menikmati semuanya tanpa keluhan.

Jumat, 20 Mei 2011

AWARD






Terima kasih kepada Kak Acci untuk titipan ini

Mengingat keterbatasanku adalah sebuah ketidaktahuan, juga ketidaktahuanku adalah sebuah keterbatasan, maka ijinkan saya menetaskan telur-telur imaji melalui halaman ini, untuk sebuah keyakinan bahwa fiksi adalah kenyataan abstrak.

Terima kasih untuk sebuah kepercayaan, untuk sebuah nama, untuk banyak hal, untuk penjelasan tak teridentifikasi. Ketika jiwa bertransmigrasi, percayalah bahwa hanya jiwa yang bisa menemaninya.

Sebuah kepercayaan akan saya sebarkan kepada:

Dhe

Yg menetaskan banyak semangat untukku. Kata-kata indah tak sanggup mengindahkannya. Dia lebih dari kata-kata. Dia garis bagi perjalananku.

Qefy

Sebuah pribadi yang menyenangkan, penuh kreatifitas, saya selalu terpenjara dalam caranya mendeskripsikan keadaan, juga keuletannya sebagai tuan rumah yang baik.

Lozz Akbar

Dulur saya dari Jember. Sebuah pribadi yang santai, lepas, bebas, merdeka, namun menaruh perhatian besar pada alam, katanya memancing tawa, namun tawanya melarutkan kesedihan akan pesan kehidupan yang kita abaikan. Terima kasih


DimasAdy


Sosok romantis yang saya kagumi. Diksinya selalu tepat, selalu sarat akan serat-serat. Kemisteriusannya begitu nyaman. Halamanya selalu terasa segar. Dia pecinta yang hebat.

Rinz

Aku mengenalnya secara tidak sengaja. Kemudian, aku disuguhkan sebuah hidangan tanpa nama, tanpa rasa, tanpa apa-apa, namun selalu membuatku rindu untuk kembali. Analisanya tajam, bahkan mampu menembus sisi subyektifitasku dalam setiap tulisan-tulisanku. Dia penulis hebat.

TERIM KASIH

Maaf, saya bodoh berterima kasih.

Kamis, 19 Mei 2011

PUZZLE

Letakkan pertanyaan di depan pintumu!
Letakkan semuanya, susun bila perlu!


Bagaimana dengan ini........?

(............................................)

Aku dikurung, kau bingung, aku senyum, teruskan.....!

Letakkan pertanyaan lagi.

Bagaimana dengan ini......?

:,."

Aku dirahasiakan.

Selesaikan aku...!


Lnnvnchdsjd''..////,.,.,.,.[]/l;';p;;p;l;
O.,/[op['p'=-['lk;[o=po='po=po'po[po=po/;[
V'';][/;][/;]87848787298\/7


Belum selesai, bung.....

Bungkus saja,

untuk apa...?

Untuk orang di rumah.

Aku tak punya rumah.

Kalau begitu untuk orang yang menunggumu pulang.

Tak ada yang menungguku.

Kalau begitu untuk bekalmu

Kaulah bekalku............

Kau kanibal

Aku bukan kanibal

Lantas...?

Aku hanya menginginkanmu.....

Genapkan aku, selesaikan aku!

Baiklah, selesailah dirimmu

E#$^*()(&^%*&**

(Perhatikan baik-baik, ada pecahan puzzle di sekitar kita, menunggu untuk disusun rapi)

Selasa, 17 Mei 2011

UP TO YOU

0000000000000000000000000000000000000

1111111111111111111111111111111111111

2222222222222222222222222222222222222

3333333333333333333333333333333333333

4444444444444444444444444444444444444

5555555555555555555555555555555555555

6666666666666666666666666666666666666

7777777777777777777777777777777777777

8888888888888888888888888888888888888

9999999999999999999999999999999999999

........+.........x..........-.............+.......-........=...................

Isilah titik-titik di atas dengan angka-angka yang bersusun di atasnya. Isi dengan angka semaumu, seenakmu, sedetail pertimbanganmu, secuekmu.

Pada dasarnya, aku logika yang bisa dimungkinkan, bisa dipilih, bisa diabaikan, bisa dipertimbangkan, semaumu, seenakmu, sedetail pertimbanganmu, secuekmu.

Selebihnya, aku bukan angka-angka posisi, bukan kursi, bukan kamar, bukan sudut, maka jangan berpikir untuk mengurutkan, itulah pilihanmu, itulah hasilmu.

MUNGKIN.................

Selasa, 10 Mei 2011

RASA TANPA KAIDAH

Aku tiba.....

Sayang, hanya udara mengepul di atas kepalaku, bukan puing-puing rindu pada sebuah kerinduan. Inilah perihal otak, perihal logika, perasaan yang dibuat logis. Mengapa harus seperti itu? Pragmatisme itu bahkan bisa diilmiahkan, dengan ilmu linguistik mampu mengkaji keragaman rahasia bahasa, untuk kesekian kalinya, rasaku kau logiskan.

Semua ini tidak pada tempatnya. Aku haus, malah kau memberikanku jus jeruk. Rasanya manis, segar, dingin, tapi meninggalkan haus yang berkembang biak. Mengapa tidak kau berikan air putih saja? Tenggorokanku merindukan itu.

Aku tidak mengeluhkan hidup, bahkan menentangnya aku tak berani. Aku bukan sang empunya kehidupan, aku hanya ingin membuat waktu lebih indah, setidaknya rasaku bisa sedikit kaya. Lantas, mengapa kau logiskan? Aku tak ingin logika, aku ingin kepekaan, abstrak, tutur implisit, aksara-aksara simbol, agar aku, kau, dia, mereka, dan kita semua bisa belajar. Pada situasi tertentu, kaidah itu tak ada gunanya. "Pada situasi mana?" Katamu. Pada situasi di mana situasi itu keluar dari situasi, di mana dia menduniakan dunianya sendiri, aturan Tuhan bukan kaidah, tapi warna yang menciptakan gradasi indah pada situasi.

Tidak perlulah mencari simbiosisnya, biarkan simbiosis terjalin dengan alami, tanpa rumus, tanpa sebuah teori-teori, takdir menjadi indah bila alami. Begitu juga rasaku, menginginkan sebuah kealamian, bukan kelaziman struktur, konsep yang turun-temurun, bising, seperti tumpukan analogi tanpa tujuan di kepalaku.

Sekarang, tolong rasakan perasaanku, "mood" hanya menjajahmu. Itu hanya logikamu, logika yang bisa kau gagalkan, tapi perasaan, tak bisa digagalkan, hanya bisa ditahan, kalaupun musnah, itu sudah rasa Ilahi, rasa yang alamiah, takdir memecah kerapatan atom di dalamnya, sekuat apapun senyawa mengurungnya.

Giliranku......

Jangan memaksaku berhenti, atau mengajakku diam. Ketika lisan tak mampu berupaya, percayalah, masih hidup jutaan kata, jutaan yang kemudian beranakcucu, tanpa spasi, tanpa tanda koma, tanpa tanda baca, agar kau hanya mampu melihat, tak membacanya. Nah, pada saat itulah aku datang di sampingmu membacakan kata-kata itu, kemudian akan mengantarmu tidur. Setelah terbangun, jumpailah kata-kata itu telah menjadi debu di ranjangmu, di sekitarnya, di setiap sudutnya, begitulah aku memusnahkan diri ketika tak kau butuhkan lagi.

Jumat, 06 Mei 2011

SETELAH MATI SURI

Hai, waktu. Maaf, aku membinasakanmu dengan sendirinya. Aku membuatmu mati sebelum saatnya. Maaf aku meng"entah"kan semua dari jawaban-jawaban yang hanya mendefinisikan bentuk, bukan membentuk.

Aku pernah mati, mati suri, mati suri karena mematikan diri sendiri. Aku pernah mengakhiri, akhir dari sebuah awal, akhir dari sebuah mimpi sebelum sempat diarih.

Aku sudah melahap banyak tanda, bahkan jumlah yang tak bisa dijumlahkan, tapi bukan itu tujuanku. Aku hanya ingin mati, mati dari kekakuan, mati sebelum waktunya. Bukan juga sebuah kekecewaan, apalagi menkhianati kenyataan, hanya ingin mati suri, mati sebelum saatnya.

