Selasa, 17 Desember 2013

Katamu, Waktu Punya Bangku

katamu, waktu punya bangku
di tepi dermaga
yang tengah berdoa menghadap air
rupanya rapal doa telah basah
lalu menuju mekar teratai

katamu, waktu punya bangku
di atas mekar teratai
yang tengah berdoa
rupanya doa telah rampung
lalu menuju lapang langit

katamu, waktu punya bangku
di tengah lapang langit
rupanya rapal doa telah meluas
lalu menuju biji bulan

katamu, waktu punya bangku
di dalam biji bulan
rupanya rapal doa telah mati
lalu menuju atap mata kita

katamu, waktu punya bangku
di atap mata kita
rupanya, doa tak terlihat
lalu menuju tepi masa depan

katamu, waktu punya bangku
di tepi masa depan
rupanya bangku itu telah, tengah, dan terus menunggu
hingga doa kita tiba

Camba, 2013

Rabu, 11 Desember 2013

Penyair Pemalu

Ia seorang penyair.
Hidup dan matinya adalah kata-kata:
Kata-kata yang nyata. Saat lahir ia menagis, meneriakkan kata.
Masa kecilnya diliputi kesenangan bermain layang-layang.
Saat sebuah layangan putus, ia meneriakkan “Ayo!”
yang juga sebuah kata. Masa remajanya diserang kata-kata.
Ketika pertama kali jatuh cinta kepada gadis di samping bangkunya.
Lalu ia menulis surat cinta. Surat berisi kata-kata.
Dan ia semakin dewasa dengan kata-kata. Ia paham menggunakan kata yang tepat
untuk pernyataan yang akurat . Lalu uban tumbuh di kepalanya.
Hitam rambutnya dibersihkan masa tua,
dan ia semakin bijak menggunakan kata.
Bibirnya bergetar seperlunya. Ia juga paham mengatakan cinta.
Entah cinta sebagai kata benda, kata sifat, atau justru kata kerja.
Jelasnya, cinta hanya kata di bibir tuanya.

Ia seorang pemalu.
Hidup dan matinya adalah malu-malu:
Malu-malu mengungkap kata.
Kala ia lahir, ia berteriak, namun ia bayi yang pemalu,
hanya mampu menangis dan masih malu tertawa.
Masa kecilnya diliputi tawa. Ia menyeberangi jembatan tua menuju sekolah.
Setiap hari, ia balapan lari bersama temannya, lalu sampai ke sekolah
dengan seragam basah. Peluh bersandar di setiap serat kain bajunya.
Tetapi ia seorang pemalu. Ia malu kepada matahari yang mengeringkan kerongkongannya,
juga malu pada matahari yang membuatnya terus berkeringat.
Ia malu mengungkap keluh saat diserang milyaran peluh.
Maka ia menaruh rasa malunya di ujung tiang bendera. Memberi hormat saat upacara.
Ia terus menjadi seorang pemalu.
Ibunya miskin, ayahnya tiada. Adiknya kelaparan. Ia malu, terus malu-malu pada negaranya.

Ia seorang penyair pemalu.
Hidup dan matinya adalah kata-kata yang malu-malu:
Sejak lahir hingga menjelang matinya ia terus menulis puisi.
Membacakannya di hadapan Tuhan.
Ternyata Tuhan menyukai puisi-puisinya.
Di antara semua puisinya, Tuhan begitu mencintai salah satunya.
Bacalah itu di pusaranya, ada sebuah nama “Abdul” di sana.
Ia seorang hamba Tuhan, pemalu pula. Setiap hari hanya mampu beribadah,
dan mengirimkan permintaan juga keluh kesah, hingga seluruh yang ia punya,
melalui doa-doa yang juga adalah kata-kata.

Ia seorang penyair, tetapi malu-malu.
Ia malu menunjukkan kemaluannya di tempat umum
Kecuali di toilet umum.
Ia malu menampakkan wajahnya di hadapan Tuhan
Sebab wajahnya terlampau buruk, dan Tuhan tak menyukai hal-hal buruk.
Ia malu keluar rumah. Sebab rumahnya pelindung sempurna,
dan dunia luar senang mencerca.
Ia malu mengatakan “Aku mencintaimu” kepada gadis pujaannya.
Maka ia menulis sajak cinta untuk kekasihnya.
Sayangnya, gadis itu tak bisa membaca.

