Minggu, 16 Desember 2012

MATAR SEASON II (PART 1)


Selain dirimu, kepada siapa lagi aku harus menaruh cinta? Selain dirimu, wanita mana lagi yang akan kuhadiahi kasih sayang? Sementara Tuhan menakdirkan jodoh bagiku, wanita yang akan mendampingi, sekaligus menjauhkanku darimu. Sebelum tenggorokanku kering, kau sudah jauh hari menyiapkan air. Sebelum perutku keroncongan, kau sudah jauh hari menyiapkan makanan. Sebelum aku mati, kau sudah jauh hari menyimpan air mata. Persiapanmu seperti mengetahui masa depanku. Nalurimu adalah peramal jitu.

Kebersamaan kita adalah pertemuan yang tak pernah aku harapkan. Dulu, ketika aku masih sebentuk sel, aku belum dikaruniai kemampuan berharap. Tetapi, aku mendapatimu dengan tubuh dan jiwa yang memberiku semua harapan yang aku butuhkan, untuk masa depan, untuk waktu yang belum aku ketahui. Tuhan menjadikanku tubuh dan jiwa yang dikaruniai dirimu, itulah harapan juga pengharapan. Kemudian Tuhan tak perlu memperkenalkanku denganmu. Perkenalan tidak pernah terjadi. Aku diberi kemampuan untuk langsung merasakanmu, kemudian begitu saja mengenalmu, tiba-tiba, tak kurasa awal mula, dan tak ingin kurasa semua itu berakhir. Apa semua manusia seperti itu? Entahlah. Aku tak pernah bertanya kepada mereka, kalaupun iya, mereka tak akan bisa menjawab. Semua pertanyaan itu seperti tak memiliki jawaban, atau justru tanda tanya itulah jawaban, bahwa sesungguhnya pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban adalah pertanyaan yang sudah terjawab dengan satu tanda tanya besar.

Kau bertaruh pada waktu. Nyatanya memang waktu akan selalu menang. Tapi sayangnya, kau tak pernah menyerah. Meski waktu terus menyakitimu, di mana aku menjadi yang teraniaya bagimu, kau menangis, sungguh itu kepedihan bagimu, dan saat itu, aku hanya mampu terpaku.

Waktu menampung semua keluh kesah, kemudian dengan santainya membuangnya satu per satu di setiap detiknya. Lahirlah sebuah kalimat “biar waktu yang menjawab semuanya”. Jika waktu adalah jawaban yang pasti, jawaban terbaik, mengapa tak kutemukan satu detik pun yang menjawab pertantanyaan ini, “Kapan aku berhenti mencintaimu, dan kapan kau berhenti mencintaiku?” Bahkan jika waktu telah usai, ia akan mati sebelum mampu memberiku jawaban.

Selain dirimu, kepada siapa lagi aku harus menaruh cinta? Selain dirimu, wanita mana lagi yang akan kuhadiahi kasih sayang? Sementara Tuhan menakdirkan jodoh bagiku, wanita yang akan mendampingi, sekaligus menjauhkanku darimu.
Bicaralah, agar aku tenang.

Kembali, waktu bukanlah penjawab fasih seperti kata mereka. Sampai detik ini aku belum menemukan jawaban, mengapa aku harus mencintainya? Mengapa Tuhan tak membiarkanku memilih? Seandainya saja ada pilihan atas siapa yang dicinta, maka aku ingin menempatkanmu sebagai satu-satunya. Sayangnya, kodrat manusia sebagai makhluk sekaligus hamba Tuhan harus mengakui takdir. Jodoh memaksaku mencintainya. Jodoh adalah takdir yang tidak bisa aku pilih.

Minggu, 11 November 2012

AYAH MAYA


Ayah……begitu besar kebencianku padanya. Baik ia berdiri sebagai sebuah kata yang bermakna ataupun makna itu sendiri. Sepanjang hidupku, ayah hanya berarti tunggal, gagal. Dialah ayah yang gagal, ayah yang membuatku kecewa, dan ayah yang membuatku menyimpan kebencian luar biasa padanya.

Menurutmu bagaimana bila seorang ayah yang seharusnya menjadi ayah bagiku lebih senang menjadi ayah bagi orang lain? Aku anaknya, bukan status keluarganya, dan aku benci sekedar status. Menurutmu seperti apa kau harus menanggung wajah seorang ibu yang begitu setia menahan kantuk semalaman, duduk di ruang tamu menatap pintu rumah dengan harapan yang begitu besar bahwa pintu itu sewaktu-waktu akan terbuka kemudian wajah suaminya muncul membawa kantongan beras. Detik demi detik ia lewati tanpa sedikitpun terkuras harapannya. Aku seorang anaknya hanya mampu menatap wajah lesu itu dari balik tirai kamar sebuah gubuk yang berdindingkan tripleks dan kayu-kayu lapuk. Apakah kau masih mampu menahan air mata dan masih menyimpan kebanggaan pada seorang ayah itu?

“Bu….tidur, sudah malam, ayah tidak mungkin pulang.” Sahutku sembari melangkah pelan ke arahnya. “Nak, seorang istri harus taat pada suaminya, aku ibu bagimu, tapi aku istri baginya, kamu tidur duluan, ya!” jawabnya dengan senyuman yang menurutku sangat pedih.
Kejadian itu terjadi setiap malam. Aku hanya melihat wajah ayahku sampai aku berumur 5 tahun, setelah itu, ia hanya “entah” bagiku, dan kabarnya pun menjadi tidak penting lagi. Yang membuatku sangat terpukul adalah penantian ibuku masih berlanjut sampai hari ini di setiap malam, sampai sekarang di setiap malam di mana ubannya semakin jelas, dan kabar si ayah itu semakin tak jelas. Persepsiku hanyalah satu, ia tengah sibuk menjadi ayah untuk anak lain, dan menikmati menjadi suami bagi istri lain. Sementara aku sudah merasa anak yatim, tapi bagi ibuku, ia sama sekali tak merasa menjadi seorang janda, padahal dalam aturan agama, ia sudah pantas menyandang itu. Sekarang, ia masih menunggu di ruang tamu, menatap penuh gairah ke pintu, dan aku tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun, hanya tangis yang bersembunyi.
Lagi…..saat ini….saat – saat di mana ia masih menunggu, kemudian aku masih terus menangis dan tersungkur. Kini ia telah tiada bersama penantiannya. Sekarang, aku betul-betul menghargai sebuah kesetiaan, kesetiaan seorang istri pada suaminya yang semakin tiada, dan ia pun harus tiada dalam penantiannya, aku kehilangan ibuku untuk selamanya. Kejadian pahit itu menempaku begitu keras dan membuat kebinalan luar biasa dalam kehidupanku.
Kehidupanku berlanjut, kesedihan itu kulumat habis, semoga saja bisa menjadi kekuatan, harapku.

Pagi yang tenang, sangat basah, bekas hujan semalam. Pagi yang menampung sisa hujan semalam sangat istimewa. Perawakannnya tak bisa dianalogikan, maka aku pun selalu duduk dari balik jendela rumah yang tak lagi berdinding tripleks dan kayu-kayu lapuk menyaksikannya dengan secangkir kopi Toraja asli.
Hari ini hari minggu, dan akhirnya aku bisa bernafas lega, lepas sejenak dari rutinitas. Hari-hari minggu sebelumnya aku harus menemani Diandra memuaskan hasrat kewanitaannya, belanja. Ada dua hal yang membuatku muak bersamanya di hari Minggu.

Pertama, itu menyita waktu istirahat privasiku, sementara setiap hari aku bisa menemuinya di kantor, tepat di meja sebelah meja kerjaku. Kedua, menemani wanita belanja itu sama saja menghitung ribuan jarum di tumpukan jerami, menyita banyak waktu untuk menjadi sia-sia. Ketiga, uang yang digunakan adalah uangku, dan alasan inilah alasan terkuat bagiku untuk merayakan hari kemerdekaan pribadiku.
Entah mengapa dibalik semua kebencianku padanya, aku masih setia pada rasa sayangku kepadanya, sehingga di sudut mana pun ada kebencian maka akan ada sudut di mana itu penuh dengan rasa cinta, karena hidup menuntut sebuah keseimbangan.

Pagi yang basah sisa hujan semalam seperti ikut merayakan kemerdekaanku, ini baru hari Minggu. Aku sebenarnya heran, tumben-tumbennya Silvika tidak memintaku menemaninya berbelanja hari ini, padahal setahuku itu sudah menjadi jadwal rutinnya setiap minggu. Meski berbahagia, aku masih sedikit mengerutkan dahi merayakan keherananku padanya yang hidup tak seperti biasanya. Hanya ada dua kemungkinan, dia sudah berubah atau justru terjadi sesuatu yang membuatnya tidak bisa keluar rumah. Akhirnya dia menelponku hanya mengabarkan kalo hari ini dia mau menemani ibunya check up.

“Maaf, ya, sayang, hari ini kita gak bisa hang out, aku mau nemenin mama check up.”
Aku tertawa mendengarnya meminta maaf, karena sebenarnya aku yang sangat bersyukur tidak mesti merasakan 3 efek negatif menemaninya belanja.
Seruput demi seruput kopi terasa begitu nikmat di hari kemerdekaan ini, masih bersama pagi istimewa yang basah sisa hujan semalam, memikirkan hal-hal yang tak sempat terpikirkan di waktu di mana semua yang tak penting terpikrikan harus dipikirkan. Terus seperti ini, rasanya setiap minggu wajarnya aku seperti ini, sampai aku dikagetkan oleh nada dering handphoneku. Diandra memanggil
“Halo sayang……” ujarku menyapa.
“Halo, sayang aku mau ngomong sesuatu, penting”
“Ya udah ngomong aja sekarang”.
“Gak bisa lewat telepon, kita mesti ketemuan sekarang, aku ke rumahmu ya!”
“O…o….oke!” Kalimatku terpatah-patah penuh tanda tanya.

Aku menyeruput kopiku menyisakan ampasnya saja, segera kemudian tergesa-gesa mandi dan bersiap-siap menyambut kedatangannya. Ia sangat benci dengan laki-laki yang tidak mandi pagi, aku benci menjadi kategori kebenciannya. Menajdi apa yang ia inginkan itu sudah otomatis, aku tak tahu alasannya dan tak berniat mencari alasannya.
Sejam kemudian dia datang dengan wajah yang tak biasa, penuh beban. Mungkin aku menyesal, harusnya membawanya keliling kota belanja sepuasnya ketimbang melihat beban di wajahnya. Ia duduk, menatapku datar-datar saja, aku bingung meresponnya bagaimana.
“Gandi……” Ia menghela nafas panjang
“Iya…sayang, kamu kenapa?”
“Kamu sayang sama aku gak?”

