Senin, 28 Maret 2011

SUBJEK-SUBJEK PASIF

Aku lelah ditunggu, dijamah, disaksikan, dipelajari, dihafakan, digariskan, dibenci, digeluti, dimaki, dihujat, dihianati, dibohongi, dikecilkan, dibesarkan, dirawat, dirindukan, dicintai, disayangi, dikasihi, d"spasikan", dikomakan, dipelihara, diulangi, diperibahasakan, dibicarakan, diselaraskan, diproduksi, dikerucutkan, disamakan, dibedakan, dibandingkan, diberangkatkan, dilindungi, diziarahi, dikontrol, ditelusuri.

Aku jenuh diperdebatkan, dipermasalahkan, diikutkan, dipaksa, ditelanjangi, dijajah, dilayani, diberi, disuruh, dimanusiakan, dihewankan, diudarakan, dikelilingi, dilingkari, dikotakkan, dibentuk, dirangkai, diubah, ditengarai, dilenyapkan, diubah kembali, diganti, dipermak, diperbaharui, dijual, disebarkan, dilayangkan, ditawarkan, dipublikasikan.

Sampai kapan aku disyaratkan, diteruskan, diombang-ambingkan, di geser, dilucuti, ditembaki, dibelai, disentuh, disentil, ditertawai, diberi senyum, dihargai, dihormati, diabaikan, dilarang, dikelompokkan, dikurung, dilepaskan, dikurung lagi, dilepaskan, dihitung, dijumlahkan, dikurangkan, dibagi, dikalikan, disamadengankan, dihasilkan, didiamkan, dididihkan, diSUBJEKkan.....?

Aku ingin menunggu, menjamah, menyaksikan, mempelajari, menghafal, menggariskan, membenci kebencian, menggeluti hidup, memaki termaki, menghujat terhujat, menghianati penghiantaan, mebohongi kebohongan, mengecilkan, membesarkan, merawat, merindukan, mencintai, menyayangi, mengasihi, men"spasi'kan,mengkomakan, memelihara, mengulangi pengulangan, memperibahasakan, membicarakan, menyelaraskan, memproduksi, menyamakan, membedakan, membandingkan, memberangkatkan, melindungi, menziarahi, mengontrol, menelusuri.

Sangat ingin mempermasalahkan, memperdebatkan, mengikutkan, memaksa pemaksaan, menelanjangi pembiasan, menjajah penjajahan, melayani, memberi,menyuruh, memanusiakan, menghewankan, mengudarakan, mengelilingi, melingkari, mengkotakkan, mebentuk, merangkai, mengubah, menengarai, melenyapkan, mengubah lagi, mengganti, mempermak, meperbaharui, menjual, menyebarkan, menawarkan, mempublikasikan.

Kapan aku bisa mensyaratkan, meneruskan, mengombang-ambingkan kesimpangsiuran, menggeser, melucuti, menembaki penembak, membelai, menyentuh, menyentil, menertawai, memberi senyum, menghargai, menghormati, mengabaikan pengabaian, melarang, mengelompokkan, mengurung, melepaskan, mengurung lagi, melepaskan, menghitung, menjumlahkan, mengurangkan, membagi, mengalikan, menyamadengankan, menghasilkan, mendiamkan, mendidihkan, menSUBJEKkan.....?

Akulah subjek-subjek yang dipasifkan kehidupan yang kelak akan mengaktifkan kehidupan. Mari menjadi subjek

Sabtu, 19 Maret 2011

UNDERGROUND

Kau seperti tidak melakukan apa-apa, tidak ada hasil. Kenapa tidak dari dulu saja kau berhenti? Buang-buang waktu. Cukupkanlah, dan gantilah dengan hal yang baru, kau membuang segalanya, kau tidak ada kemampuan, kau tidak ada prestasi. Kau lihat diriku! Aku telah mampu melukis risau di atas awan, aku mampu menulis kalimat panjang di udara, aku mampu membuat rangkuman replika dunia, kau.....? Berhentilah...!!!