Bias bisa saja menajadi penjelas, rumit bisa saja menjadi kesederhanan, komitmen bisa digagalkan, semua bisa, mengapa harus belajar pada kebenaran? Justru kesalahan, penyimpangan, hitam, suram, kegagalan, pengkhianatan, adalah teman setia untuk otak-otak yang ingin bersemedi, menelusuri kebohongan kata untuk sebuah kebenaran, bukan pembenaran.

Ada sebuah trilogi cerita yang menawarkan 3 sekuel kehidupan, awal, tengah, dan akhir. Aku membalikkan itu semua. Siklus terbalik membuatku merasa segar. Akhir, tengah, awal. Aku telah menemukan hidup baru, gaya menghabiskan jatah waktu. Mengkahiri diri sebelum waktunya, kemudian menemukan dunia tengah, dunia antara, dunia yang merefleksikan segalanya, dunia untuk mengumpulkan bekal, dan aku berakhir di awal, berakhir di titik awal, titik di mana aku bisa terlahir kembali, tidak berakhir untuk mati.

Ya....aku tidak berakhir untuk mati. Berkahir, berhenti, selamanya tidak menjamin keabadian. Kata penuh dengan kebohongan, tapi kebohongan mengandung sebuah kejujuran, kejujuran yang bersembunyi, entah di mana.

Ya....aku pernah mati, menyalamimu dengan jamah perpisahan. Tapi sadarkah dirimu, teman? Perpisahan itu adalah titik awal dari siklus terbalikku.

perhatikan baik-baik...!

Akhir, tengah, awal.

Aku mengakhiri hidupku, mengkahiri halamanku, berarti aku mengawali siklusku. Sekarang, setelah mengunjungi tengah, dunia antara itu, aku berhasil mengakhiri hidupku, berada di titik akhir, yakni sebuah awal. Kita berpisah selamanya, pada saatnya,pada waktunya, namun perpisahan itu adalah awal dari pertemuan kita, pertemuan yang lebih panjang. Jangan menjawab pertanyaan yang muncul di kepalamu dengan sebuah jawaban, tapi isilah dengan beribu pertanyaan. Karena, pertanyaan itu akan mengantarkanmu pada satu jawaban, di sana, di akhir, yang berarti sebuah awal.

Inilah aku, setelah mati suri.

BERSAMBUNG........

Minggu, 01 Mei 2011

THE END OF BLACKBOX

Bertanya, seperti tak pernah habis. Sudah tak ada posisi lagi, lokasi pun telah terkontaminasi, virusnya mematikan arah. Aku mati di sini, di entah yang selalu tiba. Apakah harus berhenti? semakin lama, abjadku hanya jadi lahapan zaman, sedikit rasa yang tersampaikan, banyak kekecewaan yang dilahirkan.

Aku harus berhenti, berhenti mengisi abjad dalam kolom-kolom jiwaku. Maaf teman, aku harus berterima kasih. Ini bukti aku mensyukuri kehadiranmu, meski itu samar, meski itu bias, meski itu hanya sebuah pertanyaan yang beranakcucu.

Terlalu banyak sokongan, tapi sarafku sudah lumpuh, tubuhku sudah mati, jiwaku masih hidup tapi entah berlabuh ke mana. Aku tak mungkin meminjam tubuhmu untuk berlari, sementara kau butuh kecepatan lebih untuk mengejar mimpimu.

Jika suatu saat aku berhenti, kau akan menjumpai kekosongan di halamanku. Jangan sisakan apapun di sana, biarkanlah kosOng itu melapangkan diri, agar terasa luas bila aku mengunjunginya kembali. Iya, aku akan berhenti, sebentar lagi, aku masih punya sedikit waktu untuk mencumbui pertemuan kita. Maaf, jika kenangan ini terlalu pahit, aku tak punya banyak gula untuk memaniskannya, rasa pahitnya sangat pekat hingga lidahku sendiri menyerah.

Selamat tinggal halaman-halaman tanpa syaratku. Kita akan bertemu lagi di waktu yang masih entah, di waktu yang masih dipertanyakan.

Sampai jumpa kawan, aku menutup halamanku, bukan untuk mencukupi, karena itu memang tak layak lagi diteruskan. Entah sampai kapan lagi, aku hanya ingin bersemedi, menunggu syair-syair rindu mengalun di daun telinga, memekikkan kejenuhan hingga pecah berkeping-keping.

Bukan sebuah kesalahan, namun aku merasa perlu meminta maaf. Bukan sebuah pemberian karena aku merasa butuh berterima kasih. Pertemuan kita luar biasa, perpisahan kita pun luar biasa, karena kita tidak tahu sampai kapan kita berpisah.

Aku menutup halaman ini untuk entah yang menggunduli semua pancaran ideku. Inilah diriku untuk dirimu yang terlalu kompleks, teman.

Di taman yang masih menunggu gugurnya dedaunan, kita berpisah, aku berhenti, teruskan nafasmu.

SURAT WASIAT

Saat kau membaca surat ini mungkin aku tengah di alam lain, menebar senyum pada malaikat, melihatmu membuka lembaran usang itu.

Dengarlah, dengarlah, kata-kata yang kau baca ini perwakilan suaraku, maka dengarlah! Aku menitipkan sebuah wasiat padamu.

Aku mewariskan kamar ini, kamar kecil, berisi oksigen penuh. Di lantainya ada tikar lusuh, ada lubang di mana-mana. Jangan beranjak dulu! Aku belum selesai.

Kamar ini untukmu, inilah warisan terakhirku, warisan pertamaku, satu-satunya warisanku. Di sinilah aku pertama kali mengenal dunia, aku kecewa karena dunia yang aku harapkan sebenarnya tidak ada, tapi tidak apa-apa. Mengapa kamar ini menjadi penting untuk aku wariskan? Penting bagiku, dan penting bagimu untuk mementingkannya. Sejarah kamar ini biasa-biasa saja, tak layak dimasukkan dalam museum, apalagi dijadikan sebuah peninggalan bersejarah. Sejarah itu bukan untuk umum, sejarah itu dirimu, mengapa kau bisa ada di sini dan membaca suratku.

Oh iya, aku menemukan banyak ideologi-ideologi, buang saja itu, aku ingin kau menginjaknya hingga ia rata dengan tanah, biarkan ke"rata"annya menembus lantaiku. Kau, kuberi nama tanpa nama, agar tidak ada yang memanggilmu. Aku benci kau dipanggil, aku benci kau disapa, mereka hanya ingin mengagungkan namamu, ingin menyebarluaskan namamu, ingin mendengungkan namamu, bukan dirimu, aku tak ingin mereka mencintai namamu saja.

Baiklah, aku hanya memiliki sedikit daya waktu menulis surat wasiat ini. Dengan bangga aku mewariskan kamar ini untukmu, untuk dirimu, warisan tanpa namaku, untuk dirimu keturunan tanpa namaku, untuk dirimu, entah tanpa tanda tanya. Tak semua entah patut dipertanyakan, kadang kita membiarkannya bias untuk membuatnya jelas, jelas bahwa ia bukan untuk sebuah misi identifikasi.

Kamar ini memiliki rahasia besar. Kau tahu apa rahasia itu?

Di kamar inilah,kita pertama kali bertemu. Iya, pertemuan yang berbeda, beda dunia, beda hasrat. Aku di sini di tempat yang kau yakini, dan kau di dalam kamar warisanku. Kita tak pernah bertemu sebelumnya. Aku senang kau pulang dengan mimpi yang kini bewujud, begitu jelas, kau me"nyata" kan mimpimu, nak. Hapuslah nama Gandi di dirimu, aku tak ingin memanggilmu Gandi lagi, aku ingin kau hidup tanpa nama, karena mereka hanya mencintai namamu, biarkan tak ada yang memanggilmu, sebentar lagi Tuhan akan memanggilmu, itulah panggilan yang aku harapkan, dan kita betul-betul akan bertemu. Aku melahirkanmu sebelum kau sempat mengenaliku, nak. Selamat atas mimpi yang kau raih, aku senang kau telah pulang. Satu rahasia lagi, di kamar inilah, di atas tikar lusuh yang jadi alas dudukmu, aku mendengar tangisan pertamamu setelah keluar dari rahimku. Kau Gandi Firmansyah, sebuah nama tanpa nama. Inilah warisanku. Jadikanlah kamar ini tempat yang kau rindukan, meski rindu itu menahun, meski akan berlumut.