Pertanyaan itu muncul dan akhirnya aku sampai pada sebuah rahasia umum besar bahwa pertanyaan seperti itu adalah tanda kalau seorang wanita ingin meminta sesuatu, tapi kalau dia minta uang, sepertinya rasa sayangku belum sampai ke arah itu.
“Iya..aku gak perlu bilang itu berkali-kali, karena hasilnya akan tetap sama, aku bakalan tetap sayang sama kamu.”
“Kamu mau gak jadi seorang ayah?”
Dan kata yang sangat kubenci itu hadir, kali ini rasa sayangku padanya harus terabaikan. Aku diam, karena dia tahu mengapa aku diam.
“Aku tahu kamu gak mau, aku tahu kamu benci kata itu, tapi kalo kamu berada dalam keadaan harus menjadi ayah, apa kamu masih bisa nolak?” Dia menangis, deras, pedih, seperti wajah ibuku yang terlihat pedih di ruang tamu menatap pintu dengan penuh harapan.

Aku harus bagaimana? Aku dalam keadaan di mana aku tak bisa menolak, ini antara idealisme kebencianku dan harga diriku sebagai laki-laki. Sesulit bagaimanapun memendam kepedihan, masih jauh lebih sulit berada dalam dunia antara di mana pilihan itu keharusan, dan kepedihan juga kepastian. Aku diam, dan aku rasa dia pun tahu jawabanku. Pacarku, Diandra, pergi tanpa sehelai kata pun dari seorang laki-laki yang diharapkannya. Sama seperti ibuku yang pergi tanpa sedikitpun harapannya terpenuhi, wajah ayah yang kubenci itu. Sekarang apa bedanya aku dan ayahku? Aku tak kuasa menahan laju Diandra yang begitu kuat dengan kepergiannya, juga tak kuasa menahan diri sendiri yang begitu teguh pada pendirian bodohnya.

Pagi yang basah sisa hujan semalam tak istimewa lagi, hari Minggu tak merdeka lagi, aku yang merasa lebih baik dari ayah tak hebat lagi, aku kalah, aku gagal. Dan dia terus pergi.

Setahun kemudian, aku melewatinya dengan predikat yang sama seperti ayahku. Aku tak lagi memperdulikan kebencianku pada sosok ayah yang selalu dinantikan wanita luar biasa bertahun-tahun silam, yang aku tahu aku benci pada diriku sendiri.

Hari Minggu, hari yang sama, pagi yang basah sisa hujan semalam juga tidak istimewa lagi. Hari Minggu yang merdeka juga tak patut dirayakan lagi, aku berduka pada kenduri di hari Mingguku sendiri. Ia telah menikah dengan lelaki lain yang lebih bijak mengambil keputusan, tak memendam kebencian berlebih, tidak kalah pada idealisme bertamengkan egois, dan pastinya lebih pantas jadi ayah.

Saat ini, pagi ini, aku mengais memori penantian panjang ibuku, ke”entah”an ayahku, kebencian bodohku, dan aku menunggu telepon Diandra mengabarkan ini padaku, “Sayang maukah kau menikahi janda sepertiku dan menjadi ayah untuk anakmu ini? Namanya Maya, dan ia sudah kelas 5 SD.

Jumat, 12 Oktober 2012

PERKARA PERTANDA


Kau bertanya padaku tentang tanda. Aku buruk soal itu. Aku lemah. Aku bukan ahli semiotika. Aku bukan peramal. Aku hanya tahu kebenaran yang sederhana.

Seperti ketika kau bertanya padaku, apa tanda hujan. Aku tak menjawab. Aku takut salah. Jika mendung tanda hujan, mengapa suatu waktu aku menjumpai terik yang basah?

Kau cemberut. Bukannya berhenti bertanya, kau malah menghujaniku pertanyaan yang jauh lebih sulit. "Apa tanda kemarau?" Aku masih tak menjawab. Aku takut salah. Jika kering tanda kemarau, di musim apapun aku selalu segar walau hanya sekedar mengingatmu.

Wajahmu memerah, bukan rona malu. Kau berang. "Apa tanda kematian?" Tanyamu keras. "Kehidupan." Kau menganga. "Kalau begitu apa tanda kau mencintaiku?" Tanyamu semakin kesal. "Kehidupanku."

Aku hidup, maka aku akan mati. Perlukah pertanda lain? Aku hidup maka aku mencintaimu saat ini sampai tanda kematian itu lenyap dan tak hanya sekedar tanda.

Kemudian aku memberanikan diri bertanya padamu. "Apa tanda kita akan bersatu?" Giliranmu kaku. Aku tak berang.

Hatiku berkata, apakah dengan kita masih hidup sampai saat ini bukan tanda kita akan bersatu? Pada saat yang bersamaan akan menjadi tanda kita akan berpisah.

Tanda bagiku hanya sebuah kemungkinan, kepastian hanya milik Tuhan. Kehidupan menyiratkan semua pertanda yang kita pertanyakan. Hingga pada saatnya semua tanda itu akan terjawab, juga kehidupan, akan lenyap.

Jumat, 28 September 2012

Unidentify Letter





Hey..kau tahu mengapa aku berpuisi?
Aku membebaskan kurungan abjad agar tak hanya berjejer berjumlah duapuluh enam

Hey, kau tahu mengapa aku berpuisi?
Aku membebaskan diriku agar tak berada dalam dunia yang nyata saja
Kini aku di udara, mungkin punah, karena aku tak menjumpai makhluk selain yang bersayap, sementara aku melayang karena gravitasi menolakku, bumi membenciku

Aku bersiul, mengeluarkan nada, bersimpuh tanpa gaya simpuh, menyimpul tali usang, aku berjumpa denganmu

Sudah duapuluh enam abjad berdiri, dan aku membuatnya acak-acakan, aku berpuisi, apakah aku hidup?

Sekali jumpa pudar meratap, tak ada memori, hanya ada detik berjauhan, menjauh, tak peduli

Bahkan ketika aku mencoba setia menunggunya, waktu selalu pergi, ia tak berindera, apalagi untuk merasa

Ibuku, ayahku, saudaraku, sahabatku, semuanya punah, tinggal aku, mungkin sebentar lagi, kita berpisah tanpa kenangan, tanpa masa lalu, masa depan untuk melupakan, itu di benakku

Aku lupa, jejak itu terhapus, mungkin terhapus, tapi ia ada, ia ada, ia tetap ada, hanya saja aku tak punya mata

Aku di udara, melayang tanpa sayap, berjumpa denganmu, berbisik di telingamu, merabamu, aku tidak ada dalam kerumunan, mereka di darat, ada juga di langit, aku di tengah, dan aku terlupakan, satu-satunya yang kuingat adalah diriku.

Dirimu? Aku tak mengingatmu, aku hanya mengenalmu, setelah ini tak ada lagi dirimu dalam otakku, aku sebentar lagi akan kehilangan otak

Bisakah aku bertanya sekali lagi? Jawablah!
Kau ternyata tak mempunyai lidah, kefasihanmu berbahasa tak mampu mengalahkan duapuluh enam abjad yang ku punya

Aku berbahasa? Setelah itu mati, karena sejarah tak ada di sini
Maka aku menuliskan ini, karena ini bukan memori, ini diriku, bukan perkara waktu, di dalamnya ada uraian keduapuluh enam abjad yang siap kau cerna, semoga bergizi

Untukmu wahai gravitasi

Apakah kau takut mereka meninggalkanmu? Mengapa kau menjerat mereka?
Kemudian ketika kau menolakku apakah mereka sudah cukup bagimu?

Kau tak perlu mematikan energimu untuk membuat mereka sepertiku, sebentar lagi kau hanya jadi yang terlupakan, karena Mars menunggu penghuni, ia hunian yang lengkap

Sebentar lagi semua akan cukup, tak perlu berlebih untuk mengkahiri, seperti abjad yang tak pernah berhenti, ia hanya cukup berjumlah duapuluhenam, namun tahukah kau berapa kata, berapa kalimat, berapa alinea telah terbentuk? Semua akan berhenti

Bukan pada waktunya, buka pada saatnya, tapi pada izinNya

Tulisan ini dibuat di Makassar, 30 April 2012

Rabu, 26 September 2012

SUDAHLAH


"Semua sudah aku lakukan." Katanya pelan.
Aku hanya bisa diam. Saat ini, bibirku sedang memusuhi abjad.

"Semua sudah aku lakukan." Katanya perlahan keras.
Aku lagi-lagi hanya bisa diam. Saat ini, bibirku semakin memusuhi abjad.

"Semua sudah aku lakukan." Katanya dengan keras.
Diamku juga mengeras. Bibirku seperti melaknat abjad.

"Apa kau tidak mengerti? Semua sudah aku lakukan. Semua sudah aku lakukan. Apa lagi?" Ia berteriak.
Telingaku bergetar.

"Ya, aku tahu." Seketika bibirku berdamai dengan abjad, meski terpaksa.
"Itu saja? Aku tahu, kau tahu. Semua orang juga tahu kau tahu aku sudah melakukan semuanya. Kau tak pernah mengerti. Bicara saja jarang, apalagi mengerti. Belum lagi memahami." Dia marah, mengelilingi ruangan sembari melemparkan sobekan-sobekan kertas yang sedari tadi menghuni kepalan tangannya.

"Aku bekerja siang dan malam, untuknya, untuknya. Aku bahkan tidak hobi lagi tidur. Tidur bagiku menjadi sebuah pantangan." Ia melunak dan duduk di sampingku.
"Kemudian, aku juga berdoa siang dan malam, meski aku tahu, Tuhan tak akan menjawab doaku begitu saja." Dia memanas.
"Lalu aku menunggu, menunggu, terus menunggu, aku menunggu sampai aku tak tahu lagi apa yang aku tunggu." Ia menangis.

Perlahan aku merasakan kepalanya bersandar di pundakku. Bajuku basah oleh keringat dan air matanya.

"Ibuku mati, dia sudah mati." Raut wajahnya datar saja, air mata terus mengalir.
"Padahal, sekian lama aku bekerja, berdoa untuknya, dan ia mati begitu saja, tanpa pamit kepadaku, tanpa menitipkan pesan apapun."

"Bicaraah, aku mohon." Pintanya sungguh sedih.

"Dia pamit padamu, kau hanya tidak tahu. sebelum ia mati, ia memanggilmu, tapi kau sibuk bekerja, setelah itu kau sibuk berdoa. Katamu bekerja dan berdoa adalah privasi, butuh ketenangan. Maka dia membiarkanmu. Sudahlah. Inilah kehidupan, sudahlah. Kau akan baik-baik saja. Nikmati kesedihanmu dengan cara terbaik, tidak berlarut-larut." Kataku diiringi senyumnya

-Flash Fiction-

Inspired by" Coldplay - Fix You"

Selasa, 18 September 2012

PULANGLAH DIANDRA



Debu menjadi suci ketika air tak ada. Aku bisa saja jadi apa saja, asal Tuhan mau, asal kau siap, asal dia tiada. Aku akan ada saat dia tak ada, begitu mudahnya kau membuat fatwa. Kemudian, tak ada yang tahu. Tuhan enggan menyebar rahasia, ia bahkan enggan menyebut kalau itu rahasia. Sementara kau menyimpan rahasia, katamu aku tak berhak tahu soal rahasia itu? Itukah rahasia? Aku tahu, sudah tahu. Kau memberitahu. Itukah rahasia?

Isyarat lalu berbicara ketika lugas takut bersuara. Aku bisa saja jadi apa saja, asal Tuhan mau, asal kau siap, asal dia tiada. Aku akan berguna saat dia tak ada, begitu mudahnya kau mengatur kadar. Kemudian, mata memicing, kening mengkerut, wajah menjadi asing, kau pergi.