...................................................................................

Untukmu,untukmu yang memintaku berhenti, sekarang kita berada dalam tenmpat tanpa latar yang pasti, alur yang absurd, juga komposisi yang amburadul. Debu-debu berserakan, pikiranku melayang, otakku masih ada, malam ini bulan bahkan bersinar terang. Iya, aku akui,namaku tak tercatat dalam buku manapun, mungkin cuma kau yang mengenalku, aku melakukan banyak hal, aku tak mungkin berhenti sebelum waktunya. Kau, yang mengagungkan sebuah pencapaian, kau mengagungkan lukisan di awannmu, tulisan di udaramu, dan replika duniamu, itu semua hanya sebuah pencapaian, kau mencapainya. Aku tak mencapai apa-apa selama ini, aku ingin mengejar sebuah prestasi, bukan pencapaian.

Aku akan jelaskan padamu, perhatikan baik-baik, keluarkan biji matamu, dan hanyutkan!

Aku tidak mampu melukis di awan, tapi ketahuiah bahwa semua cat, semua kuas, semua objek, bahkan goresanmu telah aku pikrikan hingga aku berhasil menaruhnya baik-baik dalam nalarmu. Kau sangat lihai menulis di udara, tapi ketahuilah bahwa tinta yang kau gunakan, kata yang kau tulis, objek yang kau putihkan telah aku pikirkan dan menaruhnya dalam-dalam juga dalam nalarmu. Kau mampu kawan, kau mampu membuat replika dunia, tapi ketahuilah bahwa dunia yang kau rangkum dan kau kecilkan itu adalah duniaku yang tadinya besar, sebesar aku telah memikirkannya dan menaruhnya baik-baik dalam nalarmu.

Prestasi bukan sebatas pencapaian, tapi bagaimana kau memberi stimulus, bagaimana kau menjalani proses, dan seberapa banyak peluh dalam perjalananmu melakukan sebuah perjalanan. Diamlah, sebelum aku berbicara seribu kali banyak dari semua pencapaianmu.

Kamis, 17 Maret 2011

TELAPAK KAKI DI UDARA 2

Aku menjalani hidupku sebagai Gandi Firmansyah. Aku mencari Silviana Larasati, katanya dia adalah wanita yang sangat berbeda, hidupnya dilumuti oleh semua cobaan tapa batas, tapi dia berhasil mempertahankan keperwanannya untuk kesekian kalinya, hingga saat kabar itu tersiar, dialah pahlawan keperawanan yang patut diacungi jempol. Banyak lelaki yang berusaha memperkosanya dengan tragis, tapi tak seorang pun dari mereka yang berhasil membuat Silvia ternoda, hebat. Baginya, jika hidup tanpa keperawanan, maka lebih baik mati dengan keperawanan. Aku berjalan, tanpa kendaraan, dia sulit ditemukan, harus berjalan kaki, siapa tahu menjumpainya sedang membeli minuman. Dia seorang pejalan kaki, wajah cantiknya yang luar biasa mempesonakan banyak pria, hingga dia memutuskan untuk berjalan, hidup nomaden, membiarkan kulitnya dibakar terik, agar wajahnya tak cantik lagi. Dia senang hidup sendiri, tanpa teman, tanpa siapapun yang mengenalnya, namun apa daya kecantikannya membuat nama Silviana Larasati sangat terkenal.

Peluh ini bercucuran dengan sangat liar. Apakah aku sedang mencari? Aku tak punya petunjuk sama sekali. Wajahnya saja tidak aku kenali, aku hanya mengenalnya lewat kabar orang-orang, tentang cerita bapak-bapak tua yang bermain catur di pos ronda. Apalagi?

.....................................................................................