Makassar, 2013

Fadhli Amir

Sabtu, 23 November 2013

ONEIROI

kau meletakkan mimpi
meletakkannya di langit tertinggi
langit yang tak pernah mampu
dijangkau retinamu

aku meletakkan mimpi
meletakkannya di depan pintu
pintu yang hanya mampu
dibuka mimpimu

Tuhan meletakkan tangga
meletakkannya di luar rumah
maka kugunakan tangga itu
menuju langit teringgi
memetik mimpimu
agar aku mampu membuka pintu
dan mimpi kita bertemu

Minggu, 17 November 2013

Elegi Tepuk Tangan

Saya penasaran terhadap orang yang pertama kali bertepuk tangan kemudian menjadi kebudayaan turun temurun. Apa yang ia saksikan, pikirkan, dan rasakan hingga memutuskan untuk bertepuk tangan?

Secara etimologi, tepuk tangan berarti menamparkan kedua telapak tangan untuk menghasilkan bunyi. Bunyi tepuk tangan ini dalam sejarah beberapa bangsa ternyata berbeda. Bangsa Romawi kuno, misalnya. Mereka memiliki kebudayaan tepuk tangan untuk memberi penghargaan bagi sebuah pertunjukan. Lain halnya dengan orang Tibet yang mengartikannya dengan pendekatan mistik. Mereka melakukannya sebagai upaya mengusir roh jahat. Meski begitu, ada juga yang berpendapat bahwa tepuk tangan sebenarnya terinspirasi dari alat musik perkusi yang digunakan saat upacara umum orang Mesir kuno.

Peneliti di Universitas Hartford, Connecticut, Amerika Serikat, Yvette Blanchard mengatakan manusia bertepuk tangan karena “dibuat”, bukan sejak lahir.

Jika dicermati, tepuk tangan memiliki tugas mulia. Taruhlah Anda seorang seniman, pembicara, atau hanya orang biasa yang sekadar menyampaikan opini di depan umum. Suara kita terasa didengarkan dan diakui bila disambut dan diantar dengan tepuk tangan. Sebuah bentuk penghargaan luar biasa melalui aktivitas yang biasa-biasa saja. Sungguh mulia kita yang bertepuk tangan untuk suara-suara yang layak didengarkan dan dihadiahi penghargaan. Namun apa jadiinya, jika tepuk tangan itu kian bergeser dari landasannya? Rasanya, kita telah mengajak tepuk tangan bepergian terlampau jauh lalu lupa mengantarnya pulang.

Anda mungkin pernah menyaksikan sebuah acara kuis berhadiah, atau dalam beberapa kompetisi dan perlombaan. Sang pembawa acara kerap harus menentukan pemenang dari beberapa peserta melalui tepuk tangan. Perihal ini menunjukkan tepuk tangan dianggap sebagai sebuah tolak ukur sempurna dan sahih. Demi mendapatkan hadiah, kita rela melakukan hal-hal gila sembari mengemis tepuk tangan. Penonton seperti dipaksa tepuk tangan untuk menentukan yang terbaik. Saya berani bertaruh, tidak semua penonton yang tepuk tangan itu tahu untuk apa tepuk tangan ditujukan. Yang mereka tahu adalah nasib seseorang ditentukan oleh tepuk tangan. Tepuk tangan telah kehilangan obyektivitasnya. Bayangkan jika semua kompetisi menerapkan peraturan serupa. Lambat laun anak cucu kita tidak lagi mengenal pemenang sebagai orang yang terbaik. Mereka akan hidup dalam pemahaman bahwa seorang pemenang adalah pengumpul tepuk tangan terbanyak.