Alibi mempesona ketika jujur melemah. Aku bisa saja jadi apa saja, asal Tuhan mau, asal kau siap, asal dia tiada. Aku akan mempesona saat dia tak ada, begitu mudahnya kau membaca kharisma. Kemudian, kakiku lumpuh, tak sanggup mengejarmu. Maka kubiarkan batinku yang menyusulmu. Dengan begitu, ia akan menemukanmu sampai ke ruang rahasia apapun kau bersembunyi.

Nyeri berkembang biak, ketika nyaman sudah punah. Aku bisa saja jadi apa saja, asal Tuhan mau, asal kau siap, asal dia tiada. Aku adalah pundak yang memikul apa saja, begitu mudahnya kau beranalogi. Kemudian, nyeri terus bertambah, menjalar dengan bebasnya. Sampai saat ini mereka masih bertahan, mungkin mereka sudah jadi bangsa maju, bangsa nyeri yang maju.

Di kulitku masih ada sidik jarimu, ketika itu satu-satunya peninggalanmu. Ku jaga itu meski nyeri semakin keji mencoba membunuhku pelan-pelan. Aku bisa saja jadi apa saja, asal Tuhan mau, asal kau siap, asal dia tiada. Aku pasti tekstur lembut saat dia tak ada, begitu mudahnya kau memastikan hal yang masih mungkin. Kemudian, sidik jarimu lekat, meski nyeri terus menyerang, akan terus melekat. Bahkan angin sekencang apapun meniupnya, akan terus kulekatkan. Dengan begitu, aku merasa kau menyentuhku untuk pertama kalinya.

Rambutku beruban. Aku sudah tua, tentu ketika tak lagi muda. Aku bisa saja jadi apa saja, asal Tuhan mau, asal kau siap, asal dia tiada. Aku menua saat kau tak ada, begitulah aku membaca diri. Aku memang menua saat kau tak ada, bahkan lebih cepat dari perkiraanku, dari pengalaman mereka yang telah menua lebih dulu.

Aku adalah rumah, ketika kau gelandangan. Aku bisa saja jadi apa saja asal Tuhan mau, tapi aku hanya ingin jadi rumah bagimu. Rumah di mana setiap senja kau melangkah dengan sangat bersemangat menuju ku. Pulanglah.....

Rabu, 12 September 2012

Dari Mata Jatuh Ke Tanah


Bagaimana ketika kau harus pergi, dan tak ada lagi raut wajah yang bisa kusentuh?
Sementara saat ini aku tak punya cukup waktu untuk memuaskan diri menyentuh raut wajahmu.

Pertanyaan ini besar. Selalu besar. Selalu membuatku merinding bila aku mendengungkannya dalam pikiran, dalam waktu yang memungkinkanku memikirkan apa saja.

Bagaimana jika Tuhan menakdirkan kau pergi lebih dulu, dan aku tak sempat mengucapkan salam perpisahan padamu?
Sementara saat ini aku tak punya cukup waktu untuk mempersiapkan diri menyambut kepergianmu?

Haruskah kesedihan kusembunyikan lewat isyarat, lewat tanda, lewat istilah, lewat syair, lewat diksi yang tak lazim? Padahal kesedihan yang nikmat adalah kesedihan yang gamblang.

Bagaimana ketika kau betul-betul pergi, dan tak ada lagi kaki yang bisa kucium dengan air mata?
Sementara saat ini aku tak memanfaatkan waktu untuk mengenal tekstur kulit kakimu, tebal atau tipis, halus atau kasar?

Kakimu adalah rumah bagi langkah-langkah yang penuh dengan darah, peluh, melupakan tujuan pribadi, mengubur kepuasan diri.

Bagaimana jika Tuhan tak mempertemukan kita sebelum kau benar-benar pergi, dan tak ada lagi raga yang bisa aku banggakan sebagai satu-satunya raga yang aku abadikan dalam berentah-entah cerita?
Sementara saat ini, aku masih belum sempat menyentuh tanah yang basah, di mana airnya berasal dari matamu sejak pertama kali aku melihat dunia.

Atau...

Bagaimana jika saat aku menuliskan ini, kau telah pergi, dan pertanyaan-pertanyaan ini tak berguna lagi?
Sementara saat ini, aku masih belum bisa menjawab itu sendiri.

Mungkin semua ini tak butuh jawaban, sama ketika pertanyaan ini muncul di pikiranmu:

"Mengapa kau menukar air matamu demi senyum yang tak pernah tahu bahwa ia ada karena air matamu sendiri?"

Suatu saat nanti, aku akan pulang dan menyaksikan matamu basah. Dan saat itulah aku akan semakin yakin perihal kau menyembunyikan air matamu sendiri. Kau hanya tak ingin aku malu jika tahu bahwa selama ini aku hidup karena tanah, di mana ia basah karena air yang berasal dari matamu.


Kamis, 06 September 2012

SILUET SENJA

Aku melihat sebuah siluet di kala senja. Ia tipis, datar, dimakan senja yang hanya dijatahi waktu sedikit setiap harinya. Senja tak seperti pagi yang cerah. Tak seperti siang yang garang. Tak seperti malam yang punya bulan.

Bagiku senja seperti waktu, mungkin duduk menyaksikan matahari menghilang dari pandangan. Merenungi berjam-jam seharian, apakah ia bermanfaat atau hanya menyaksikan perjalanan waktu belaka.

Hari ini, semua terlihat sama. Hiruk-pikuk, tegur sapa, tanya jawab, memesan dan menerima. Senja mencukupkan ruang bagiku untuk duduk, tak perlu di tepi pantai, cukup di teras rumah yang biasa-biasa saja tanpa teh, susu, kopi, tanpa minuman lain. Membiarkan semuanya lewat, sedang diri ini hanya terpaku, cukuplah aliran darah, detak jantung dan hela nafas yang berbicara.

Senja mencukupkan waktu bagiku untuk melihat ke belakang sembari bersiap menanti perjalanan setelahnya. Mungkin lelap, mungkin lelah, mungkin akan insomnia, atau mungkin akan kembali sibuk. Tak apa.

Bukan jeda, karena sudah terlalu banyak jeda sepanjang hari ini. Jeda ke kamar mandi, jeda ke luar ruangan untuk batuk, jeda makan siang, jeda untuk mengecek jejarig sosial. Bagiku senja lebih tepat sebagai waktu tersendiri untuk menyibukkan diri menganga. Betapa peralihan yang sangat lembut ada pada senja.

Lalu mengapa kau menaruh siluetmu pada senja?

Tentu kau tak mau menjawab. Biarkan aku menjawabnya, meski itu belum tentu benar. Siluet yang selalu berwarna gelap adalah kesiapanmu menjamu malam. Kau merangkum secara keseluruhan perjalananmu sedari pagi. Lalu, siapkah kau menjamu malam dengan perjalananmu sedari pagi?

Malam tak pernah menuntut jamuan apa-apa. Hanya saja, misteri tak terduga akan terkuak di kala malam. Bagaimana kita menjadi pujangga seketika, melakukan pertemuan-pertemuan penting, menyanjung bulan dan bintang, menyebut "galau" sebagai kata yang sangat sastrawi, seolah-olah kesedihan adalah satu-satunya yang dimiliki kesusastraan.

Mungkin kita harus siap menjamu malam, agar ia tak berpikir dua kali mengungkap rahasia mengapa malam selalu menjadi milik kita yang setia memandangi langit, menjadikan langit sebagai tempat pertemuan rindu, menjadikan rindu semakin menggebu-gebu, dan menjadikan puisi begitu sibuk berdeklamasi saat itu.

Dan...

Siluet senja adalah keseluruhan waktumu sedari pagi yang begitu siap menyambut kedatangan malam. Membuat kejadian-kejadian tadi menjadi cerita beragam di waktu malam, untuk dibagi, untuk ditertawakan, untuk ditangisi, untuk dikatakan rahasia dengan pernyataan, "maaf ini rahasia", untuk menunggu doa-doa yang begitu kreatif diamini banyak orang.

Atau....

Untuk menunggu Tuhan begitu indah disebutkan.

Dedicated to Teh Bonit

Selasa, 28 Agustus 2012

PERKARA GADIS HUJAN


Mengapa hujan begitu menarik buatmu? Tanyaku padadamu. Atau bisa juga tanyaku pada hati, karena hatiku dan dirimu tak mudah kubedakan. Kemudian kau diam. Bagiku diam adalah jawaban yang paling tepat. Dengan begitu, ketertarikanmu pada hujan tidak ada dalam abjad, juga tak pantas untuk lisan.

Mengapa terperangkap oleh hujan selalu romantis bagimu? Tanyaku padamu. Atau bisa juga tanyaku pada beberapa memori, karena beberapa memoriku dan dirimu sulit kubedakan. Kemudian kau tersenyum. Bagiku senyuman adalah jawaban yang tepat. Dengan begitu raut ketertarikanmu pada hujan tidak dijumpai pada kesedihan.

Mengapa dirimu dan hujan sulit kubedakan? Tanyaku padamu. Atau bisa juga tanyaku pada akselerasi, akselerasi dan dirimu sulit kubedakan. Kemudian kau tertawa. Bagiku tawa adalah jawaban yang tepat. Dengan begitu, dirimu dan hujan adalah kelucuan yang luar biasa.

Pertanyaanku habis, kemudian kau diam. Bagiku diam adalah jawaban. Tapi mengapa kau menjawab sementara pertanyaanku tiada? Rupanya, kau adalah jawaban pada apa yang belum sempat dipertanyakan tentang hujan, tentang kekhasan, tentang menyukai sesuatu, kemudian memaknainya, boleh lewat kisah.

Tentang Matar, kau berbeda. Meski satu makna, fungsimu tak sama. Matar menyegarkan, kau meneduhkan.

Namun, melalui Matar aku memaknai hujan sebagai surat-surat kehidupan, olehmu hujan adalah sesuatu yang layak menjadi teman. Olehmu, hujan tak selalu memberi bencana, bukan perihal romantisme, bukan juga keindahan, terbukti, hanya 3 jawaban pasti darinya, diam, senyum, dan tawa. Meski menyenangkan ketiganya lebih dari sekedar menyanjung keindahan.

Lalu untuk apa aku menuliskanmu?

Untuk menandai bahwa, sepeninggal Matar, masih ada hujan yang layak aku jadikan teman. Bahwa di antara titik hujan yang jatuh, entah oleh gravitasi, entah oleh kemauannya sendiri, entah demi apa Tuhan merencanakan itu, hujan bukan melulu basah.

Kemudian mereka bertanya: "Ketika hujan turun terus menerus, apa yang kau rasakan?"
Sudah kuperkirakan bahwa mereka merujuk pada bencana. Maka dengan bangga kujawab: "Hujan yang terus menerus, bagiku adalah kesegaran yang juga terus menerus jika itu Matar, dan keteduhan yang terus menerus, jika itu dirimu.

Kemudian mereka bertanya lagi: "Bukankah sesuatu yang berlebihan itu tidak baik?" Dengan sangat bangga aku menjawab: "Bagimu, namun aku terbiasa menabungnya, hingga ia selalu cukup pada saat kekeringan melanda."