Riandra, kamu sepertinya tidak bergairah. Ada apa? Menyesal menemaniku mencari Silvia? Jawablah, ini bukan dialog, ini bukan pembicaraan antar tokoh, aku tak perlu membentuk tanda kutip untuk mengurung kalimatku juga kalimatmu, buatlah sebebas mungkin, sebebas interpretasi subyektifitas kita. Riandra, wajahmu kokoh, masih termakan waktu, kau masih cantik menurutku, kau masih lugas. Ada pancaran tak terdeteksi dari wajahmu, membuat tandus itu menyegarkan.

....................................................................................

Gandi, kamu terdiam namun pandai berbahasa padaku, hati ini menangkap semua komunikasi batin kita. Aku tidak menyesali keadaan, ini semua takdir, ini semua ketetapan, apa yang pantas untuk disesali? Seperti katamu, kita inilah telapak kaki di udara, sangat bebas, namun begitu menginjak bumi, sangat berat untuk melangkah, entah seberapa tajam kerikil di bawah telapak kaki kita. Ada satu hal yang belum kumengerti, mengapa sorot matamu hanya sorot mata yang biasa? Padahal sudah 10 tahun kita menikah, kita belum pernah sekalipun bersetubuh. Katamu, kau tidak pernah siap, kau tidak pernah rela membagi cintamu dengan hasrat, nafsu, dan keinginan biologis, kau tidak mau menodai ikatan suci, padahal itu sudah halal, itu sudah diperbolehkan. Dulu, kau menganganggapku terlalu cantik, sekarang aku tak secantik dulu lagi, kau masih menolak. Aku mengerti, Gandi, semua perhatianmu, semua cintamu itu tulus, pernikahan kita memang adem ayem saja, tak ada masalah, saling memperhatikan, saling mengisi, tapi kau tidak pernah berniat memiliki keturunan dari rahimku.

.....................................................................................

Maaf, Riandra, aku tak bisa memadukan cinta dengan kebutuhan biologis, aku masih tak rela melihatmu berbadan dua, menjerit saat melahirkan, aku ingin anak instan, tapi kau menolak. Ini bukan keegoisan, maaf jika menentang hakikat manusia, bukannya tak mau melibatkan rahimmu, tapi keberanianku dimakan waktu.

.....................................................................................

Jika saja ada angin yang menerbangkan telapak kaki kita di udara, aku akan membiarkan telapak kaki itu terkatung-katung, saling berpencar, entah ke mana, mungkin telapak kakimu tersangkut di pohon, dan punyaku tenggelam di laut, pastinya ada jejak di udara sebagai satu-satunya warisan perjalanannya.
Ada satu jejak yang akan terhapus, dialah angin dari atoom-atom yang meledak, begitulah rumus tak terbaca, kemudian akhirnya tak ada sisa, yang ada hanyalah sejarah, cerita bertempo, cerita yang hanya meledak ketika masih hangat, setelah dingin, tak ada reaksi apa-apa. Sementara jejak yang tak akan pernah hilang adalah, udara itu sendiri, perjalanan kita akan terekam di sana, semua orang menghirupnya, dan akan menghirup perjalanan kita, begitu juga sebaliknya, di sana ada saksi kerinduanku, ada saksi obsesi berlebihku untuk kau akhirnya berniat memecahkan keperawananku, akulah satu-satunya istri yang masih perawan, aku sedih?

Simpan segala pertanyaan, biarkan dia menggumpal, nikmati, karena ini masih
Bersambung........

Selasa, 15 Maret 2011

TELAPAK KAKI DI UDARA

Ada dunia, ada cakram, ada tali, ada pengait, semua berlanjut, semua beriringan, bukan pada satu jalan, namun dalam arah yang berlawanan. Pagi yang indah, kalau itu masih pantas dikatakan pagi, apalagi memenuhi kelayakan keindahan. Di sana, di waktu yang tak bernama, hanya sebuah sejarah, bukan apa-apa, namun sebuah pertanyaan mengapa? Mengapa hanya matamu yang bergejolak, mengapa hanya bibirmu yang bergetar?, sendirian langit, di udara, pembaringan yang sangat sulit, ada telapak kaki yang berbicara, aku pernah melayang.