Saya pernah menyaksikan seorang ulama didaulat memimpin doa dalam sebuah perhelatan kampanye pasangan calon gubernur beberapa bulan silam di televisi. Ia naik ke panggung melafalkan doa dengan nada meringis. Kata-katanya pun dipaksakan puitis. Sementara itu, hadirin berpaling dengan kesibukan lain. Memang ada yang menadahkan tangan, namun lebih banyak yang sibuk berbincang, bermain dengan ponsel dan mengipas-ngipas wajah. Selepas memimpin doa, para hadirin mengantarnya turun dari panggung dengan tepuk tangan. Rupanya kita ini manusia mekanis. Kita terbiasa dengan orang yang naik dan turun dari panggung. Kemudian, kita lupa, bahkan cenderung mengabaikan penyampaian seseorang di atas panggung tersebut. Kemunculan seseorang di atas panggung ditafsirkan hanya sebagai dua aktivitas lazim: naik dan turun. Kedua aktivitas itu membuat kita merasa harus tepuk tangan. Padahal, melalui doa, kita mengakui kekuasaan Tuhan dan betapa kecilnya kita yang hidup dari permohonan dan harapan untuk dikabulkan. Sedemikian larutnya kita dalam euforia, hingga doa pun dianggap mesti diberikan gemuruh tepuk tangan. Imbasnya, doa kehilangan esensinya sebagai permohonan khidmat. Akibat tepuk tangan, doa telah digiring menuju ruang kemeriahan, bukan keheningan. Tanpa sadar juga, tepuk tangan menjadikan doa tadi terlihat sebagai tontonan, bukan komunikasi intim dan penyerahan diri manusia kepada Tuhan. Atau mungkin di mata kita, sang pembaca doa itu seperti seorang peserta “ajang pencarian tepuk tangan” yang tengah berupaya menjadi pemenang.

Masalahnya sederhana, kita terlena. Hanya karena tepuk tangan adalah bentuk penghargaan paling sederhana, mudah, dan sangat mendunia, kita malah lupa bahwa tidak semua hal pantas dihargai dengan tepuk tangan. Sungguh tepuk tangan kita semakin artifisial.

Ada sebuah jawaban nakal di kepala saya tentang orang yang pertama kali bertepuk tangan. Mungkin ia adalah seorang yang ingin bersuara, namun bisu. Satu-satunya kebaikan yang mampu ia lakukan adalah dengan kerja kedua tangannya. Namun dari semua buah tangannya, tak satupun didengarkan dan memperoleh pengakuan. Agar karyanya didengar lalu dihargai, ia pun membuat bunyi-bunyian dengan menepuk kedua telapak tangannya. Bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk dirinya sendiri.

Ketika budaya tepuk tangan terus terbawa arus kesalahpahaman, maka kita perlu menanyakan ini pada diri sendiri. Jika esok kita mati, relakah roh itu meninggalkan jasadnya, menghadap Tuhan dengan iring-iringan tepuk tangan?

Fadhli Amir
Aktor Kala Teater

Tulisan ini dmuat di kolom literasi Koran Tempo Makassar edisi Sabtu, 9 November 2013


Pernyataan Pura-Pura

Pernah seorang teman menyatakan bahwa aktor teater adalah pembohong yang ulung. Mendengar dan meresapi ini ada sebuah elegi di kepala mengenai aksi berpura-pura. Pernyataan ini pula melahirkan korban kepura-puraan.

Ada tiga subyek yang disakiti oleh pernyataan itu, ialah aktor teater, teater itu sendiri, dan orang yang menyatakannya. Subyek pertama adalah aktor teater. Ada sebuah konsep bernama inflasi imajinasi. Imajinasi membuat subyek merasakan kenyataan obyek imajinasinya. Meski bentuknya citra mental, tetap saja ada kenyataan di dunia imajinasi. Stanislavsky pun membahas imajinasi sebagai sebuah metode pendalaman karakter di dalam bukunya yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul “Persiapan Seorang Aktor”. Di bukunya itu, Stanislavsky mengisahkan pengalamannya ketika ditugasi sebuah peran. Maka, ia membuat citra mental di kepalanya tentang karakter yang akan ia mainkan. Ia berhadapan dengan cermin, mendandani wajahnya, menggunakan barang-barang di dalam kamarnya sebagai properti, sesuai penafsirannya terhadap karakter yang akan ia mainkan. Maka ketika menjumpai aktor memainkan sebuah peran, dan Anda tahu aktor itu dalam kehidupan sehari-harinya tidak demikian, yakinlah bahwa yang tengah ia perankan di panggung bukan sebuah kepura-puraan, melainkan kenyataan lain. Meski begitu, ada juga aktor yang gagal, sehingga apa yang diperankannya terkesan berpura-pura. Aktor yang demikian tidak berhasil memasukkan peran ke dalam dirinya. Dia tidak menjadi atau minimal seperti peran itu, tapi cenderung berbohong. Ia membohongi dirinya sendiri, bermaksud keluar dari dirinya dan menjadi orang lain, tapi malah berpura-pura menjadi orang lain di hadapan penonton.