Dedicated to Nick Salsabila a.k.a. A Rainy Girl

Rabu, 22 Agustus 2012

GRAVITASI


Gravitasi menuntutmu untuk selalu merapat dengan bumi. Mungkin kamu bisa membahasakannya dengan “membumi”. Ketika kau terjatuh dari jurang yang sangat curam maka kau akan terjatuh di bumi, di pelataran bumi, bukan di langit, bukan sempoyongan di awan, atau melayang di antara bumi dan langit. Gravitasi mengakrabkan kita dengan bumi.

Suatu hari aku lari-lari kecil di pagi yang segar. Olahraga sudah sangat jarang kulakukan, mungkin dengan menyediakan waktu di akhir pekan ini, berolahraga bisa menjadi pilihan yang tepat. Playlist di MP3 player sudah diatur dengan baik.

Aku mulai berlari, melangkahkan kaki dengan kecepatan yang lebih dari sekedar berjalan. Begitu aku membahasakan lari. Kita akan terus melangkah, harus melangkah, bahkan diam pun sebenarnya merupakan aktivitas melangkah, melangkah dari detik satu ke detik berikutnya, sementara itu akan ada aktivitas rutin yang mengiringi langkah manusia. Aktivitas rutin yang manusiawi tidak melangkah, mungkin statis, tapi ia akan selalu baru, karena apa? Karena waktu itu selalu dinamis.

Jogging track di Taman Macan, kota Makassar. Kota besar harusnya banyak memiliki area seperti ini, karena sejujurnya kebisingan itu akan netral dengan area-area yang segar. Aku terus berlari dengan kecepatan kosntan, bukan hanya aku, ada banyak yang melakukan hal sama denganku. Ada juga ibu-ibu dan bapak-bapak lansia senam di pinggir area Taman Macan ini, instrukturnya terlihat begitu semangat memperagakan beberapa gerakan-gerakan senam yang diiringi music house.
Aku masih berlari, kali ini kecepatan lariku bertambah, aku melakukan percepatan. Sampai saat aku mulai lelah, aku hanya mampu berjalan mengitari jogging track sekali kemudian berhenti meneguk air putih yang sudah kubawa dari rumah. Nikmatnya. Aku baru saja tersadar, kaum kota yang diperbudak oleh kesibukan setiap harinya akan merasa senang menghirup udara segar yang bertebaran dari pohon-pohon yang rindang, jauh dari kebisingan hiruk pikuk, setidaknya untuk sekali seminggu. Sementara itu, kaum desa tidak demikian, mereka akan sangat menginginkan laju kendaraan yang padat, cafe-cafe, gedung-gedung yang tinggi, baliho-baliho yang berdiri di pinggir-pinggir jalan.

Ternyata manusia akan merasakan hal yang rutin itu sangatlah biasa, dan di waktu sengganggnya ia merindukan hal-hal yang istimewa, hal yang tidak pernah dijumpai di rutinitasnya. Kita adalah makhluk yang tidak pernah bersyukur, selalu menampung begitu banyak keinginan di kepala. Ketika musim kemarau datang, gersang, kering, tandus, panas, maka kita akan merindukan air hujan. Hujanlah…………hujanlah…….hujanlah sederas-derasnya. Kemudian Tuhan menjawab doa kita. Musim hujan pun datang, dingin, angin, basah. Kemudian kita kembali merinduka terik matahari. Tuhan bisa saja menjawab semua keinginan kita, tapi apakah semua manusia memiliki keinginan yang sama di waktu yang sama? Jika Tuhan memenuhi keinginan seseorang di suatu waktu, kemudian orang lain menginginkan berbeda, makan bumi akan kebingungan aksi apa yang harus ia tunjukkan, kita akan saling membunuh, kita akan saling memaki, kita akan saling tak percaya, penuh iri dengki, dendam, benci.

“Matar…..aku ingin terbang. Belikan aku sayap. Aku kan capek jalan.”
“Di dunia ini tak satu pun yang menjual sayap, nak. Kalau kamu mau terbang belajar yang giat, maka suatu saat kau akan tahu bagaimana caranya untuk terbang.”
Kemudian aku di 25 tahun yang lalu itu menjadi sangat bersemangat. Aku jadi rajin belajar, mengarjakan PR, mengulang kembali pelajaran di rumah, mengurangi waktu untuk main, dan nonton TV, demi satu keinginan, terbang, jauh dari bumi.
Sekarang aku sudah dewasa, aku sudah membaca begitu banyak buku. Ternyata aku tak bisa membuat sayap. Manusia hanya bisa terbang dengan pesawat atau alat bantu, tapi tak bisa sebebas burung-burung terbang, betul betul berada di ruang antara baumi dan langit, melayang, di tengah-tengah.

Aku tertawa kecil mengingat momen-momen itu. Saat ini, ketika aku beristirahat, duduk meneguk air, kemudian menengadah ke langit, aku mempertanyakan satu hal. Apakah manusia yang ingin terbang itu merasa jenuh dengan bumi? Tidakkah hukum gravitasi bekerja? Mengapa gravitasi tidak menarik manusia-manusia yang tengah terbang itu? Apakah bumi jenuh menampungnya, atau mereka itu terlalu berat, maka bumi mematikan energi gravitasinya?

Atau seperti ini? Mengapa bumi harus memiliki gaya gravitasi?

Suatu hari aku berjalan di tengah hutan mencari jalan menuju perkampungan terdekat, aku tersesat. Di tengah pencarianku segerombolan harimau datang dan mengejarku, aku berlari sekuat tenaga, berlari sekencang-kencangnya, sejauh-jauhnya, dan aku tak peduli rintangan apapun, termasuk jurang yang curam di depanku, aku terjatuh dan aku mati merapat ke bumi. Ketika awan yang memiliki gaya gravitasi, mungkin aku akan terjatuh di awan, bukankah itu lebih empuk?

Atau begini saja, bukan hanya bumi yang memiliki gaya gravitasi, tapi awan dan langit juga. Jadi di bumi ada 3 tombol. Tombol pertama untuk tombol mengaktifkan gaya gravitasi bumi, kedua untuk mengaktifkan gaya gravitasi awan, ketiga tombol untuk mengaktifkan gaya gravitasi langit. Ketiga jenis tombol itu ada di mana-mana, tersebar di seluruh penjuru bumi. Untuk mengantisipasi tabrakan keinginan manusia, maka manusia dibekali dengan alat yang ketika ia menekan salah satu tombol gravitasi hanya ia yang akan merasakan efeknya, jadi ketika ia menekan tombol, orang lain yang tak ingin beralih dari bumi tidak akan ikut berpijak di awan atau di langit.
Hahahaha…..ada-ada saja. Tapi dengan keberadaan tombol gravitasi itu, keinginan manusai untuk terbang juga masih ada, karena ruang di tengah masih kosong, dan ruang yang kosong itu tidak memiliki sesuatu yang padat untuk dipijak. Tapi apakah awan kuat menahan beban manusia? Apakah tekstur langit itu sekuat bumi? Apakah di awan ada aspal, ada rumput, ada tanah becek? Apakah di langit ada jogging track?

Gravitasi membuatku merapat dengan bumi, membumi, membuat kakiku sangat akrab dengannya, membuat rumput, padang ilalang, buah-buahan, sayur mayur, bunga-bunga akhirnya tumbuh di bumi, bukan di awan, bukan di langit. Kau tahu, Diandra, gravitasi pula yang mempertemukan kita, ia juga membuat kita terpisah. Tapi karena gravitasi pula kita masih sama-sama berada di bumi ini, maka sebelum kau mati, aku tak perlu khawatir kau berada di luar angkasa, berada di negeri antah berantah, atau berada di ruang hampa udara. Karena gravitasi, kakiku lekat ke bumi, dan energinya mengalir menuju kakimu yang lekat juga. Karena gravitasi kita mudah bertemu, juga mudah berpisah, namun tenanglah, kita berada di bumi yang sama.
Oh, iya, karena gravitasi maka bentuk bumi yang bulat mampu mempertahankan segala hal yang berdiri di atasnya, laut tidak tumpah, gunung tidak berguguran, manusia tak berjatuhan ke lubang hitam.

Ah, aku ingin pulang, aku berharap ketika pulang, gaya gravitasi masih berlaku, dan aku masih menemukan rumahku berdiri kokoh. Aku melangkah menuju rumah tanpa harus terbang, ada gravitasi yang membumikanku.

Untuk gravitasi
Apakah kau takut manusia meninggalkan bumi?
Apakah kau ingin manusia tetap di sini, agar bumi tetap ramai, tanpa harus hijrah ke planet Mars, toh bumi menyediakan semuanya, semua yang dibutuhkan dan diinginkan, hanya saja manusia melairkan keinginannya dan mengabaikan kebutuhannya.
Hari ini, aku menggunakanmu untuk berlari, untuk duduk, untuk merasakan tekstur tanah, untuk melihat bunga-bunga tumbuh tidak dalam posisi terbalik.
Terima kasih, gravitasi untuk semua kerja kerasmu yang tak pernah mati. Terima kasih Tuhan, kau menghadirkan gravitasi.
Surat itu pun kuakhiri, kusimpan dalam amplop merah, kemudian menguburkannya, ia juga perlu membumi. Kemudian aku kembali memasak. Hari ini mau makan apa, ya? Semoga tak ada satupun manusia yang berhasrat menyantap gravitasi.

Minggu, 12 Agustus 2012

PERIHAL KITA BERTEMU


Hampir semua mengatakan begini, "pertemuan adalah awal dari perpisahan", atau ini, "ada pertemuan pasti ada perpisahan".

Saat itu aku lupa, saat, situasi, kondisi udara, cuaca, dan pukul berapa. Satu hal yang aku ingat adalah kita bertemu, bertatap wajah. Beruntung aku lupa, karena aku tak ingin pertemuan itu menyempit oleh waktu dan suasana. Biarlah ia tak teringat, agar ia luas, dan kita bebas mengatakan kapan.

Lalu, ketika kita bebas menentukan kapan kita bertemu, harusnya kita bebas menentukan kapan kita berpisah. Atau kita bebas menentukan apakah kita ingin berpisah atau tidak. Tapi Tuhan Maha Tahu, ia tahu dengan sangat jelas dan paling dalam kapan kita bertemu. Dia bebas menentukan kapan kita berpisah, atau bebas menentukan apakah kita akan berpisah atau tidak.

Kematian, adalah perpisahan yang mutlak. Namun, terlepas dari itu, mari kita berbicara pertemuan tanpa kematian. Toh, tak ada yang bisa menjamin selepas mati, wajah kita tak lagi berhadapan.

Saat ini, aku tentu tidak lupa, pukul 01.40. Mereka menyebutnya dini hari, terlalu dini untuk berbentuk hari. Aku masih lupa kapan kita bertemu. Aku juga lupa berapa lama kita bersama-sama.
Ah, aku lupa, aku tidak tahu kau sudah mati atau belum.

Dengan begitu, tanpa perlu menguras pikiran, perihal kita bertemu itu biasa saja. Yang luar biasa adalah ketika kita tak berusaha mengingat kapan kita bertemu dan kapan kita (akan) berpisah.