Masih tidak bisa dijelaskan, belum fasih otak ini menelusuri lorong-lorong kesimpangsiurannya, aku mengalah, kau justru kalah. Bagaimana bisa? Pertanyaan memisahkan kita, kita di dua arah, tidak berkawan, tidak juga berlawan, arah yang tak pernah bertemu. Aku di sini, di jalan yang tak kutemukan akhirnya, kau entah di mana. Apakah kita akan bertemu di perempatan, atau melayani tikungan yang sama? Ataukah kita akan bertemu di jalan ini, jalanku, atau mungkin saja jalanmu, aku tidak tahu. Silvia, wajah penuh dengan waktu, hari ini waktunya mulus, besok bisa saja penuh dengan luka, nanti akan keriput juga. Tapi wajahmu tak terlihat, tak terdengar, tak terespon indera, jika intuisi itu indera, akulah orang pertama yang menangkapmu dengan indera. Cakupan perasaan tak terbatas, pikiran bisa habis, tinta bisa habis, ide bisa habis. Aku terbatas, bahkan pada saat mati aku masih bisa merasakan telapak kakimu di udara, pembaringan tersulit dalam hidupku.

Mereka berkata, kita ini hanya berpura-pura, berpura-pura malu, berpura-pura tunduk, berpura-pura patuh, hanya dengan satu tujuan, mendapatkan perhatian Tuhan. Aku katakan dengan lantang pada mereka yang akhirnya diam, kita ini sebenarnya, sebenar-benarnya lupa, kalau patuh, kalau tunduk, kalau malu, kalau semua kebaikan itu alamiah jika kita memang baik. Pada posisi itu, aku tak mampu menemukan letakku.
Kemarin, aku melihatnya, melihat dengan senyum kokoh, mahal, sangat mahal, tak ada materi yang kumiliki untuk membelinya. Dia bahkan tidak mengkomersilkan senyumannya, mungkin privasi untuk yang lain.

Riandra, kini telapak kaki itu kupadatkan, butuh rumus kegilaan, aku gila, aku bangga, aku miring, aku belum punah. Waktu masih berjalan, berarti masih ada masa, meski tertunda, aku tak mau menunggu, aku mengikuti perjalanan udara saja, semoga kita bertemu di jalan yang sama, meski tujuan kita berbeda.

Peluhku berjibaku dengan kulit, tanah yang segar menanti saat-saat terjatuhnya, perjalanku masih padat, belum menguap, aku ingin sekali, meski macet, meski lampu merah terlalu lama, meski banyak kendaraan yang lalu lalang, aku hanya menunggu kendaraanmu, aku membawa telapak kakimu yang sudah aku padatkan, aku sisipkan di antara kedua paru-paruku, agar saat aku bernafas, aku tahu apa keinginanku.

Hiruk-pikuk kota mengabarkan polusi, bibir udara menjadi samar, gawat, kau akan terjatuh, kau akan ditabrak, kau akan mati.

TIDAK......................................!!!

Punah, tak bersisa, di mana arah mata angin? Aku ingin mencari muara, di sana aku akan meletakkannya, titipan Tuhan, titipan kejadian, sepasang telapak kaki di udara, dulunya mengambang, dulunya melayang, kini memadat, mendarat, mengesturkan tubuhnya, kita dan telapak kaki kita, Riandra dan aura keajaibannya, Silvia dan kemisteriusannya, aku dan ketidaktahuanku, mereka dan keegoisannya, dia dan senyuman privasinya, cerita ini dan ketertundaannya.