Selalu menyebutmu di ujung bibir, dan merasakanmu hingga batas perasaan.

Matar

(sekuel terakhir MATAR DAN GANDI)

Jumat, 22 April 2011

BUKAN KARTINI

Maaf nak, aku bukan Kartini. Aku bukan wanita yang dibuatkan lagu khusus, mendengung di telinga anak-anak SD ketika belajar kesenian.

Maaf, nak, aku bukan Kartini. Aku bukan wanita yang terpampang wajahnya, terbingkai rapi di dinding-dinding rumah.

Maaf, nak, aku bukan Kartini. Aku bukan wanita yang memperjuangkan sebuah kata yang akan melegenda, akan terisak seperti tangis, akan menggaung seperti teriakan, hingga ia tak mampu dianalogikan lagi, "EMANSIPASI".

Maaf, nak, aku bukan Kartini. Aku hanya wanita yang begitu bangga menaungimu dalam rahim, memebesarkanmu dengan tangan lemah, memberikanmu minum dengan air susu, melihatmu jingkrak ketika aku menghapus peluh sembunyi - sembunyi.

Maaf, nak, Aku bukan Kartini. Aku bukan wanita yang dikenal semua wanita, menjadikannya idola, menjadikannya seorang tokoh yang besar. Mungkin selain ayahmu, hanya kaulah orang yang mengenalku.

Maaf, Gandi, anakku, aku hanya MATAR, ibumu, wanita yang kini beruban, wanita yang menyimpan rindu menahunnya, wanita yang selalu menyisakan tanda koma untukmu, wanita yang membaringkanmu setelah dongeng berkumandang di telingamu, wanita yang kini terbaring di tikar lusuh, hanya mampu menulis surat-surat kehidupan untukmu, agar engkau mampu berjuang, memelas peluh, merenungi darah, mencintai rahim wanita.

Aku ini Matar, bukan Kartini. Aku ini Matar yang begitu lemah mengabaikan emansipasiku untuk anakku, Gandi Firmansyah.

Jumat, 15 April 2011

RALAT

Memulai dari awal, bukan melanjutkan. Sepertinya, aku kembali, tapi entah mengapa aku masih konstan? Ini sebuah perjalanan, RALAT! aku hanya diam.

Sepuluh meter dari sini ada simbiosis mata kita, saling, ketergantungan pada titik temu, RALAT! aku nyata-nyata buta.

Bahkan, ketika sementara mengalahkan kita di pusaran entah, kita tergulai melihat langit yang sama, RALAT! aku tertidur pada saat itu.

Seperti analogi yang menyembunyikan sebuah selubung makna, kita terperangah, aku melucuti semua yang bisa dilucuti, RALAT! Aku menangis pada saat itu.

Satu, dua, tiga, aku menghitung sampai lidahku tak bergetar, RALAT! aku tak mampu menghitung.

Meredup di saat yang lain menerang. Itulah upayaku, RALAT! Aku bahkan menopang dagu saat itu.

5,6,7,8,9,10.........aHDJHFJSADCIASJDKJSAKJDSA, RALAT! Aku bahkan buta pada tanda.

Aku bermimpi di pelaminan, membacakan sumpah serapah tentang ikatan suci, RALAT! Aku dibangunkan oleh kenyataan.

Di mana susunan tulang belakangku? RALAT! Aku lemas tak bertulang bertahun-tahun lamanya.

Sampai kapan menimbulkan pertanyaan? RALAT! Aku ini hanya jawaban tak berguna.

Sampai kapan membenci? RALAT, cinta juga membenci, membenci kebencian.

Sudahlah, RALAT! Aku tak bisa berhenti sebelum Dia menghentikanku.

RALAT.......

Karena semua jejakku adalah kesalahan yang perlu perbaikan, di sanalah aku merindukanmu, dan di sanalah salah satu bagian kehilanganku.

Aku lupa, berusaha lupa, memaksakan lupa, RALAT.....!!!
Aku bahkan lupa bagaimana melupakanmu.

Rabu, 13 April 2011

SPASI

Harus pada siapa....?
Ikatan ini sungguh renggang. kita tak lagi serapat dulu menata barisan, tidak seceria dulu lagi ketika berada dalam lingkaran. Tidak seperti dulu lagi. Jangan harapkan itu, karena setiap saat keadaan akan berubah, kita tidak mungkin seperti dulu selamanya.

Jangan kecewa pada perubahan, itu hal mutlak.

Semiotika. Ituah caraku memahamimu, menafsirkan banyak persepsi dari tanda yang kau kibarkan. Selebihnya, aku sangat bodoh, tak sebesar yang kau perkirakan. Perkiraanmu salah.

????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????????

(............................................??????????????????????????)

?????????????????????????????????????????? , ??????????????????????????????????????

Perhatikanlah, di antara semua tanda itu! Semua tanda tanya yang mewakili kemisteriusanku, tanda titik yang mewakili kesemrawutanku, aku menyelipkan satu tanda koma di jaraknya. Tanda koma itulah dirimu, tanda yang mewakili jeda kebosananku.

Minggu, 10 April 2011

KOPDAR BLOOFERS MAKASSAR







Meskipun tak secepat kilat, tak selihai tikus yang mengincar keju di dapur, aku baru saja menyelesaikan hajat yang tertunda. KOPDAR, begitulah kami menyebutnya. Sebuah ajang pertemuan fisik setelah beberapa kali bersua batin di dunia maya. Masih terngiang jelas di benakku ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah yang mereka sebut dengan istilah Blog Of Friendship ini. Tepat bulan Desember. Waktu itu, aku menyempatkan diri berkunjung ke rumah seorang sahabat yang membuatku jatuh cinta dengan tulisan tentang ibunya. Dari rumahnyalah aku mengenal rumah dahsyat itu. Akhirnya, tanpa rencana aku berkunjung ke rumah Bloof yang saat itu masih dihuni oleh manusia yang masih bisa dihitung jari. agak aneh juga rasanya. Akhirnya, saya menemukan suasana baru, suasana yang membuatku nyaman,membuatku seperti penghuni lama rumah itu,rumah yang dibangun dengan pondasi persaudaraan kuat.

Iri, sangat iri ketika penghuni kamar Bandung mengadakan KOPDAR untuk pertama kalinya. Saat itu, penghuni kamar Bandung memang dominan. Terbesitlah niat untuk menghimpun penghuni kamar Makassar lainnya, sekaligus menggagass niat untuk KOPDAR. Dengan susah payah, peluh tak terhingga, juga dengan jamahan bloofers Qefy, aku berhasil menghimpun belasan penghuni kamar Makassar. Niat untuk mengadakan KOPDAR semakin membahana.Suatu saat, Bloofers Nitnot mendeklarasikan diri akan berkunjung ke kamar Makassar di awal April. Jadilah kami menggagas rencana untuk KOPDAR. Sebagai penghuni yang dipercayakan sebagai panitia pelaksana KOPDAR, aku berusaha mengumpulkan mereka, para penghuni kamar Makassar, membuat satu ruang sederhana dalam ketulusan maksud untuk bersua secara lahiriah, Physical Meeting.

Meskipun sempat tertunda, akhirnya pada hari Sabtu sore tanggal 9 April 2011, Kampoeng Popsa, sebuah cafe di pinggir pantai Makassar berhasil menjadi saksi pertemuan kami.

Ada titipan pamungkas pada pertemuan itu. Melalui cerita ini, saya hanya akan fokus pada titipan itu, berhubung penghuni kamar Makassar lain sudah menceritakan banyak hal. Qefy menitipkan surat sambutan untuk para peserta KOPDAR, berikut ini adalah isinya

Dear Bloofers
Makassar

Assalamualaikum wrwb
Selamat Sore Bloofers?
keset - keset, welkom - welkom, hee...