Subyek kedua adalah teater itu sendiri. Constantin Stanislavsky pernah menyatakan bahwa kebenaran di atas panggung berbeda dengan kebenaran dalam kehidupan nyata. Seorang yang menonton pertunjukan teater sejatinya menyaksikan realisme panggung, bukan realisme kehidupan dunia. Misalnya ketika sesesorang yang dalam kehidupan sehari-harinya sangat pendiam. Tiba-tiba ia harus berperan sebagai seorang yang cerewet. Ia mesti cerewet ketika memainkan perannya, meski sebenarnya ia seorang yang pendiam dalam kehidupan sehari-hari. Ia memiliki dua kenyataan. Kenyataan di kehidupannya sebagai orang pendiam dan kenyataannya di panggung sebagai orang cerewet. Keduanya adalah kenyataan, bukan kepura-puraan. Sehingga pandangan tentang teater yang mengumbar kepura-puraan rupanya menyakiti teater dan para penggiatnya. Sebab teater tidak bersifat mimetik. Teater tidak sekedar memindahkan, namun menciptakan realita. Bahkan ketika lakon yang dimainkan adalah jenis teater absurd, tetap saja yang disajikan adalah kenyataan. Tentunya dengan menyerap kehidupan sehari-hari kemudian menafsirkannya dalam bentuk pertunjukan. Sekali lagi, ini bukan aksi pemindahan realita, tapi penafsiran yang di dalamnya sudah ada riset, opini, dan rentetan pesan. Hal ini bahkan tergambar pada sejarah teater itu sendiri. Teater menurut sejarahnya berawal dari kebiasaan bangsa Yunani kuno melakukan upacara ritual penyembahan kepada dewa. Upacara ritual itu berifat dramatik, memiliki unsur cerita di dalamnya. Dengan begitu, teater sejatinya berawal dari sebuah gejolak dan penghayatan nyata manusia yang kemudian berkembang menjadi pertunjukan. Penonton sama sekali tidak sekedar menyaksikan fotokopi kehidupan.

Subyek ketiga adalah manusia itu sendiri, dalam hal ini orang yang menyatakan bahwa secara umum aktor dan teater adalah bentuk kepura-puraan. Hidup itu sebuah kenyataan. Maka siapa saja yang memandang teater sebelah mata, atau malah menutup matanya, itu sama saja ia mengalihkan pandangan terhadap kehidupannya sendiri. Bahkan, ia justru hidup tanpa sempat melihat kehidupan di sekitarnya. Menonton teater adalah bentuk menghormati, menghargai, mencintai, bahkan merayakan kehidupan.

Perihal kepura-puraan tadi, semua tergantung aktornya. Memang bukan perkara mudah menjadi seorang aktor teater. Fisik, mental, dan intelektual yang memadai sangat dibutuhkan. Melakonkan karakter idealnya menjadi, minimal seperti karakter tersebut. Sementara berpura-pura merupakan bentuk kegagalan seorang aktor. Maka jangan salahkan penonton yang pulang sebelum pertunjukan usai. Atau penonton yang tiba-tiba menuju ruang belakang panggung selepas pertunjukan mencari kenyataan yang dijanjikannya.
Pun demikian, jangan salahkan aktor ketika merasa hanya menyaksikan pertunjukan kepura-puraan. Bisa jadi, aktor itu gagal, atau mungkin kita yang tidak peka.

Bukankah kehidupan sebenarnya lekat dengan kepura-puraan? Tak perlu melulu penguasa atau calon penipu di kertas suara. Cukup diri kita sendiri yang setiap harinya tak pernah luput dari kebohongan. Seolah kebohongan menjadi pertahanan terakhir, mungkin sebuah pembelaan terhadap nasib dan kesalahan. Setiap kali berpura-pura, bukankah itu nyata? Atau kita tengah berpura-pura untuk berpura-pura?

Lagipula, setiap individu adalah aktor bagi kehidupannya sendiri. Sementara waktu yang banyak diisi kepura-puraan ikut ambil bagian. Maka, berpura-pura kah kita hidup?