Perihal kita bertemu bukan melulu soal waktu. Saat ini, aku ingin menawarkan padamu untuk mengingat apa yang kita lakukan selama bertemu.

Kecuali aku, yang masih menganggap ini sebagai pertemuan, karena aku masih mengingatmu

Sabtu, 11 Agustus 2012

RUMAH DAN IBU


Keluarlah.....
Keluarlah, cari kehidupanmu, cari yang lebih baik.

Tapi jangan lupa pulang ya! Karena di luar itu nikmat, tapi rumah masih tetap nyaman.

Keluarlah.....
Barangkali kau mau jadi kekasihnya, status yang kau incar sedari dulu

Tapi jangan lupa kembali ya! Karena status yang luar biasa adalah menjadi anaknya, ibumu

Kamis, 19 Juli 2012

THE LAW OF CREATION


“Hukum Kreasi” menyatakan bahwa semua kreasi manusia berawal dari dua proses, mental dan fisik

Lanjut ia menyatakan bahwa kreasi mental yang akan memulai kreasi fisik, semua terencana.

Maaf, aku mengagumi teori itu, dan aku mengakui kebenarannya, namun sialnya, aku benci merencanakanmu
Dini hari, ketika beberapa orang tertidur pulas, dan semua orang dalam rumahku pun begitu kecuali aku.

Sekian lamanya aku mengagumi teori ini untuk bertemu pada titik temu kau membuatku menghianatinya

Akan kuurai. Jika esok aku akan bangun, minum kopi dan membaca tulisan ini, sebenarnya sekarang aku tengah melakukannya, dan sebelumnya aku membayangkannya, aku merencanakannya.

Namun ada satu yang kau tak mampu membuatku menghianatinya, Tuhan merencanakan pertemuan kita. Eh, bukan pertemuan kita, momentum di mana pandanganku menangkapmu ketika kau tidak tahu aku tengah menatapmu, bahkan mungkin tak peduli aku memperhatikanmu, meski pada saat itu, kau di seberang jalan dan begitu banyak tubuh yang berlalu lalang. Tapi, di antara tubuh-tubuh yang berkeliaran itu, ada celah, di mana udara sangat lapang, dan mataku terasa lapang pula, aku mengintipmu di celah orang – orang yang terus berlalu lalang.

Ya…itu rencana Tuhan, dan aku sama sekali tidak pernah merencanakannya, atau dalam hal ini “Hukum Kreasi” itu tidak bekerja. Tak ada kreasi mental sebelum kreasi fisik ku bekerja, menatapmu, lewat celah orang-orang yang berlalu lalang di hadapanku, di hadapanmu juga.
Saat itu aku tidak beranjak sama sekali, menikmati tatapanku yang tertuju padamu, meski kerap kali aku kesal, karena selalu ada orang yang menghalangi pandanganku, orang yang bergantian berlalu lalang.
Setelahnya, aku kembali berbahagia, ada celah di mana mataku menangkapmu, objek yang tertangkap indera penglihatanku.

Aku belum juga beranjak, sampai saat aku terlalu menikmatinya, tubuh orang-orang yang berlalu lalang itu hanya kulit transparan, dan aku jelas melihatmu dari sini. Kau pun tak beranjak.
Waktu itu aku menebak kau sedang menunggu. Aku menebak dengan sangat yakin, raut wajahmu, gerak kepalamu yang menoleh kanan kiri, sesekali menatap jam tangan, kemudian menoleh kiri dan kanan, kemudian melihat jam tangan lagi, dengan mimik risau. Aku benci menunggu, sebenarnya. Namun aku senang melihatmu menunggu. Aku benci kau risau menunggu, namun aku takut ada yang menjemputmu, dan kulit-kulit transparan tadi kembali menjadi tulang berbalut daging yang tebal.

Kemudian kau semakin risau, aneh, aku semakin girang. Kemudian gerak menoleh kiri dan kanan dan jam tangan menjadi sangat cepat peralihannya. Sayang, wajahmu sudah tertangkap dengan baik, seperti fokus kamera DSLR tercanggih. Saat ini, mataku adalah kamera canggih itu, dan aku fotografer yang sangat beruntung, lalu kau model yang tak sadar, mungkinkah kau beruntung sepertiku? Aku harap iya, saat itu.

Malam semakin larut, kau lelah, kemudian duduk di bangku taman yang tak berada di taman, di tepi jalan, kau semakin lelah, kau menunduk, tapi sayang, wajahmu sudah kutangkap, aku bahkan fasih menjelaskan detail wajahmu. Jika saat itu ada kuis dadakan yang meminta aku menjelaskan detail wajah seseorang yang baru pertama kali kulihat, akulah pemenangnya. Bentuk oval, kulit putih, rambut sebahu, hidung mancung, bibir tipis, tahi lalat di dagu kanan bawah, lesung pipi kecil, itu wajahmu. Itu secara detailnya. Jika pembawa acara kuis itu memintaku menjelaskanmu secara garis besar, aku hanya punya satu kata, cantik.

Malam kian larut, jalanan sepi, hanya dua tiga tubuh yang menghalangi pandanganku saat itu, kau seperti ingin menyerah, aku yang risau kali ini, risau kau betul-betul menyerah dan pergi.
Kali ini, jalanan sangat sepi, meninggalkan kita berdua, mungkinkah jalanan ini mengaplikasikan “Hukum Kreasi” tadi? Ia mengimajinasikan jalanan kosong dan hanya kita berdua di tepi jalan yang berbeda, kemudian waktu yang tepat, ia melakukan kreasi fisiknya. Oh, tidak, ini jelas kreasi Tuhan.

Malam kini betul-betul hening, dan aku masih belum beranjak, berdiri. Kau tidak sadar juga sedari tadi aku berdiri di sini. Apakah di pandanganmu ada tubuh yang menghalangi pandanganmu kepadaku? Ku rasa tidak.
Kemudian malam semakin hening, kau pergi, kau menyerah, yang kau tunggu tidak datang. Siapapun ia, aku kesal padanya karena telah membuatmu kesal menunggu tanpa hasil. Di saat yang bersamaan pula aku ingin berterima kasih padanya karena tidak datang, sehingga aku bisa menatapmu sampai selarut ini. Dia orang menyebalkan yang sangat baik, untukku.

Hei, aku sadar, baru saja sadar, kau pergi. Jika saat ini jalanan kembali ramai oleh tubuh-tubuh yang berlalu lalang, aku tak kesal, karena ia sama sekali tidak menghalangi pandanganku lagi, tak ada dirimu lagi. Namamu siapa? Kau sudah punya pacar, atau sudah menikah? Kau mau ke mana? Akan kuantarkan kau ke mana saja kau mau.

Pertanyaan-pertanyaa itu sudah tidak berguna lagi.
Saat ini, aku memikirkan pikiran penemu “Hukum Kreasi”. Kreasi manusia berasal dari dua proses, kreasi mental dan kreasi fisik, di mana kreasi fisik akan ada jika didahului kreasi mental.

Jika aku membuat kreasi mental untuk mendatangimu, menuju tepi jalan di mana kau sedang menunggu, mungkin saja kreasi fisikku akan bekerja, berjalan, menerobos celah orang-orang yang berlalu lalang, ke dekatmu, maka pertanyaan-pertanyaan tadi akan berguna, saat itu, bukan saat ini.
Camba, 11 Juli 2012

Selasa, 10 Juli 2012

ASAS KEHARUSAN DAN KEINGINAN


Dunia berubah,hanya aku dan dia, akankah aku mencintainya? Atau lebih tepatnya haruskah aku mencintainya? Atau nomina apakah tuntutan atau keinginan?

Tuhan tetap ada, peraturan berubah, aku harus menuruti keinginan, dan mengabaikan keharusan. Aku meninggalkannya, seorang diri, oh tidak, masih ada aku, hanya saja di belahan bumi lain. Dunia berubah, semuanya datar, tak ada gundukan, teksturnya pun samar, aku ingin bertahan, dan pada saat yang sama aku harus jenuh, tuntuan dan keinginan.

Kali ini aku telah sampai di belahan bumi lain, aku tak tahu dia tepatnya di mana, atau mungkin saja dia sudah mati. Aku lelah, penat menelusuri datar, hambar tanpa hambatan, jenuh tanpa kesemrawutan, gundukan, duduklah aku, atau lebih tepatnya melantai, tak ada gundukan.

Aku kemudian memikirkan, perkara ingin dan harus terlalu dini untuk dibedakan. Tuhan membuat peraturan untukku, untuknya juga. Aku harus menuruti keinginanku, dan mengabaikah apa yang harus dan semestinya. Jauh ku kembali pada akar, pada tempat sebelum aku memikirkan ini. Pastinya, hanya dia wanita di dunia ini, aku harus bertahan, jauh dalam hatiku tak sedikitpun terbersit untuk mencintainya, sementara asas keharusan menuntut, dialah satu-satunya, logika menyerang, aturan mengekang.

Satu jam, aku membuat kesimpulan tetap menaati aturan Tuhan, menuruti keinginan, dan aku tak ingin mencintainya, selesai.

Kemudian aku kembali berjalan, berjalan ke mana saja, di bumi datar ini tak perlu melibatkan arah, ketika sudah sampai di tepi dan tak ada lagi lantai, saatnyalah aku mati.

Aku lelah, kembali melantai, selama sejam memikirkan perkara keinginan dan keharusan, kemudian menarik sebuah kesimpulan, aku harus mencintainya, aku tak punya pilihan, dan aturan Tuhan hanyalah ujian, saatnya aku melewatinya. Aku kembali, mencarinya, namun saat ini, di bumi datar ini arah sama sekali tak terlibat, ke mana? Harus ke mana? Ingin ke mana?

Kugunakan sejam lagi memikirkan ini, perkara yang teramat pelik. Tuhan bilang aku harus menuruti keinginanku, dan dunia bilang aku harus mencintainya, aku bilang aku tidak ingin mencintainya, maka aku kembali di tengah.

Dari sini, segala sudut bisa dipandang, meski aku tak menemukan sudut, setidaknya titik-titik yang aku buat sendiri akan menjadi sudut, ketika mataku memicing, dan aku menyempitkan pandangan, ada sudut yang tak terjamah, di sanalah aku rehat memikirkan dan menarik kesimpulan.

"Aku ingin menjalani keharusan, aku tak memilih, maka aku ingin harus mencintainya"

Ini bukan keharusan, ini keinginan, ketika aku merasa ingin untuk harus mencintainya, mungkin saja dia salah satu takdirku.

Dunia berubah, Tuhan membuat peraturan baru. Adam mencintai Hawa bukan karena Hawa lah satu-satunya wanita di dunia kala itu, jika saja Tuhan menciptakan wanita lain selain Hawa, mungkin saja aku, dia, dan manusia sebelum dunia ini berubah tak akan pernah ada.

Aku kembali, ia tak ada, Tuhan bilang ia sudah mati. Oh, aku seorang diri, tidak, aku kehilangan dia. Tuhan bilang usiaku 50.000 tahun lagi. Lantas aku bilang pada Tuhan, "Jika kau berencana menciptakan wanita satu lagi, ciptakanlah dia, karena saat ini aku sangat ingin mencintainya."