Alhamdulillah, akhirnya Makassar berhasil mengadakan KOPDAR. Senang, melihat rekan - rekan di Makassar yang begitu semangat dan antusias. Saya ucapkan terima kasih banyak kepada Mas Fadhli dan Mas Nitnot yang telah menggagas acara ini. Terima kasih juga yang telah menyempatkan hadir, Mas Arman, Kang Zulham, Mbak Pipi, dan Mbak Latifah, Mbak Yuni, Ekbess, dan lain - lain.

Kawan, selamat kopdar!
Ruh persahabatan Bloofers semakin hari semakin menjamur, semakin semarak dan semoga semakin bisa dinikmati oleh para blogger di seluruh penjuru tanah air. Saya yakin ketika para blogger bahu membahu membangun citra yang baik, murni dan kreatif maka bersiaplah setiap kata yang tergores akan memiliki nilai.

"Sahabat Bloofers, saya menulis surat ini dengan terburu - buru karena mengejar Teh Patmah akan segera berangkat."

Rekan - rekan Bloofers, barusan Malaikat berbisik, "Qef, sampaikan salam kebahagiaanku untuk Bloofers Makassar. Mereka sangat baik, peduli, hangat, akrab dan bersahabat. Sore ini, mereka pasti menata rambut dan pakaiannya dengan rapi, cakep dan serasi. Semua pasti terkesan happy dan elegan."

Tak lama kemudian, setelah malaikat selesai menyampaikan salam dan pujiannya, datang seekor Etawah cantik dengan senyum yang cerah dan bulu mata yang lentik berkata: "Qef sampaikan juga salamku untuk mereka. Aku bangga sekaligus takjub dengan mereka Qef, aura persahabatn kalian sangat kental. Saya ingin berjumpa dengan mereka. Terutama yang selalu memanggil - manggil namaku hingga telingaku kepanasan!"

Hehehehehehe...!!!

Bloofers, tak banyak yang ingin saya sampaikan. Mungkin hanya ini coretan sederhana sebagai rasa persahabatan kita. Ada salam dari Bloofers Bandung, juga kepada Teh Patmah, terima kasih banyak bersedia hadir dan sebagai perwakilan Bloofers lainnya. Mohon doanya untuk sobat Aulia Rahmah yang sedang sakit. Semoga lekas sembuh.

Baiklah, semoga persahabatan itu selalu hadir.

Senang bisa berbagi, ditunggu kota lain yang pastinya semakin bersemangat mengagagas KOPDAR.

Dia Rediana Putra.


NB:
Foto pertama adalah foto background tempat KOPDAR

Foto kedua adalah foto surat titipan Kang Qefy
F
oto ketiga adalah ibu - ibu bloofers. dari kiri ke kanan: (Atun, Teh Patmah, Ekbess, Latifah Ratih, Pipi, Yuni)

Foto bapak - bapak bloofers. Dari kiri ke kanan ( Kak Arman, mas Nitnot, Saya, Halim, Kak Anto)

Fotokami bersama minus Arman yang bertindak sebagai fotografer.

Jumat, 08 April 2011

SURAT UNTUK GANDI

Aku sudah membaca suratmu. Maafkan aku, nak, aku baru bisa membalas semua suratmu. Selama ini aku sibuk mempertaruhkan mimpiku pada kenyataan. Aku berani mempertaruhkan semua mimpi itu karena sampai kapan pun aku masih percaya padamu.

Gandi, anakku, aku masih mengingat semua, mengingat kepalamu yang bersandar di pangkuanku, kedua lenganmu yang melingkar di perutku, ujung bibir yang merapat di keningku, semua itu masih tersimpan dalam air mata rinduku, rindu yang selalu bertahan, rindu yang selalu terjaga, rindu yang semoga takkan punah.

Bertahun-tahun sudah aku melepasmu, membiarkanmu menemukan mengapa kau hidup dan mengapa kau akan mati. Aku tahu sekarang kau sedang galau, gersang, kering, bias, terseret arus waktu. Aku tahu kau terus mengecewakanku, melupakan mimpi memang sangat menyakitkan. Aku tak sekalipun mengubur harapan padamu, semua demi memenangkan pertaruhanku. Jangan anggap rahimku sebagai tempat bermulamu, dari harapanlah kau terlahir, harapan itu akhirnya diiyakan oleh Tuhan. Kelahiranmu adalah mimpi nyata yang bisa aku wujudkan, itulah pencapaian terbesarku, nak.

Kamu sedang patah hati? Berkali-kali kau menyuratiku dengan kata-kata sayu, tergambar wajahmu pada aksara-aksara lemah itu tentang cinta yang selalu gagal, cinta yang tak bermuara. Tetapkanlah cintamu untuk suatu saat nanti, untuk saat ini, dan untuk masa lalu, semua ada bagiannya. Percayalah, akan ada cinta yang bisa membuatmu merasa tidak risau lagi. Jangan khawatirkan itu, doaku selalu ada di sini, di situ, di sana, di setiap kau mengingat dan setiap kau lupa.

Gandi, saat ini aku terbaring lemah, sakit, masih tergelepar di pembaringan udara, aku merindukanmu. Tapi, janganlah pulang sebelum menemukan alasan mengapa kau hidup dan mengapa kau akan mati. Air mataku bukan kesedihan, nak, tapi sebuah kebanggaan karena Tuhan telah mempercayakan rahimku untukmu. Aku rela menendang malu, menelan air berduri hanya demi meresap saripatinya untukmmu. Aku ingin kau tahu bahwa jarak tidak pernah memisahkan, jarak akan menyatukan kita di udara, di mimpi, di penantian, dalam rindu yang terjaga.

Gandi, anakku, sekian dulu. Aku harus minum obat dulu, angin yang berhembus di sini terlalu kencang, aku tak mampu menangkap satu atom darinya, hanya itu obatku, atom-atom kerinduanmu. Sebelum aku mengakhiri surat ini, aku menitipkan satu pesan padamu.

"Mimpi yang terlupa hanyalah mimpi yang merindu. Jagalah kerinduannya, puaskan, datangi, bangun kembali, ketika runtuh, bangun kembali, ketika punah, harapkan kembali, semua belum berakhir. Satu detik menjelang ajalmu masih cukup untuk merumuskan, membangun, dan meniatkan mimpimu."

Doaku di udara menyertaimu,

Matar

Kamis, 07 April 2011

KETIKA

Ketika sedang, ketika sementara, ketika tengah, ketika - ketika itu berteriak mengurung kita dengan satu penjara hebatnya.

Di sini, tokoh itu hanya separuh, karena ketika - ketika itu mengkondisikannya, antara kenyataan dan sebuah usaha. Antara keharusan dan sebuah peluang, mengkondisikan, memenjarakan.

ketika redup, ketika terang, ketika hatimu gelap. Ketika kau minum, ketika kau haus, ketika kau makan, ketika kau lapar. Semua ketika.

Ketika merasa, ketika itu indah, ketika itu biasa-biasa saja, ketika kalian, ketika kita, ketika mereka, ketika kalimat, ketika keadaan mengiyakan, ketika Tuhan mengijinkan, itulah.

Kita bertemu, kita saling mengenal, saling berbuat, mensubjekkan diri, mengobjekkan mereka, kemudian berpisah, itulah ketika. Ketika ruang dan waktu tak mampu dikuasai, ketika kesempatan masih ada. Maka aku pun mencintaimu dengan ketika, ya...ketika, ketika Tuhan masih mengiyakan.

Senin, 28 Maret 2011

SUBJEK-SUBJEK PASIF

Aku lelah ditunggu, dijamah, disaksikan, dipelajari, dihafakan, digariskan, dibenci, digeluti, dimaki, dihujat, dihianati, dibohongi, dikecilkan, dibesarkan, dirawat, dirindukan, dicintai, disayangi, dikasihi, d"spasikan", dikomakan, dipelihara, diulangi, diperibahasakan, dibicarakan, diselaraskan, diproduksi, dikerucutkan, disamakan, dibedakan, dibandingkan, diberangkatkan, dilindungi, diziarahi, dikontrol, ditelusuri.