“In Act We Trust"
Fadhli Amir
Aktor Kala Teater

Tulisan ini dimuat di kolom literasi Koran Tempo Makassar edisi Sabtu, 26 Oktober 2013

Selasa, 12 November 2013

Waktu dan Manusia

Saya selalu memikirkan bagaimana waktu itu bekerja. Saya teringat dengan pernyataan Fahd Djibran dalam bukunya “A Cat in My Eyes”. Ia dengan sangat percaya diri menyatakan “waktu itu mengkhianati jarak”. Buku itu adalah kumpulan cerpen, esai, dan puisi. Dalam salah satu bagian bukunya ia menceritakan perjalanannya dengan mobil menempuh jarak yang cukup jauh. Ia hendak menuju tempat yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Di perjalanan ia menemukan jalan – jalan yang asing. Pada saat itu ia merasa jarak yang ditempuh itu sangatlah jauh. Pada saat yang bersamaan ia merasa membutuhkan waktu yang lama untuk menempuh jarak itu. Ia memutuskan bahwa tempat yang ditujunya memang cukup jauh dan membutuhkan waktu yang juga cukup lama untuk sampai ke sana. Pada kesempatan yang lain ia kembali mengunjugi tempat itu untuk kedua kalinya. Karena sudah pernah mengunjugi tempat itu sebelumnya, ia punya memori perihal jalan yang harus ditempuh, kondisi jalanannya, dan pemandangan di sepanjang jalan menuju tempat itu. Hal yang berbeda pun ia rasakan. Ia merasa jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh. Berbeda dengan jarak yang ia rasakan ketika pertama kali mengunjugi tempat itu. Padahal, waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak tadi relatif sama. Namun, ia merasa jarak yang ditempuh dan waktu yang dibutuhkan untuk bisa sampai ke tempat itu lebih dekat dan sedikit bila dibandingkan dengan ketika pertama kali ia mengunjungi tempat itu.

Mungkin peristiwa yang dialami Fahd Djibran adalah hal yang lumrah dan sering kita alami. Dalam hal ini, waktu seperti memiliki kekuatan magis untuk mengubah segalanya. Peristiwa Isra’ Mi’raj dalam ajaran agama Islam menunjukkan salah satu aktivitas magis waktu. Dalam peristiwa itu, Nabi Muhammad mencapai tempat tertinggi dalam waktu semalam saja. Hal ini tentunya di luar logika. Namun Tuhan selalu menyuruh kita untuk belajar. Waktu bukanlah hal yang magis.

Secara ilmiah, waktu dapat dipelajari. Dalam ilmu fisika, waktu adalah besaran pokok yang melambangkan periode atau interval yang bisa diukur secara pasti dalam satuan detik. Albert Einstein dalam teori relativitasnya merumuskan itu. Menurut Einstein, semakin besar kecepatan gerak suatu benda atau partikel, waktu akan berjalan semakin lambat. Maka waktu yang sedikit bisa disiasati dengan pergerakan yang cepat. Tak heran, di negara – negara maju, penduduknya terbiasa dengan gerak cepat untuk mengefisienkan waktu agar bisa menyelesaikan serangkaian aktivitas. Arus ini berimbas pada kurangnya waktu untuk saling menyapa dan peduli sesama. Mungkinkah waktu sekejam itu?

Waktu juga berperan dalam menentukan kebutuhan dan kesenangan. Di masa kanak – kanak, kesenangan saya pada waktu itu begitu mudah didapatkan. Saya bisa merasa senang ketika bermain petak umpet, main kelereng, atau main perang – perangan dengan teman sebaya. Di masa remaja, kesenangan saya berubah. Kelereng, petak umpet, perang – perangan, perlahan menjadi hal yang sangat membosankan, bahkan memalukan. Saya akan merasa senang bila mendengarkan musik dari band – band luar negeri. Saya bisa merasa senang bila naik motor bersama teman – teman mengukur jalan. Beranjak dewasa, waktu kembali mengubah kesenangan saya. Naik motor, berkonvoi bersama teman – teman menjadi hal yang menjijikkan. Justru, berdiam diri di rumah, membaca buku, menonton film, menulis adalah aktivitas yang menyenangkan. Di masa itu pula, saya menjumpai seorang wanita selain ibu yang membuat saya jatuh cinta. Apakah waktu juga yang menumbuhkan sebuah perasaan cinta?