Sabtu, 16 Juni 2012

SEPUCUK SURAT TAK TERBACA


Hanya memulai itu sebuah acuan lantas kau mengagungkannya Kemudian tengah itu proses kau menyungguhinya Dan akhir itu hasil kau mengejarnya Adalah air yang hampir menyamai waktu Ialah kagum yang hampir menyamai cinta Dan mati yang berhasil menyerupai hidup Terlahirlah atom-atom Berkumpullah mereka dalam sebuah medan, bereaksilah mereka membentuk partikel, lalu unsur, lalu senyawa Kitakah kimia itu? Berwujudlah yang nyata, setelah ia berbentuk, setelah ia tercitra, lalu ia bernama, lalu ia berdefinisi, lalu ia terurai kembali, dan muncullah pemahaman-pemahaman, lalu ia diteliti, lalu ia diteorikan, lalu ia menjadi panutan Berbekaslah sebuah sejarah, setelah ia menjadi kini, setelah ia hanya kemarin, setelah ia sebatas masa lampau, setelah ia berhasil dikenang Terhidanglah makanan, setelah ia hanya tumbuhan, hewan, setelah ia ditemukan, setelah ia diketahui bergizi, setelah ia diolah, kemudian terhidang, kemudian dikunyah, kemudian dicerna, kemudian berfaedah Bersembunyilah hitam, di balik cerah warna warni, dibalik gradasi indah, di balik pelangi, di balik putih, di balik hitam yang tak cukup pekat Terlahirlah manusia, setelah ia hanya embrio, setelah ia menginap di rahim, setelah ia dibisikkan Tuhan, kemudian ia bernama, kemudian ia tumbuh, kemudian ia belajar, kemudian ia mengotori diri lalu meminta maaf, kemudian ia mengulangi kesalahan, lalu ia malu, kemudian ia berhasil setelah ia gagal, kemudian ia gagal hingga ia mati, hingga ia hijrah, hingga ia harus menyerahkan segala pinjamannya Berkata-katalah bahasa, setelah ia hanya sebatas titik, kemudian menjadi garis, kemudian menjadi huruf, kemudian menjadi kata, kemudian menjadi kalimat, kemudian berbentuk paragraf, kemudian ia bercerita, kemudian ia bermakna Diketahuilah kehidupan setelah kita sadar, setelah kita lelah bersenda gurau, setelah kita jemu berbaring, setelah kita penat dengan udara, ketika kita habis di ketiadaan, ketika kita merasa butuh, ketika kita merasa ingin, ketika semua harus terpenuhi, lantas ia harus terus berlanjut Sepucuk surat, ia aktif, tidak dalam kaidah, tidak dalam penemuan, tidak dalam pencitraan, tidak dalam hukum pemaknaan, tidak dalam alam bawah sadar, tidak dalam dinamika, tidak dalam keharusan, tidak dalam keperluan, semua begitu saja tanpa ada yang tahu, mungkin tanpa sempat membaca Kemudian kita bertanya, siapa aku? Kau siapa? Kita di mana? Kita harus melakukan apa? Lalu terseretlah sepucuk surat aktif terbawa angin bersama debu, setelah meniup rumput, bunga-bunga, semak belukar, padan ilalang, udara yang diam, sementara gravitasi tak kuasa menariknya rapat dengan tanah, sang lantai bumi yang luas Terbersitlah cinta, kemudian manusia merasa, kemudian menikmati, kemudian merasa indah, kemudian abjad pun terlibat, berpadu, sedikit memaknai, banyak memolesi, membuatnya indah, membuatnya terlihat, terdengar agung, ada juga yang membuatnya seperti lelucon, kekanak-kanakan, feminis, cengeng, air mata, pengorbanan yang bodoh, alibi-alibi atas kesalahan, pertahanan terkuat, gelak tawa di sepanjang perjalanan waktu, hingga kita lupa bahwa ada waktu yang terus berlalu, dan tak akan menunggu Membumilah puisi, atas nama cinta, atas nama Tuhan, atas nama keluarga, atas nama kehidupan, atas nama aksara, atas nama identitas, hilang tanpa ada apa-apa, hanya selembar surat tak terbaca Kemudian setelah semuanya, semua tanpa sisa, semua yang bersembunyi akan terkuak Semua yang berpadu akan berpisah, semua yang terurai akan berjalan sendiri, mengikuti keharusan, menuruti aturan, tak ada kebebasan, tak ada pengekangan, tak ada apa-apa Dan Semuanya akan berhenti, waktu tak akan berhenti, ia terus melaju, mengikuti perintah Sang Maha Tahu, walau ia sendiri tak tahu mengapa harus terus melaju, walau ia tak tega harus terus tega Kita hanya miniatur, kecil, walau ada yang luas di luar sana, mungkin hanya analogi yang hiperbola, mungkin saja puisi tak akan pernah bermakna, selembar surat tak terbaca, tersimpan penuh debu dalam lemari bersama peluh, bersama tangis, bersama bibir yang merekah, bersama perasaan yang terkuras habis, kering, terjemur, terbakar dan hangus, abunya pun lenyap ditiup Tuhan Keluarlah yang kita yakini, ia berjejer menanyai mata, menanyai telinga, menanyai lidah, menanyai kulit, menanyai hidung, ,menanyai sekujur tubuh, dan hati tak pernah berdusta, ia tega seperti waktu, mereka adil, kita yang tak bertanggungjawab Kemudian aku tak mampu lagi menulis lalu, menulis kemudian, menulis setelah itu, aku tidak tahu, kau pun tidak tahu, hanya pasrah, berserah, tanpa sempat lagi bergegas, tanpa sempat lagi berpuisi, tanpa sempat lagi berkata, puisi sang surat tak terbaca adalah diriku, tertiup angin bersama debu, bersama partikel udara yang mengurai kembali menajdi atom-atom tunggal, egois, enggan menyatu, dan klorofil pun tak mau melahirkan oksigen Kenyangkah dirimu? Apakah kau akan sangat menghargai awal, begitu menyungguhi tengah, dan setia menanti akhir Itu saja? Apakah kau akan berkata akulah puisi yang tak sempat terbaca, maka bacalah aku saat ini Dan Semuanya tak sempat lagi

Jumat, 08 Juni 2012

BUKAN SAJAK MALAM

Apa kabar tengah malam? Entah mengapa manusia menamaimu tengah malam, padahal bagiku kau bukan sebuah perjalanan waktu yang berawal, menengah, dan berakhir. Aku hanya tahu kau kadang indah dengan bulan dan bintang yang membuat manusia seketika berubah menjadi pujangga. Aku lebih suka menikmatimu, menemanimu, dan kau tidak pernah habis, bahkan saat pagi datang kembali. Harus bercerita apa aku kali ini? Kabarmu statis, lalu kenapa pula aku menanyakannya? Saat ini hujan turun, bagiku kabarmu tetap statis. Oh, iya, aku hanya ingin berbasa-basi seperti manusia lainnya. Kabar adalah sesuatu yang mesti ditanyakan saat berjumpa, entah ketika itu sudah sangat lama baru berjumpa, atau kemarin baru saja jalan-jalan keliling kota. Mungkin itu sebuah kewajiban, apakah harus kusimpulkan bahwa basa-basi telah menjadi sebuah kewajiban tanpa hukum yang nyata? Seperti adat, turun-temurun, tidak formal, namun ada, atau justru itulah nyata yang seseungguhnya? Serangga-serangga kecil ini menggangguku, aku bahkan mengabaikan kalau sesuatu yang menggangguku itu justru sumber kehidupannya, ia tidak memilih untuk menjadi pengganggu, hanya saja kita yang merasa terganggu, padahal akan ada masa di mana kita akan rindu untuk diganggu, entah oleh siapa, mungkin oleh serangga-serangga itu. Aku ingin menangis, tanpa sebab, air mata ini jarang keluar. Aku ingin sedih saat ini dan aku merasa sedih, bukan karena apa-apa, bukan karena cintaku padanya tak terbalas, bukan karena aku tak berhasil berada di puncak, bukan karena aku tidak merasa nyaman, aku hanya merasa sedih, aku tak harus sedih, tak harus menangis saat ini, hanya saja aku ingin, ingin sekali. Mungkin ini lebih baik daripada aku harus berpura-pura menangis. Halusinasi tingkat tinggi, ketika apa yang tidak nyata ini, aku yakin ini tak nyata, namun aku merasa ini nyata, sangat nyata. Kita bersua, hujan mengguyur, mengguyur apa saja, bahkan mengguyur apa yang tersembunyi di bawah tanah, di serat-serat, di partikel-partikel, sampai ke atom-atomnya. Apakah ini sajak? Tidak, ini hanya sebuah kejujuran, kejujuran atas apa yang sedang dirasakan, karena perasaan bisa berubah setiap detiknya, dan ketika aku menulis seuatu yang selalu berubah, bukankah aku tengah menulis sebuah kejujuran? Aku terlalu banyak mengaktifkan subjek, hingga lupa menjadi pasif, untuk diapakan saja, pasrah, aku pasif di hadapan Tuhan. Hei, malam, biarkan aku menyebutmu malam saja, itu sudah sangat indah, sedikit cahaya selalu indah. Bahkan tanpa bintang, tanpa bulan, tanpa pujangga dadakan, pujangga sebenarnya, sajak-sajak ilusi, diksi-diksi spektakuler, rima-rima rapi, tema-tema yang situasional, teks-teks yang selalu hidup, prosa-prosa yang menggema, hingga cerita-cerita yang luar biasa nikmat,, kau tetap malam yang kukenal, indah. Itulah mengapa kau statis bagiku, statis tidak selalu apatis, atau enggan berubah, tapi sebuah kesetiaan, atau jati diri, atau identitas, atau nama yang banyak membuat orang tidak bangga. Hei malam, kau tidak pernah berakhir, bahkan saat pagi datang kembali, merumuskan sebuah siklus waktu, siklus kehidupan, di mana manusia akan menunggu hasilnya, jadwal. Ketika di sini, saat ini kau memudar, matahari kembali perkasa di bola mataku, kau tetap ada, tidak di sini, di tempat lain, di ruang lain di mana banyak manusia menunggumu, untuk berpuisi, untuk menyatakan cintanya, untuk berkencan, untuk melamar kekasihnya, untuk makan, untuk berteriak, untuk bangun, untuk bekerja, istirahat, keluar rumah, berbicara, sendirian, kelayapan, mabuk, bersenda gurau, menonoton acara TV favoritnya, bersandiwara, menunggu hujan, bosan dengan kilau cahaya, atau sepertiku, menunggumu tanpa sebab, bersedih tanpa sebab, tak mampu mengurai alasan, semua hanya melahirkan pertanyaan, itulah kejujuran, karena dunia ini bukan tempat jawaban yang kita harapkan. Camba, 8 Juni 2012

Senin, 04 Juni 2012

ANGKA

Entah. Angka tidak berujung, akan terus ada, terus bertambah, sampai batas yang hanya bisa kubahasakan tak terhingga. Namun, kita punya jatah angka yang berbeda, mungkin kau lebih banyak, aku lebih banyak, entah. Semua akan berpisah, karena perpisahan adalah tujuan dari sebuah pertemuan. Kita ke mana? Kadang, aku butuh pasif, untuk kau lucuti, untuk kau perlihatkan kepadaku seperti apa kau memandang hidup. Memoria, spektakuler, keragaman, semua terbungkus dalam satu, bersemayam dalam kotak, hitam, gelap, hanya teks yang bersinar, itupun kalau kau sempat membacanya. Memahami, butuh ruang, butuh waktu, butuh angka, angkaku 11, ganjil, bahkan kau telah genap, biar pun kutambah jadinya tetap ganjil, maka kuputuskan untuk ganjil sendiri, sementara kau genap, mungkin itulah caraku menggenapkanmu.