Aku jenuh diperdebatkan, dipermasalahkan, diikutkan, dipaksa, ditelanjangi, dijajah, dilayani, diberi, disuruh, dimanusiakan, dihewankan, diudarakan, dikelilingi, dilingkari, dikotakkan, dibentuk, dirangkai, diubah, ditengarai, dilenyapkan, diubah kembali, diganti, dipermak, diperbaharui, dijual, disebarkan, dilayangkan, ditawarkan, dipublikasikan.

Sampai kapan aku disyaratkan, diteruskan, diombang-ambingkan, di geser, dilucuti, ditembaki, dibelai, disentuh, disentil, ditertawai, diberi senyum, dihargai, dihormati, diabaikan, dilarang, dikelompokkan, dikurung, dilepaskan, dikurung lagi, dilepaskan, dihitung, dijumlahkan, dikurangkan, dibagi, dikalikan, disamadengankan, dihasilkan, didiamkan, dididihkan, diSUBJEKkan.....?

Aku ingin menunggu, menjamah, menyaksikan, mempelajari, menghafal, menggariskan, membenci kebencian, menggeluti hidup, memaki termaki, menghujat terhujat, menghianati penghiantaan, mebohongi kebohongan, mengecilkan, membesarkan, merawat, merindukan, mencintai, menyayangi, mengasihi, men"spasi'kan,mengkomakan, memelihara, mengulangi pengulangan, memperibahasakan, membicarakan, menyelaraskan, memproduksi, menyamakan, membedakan, membandingkan, memberangkatkan, melindungi, menziarahi, mengontrol, menelusuri.

Sangat ingin mempermasalahkan, memperdebatkan, mengikutkan, memaksa pemaksaan, menelanjangi pembiasan, menjajah penjajahan, melayani, memberi,menyuruh, memanusiakan, menghewankan, mengudarakan, mengelilingi, melingkari, mengkotakkan, mebentuk, merangkai, mengubah, menengarai, melenyapkan, mengubah lagi, mengganti, mempermak, meperbaharui, menjual, menyebarkan, menawarkan, mempublikasikan.

Kapan aku bisa mensyaratkan, meneruskan, mengombang-ambingkan kesimpangsiuran, menggeser, melucuti, menembaki penembak, membelai, menyentuh, menyentil, menertawai, memberi senyum, menghargai, menghormati, mengabaikan pengabaian, melarang, mengelompokkan, mengurung, melepaskan, mengurung lagi, melepaskan, menghitung, menjumlahkan, mengurangkan, membagi, mengalikan, menyamadengankan, menghasilkan, mendiamkan, mendidihkan, menSUBJEKkan.....?

Akulah subjek-subjek yang dipasifkan kehidupan yang kelak akan mengaktifkan kehidupan. Mari menjadi subjek

Sabtu, 19 Maret 2011

UNDERGROUND

Kau seperti tidak melakukan apa-apa, tidak ada hasil. Kenapa tidak dari dulu saja kau berhenti? Buang-buang waktu. Cukupkanlah, dan gantilah dengan hal yang baru, kau membuang segalanya, kau tidak ada kemampuan, kau tidak ada prestasi. Kau lihat diriku! Aku telah mampu melukis risau di atas awan, aku mampu menulis kalimat panjang di udara, aku mampu membuat rangkuman replika dunia, kau.....? Berhentilah...!!!

...................................................................................

Untukmu,untukmu yang memintaku berhenti, sekarang kita berada dalam tenmpat tanpa latar yang pasti, alur yang absurd, juga komposisi yang amburadul. Debu-debu berserakan, pikiranku melayang, otakku masih ada, malam ini bulan bahkan bersinar terang. Iya, aku akui,namaku tak tercatat dalam buku manapun, mungkin cuma kau yang mengenalku, aku melakukan banyak hal, aku tak mungkin berhenti sebelum waktunya. Kau, yang mengagungkan sebuah pencapaian, kau mengagungkan lukisan di awannmu, tulisan di udaramu, dan replika duniamu, itu semua hanya sebuah pencapaian, kau mencapainya. Aku tak mencapai apa-apa selama ini, aku ingin mengejar sebuah prestasi, bukan pencapaian.

Aku akan jelaskan padamu, perhatikan baik-baik, keluarkan biji matamu, dan hanyutkan!

Aku tidak mampu melukis di awan, tapi ketahuiah bahwa semua cat, semua kuas, semua objek, bahkan goresanmu telah aku pikrikan hingga aku berhasil menaruhnya baik-baik dalam nalarmu. Kau sangat lihai menulis di udara, tapi ketahuilah bahwa tinta yang kau gunakan, kata yang kau tulis, objek yang kau putihkan telah aku pikirkan dan menaruhnya dalam-dalam juga dalam nalarmu. Kau mampu kawan, kau mampu membuat replika dunia, tapi ketahuilah bahwa dunia yang kau rangkum dan kau kecilkan itu adalah duniaku yang tadinya besar, sebesar aku telah memikirkannya dan menaruhnya baik-baik dalam nalarmu.

Prestasi bukan sebatas pencapaian, tapi bagaimana kau memberi stimulus, bagaimana kau menjalani proses, dan seberapa banyak peluh dalam perjalananmu melakukan sebuah perjalanan. Diamlah, sebelum aku berbicara seribu kali banyak dari semua pencapaianmu.

Kamis, 17 Maret 2011

TELAPAK KAKI DI UDARA 2

Aku menjalani hidupku sebagai Gandi Firmansyah. Aku mencari Silviana Larasati, katanya dia adalah wanita yang sangat berbeda, hidupnya dilumuti oleh semua cobaan tapa batas, tapi dia berhasil mempertahankan keperwanannya untuk kesekian kalinya, hingga saat kabar itu tersiar, dialah pahlawan keperawanan yang patut diacungi jempol. Banyak lelaki yang berusaha memperkosanya dengan tragis, tapi tak seorang pun dari mereka yang berhasil membuat Silvia ternoda, hebat. Baginya, jika hidup tanpa keperawanan, maka lebih baik mati dengan keperawanan. Aku berjalan, tanpa kendaraan, dia sulit ditemukan, harus berjalan kaki, siapa tahu menjumpainya sedang membeli minuman. Dia seorang pejalan kaki, wajah cantiknya yang luar biasa mempesonakan banyak pria, hingga dia memutuskan untuk berjalan, hidup nomaden, membiarkan kulitnya dibakar terik, agar wajahnya tak cantik lagi. Dia senang hidup sendiri, tanpa teman, tanpa siapapun yang mengenalnya, namun apa daya kecantikannya membuat nama Silviana Larasati sangat terkenal.

Peluh ini bercucuran dengan sangat liar. Apakah aku sedang mencari? Aku tak punya petunjuk sama sekali. Wajahnya saja tidak aku kenali, aku hanya mengenalnya lewat kabar orang-orang, tentang cerita bapak-bapak tua yang bermain catur di pos ronda. Apalagi?

.....................................................................................

Riandra, kamu sepertinya tidak bergairah. Ada apa? Menyesal menemaniku mencari Silvia? Jawablah, ini bukan dialog, ini bukan pembicaraan antar tokoh, aku tak perlu membentuk tanda kutip untuk mengurung kalimatku juga kalimatmu, buatlah sebebas mungkin, sebebas interpretasi subyektifitas kita. Riandra, wajahmu kokoh, masih termakan waktu, kau masih cantik menurutku, kau masih lugas. Ada pancaran tak terdeteksi dari wajahmu, membuat tandus itu menyegarkan.

....................................................................................

Gandi, kamu terdiam namun pandai berbahasa padaku, hati ini menangkap semua komunikasi batin kita. Aku tidak menyesali keadaan, ini semua takdir, ini semua ketetapan, apa yang pantas untuk disesali? Seperti katamu, kita inilah telapak kaki di udara, sangat bebas, namun begitu menginjak bumi, sangat berat untuk melangkah, entah seberapa tajam kerikil di bawah telapak kaki kita. Ada satu hal yang belum kumengerti, mengapa sorot matamu hanya sorot mata yang biasa? Padahal sudah 10 tahun kita menikah, kita belum pernah sekalipun bersetubuh. Katamu, kau tidak pernah siap, kau tidak pernah rela membagi cintamu dengan hasrat, nafsu, dan keinginan biologis, kau tidak mau menodai ikatan suci, padahal itu sudah halal, itu sudah diperbolehkan. Dulu, kau menganganggapku terlalu cantik, sekarang aku tak secantik dulu lagi, kau masih menolak. Aku mengerti, Gandi, semua perhatianmu, semua cintamu itu tulus, pernikahan kita memang adem ayem saja, tak ada masalah, saling memperhatikan, saling mengisi, tapi kau tidak pernah berniat memiliki keturunan dari rahimku.