Jika berpikir membuatmu mandek, akhiri pikiran itu, rasakan deretan kata ini dengan fasih, tenang, nikmat, maka kau akan menemukan jawaban, telapak kaki adalah kita sendiri, kitalah sang telapak kaki, yang dulunya di udara, tinggi, di mana-mana, merasa hebat, merasa lebih, merasa puas, merasa bersalah, dan ketika memadat, ketika mendarat di bumi, semua terasa berat melangkah. Kita akan menjumpai, kita ingin menjumpai, kita inginkan takdir itu obsesi. Kita akan tahu setelah cerita ini berlanjut, ini hanya sinopsis, selamat menantikan TELAPAK KAKI DI UDARA 2

Meski macet, aku akan terus memacu gas, inilah awal perjalananku, Gandi Firmansyah, itulah namaku, teruskan pada udara, di sanalah rumahku.

Rabu, 09 Maret 2011

STIMULUS

Akulah stimulusmu. Aku mungkin tak bernama, maka jangan memanggilku. Aku ebnci dipanggil hei, kau, oi.....mas.......bang.......apapun sapaannya, aku membencinya, karena aku tak punya nama dan tak ada yang berhak memanggilku. Kau menanyakan mengapa aku hadir? Aku justru mempertanyakan mengapa aku lahir? Mengapa aku tidak pernah lahir saja? Mengapa aku tak memiliki tujuan? Ini alamiah, bukan sebuah tujuan hidup, aku tak mau jadi parasit. Ada satu teori yang menurutku pasif, jadilah stimulus untuk sebuah akselerasi. Gerakmu berakselerasi, dengan mengabaikan bahkan menghancurkan konstanta, menelurkan bunyi untuk merumuskan beberapa hukum, senyawa-senyawamu semakin aktif. Aku pasif, aku hanya stimulus, mungkin hanya pelumasmu. Di sini, kehidupanku pasif, aku ingin sepertimu, berakselerasi, mendahului ketertinggalan.

Bertahun-tahun, bahkan waktu yang tak bisa dihitung lagi, hanya sebuah angka nol buatku, waktu tak akan mampu mengubahku menjadi akselerator, sampai kapan pun, takdirku adalah stimulusmu, aku ingin sepertimu. Sebuah kenyataan yang tak akan pernah aku nyatakan pada jiwa. Sebuah takdir yang tak bisa diubah, ada apa? Bukannya aku tak rela, aku hanya ingin lebih besar lagi, Tuhan. Aku hanya butuh mereka melihatku, bukan membicarakanku. Aku butuh wujud, aku butuh raga, aku butuh jasad, aku butuh bentuk, aku butuh tekstur, aku ingin bergestur.

Aku tahu, tanpa stimulus, tak akan ada akselerasi, tak akan ada perpindahan lokasi, tak akan ada gerakannya, dia akan mati, bagai kanvas tanpa kuas. Apa yang akan dilukis? Wahai bilangan-bilangan ganjil, kau hanya penggenap, bukan seorang genap, wahai tanda-tanda baca, kau hanya pertanda, bukan kata. Wahai garnis-garnis makanan, kau hanya penghias, bukan santapan. Wahai para stimulus-stimulus percepatan, kita hanya stimulus, bukan akselerator.

APA.......? APA.................? APA........................?

Hai, para stimulator, akulah akselerator, akulah kecepatan yang kau ubah. Akulah percepatan yang kau bentuk, akulah akselerasi yang membutuhkanmu, aku aktif karena aktivitas stimulusmu, bukan pasivitasmu. Mengapa mengurung diri dalam area rendah? Toh, kita ini susunan bangunan, tak ada salah satunya, maka tak akan jadi sebuah bangunan. Kita, bukan aku, bukan hanya kamu, kita, adalah satu, sebuah senyawa, sebuah kumpulan atom-atom tak terhingga, kita sebuah ikatan tanpa simpul yang mampu dibuka. Kita sebuah satu, tanpa urusan ganjil genap, kita hanya satu, bukan dua, bukan tiga, bukan empat, bukan banyak, banyak itu tak menentu, satu itu pasti.

Akulah stimulus-stimulusmu, menelusuri kekuatan psikis untuk menjadikanmu tak terkalahkan, kitalah sebuah urutan yang menengah, berpusar pada satu titik, pasti, eksakta. Stimulus itulah diriku. Mari menjadi stimulus-stimulus kehidupan, mari menjadi satu, pasti.