Rabu, 18 April 2012

JARAK DAN TITIK KITA

Di saat kita berada pada titik yang sama mungkin kita menyatu, mungkin itu sempit, tapi penyatuan akan mengikis ruang, bukan waktu, ia akan cuek.

Suasana akan selalu berubah tanpa tersadar oleh kita, mungkin tekanan udara, mungkin kepengapan udara, mungkin kadar air dalam akar tumbuhan, mungkin kemungkinan-kemungkinan yang terus mengantre dalam otak kita. Perbanyaklah itu sampai semua pasti pada waktunya dan kita menemukan pemahaman yang hakiki.

Aku tak pernah lupa, aku hanya memanfaatkan sebagian waktuku untuk melakukan hal lain. Kamu juga begitu, maka kita bukan lupa, hanya saja kita bukan satu-satunya agenda hidup.

Kemudian titik itu berjarak, kita tak lekat lagi, ada udara di antara kita, terbukalah ruang itu, tak pengap, ternyata penyatuan yang melekat erat membuat udara pengap, bahkan tak ada ruang, dan tak ada udara sama sekali.

Kedua titik terus berjauhan, waktu menyaksikannya, kita mengikuti. Titiknya terus menjauh dan tak bisa saling menatap saling mendengar. Kemudian kau mengatakan jarak memisahkan kita.

"JARAK MEMISAHKAN KITA?"

Kau tidak tahu, ketika kita berjauhan, tak saling menatap, tak saling mendengar, jaraklah yang menghubungkan antara titik yang aku diami dengan titik yang kau diami, tanpa jarak, tak ada titik yang menyediakan ruang dan udara di antaranya, agar kita tak merasa pengap, dan agar kita menikmati lapang.

RUANG TUNGGU

Kata orang, sebuah pekerjaan menjemukan, tapi bagi ku ini sebuah rutinitas yang nikmat. Ini sebuah keharusan dan aku menikmatinya. Saban hari, ia terdaftar dalam jadwal item keseharianku, menunggu, aku menunggu, berdiam diri dengan satu bekal, harapan dia akan datang, hanya soal waktu, dan waktu yang absurd namun nyata.
Sejatinya, taka da yang membosankan. Filosofi logika waktu, bahwa rutinitas yang berkepanjangan ternyata sebuah dinamika yang konsisten. Pikirkanlah bahwa waktu selalu berjalan, dia menambah deretan detiknya, bertambah, menua. Karena waktu tidak pernah menunggu, biar aku yang menunggunya, sudah pasti bukan pada waktu yang akan kembali, namun pada masa di mana aku masih belum bisa menebaknya. Meski waktu terus meninggalkannya, satu hal yang bisa aku banggakan adalah aku masih setia menunggunya, bersama waktu yang terus berlari, aku duduk berdiam diri, suatu saat nanti, entah pada detik keberapa, dia akan datang. Menunggu yang terus kulakukan mengabaikan waktu, mengabaikan seberapa lama, dan mengagungkan seberapa setia. Itulah pertahanan terkuat sepanjang pengetahuanku.
Musim selalu sama, ia hanya hadir bergantian sesuai siklus atau sesuai fenomena alam, kita hanya melahap tanda kemudian menebak, kepastian itu milik Tuhan. Meski aku tidak bisa memastikan masa depan, setidaknya harapan yang kupeliahara masih membuahkan keyakinan kuat. Datanglah pada saat kau mau, pada saat kau merasa itu waktu yang tepat, dan pada saat itulah aku menemukan alasan untuk mengakhiri penantianku.
Saat ini hujan, ia jarang datang, musim kali ini tidak menyuguhkan pertanda yang dijadikan landasan teori ilmiah manusia untuk memprediksi. Aku melewati semuanya, meski semuanya itu tergolong bilangan tak terhingga saat ini, semuanya yang masih terbatas, semuanya yang hanya sampai detik ini, entah detik setelahnya.
Bahkan, teori ilmiah sekuat apapun tak mampu menebak rahasia waktu dengan detailnya, aku pun tak bisa membayangkanmu dengan sangat detail, satu-satunya hal yang bisa kujaga adalah harapan itu, wajahmu 20 tahun yang lalu, aku telah menunggumu 20 tahun lamanya, meski lama itu masih sangat subyektif.
Keresahan sebenarnya ada, resah waktuku tak cukup untuk menunggu kehadiranmu suatu saat. Mungkin saja jatah waktumu lebih banyak dariku, dan di saat akhir jatah waktuku, kau belum merasa saatnyalah hadir. Aku juga khawatir jika jatah waktumu jauh lebih sedikt dariku. Maka sebelum kau menemukan waktu yang tepat, aku hanya menunggu dalam keadaan kosong, ketika kau sudah tiada, dan aku masih ada. Perpisahan yang sejati.
Telah banyak catatan-catatan di buku harianku. Aku senang mencatat kejadian, meski terlihat sama, ternyata aku mengalami dinamika perasaan, dan dinamika itulah yang berubah menjadi alur cerita, satu-satunya temanku di saat menunggu.
Oh, iya satu pemahaman lagi. Aku mungkin selalu sendiri, tapi tidak merasa sunyi. Karena kesendirian itulah yang menemaniku. Maka kesunyian dalam kamusku sama sekali tidak ada.

Jumat, 30 Maret 2012

BBM

Saya bukan ahli politik. Saya juga tidak mengamati politi berlebihan. Saya tidak tahu bagaimana cara menghitung APBN. Tapi saya tahu, harga minyak dunia naik.

Efek dari harga minyak dunia yang naik bukan alasan pemerintah untuk menarik subsidi BBM. saya hanya bisa berlogika seperti ini............

1. Indonesia penghasil minyak yang cukup besar, masalahnya semua itu dikelola asing,
andai kita bisa mandiri soal itu.

2. Gaji presiden dan wakil rakyat di Indonesia sangat tinggi.Kinerjanya?
3. APBN Indonesia banyak dialokasikan untuk proyek-proyek pembangunan yang
tidak perlu.

Berdasarkan poin di atas saya punya solusi untuk pemerintah.

1. Kelola minyak negara secara mandiri
2. Turunkan gaji presiden dan wakil rakyat
3. Hentikan pemakaian APBN untuk proyek-proyek tak berguna

Ketiga poin di atas akan menghemat begitu banyak anggaran negara, dan bisa dipakai untuk mensubsidi BBM.

Satu pertanyaan untuk pemerintah:
Jika gaji presiden dan wakil rakyat hanya berada di kisaran 3 juta/bulan, masihkah kalian mau memimpin negara?

Pemerintah bukan profesi, tapi media untuk mengabdi.

Rabu, 28 Maret 2012

APAKAH KITA?

"Ketika cahaya menderaku terus menerus, kau muncul terus menerus. Aku berhenti kau berhenti pula. Aku berlari kau berlari pula, apakah ketika aku berpikir, kau berpikir juga? Apakah ketika aku merasa kau merasa juga? Aku ingin kau berperasaan, agar kita serasa." Pertanyaanku pada bayangan.

"Ketika kau berhenti apa aku berhenti juga? Ketika kau berlari apa aku berlari juga? Ketika kau berpikir apa aku berpikir juga? Ketika kau merasa apa aku merasa juga? Kau ingin aku berperasaan, agar kita serasa." pertanyaanku pada bayangan.

Aku harus bertanya padamu tentang bagaimana kau mengikutiku atau bagaimana aku mengikutimu? Aku takut ketika mempertanyakanmu, aku lupa mempertanyakan diri sendiri.

Mungkin saja kita akan bertemu, saling menyapa, kemudian bertanya, ketika aku bicara apa kau bicara juga? Bagaimana kita saling mendengarkan kalau masing-masing kita berbicara?

Aku tak paham, masih banyak yang tidak kupahami. Apakah kau memahamiku saat aku tak paham? Atau aku lupa bertanya padamu, "Apa kau memahamiku"? saat cahaya hilang dan kau berhenti sementara aku terus melaju.

Minggu, 18 Maret 2012

JUS JERUK DI MALAM HARI

Selera itu perkara yang sangat subyektif, walaupun dalam ranah tertentu ia menjadi obyektif itupun untuk beberapa kerumunan saja.
Terkadang kita menyukai kondisi, bukan esensi. Jus jeruk di malam hari. Ia menyatu mengikuti lekuk gelasku. Aku menyukai jus jeruk yang dingin. Kemudian aku berkata, “aku menyukai kondisi dingin”nya. Seiring tulisan ini berkembang, kondisi dinginnya terus memudar, udara menghisapnya, kondisi lain menghisapnya, dan tidak ada kondisi yang bertahan, ia akan terus memudar setiap detiknya.
Setia bukan perkara kecukupan kadarnya, kemudian bagaimana kadar itu bertahan selamanya. Kita di dunia, bukan di alam abadi, atau alam imajinasi yang bisa kita atur seenak hati. Aku setia padamu, dan setiaku akan luntur setiap detiknya. Tapi perlu kamu ketahui bahwa kadar kesetiaan yang memudar itu tidak akan mendefinisikan kualitasnya. Aku mencintaimu sampai mati, itu berarti sekarang sampai mati cintaku akan pelan-pelan memudar, sampai ia akan habis. Kemudian kau menuduhku tak setia. Itu malah menggelikan buatku.
Perlukah kau kutokohkan? Sepertinya “kau” itu sudah cukup menokohkanmu. Kujelaskan kepadamu, detik demi detik memaksa semua elemen manusia dan keduniaannya memudar mengikuti perjalanannya. Apakah aku tak setia? Hanya Tuhan yang tahu. Ada satu perihal kesetiaan yang aku ketahui, mungkin perlu kau ketahui, mungkin juga tidak perlu. Jus jeruk yang aku minum malam ini awalnya dingin dan menyegarkan, kemudian perjalanan waktu menyeretnya ke kondisi yang berbeda, ia memudar dan hawanya netral, tidak panas, tidak dingin, jika kudiamkan di bawah terik matahari maka ia akan memanas. Namun setiap kau menanyakan minuman favoritku, aku selalu mengatakan dengan bersemangat dan bangga, “jus jeruk”.
Apakah aku tak setia padamu?

Sidrap, 18 Maret 2012

Jumat, 24 Februari 2012

TAMU TANPA WUJUD

Permisi......
Aku suara, suara yang ber"teks".
Aku diam, kehabisan suara, suara alam tak mau lagi menyediakan kebutuhanku.