.....................................................................................

Maaf, Riandra, aku tak bisa memadukan cinta dengan kebutuhan biologis, aku masih tak rela melihatmu berbadan dua, menjerit saat melahirkan, aku ingin anak instan, tapi kau menolak. Ini bukan keegoisan, maaf jika menentang hakikat manusia, bukannya tak mau melibatkan rahimmu, tapi keberanianku dimakan waktu.

.....................................................................................

Jika saja ada angin yang menerbangkan telapak kaki kita di udara, aku akan membiarkan telapak kaki itu terkatung-katung, saling berpencar, entah ke mana, mungkin telapak kakimu tersangkut di pohon, dan punyaku tenggelam di laut, pastinya ada jejak di udara sebagai satu-satunya warisan perjalanannya.
Ada satu jejak yang akan terhapus, dialah angin dari atoom-atom yang meledak, begitulah rumus tak terbaca, kemudian akhirnya tak ada sisa, yang ada hanyalah sejarah, cerita bertempo, cerita yang hanya meledak ketika masih hangat, setelah dingin, tak ada reaksi apa-apa. Sementara jejak yang tak akan pernah hilang adalah, udara itu sendiri, perjalanan kita akan terekam di sana, semua orang menghirupnya, dan akan menghirup perjalanan kita, begitu juga sebaliknya, di sana ada saksi kerinduanku, ada saksi obsesi berlebihku untuk kau akhirnya berniat memecahkan keperawananku, akulah satu-satunya istri yang masih perawan, aku sedih?

Simpan segala pertanyaan, biarkan dia menggumpal, nikmati, karena ini masih
Bersambung........

Selasa, 15 Maret 2011

TELAPAK KAKI DI UDARA

Ada dunia, ada cakram, ada tali, ada pengait, semua berlanjut, semua beriringan, bukan pada satu jalan, namun dalam arah yang berlawanan. Pagi yang indah, kalau itu masih pantas dikatakan pagi, apalagi memenuhi kelayakan keindahan. Di sana, di waktu yang tak bernama, hanya sebuah sejarah, bukan apa-apa, namun sebuah pertanyaan mengapa? Mengapa hanya matamu yang bergejolak, mengapa hanya bibirmu yang bergetar?, sendirian langit, di udara, pembaringan yang sangat sulit, ada telapak kaki yang berbicara, aku pernah melayang.

Masih tidak bisa dijelaskan, belum fasih otak ini menelusuri lorong-lorong kesimpangsiurannya, aku mengalah, kau justru kalah. Bagaimana bisa? Pertanyaan memisahkan kita, kita di dua arah, tidak berkawan, tidak juga berlawan, arah yang tak pernah bertemu. Aku di sini, di jalan yang tak kutemukan akhirnya, kau entah di mana. Apakah kita akan bertemu di perempatan, atau melayani tikungan yang sama? Ataukah kita akan bertemu di jalan ini, jalanku, atau mungkin saja jalanmu, aku tidak tahu. Silvia, wajah penuh dengan waktu, hari ini waktunya mulus, besok bisa saja penuh dengan luka, nanti akan keriput juga. Tapi wajahmu tak terlihat, tak terdengar, tak terespon indera, jika intuisi itu indera, akulah orang pertama yang menangkapmu dengan indera. Cakupan perasaan tak terbatas, pikiran bisa habis, tinta bisa habis, ide bisa habis. Aku terbatas, bahkan pada saat mati aku masih bisa merasakan telapak kakimu di udara, pembaringan tersulit dalam hidupku.

Mereka berkata, kita ini hanya berpura-pura, berpura-pura malu, berpura-pura tunduk, berpura-pura patuh, hanya dengan satu tujuan, mendapatkan perhatian Tuhan. Aku katakan dengan lantang pada mereka yang akhirnya diam, kita ini sebenarnya, sebenar-benarnya lupa, kalau patuh, kalau tunduk, kalau malu, kalau semua kebaikan itu alamiah jika kita memang baik. Pada posisi itu, aku tak mampu menemukan letakku.
Kemarin, aku melihatnya, melihat dengan senyum kokoh, mahal, sangat mahal, tak ada materi yang kumiliki untuk membelinya. Dia bahkan tidak mengkomersilkan senyumannya, mungkin privasi untuk yang lain.

Riandra, kini telapak kaki itu kupadatkan, butuh rumus kegilaan, aku gila, aku bangga, aku miring, aku belum punah. Waktu masih berjalan, berarti masih ada masa, meski tertunda, aku tak mau menunggu, aku mengikuti perjalanan udara saja, semoga kita bertemu di jalan yang sama, meski tujuan kita berbeda.

Peluhku berjibaku dengan kulit, tanah yang segar menanti saat-saat terjatuhnya, perjalanku masih padat, belum menguap, aku ingin sekali, meski macet, meski lampu merah terlalu lama, meski banyak kendaraan yang lalu lalang, aku hanya menunggu kendaraanmu, aku membawa telapak kakimu yang sudah aku padatkan, aku sisipkan di antara kedua paru-paruku, agar saat aku bernafas, aku tahu apa keinginanku.

Hiruk-pikuk kota mengabarkan polusi, bibir udara menjadi samar, gawat, kau akan terjatuh, kau akan ditabrak, kau akan mati.

TIDAK......................................!!!

Punah, tak bersisa, di mana arah mata angin? Aku ingin mencari muara, di sana aku akan meletakkannya, titipan Tuhan, titipan kejadian, sepasang telapak kaki di udara, dulunya mengambang, dulunya melayang, kini memadat, mendarat, mengesturkan tubuhnya, kita dan telapak kaki kita, Riandra dan aura keajaibannya, Silvia dan kemisteriusannya, aku dan ketidaktahuanku, mereka dan keegoisannya, dia dan senyuman privasinya, cerita ini dan ketertundaannya.

Jika berpikir membuatmu mandek, akhiri pikiran itu, rasakan deretan kata ini dengan fasih, tenang, nikmat, maka kau akan menemukan jawaban, telapak kaki adalah kita sendiri, kitalah sang telapak kaki, yang dulunya di udara, tinggi, di mana-mana, merasa hebat, merasa lebih, merasa puas, merasa bersalah, dan ketika memadat, ketika mendarat di bumi, semua terasa berat melangkah. Kita akan menjumpai, kita ingin menjumpai, kita inginkan takdir itu obsesi. Kita akan tahu setelah cerita ini berlanjut, ini hanya sinopsis, selamat menantikan TELAPAK KAKI DI UDARA 2

Meski macet, aku akan terus memacu gas, inilah awal perjalananku, Gandi Firmansyah, itulah namaku, teruskan pada udara, di sanalah rumahku.

Rabu, 09 Maret 2011

STIMULUS

Akulah stimulusmu. Aku mungkin tak bernama, maka jangan memanggilku. Aku ebnci dipanggil hei, kau, oi.....mas.......bang.......apapun sapaannya, aku membencinya, karena aku tak punya nama dan tak ada yang berhak memanggilku. Kau menanyakan mengapa aku hadir? Aku justru mempertanyakan mengapa aku lahir? Mengapa aku tidak pernah lahir saja? Mengapa aku tak memiliki tujuan? Ini alamiah, bukan sebuah tujuan hidup, aku tak mau jadi parasit. Ada satu teori yang menurutku pasif, jadilah stimulus untuk sebuah akselerasi. Gerakmu berakselerasi, dengan mengabaikan bahkan menghancurkan konstanta, menelurkan bunyi untuk merumuskan beberapa hukum, senyawa-senyawamu semakin aktif. Aku pasif, aku hanya stimulus, mungkin hanya pelumasmu. Di sini, kehidupanku pasif, aku ingin sepertimu, berakselerasi, mendahului ketertinggalan.