STIMULUS

Akulah stimulusmu. Aku mungkin tak bernama, maka jangan memanggilku. Aku ebnci dipanggil hei, kau, oi.....mas.......bang.......apapun sapaannya, aku membencinya, karena aku tak punya nama dan tak ada yang berhak memanggilku. Kau menanyakan mengapa aku hadir? Aku justru mempertanyakan mengapa aku lahir? Mengapa aku tidak pernah lahir saja? Mengapa aku tak memiliki tujuan? Ini alamiah, bukan sebuah tujuan hidup, aku tak mau jadi parasit. Ada satu teori yang menurutku pasif, jadilah stimulus untuk sebuah akselerasi. Gerakmu berakselerasi, dengan mengabaikan bahkan menghancurkan konstanta, menelurkan bunyi untuk merumuskan beberapa hukum, senyawa-senyawamu semakin aktif. Aku pasif, aku hanya stimulus, mungkin hanya pelumasmu. Di sini, kehidupanku pasif, aku ingin sepertimu, berakselerasi, mendahului ketertinggalan.

Bertahun-tahun, bahkan waktu yang tak bisa dihitung lagi, hanya sebuah angka nol buatku, waktu tak akan mampu mengubahku menjadi akselerator, sampai kapan pun, takdirku adalah stimulusmu, aku ingin sepertimu. Sebuah kenyataan yang tak akan pernah aku nyatakan pada jiwa. Sebuah takdir yang tak bisa diubah, ada apa? Bukannya aku tak rela, aku hanya ingin lebih besar lagi, Tuhan. Aku hanya butuh mereka melihatku, bukan membicarakanku. Aku butuh wujud, aku butuh raga, aku butuh jasad, aku butuh bentuk, aku butuh tekstur, aku ingin bergestur.

Aku tahu, tanpa stimulus, tak akan ada akselerasi, tak akan ada perpindahan lokasi, tak akan ada gerakannya, dia akan mati, bagai kanvas tanpa kuas. Apa yang akan dilukis? Wahai bilangan-bilangan ganjil, kau hanya penggenap, bukan seorang genap, wahai tanda-tanda baca, kau hanya pertanda, bukan kata. Wahai garnis-garnis makanan, kau hanya penghias, bukan santapan. Wahai para stimulus-stimulus percepatan, kita hanya stimulus, bukan akselerator.

APA.......? APA.................? APA........................?

Hai, para stimulator, akulah akselerator, akulah kecepatan yang kau ubah. Akulah percepatan yang kau bentuk, akulah akselerasi yang membutuhkanmu, aku aktif karena aktivitas stimulusmu, bukan pasivitasmu. Mengapa mengurung diri dalam area rendah? Toh, kita ini susunan bangunan, tak ada salah satunya, maka tak akan jadi sebuah bangunan. Kita, bukan aku, bukan hanya kamu, kita, adalah satu, sebuah senyawa, sebuah kumpulan atom-atom tak terhingga, kita sebuah ikatan tanpa simpul yang mampu dibuka. Kita sebuah satu, tanpa urusan ganjil genap, kita hanya satu, bukan dua, bukan tiga, bukan empat, bukan banyak, banyak itu tak menentu, satu itu pasti.

Akulah stimulus-stimulusmu, menelusuri kekuatan psikis untuk menjadikanmu tak terkalahkan, kitalah sebuah urutan yang menengah, berpusar pada satu titik, pasti, eksakta. Stimulus itulah diriku. Mari menjadi stimulus-stimulus kehidupan, mari menjadi satu, pasti.

Senin, 07 Maret 2011

????????

Jeritan diam terdengar keras. Dia membisingkan sunyi ketika malam menggelapkannya. Tubuh penuh dengan lumuran gagal, juga seribu cercaan membabibuta.