Adakah ketika aku diam, kemudian teks ku bersuara kemudian kalian mendengar?
Jangan membaca teks ini, dengarlah suaranya, suara yang tak tertangkap panca indera. Butuh pencitraan luar biasa, meski pencitraan terkini lebih ke arah tonjolan subyektifitas yang positif demi menyembunyikan obyektifitas yang negatif.

Aku tak berstruktur, apalagi bertekstur, maka jangan menjamahku. Dengarlah suara teks ku. Ketik cuaca mengendalikan aktivitas manusia, ketika alam memimpin, ketika manusia tak berkeputusan, ketika semuanya hanya situasional, maka suaraku lah yang akan membedakanmu, membantumu menemukan dirimu sendiri, kemudian mampu menciptakan dirimu sendiri, dalam rumahmu sendiri, hingga akhirnya kau pun akan sendiri.

Aku tak berada dalam kaidah batas frekuensi infrasonik kemampuan telinga manusia, aku tak mengenal kaidah, aku bukan suara yang patuh, aku sendiri.
Karena aku bukan indera.

Kamu tahu, ada suara yang tak berada dalam frekuensi infrasonik manapun, rumus apapun akan gagal, logika manapun akan menyerah.

Logiskan diriku, maka kau akan kalah, tak mendengar apa-apa, dan tak akan menemukanku di sana, di dalam kaidah 20hz-20.000hz

Permisi, tak ada yang mendengarku

Selasa, 21 Februari 2012

TIDAK TAHU

Kupandangi, tengah, dan terus menengah.
Jemariku kaku, hatiku menjelajah. Kita berarah.

Kamu, dan subyek-subyek kesepian, datanglah objek padamu, dan predikat menentukanmu.
Aku menulis ketidaktahuan, agar kau tahu aku masih tidak tahu.

Aku tidak tahu, dan juga tidak tahu apakah kau tahu atau justru tidak tahu pula.
Dulu aku tahu, kita sama-sama tahu, dan akhirnya kita ketahuan.

Dulu aku tahu, terus tahu, mencari tahu hingga aku tahu, namun aku lupa bagaimana caranya tidak tahu, itulah yang menghentikanku, hingga akhirnya aku tidak tahu apa-apa.

Mungkin kamu tahu bagaimana caranya tidak tahu. Jika kamu tahu beritahulah aku, agar aku bisa tidak tahu. Aku terlalu banyak tahu, sampai-sampai tak ada jeda, dan rasa tahuku meroket, keingintahuanku terus menstimulasi.

Saat ini, di tempat yang tidak kuketahui, jarak yang tidak kuketahui, diriku yang semakin tidak tahu, hanya kaulah yang aku tahu.

BERITAHU AKU...!!!

Senin, 20 Februari 2012

SEPUCUK SURAT PAGI

AKu telah banyak menyaksikan malam dan melihatnya pergi, namun kali ini terima kasih telah membiarkanku menyaksikan kedatangan pagi. Hidup adalah peralihan kerja.

Kamis, 02 Februari 2012

KOMA

Kau tahu?

Aku jatuh setelah terpeleset di ujung jurang, dan jatuh tak sempat bertabrakan dengan bumi, aku jatuh di udara, dan itu menyakitkan

kau tahu?

Aku menghianati gravitasi, dan itu menyakitkan.

Kau tahu?

Aku ada di tengah, dan itu menyakitkan.

Kau tahu?

Aku ada di udara, dan aku tak bisa menyentuh tanah...........

Senin, 30 Januari 2012

BEGINILAH WAKTU

Aku ingin menulis waktu. Akhirnya, kali ini. Sampai sudah. Setelah perjalanan yang kadang melelahkan, kadang menjemukan, dan kadang-kadang cuma sebatas kadang-kadang ini aku akhirnya sampai pada satu keinginan yang begitu lama belum bisa terwujud.

WAKTU

Begitulah aku mendengarnya, melihatnya, mengenalnya, dan barulah saat ini aku berani menulisnya di sini, di sini, di halaman yang akan menjelaskan ini, penjelasan subyektif seorang yang ingin.

Sudah lama aku menguntitnya, aku menelusurinya, memikirkan berbagai macam teori-teori ilmiah dan teori-teori sinting, ternyata dia tak ada di keduanya.

Belakangan ini, ketika aku sadar bahwa aku sudah di depan, aku perlahan lupa menoleh ke belakang, bahkan semakin parah lagi, aku lupa cara menoleh. Belakangan ini aku hanya merangkai teks-teks yang sebenarnya mati, hanya mata-mata yang membacalah telah menghidupkannya, terima kasih untukmu wahai mata-mata yang begitu setia membaca, kau telah menghidupkan teks ku.

Waktu bukan sebuah teori. Ia berjalan dengan sangat apatis. Apatisme tertinggi ada pada waktu, bahkan sebegitu besar kau menghargainya toh dia akan tetap berlalu dengan kecepatannya yang konstan. Waktu adalah simbolis kesetiaan, di mana dia tidak melakukan percepatan, dia tidak peduli pada energi-energi stimulus, dia akan setia pada tugasnya. Waktu cuma satu, hanya saja jatah manusia berbeda, dan kita mendapatkan perjalanannya sebagai jatah, bukan mendapatkan sebagian darinya.

Tidak selalu definisi membuatmu mengerti. Seperti aku padamu, aku pada waktu, kamu pada waktu, kita pada waktu, dan waktu pada kita. Haruskah teori-teori meluruskan semuanya? Sementara waktu tak pernah peduli, dia hanya setia pada hakikatnya.

Kita ini makhluk, waktu tidak, meski ia bergerak, ia tak hidup, ia hanya menghidupkan kita. Nyawa pun tak berarti tanpa perjalanan waktu, maka aku mencintaimu seperti waktu, bukan menganalogikan cinta untuk mengsusung romantisme dan idealisme. Hanya memberikanmu sebuah penggambaran. Toh seperti tak selalu sama, bahkan tak akan pernah sejajar, sementara analogi membuatmu mati pada usaha menyamakan dan mensejajarkan.

Rangkaian aktivitas membutuhkan waktu, namun waktu tak membutuhkan rangkaian itu, dia tak akan habis, dia selalu ada sampai Tuhan betul-betul menghentikannya.

Untuk teks-teks yang dulunya mati, mata-mata membaca telah menghidupkannya, dan waktu yang telah menyempatkan semuanya.

Untuk Matar yang selalu terasa, Gandi yang selalu ikut bersamaku, Silviana yanng menggeliat, Diandra yang misterius, dam Silvika yang berwarna. Maka nama hanya sebagian cara mengenalmu. Dan aku butuh waktu memberimu nama juga mengenalmu.

Untuk tanda baca, kau membingungkan, namun aku refleks, aku bersimpati, aku sempat, karena waktu menyempatkanku.

Untuk teks-teks yang berbahasa, atau hanya diam di tempat menunggu bahasa membahasakannya, rupanya objektifitas itu gagal. Subyektifitas yang majemuk justru membuatnya kaya.

Untuk mata-mata yang membaca, waktu telah menyempatkanmu, untukku yang menyematkan teks pada hatiku, waktu telah menyempatkanku.

Untuk pertemuan dan perpisahan, waktu telah menyempatkanmu.
Untuk kebearadaan, waktu telah mengadakan.

Hai......untuk yang lupa menoleh sepertiku. Aku mencintaimu, karena Tuhan telah mengizinkanku, dan waktu telah menyempatkanku.

Untuk kita yang masih sempat, waktu masih menyempatkan kita.

Sabtu, 21 Januari 2012

KITA DAN ANALOGI

Ketika hidup sebatas analogi, maka perumpamaan menjadi tujuan satu-satunya. Kamu seperti ini, aku seperti itu, kita seperti ini dan itu, hidup cuma seperti tak pernah membedakan dirinya, tak pernah menjadi identitas yang berbeda.

Sampai pada saat apa aku menyerupakan diriku pada sesuatu? Sampai keragu-raguan hadir mengetuk pintu rumahku, menyampaikan pesan bahwa keputusan harus segera diambil, dan saat itu analogi tak akan mampu bekerja. Keputusan adalah kelaki-laikanku, dan analogi hanya pelarianku, mungkin alibi.

Mungkin saja aku menyerah, namun aku lebih baik menyerah karena ketidakyakinan, daripada harus menanggung resiko yang akan menghancurkan semua. Ini bukan pelarian, aku tidak lari, aku hanya menyingkir untuk menempatkanmu pada ruang yang lebih nyaman nantinya, bukan cuma sekarang. Terlalu banyak ego yang menyelinap, ketika-ketika yang serba tidak pasti, dan analogi membuatnya seperti. Tidak berbeda, tidak asli.

Kau, dan analogi yang kuciptakan serupa denganmu, bahkan itupun membuatmu sama dengan yang lain, sementara kau khas di mata dunia dan Tuhan selain identitas kehambaanmu.

Perasaanku tidak statis, masih terlalu dinamis, bahkan tidak memiliki identitas, mungkin seperti analogi yang hanya mampu mengumapamakan, membuatnya terlihat sama dengan yang lain.

Dan sampailah aku pada keputusan, bahwa aku merasa lebih baik berhenti ketika aku ragu, daripada bersikap kuat, berpikir positif, optimis, tapi menjadikanmu tumbal untuk menguji keragu-raguanku.

Kita bukan analogi, maka raihlah dan buat itu menjadi pasti di masa depan, meski rencana menjadi batas manusia.

Rabu, 18 Januari 2012

SURAT CINTA

Kepada yang tersayang, atom-atom cinta, stimulus-stimulus sayang.

haruskah aku mencintaimu dengan surat-surat?

Selasa, 17 Januari 2012

KETIKA HATI BER"TEKS"

Dia...terbaring dalam ranjang-ranjang udara, bahwa spasi telah membuatnya merasa lega.
Ada simulasi mimpi yang membuatnya mengenal, bahkan dengan indera tak dikenal telah mampu meraba imaji yang tak terduga.

Sebutlah itu apa saja, panggillah dia siapa saja, sesungguhynya kita bisa menjadi apa saja dan memerankan siapa saja. Lalu apa? Haruskah kita marah? Haruskah kita menahan tawa? Bahwa kelucuan yang teramat dahsyat tengah bergulir di depan mata, memancing gelak menggelar, kita ini komedi-komedi tanpa syarat, otomatis. Lalu apa? Haruskah kita membantah bahwa kita ini adalah mesin?

Mesiu apapun akan mampu membuat kita meledak, kau, dia, mereka, aku, kita semua, setidaknya dalam relatifnya.

Saya mengurai tanpa kejelasan, dan absurdnya perasaan itu seperti mencari atom dari atom, mungkin itu mungkin, tidak mungkin itu tidak mungkin, atau itu mungkin saja menjadi tidak mungkin.

Kita mengeluh, kita memelas, kita berpeluh, kemudian tertawa, kemudian menangis tiba-tiba, kemudian menghujani diri bermaksud mengenang masa kanak-kanak, kemudian kita menambahkan banyak tanda koma, kemudian titik itu menunggu di ujung sana, dan kita akan betul-betul berhenti.

Lalu apa?

"KUSAMPAIKAN TEKS-TEKS ABSURD DARI HATI YANG ABSURD, UNTUK KEABSURDAN YANG SANGAT LUCU"

Chat Room Bloofers