Bertahun-tahun, bahkan waktu yang tak bisa dihitung lagi, hanya sebuah angka nol buatku, waktu tak akan mampu mengubahku menjadi akselerator, sampai kapan pun, takdirku adalah stimulusmu, aku ingin sepertimu. Sebuah kenyataan yang tak akan pernah aku nyatakan pada jiwa. Sebuah takdir yang tak bisa diubah, ada apa? Bukannya aku tak rela, aku hanya ingin lebih besar lagi, Tuhan. Aku hanya butuh mereka melihatku, bukan membicarakanku. Aku butuh wujud, aku butuh raga, aku butuh jasad, aku butuh bentuk, aku butuh tekstur, aku ingin bergestur.

Aku tahu, tanpa stimulus, tak akan ada akselerasi, tak akan ada perpindahan lokasi, tak akan ada gerakannya, dia akan mati, bagai kanvas tanpa kuas. Apa yang akan dilukis? Wahai bilangan-bilangan ganjil, kau hanya penggenap, bukan seorang genap, wahai tanda-tanda baca, kau hanya pertanda, bukan kata. Wahai garnis-garnis makanan, kau hanya penghias, bukan santapan. Wahai para stimulus-stimulus percepatan, kita hanya stimulus, bukan akselerator.

APA.......? APA.................? APA........................?

Hai, para stimulator, akulah akselerator, akulah kecepatan yang kau ubah. Akulah percepatan yang kau bentuk, akulah akselerasi yang membutuhkanmu, aku aktif karena aktivitas stimulusmu, bukan pasivitasmu. Mengapa mengurung diri dalam area rendah? Toh, kita ini susunan bangunan, tak ada salah satunya, maka tak akan jadi sebuah bangunan. Kita, bukan aku, bukan hanya kamu, kita, adalah satu, sebuah senyawa, sebuah kumpulan atom-atom tak terhingga, kita sebuah ikatan tanpa simpul yang mampu dibuka. Kita sebuah satu, tanpa urusan ganjil genap, kita hanya satu, bukan dua, bukan tiga, bukan empat, bukan banyak, banyak itu tak menentu, satu itu pasti.

Akulah stimulus-stimulusmu, menelusuri kekuatan psikis untuk menjadikanmu tak terkalahkan, kitalah sebuah urutan yang menengah, berpusar pada satu titik, pasti, eksakta. Stimulus itulah diriku. Mari menjadi stimulus-stimulus kehidupan, mari menjadi satu, pasti.

STIMULUS

Akulah stimulusmu. Aku mungkin tak bernama, maka jangan memanggilku. Aku ebnci dipanggil hei, kau, oi.....mas.......bang.......apapun sapaannya, aku membencinya, karena aku tak punya nama dan tak ada yang berhak memanggilku. Kau menanyakan mengapa aku hadir? Aku justru mempertanyakan mengapa aku lahir? Mengapa aku tidak pernah lahir saja? Mengapa aku tak memiliki tujuan? Ini alamiah, bukan sebuah tujuan hidup, aku tak mau jadi parasit. Ada satu teori yang menurutku pasif, jadilah stimulus untuk sebuah akselerasi. Gerakmu berakselerasi, dengan mengabaikan bahkan menghancurkan konstanta, menelurkan bunyi untuk merumuskan beberapa hukum, senyawa-senyawamu semakin aktif. Aku pasif, aku hanya stimulus, mungkin hanya pelumasmu. Di sini, kehidupanku pasif, aku ingin sepertimu, berakselerasi, mendahului ketertinggalan.

Bertahun-tahun, bahkan waktu yang tak bisa dihitung lagi, hanya sebuah angka nol buatku, waktu tak akan mampu mengubahku menjadi akselerator, sampai kapan pun, takdirku adalah stimulusmu, aku ingin sepertimu. Sebuah kenyataan yang tak akan pernah aku nyatakan pada jiwa. Sebuah takdir yang tak bisa diubah, ada apa? Bukannya aku tak rela, aku hanya ingin lebih besar lagi, Tuhan. Aku hanya butuh mereka melihatku, bukan membicarakanku. Aku butuh wujud, aku butuh raga, aku butuh jasad, aku butuh bentuk, aku butuh tekstur, aku ingin bergestur.

Aku tahu, tanpa stimulus, tak akan ada akselerasi, tak akan ada perpindahan lokasi, tak akan ada gerakannya, dia akan mati, bagai kanvas tanpa kuas. Apa yang akan dilukis? Wahai bilangan-bilangan ganjil, kau hanya penggenap, bukan seorang genap, wahai tanda-tanda baca, kau hanya pertanda, bukan kata. Wahai garnis-garnis makanan, kau hanya penghias, bukan santapan. Wahai para stimulus-stimulus percepatan, kita hanya stimulus, bukan akselerator.

APA.......? APA.................? APA........................?

Hai, para stimulator, akulah akselerator, akulah kecepatan yang kau ubah. Akulah percepatan yang kau bentuk, akulah akselerasi yang membutuhkanmu, aku aktif karena aktivitas stimulusmu, bukan pasivitasmu. Mengapa mengurung diri dalam area rendah? Toh, kita ini susunan bangunan, tak ada salah satunya, maka tak akan jadi sebuah bangunan. Kita, bukan aku, bukan hanya kamu, kita, adalah satu, sebuah senyawa, sebuah kumpulan atom-atom tak terhingga, kita sebuah ikatan tanpa simpul yang mampu dibuka. Kita sebuah satu, tanpa urusan ganjil genap, kita hanya satu, bukan dua, bukan tiga, bukan empat, bukan banyak, banyak itu tak menentu, satu itu pasti.

Akulah stimulus-stimulusmu, menelusuri kekuatan psikis untuk menjadikanmu tak terkalahkan, kitalah sebuah urutan yang menengah, berpusar pada satu titik, pasti, eksakta. Stimulus itulah diriku. Mari menjadi stimulus-stimulus kehidupan, mari menjadi satu, pasti.

Senin, 07 Maret 2011

????????

Jeritan diam terdengar keras. Dia membisingkan sunyi ketika malam menggelapkannya. Tubuh penuh dengan lumuran gagal, juga seribu cercaan membabibuta.

Tenggorokan mengering, mata mimicing, lidah membatu, hanya peluh yang berdiri di daratan-daratan percobaan. Katanya, aku dibuang, katanya aku ini sisa-sisa. Sisa belum habis, dia masih ada, meskipun aku sisa, itulah kebanggaanku. Apa salah bila aku tak menangis? Aku hanya diam dan berteriak dalam jeritan tanpa suara, mereka telah merajamku sedemikian kejam, rupaku tak lagi terlihat, mungkin namaku akan dilupakan. Jejak akan dihapus angin, mungkin alam bersekutu dengan mereka, mereka manusia tanpa jiwa.

Di ambang kepastian, kepastian untuk berakhir, aku menyeruput udara, di sana ada berjuta partikel-partikel bebas, betapa mereka hidup begitu menghargai atom-atomnya. Aku menyusunnya sebisa mungkin, itu cukup menggelembungkan lambungku, mungkin menerbangkan ususku, meledakkan jantungku bila itu perlu.

Tolong katakan padaku! Siapa yang bisa mempercayaiku? Siapa yang bisa menungguku kembali? karena akua akan kembali dengan rupa yang berbeda, dengan bentuk yang sudah jelas, akulah niat-niat kotormu.

Apa perlu aku ke tepi jurang? Aku berdiri satu sentimeter dari batas terakhirnya, kau, mereka semua, kalian semua, dengarkan aku...........!

"Aku ini bukan kesalahan, hanya sebuah kegagalan, kegagalan bukanlah kesalahan. Aku ini hasil yang masih prematur, kelak aku akan normal, bila waktunya, bila masanya, bila saatnya memanen telah tiba. Tenanglah, benih ini akan ku rawat."

"Sebelum kalian menentukan sikap dan menyesali sikap itu, pelajarilah awal kau bermula, resapilah pertengahan posisimu, kemudian rumuskan perlahan masa datang, di sini semua tanpa penyesalan, di sini semua bukan rencana kosong, aku menjerit bukan diam, meski tak ada lisan, tak ada suara, tak ada wajah, tak ada bentuk, hanya sisa-sisa, tapi aku masih ada, masih sedikit, sedikit juga ada."