Tenggorokan mengering, mata mimicing, lidah membatu, hanya peluh yang berdiri di daratan-daratan percobaan. Katanya, aku dibuang, katanya aku ini sisa-sisa. Sisa belum habis, dia masih ada, meskipun aku sisa, itulah kebanggaanku. Apa salah bila aku tak menangis? Aku hanya diam dan berteriak dalam jeritan tanpa suara, mereka telah merajamku sedemikian kejam, rupaku tak lagi terlihat, mungkin namaku akan dilupakan. Jejak akan dihapus angin, mungkin alam bersekutu dengan mereka, mereka manusia tanpa jiwa.

Di ambang kepastian, kepastian untuk berakhir, aku menyeruput udara, di sana ada berjuta partikel-partikel bebas, betapa mereka hidup begitu menghargai atom-atomnya. Aku menyusunnya sebisa mungkin, itu cukup menggelembungkan lambungku, mungkin menerbangkan ususku, meledakkan jantungku bila itu perlu.

Tolong katakan padaku! Siapa yang bisa mempercayaiku? Siapa yang bisa menungguku kembali? karena akua akan kembali dengan rupa yang berbeda, dengan bentuk yang sudah jelas, akulah niat-niat kotormu.

Apa perlu aku ke tepi jurang? Aku berdiri satu sentimeter dari batas terakhirnya, kau, mereka semua, kalian semua, dengarkan aku...........!

"Aku ini bukan kesalahan, hanya sebuah kegagalan, kegagalan bukanlah kesalahan. Aku ini hasil yang masih prematur, kelak aku akan normal, bila waktunya, bila masanya, bila saatnya memanen telah tiba. Tenanglah, benih ini akan ku rawat."

"Sebelum kalian menentukan sikap dan menyesali sikap itu, pelajarilah awal kau bermula, resapilah pertengahan posisimu, kemudian rumuskan perlahan masa datang, di sini semua tanpa penyesalan, di sini semua bukan rencana kosong, aku menjerit bukan diam, meski tak ada lisan, tak ada suara, tak ada wajah, tak ada bentuk, hanya sisa-sisa, tapi aku masih ada, masih sedikit, sedikit juga ada."

Mengapa terlalu banyak tujuan? Mengapa terlalu berlebihan persiapanmu? Ini bukan perjalanan, ini hanya sebuah lorong sempit, akan sampai pada ambang bercahaya samar, kemudian jelas, kemudian silau, kemudian kau akan berkata, aku di mana? Di mana semua maksudku? di mana semua rencanak? di mana semua kepuasanku? Itulah dirimu manusia tanpa jiwa.

Jangan mengerangkeng pertimbangan, jangan mengucilkan kegagalan, merekalah sang penyedia sisa, merekalah yang akan membantumu, kenapa bisa? Begini:

"Aku adalah sisa ,sisa-sisa darimu yang kau buang, yang kau tertawakan kemudian kau ludahi, padahal kau tidak akan menyangka, betapa nantinya ketika perbekalanmu habis, maka sisa itu yang akan membantumu, aku masih berguna."

(Seorang psikopat berbicara pada jiwanya)

Rabu, 02 Maret 2011

MENCIPTA? KITA HANYA MENGUBAH

Inilah deretan huruf sebagai susunan beraturan titik. entah dari mana, entah bagaimana,namun inilah hasil sebuah pengubahan. Saya sangat tertarik dengan beberapa bahasan dalam mata kuliah Pragmatic yang saya ikuti tadi pagi. Si dosen menyatakan bahwa, bahasa itu penuh dengan simbol, setiap simbol membawa konsep tentang sebuah makna, itulah makna implisit, atau makna yang tidak referensial, seperti itulah pragmatic.

Bahasa muncul sebagai kesepakatan manusia, namun bahasa bukanlah hasil karya cipta manusia. Manusia tidak pernah mencipta, dia hanya mengubah. Manusia mengubah simbol menjadi bahasa yang disepakati bersama. Begitu katanya.

Pernyataan itu membuat saya berpikir bahwa sebenarnya aktivitas kita di dunia ini hanya mengubah, bukan menciptakan. Ketika seorang mahasiswa robotik mengaku menciptakan robot, sebenarnya dia tidak menciptakan robot, namun mengubah bentuk bahan-bahan yang ada menjadi sebuah robot, itulah yang sebenarnya dilakukan. Sama halnya para produsen, mereka tidak menciptakan dalam proses produksinya, mereka hanya mengubah bentuk bahan-bahan dasar menjadi bentuk lain yang lebih bernilai jual, lebih bermanfaat, atau dialihkan untuk manfaat lain. Contoh kecilnya proses memasak, seorang koki sebenarnya tidak membuat makanan, tapi mengubah bahan-bahan mentah menjadi makanan yang bisa dimakan dan enak dimakan.

Bagaimana dengan hal-hal yang abstrak? Misalnya, ide. Dalam forum diskusi misalnya, seorang yang berpendapat mengaku menyatakan idenya sebagai hasil karya pemikirannya, sebenarnya juga dia tidak menciptakan sebuah ide. Dia hanya menggabungkan beberapa pikiran, imaji, pengalaman, kemudian mengubahnya menjadi sebuah hasil yang dinamakan ide.

Bagaimana dengan berkhayal, atau menkhayalkan sesuatu yang belum pernah ada, dan dimasukkan dalam alam bawah sadar? Dengan definisi membuat yang serupa dengan menciptakan, maka mengkhayal bisa dikatakan hasil karya cipta manusia? Karena terkadang manusia mengkhayalkan sesuatu yg belum pernah ada. Kalau kasus ini, berikut penjelasannya.

Manusia memiliki 3 alat berpikir, yakni panca indera (sense power), pikiran( mind power), dan hati (intuition). Panca indera akan menangkap objek, objek ini akan diinterpretasikan oleh pikiran mengenai bentuk, definisi, dan segala-segalanya, kemudian intuisi akan merasakan hal-hal atau dimensi abstrak objek. Objek-objek ini juga akan terekam dalam memori. Sementara dalam proses berkhayal atau berimajinasi dalam teorinya menyatakan bahwa tidak mungkin imaji lahir tanpa peran indera terhadap objek. Dengan kata lain, tidak mungkin manusia mengimajinasikan sesuatu yang belum pernah ditangkap oleh inderanya. Maka, dapat disimpulkan bahwa, proses imajinasi itu terlahir sebenarnya karena sebelumnya, manusia mempunyai pengalaman terhadap objek tertentu, kemudian ketika sampai di alam bawah sadar, pengalaman itu diubah bentuknya, diracik sedemikian rupa menjadi bentuk lain. Jadi, berimajinasi atau berkhayal juga tak luput dari proses pengubahan, bukan penciptaan.

Sekarang, saya mengisi entri baru di blog saya, tidak berarti saya membuat sebuah tulisan, tapi saya hanya mengubah pengalaman saya, kemudian menuangkannya dalam kalimat sebagai hasil pengubahan titik, garis, kata, frase, dan klausa. Intinya, manusia tidak mencipta, hanya mengubah objek yang ada. Maka, yang pantas mencipta hanyalah Sang Maha Pencipta, kitalah ciptaanNya. Bumi ini menjadi saksi dosa-dosa kita, sebagai hasil pengubahan nafsu menjadi sebuah aksi menyimpang.

Jika aku menaruhmu dalam ruang imajiku, bukan berarti aku membuat duplikat tubuhmu, aku hanya mengubah pengalaman inderaku menangkapmu menjadi bentuk yang kuinginginkan sebagai bentuk kekecewaanku pada realita. Jika aku menyatakan cinta untukmu, sesungguhnya aku hanya mengubah beberapa kebencian yang telah mengalami pengolahan bertahap, itulah diriku padamu. Kau adalah hasil pengubahan pengalaman inderaku.


(jika ada kesalahan, mohon kritikannya)

Chat Room Bloofers