Mengapa terlalu banyak tujuan? Mengapa terlalu berlebihan persiapanmu? Ini bukan perjalanan, ini hanya sebuah lorong sempit, akan sampai pada ambang bercahaya samar, kemudian jelas, kemudian silau, kemudian kau akan berkata, aku di mana? Di mana semua maksudku? di mana semua rencanak? di mana semua kepuasanku? Itulah dirimu manusia tanpa jiwa.

Jangan mengerangkeng pertimbangan, jangan mengucilkan kegagalan, merekalah sang penyedia sisa, merekalah yang akan membantumu, kenapa bisa? Begini:

"Aku adalah sisa ,sisa-sisa darimu yang kau buang, yang kau tertawakan kemudian kau ludahi, padahal kau tidak akan menyangka, betapa nantinya ketika perbekalanmu habis, maka sisa itu yang akan membantumu, aku masih berguna."

(Seorang psikopat berbicara pada jiwanya)

Rabu, 02 Maret 2011

MENCIPTA? KITA HANYA MENGUBAH

Inilah deretan huruf sebagai susunan beraturan titik. entah dari mana, entah bagaimana,namun inilah hasil sebuah pengubahan. Saya sangat tertarik dengan beberapa bahasan dalam mata kuliah Pragmatic yang saya ikuti tadi pagi. Si dosen menyatakan bahwa, bahasa itu penuh dengan simbol, setiap simbol membawa konsep tentang sebuah makna, itulah makna implisit, atau makna yang tidak referensial, seperti itulah pragmatic.

Bahasa muncul sebagai kesepakatan manusia, namun bahasa bukanlah hasil karya cipta manusia. Manusia tidak pernah mencipta, dia hanya mengubah. Manusia mengubah simbol menjadi bahasa yang disepakati bersama. Begitu katanya.

Pernyataan itu membuat saya berpikir bahwa sebenarnya aktivitas kita di dunia ini hanya mengubah, bukan menciptakan. Ketika seorang mahasiswa robotik mengaku menciptakan robot, sebenarnya dia tidak menciptakan robot, namun mengubah bentuk bahan-bahan yang ada menjadi sebuah robot, itulah yang sebenarnya dilakukan. Sama halnya para produsen, mereka tidak menciptakan dalam proses produksinya, mereka hanya mengubah bentuk bahan-bahan dasar menjadi bentuk lain yang lebih bernilai jual, lebih bermanfaat, atau dialihkan untuk manfaat lain. Contoh kecilnya proses memasak, seorang koki sebenarnya tidak membuat makanan, tapi mengubah bahan-bahan mentah menjadi makanan yang bisa dimakan dan enak dimakan.

Bagaimana dengan hal-hal yang abstrak? Misalnya, ide. Dalam forum diskusi misalnya, seorang yang berpendapat mengaku menyatakan idenya sebagai hasil karya pemikirannya, sebenarnya juga dia tidak menciptakan sebuah ide. Dia hanya menggabungkan beberapa pikiran, imaji, pengalaman, kemudian mengubahnya menjadi sebuah hasil yang dinamakan ide.

Bagaimana dengan berkhayal, atau menkhayalkan sesuatu yang belum pernah ada, dan dimasukkan dalam alam bawah sadar? Dengan definisi membuat yang serupa dengan menciptakan, maka mengkhayal bisa dikatakan hasil karya cipta manusia? Karena terkadang manusia mengkhayalkan sesuatu yg belum pernah ada. Kalau kasus ini, berikut penjelasannya.

Manusia memiliki 3 alat berpikir, yakni panca indera (sense power), pikiran( mind power), dan hati (intuition). Panca indera akan menangkap objek, objek ini akan diinterpretasikan oleh pikiran mengenai bentuk, definisi, dan segala-segalanya, kemudian intuisi akan merasakan hal-hal atau dimensi abstrak objek. Objek-objek ini juga akan terekam dalam memori. Sementara dalam proses berkhayal atau berimajinasi dalam teorinya menyatakan bahwa tidak mungkin imaji lahir tanpa peran indera terhadap objek. Dengan kata lain, tidak mungkin manusia mengimajinasikan sesuatu yang belum pernah ditangkap oleh inderanya. Maka, dapat disimpulkan bahwa, proses imajinasi itu terlahir sebenarnya karena sebelumnya, manusia mempunyai pengalaman terhadap objek tertentu, kemudian ketika sampai di alam bawah sadar, pengalaman itu diubah bentuknya, diracik sedemikian rupa menjadi bentuk lain. Jadi, berimajinasi atau berkhayal juga tak luput dari proses pengubahan, bukan penciptaan.

Sekarang, saya mengisi entri baru di blog saya, tidak berarti saya membuat sebuah tulisan, tapi saya hanya mengubah pengalaman saya, kemudian menuangkannya dalam kalimat sebagai hasil pengubahan titik, garis, kata, frase, dan klausa. Intinya, manusia tidak mencipta, hanya mengubah objek yang ada. Maka, yang pantas mencipta hanyalah Sang Maha Pencipta, kitalah ciptaanNya. Bumi ini menjadi saksi dosa-dosa kita, sebagai hasil pengubahan nafsu menjadi sebuah aksi menyimpang.

Jika aku menaruhmu dalam ruang imajiku, bukan berarti aku membuat duplikat tubuhmu, aku hanya mengubah pengalaman inderaku menangkapmu menjadi bentuk yang kuinginginkan sebagai bentuk kekecewaanku pada realita. Jika aku menyatakan cinta untukmu, sesungguhnya aku hanya mengubah beberapa kebencian yang telah mengalami pengolahan bertahap, itulah diriku padamu. Kau adalah hasil pengubahan pengalaman inderaku.


(jika ada kesalahan, mohon kritikannya)

Senin, 28 Februari 2011

SUDAH? MASIH......

Selamat.........selamat apa saja. Yang penting dirimu selamat. Sudah lama, masih belum lama. Sudah basi, masih cukup segar. Sudah binal, masih cukup ramah. Sudah diam, masih cukup ribut. Sudah garang, masih cukup tenang. Sudah keluar, masih bersembunyi. Sudah menyerah, masih berjuang. Sudah sampai mana? Masih di awal, bahkan ke luar jalur. Sudah makan? masih kenyang. Sudahlah..............................

Sudah karam, masih mengapung, sudah nyata, masih abstrak, sudahlah....lanjutkan!
baiklah....

Sudah geram? masih sabar, sudah kabur? masih bertahan. Sudah menarik? masih datar. Datar itu sulit untuk diindahkan,tapi terlalu indah untuk sekedar didatarkan. Sudah apalagi?

Masih banyak sudah, masih banyak "masih". Untuk apa menyudahi kalau masih memiliki "masih"? Itu memaksakan kehendak batin, jangan sampai konflik megah itu terjadi, konflik antara raga dan jiwamu.

Sudah berakhir, masih ada waktu. Tinggal sedetik, sedetik itu pun waktu. Ketika raga memutuskan bahwa semuanya sudah, telah, mungkin berkahir, batin justru memberontak bahwa masih, masih bisa, masih mampu, masih, masih belum selesai, ini bukan akhir, vakum bukan berhenti selesai.

Sudah menemukanku? masih mencari, karena kau akan terus mencari sampai menemukan apa yang kau ingin temukan. Ini hanya tulisan semrawut, tulisan sederhana antara sudah dan masih. Ketika lidahmu mengatakan sudah, semoga kata batin masih berujar "masih". Masih ada waktu, masih bia berdiri, masih mengalami proses, semuanya masih, jadi tidak ada alasan untuk mengkahiri.

Sudah pasti? Masih sebatas kemungkinan. Bukan sebuah ketidakpastian atau kesesatan, tapi semua masih mungkin untuk berubah, untuk mengawali kembali, untuk merajut kembali, menyambung ikatan yang putus, melayarkan diri setelah menepi, merogoh setelah menyipannya, mengurai setelah menyusunnya, menggali kembali setelah memendamnya, meliuk-liuk di air, seperti ikan yang menerjang mata kail di permukaan, menyisakan tanda koma untuk sebuah kemungkinan bahwa masih akan berlanjut.

Sudah lelah? Masih akan berlanjut, hanya butuh rehat sejenak.

Chat Room Bloofers