Waktu tidaklah kejam. Manusia yang membuatnya terasa menakutkan. Seperti di film “In Time”. Film fiksi ilmiah karya sutradara Andrew Niccol yang dirilis pada tahun 2011 itu bercerita tentang kehidupan manusia yang akan berhenti menua pada usia 25 tahun. Kemudian, di lengan mereka terpasang jam yang menunjukkan sisa waktu mereka. Di film itu, waktu menjadi mata uang dan alat untuk membeli keperluan hidup. Orang kaya memiliki banyak waktu, dan orang miskin sebaliknya. Film itu menceritakan bagaimana waktu adalah sesuatu yang menentukan hidup dan mati seseorang. Waktu yang dimiliki akan digunakan seefektif dan seefisien mungkin. Saya membayangkan bagaimana jika kehidupan kita sama persis dengan kejadian di film itu. Masih adakah di antara kita yang akan menambah jam tidur, meminta cuti kerja di saat yang tidak semestinya, berpesta pora, melalaikan tugas dan aktivitas lain demi bermain game, patah hati, merindu sambil menangis, atau duduk termenung melihat putaran jarum jam? Saya juga membayangkan, masih adakah orang yang rela menunggu dan membuat orang lain menunggu? Sementara menunggu adalah bunuh diri, dan membuat orang menunggu adalah pembunuhan secara perlahan.

Manusia itu hidup. Waktu tidak. Tapi waktu menghidupi manusia.

Tulisan ini dimuat di kolom literasi Koran Tempo Makassar edisi Jumat, 27 September 2013

Senin, 28 Oktober 2013

SAJAK UNTUK ADIK DAN ENGKAU KALA SIANG GULITA

suatu ketika adik bermain bola
bola ditendangnya menghantam air
air bergejolak memercik adik
adik basah dibalut baju
baju kuyup membungkus tubuh
tubuh manja menyergap bola

engkau cantik di mata
mata diserang warna-warna
warna-warna membentuk gradasi
gradasi memanen pujian
pujian menginap di lidah
lidah menyenggol bibir
bibir bergetar mengucap kata
kata habis menyisakan cinta
cinta berhenti di stasiun kata

aku suka mencintaimu
mencintaimu adalah memilihmu
memilihmu adalah memilahmu
memilahmu adalah memulihkanmu
memulihkanmu adalah menemukanmu
menemukanmu di antara jutaan sajak cinta
sajak cinta yang terus lahir sepanjang sejarah
sejarah yang ditinggalkan kekinian
kekinian yang mendambakan masa depan
masa depan yang kesepian hanya ditunggu kematian

aku suka bermain bola seperti adik
adik punya bola, aku juga
juga adik tak punya aku
aku tak punya adik

aku suka kecantikan seperti engkau
engaku cantik seperi "mencintai"
"mencintai" milikku, untuk dirimu
dirimu tak punya "mencintai"
pun diriku tak punya "dicintai"

Kata, Kita, dan Kota

Kata telah menjadi harta benda
Bagi penyair, bagi sastrawan, bagi para pencinta ungkapan

Kita telah menjadi dilema
Ingin selalu berdua
Namun menuntut bersatu

Kota telah menjadi rumah
Bagi kata yang tersebar di sepanjang suasana
Juga bagi kita yang hanya punya kata

Minggu, 06 Oktober 2013

PENGAKUAN YANG MENGAKU KAKU

dia seorang pakar pikiran
fasih membaca pikiranmu
dengan cara apapun kau menulisnya
bahkan ia seorang peramal pikiran
selalu tiba sebelum kau sempat memikirkannya

dia seorang pemikir yang baik
dia tidak hanya mampu memikirkan
cara-cara magis untuk menyenangkanmu
ia juga mampu memikirkanmu berkali-kali

sedang aku
hanya seorang pencinta miskin
kata orang pelit
aku hanya mampu mencintaimu satu kali
maklum, hidupku pun hanya sekali

Rabu, 02 Oktober 2013

Jalan, Eksistensi Sartre, dan Cinta Tak Harus Memiliki

Hanya karena kita terlalu akrab dengan jalan, bukan berarti kita bisa memilikinya. Sebagai pengguna jalan, mungkin kita perlu belajar menggunakan jalan sewajarnya. Ada beberapa golongan pengguna jalan yang semakin hari semakin mengukuhkan diri sebagai pemilik tunggal. Mereka adalah golongan yang begitu mencintai jalan hingga merasa memilikinya. Sebut saja demonstran, calon pemimpin yang tengah berkampanye, rombongan pejabat yang kebetulan lewat di jalan, orang yang menggelar hajatan di jalan, tukang parkir, dan “Pak Ogah”. Mereka adalah orang yang rasa memilikinya sangat tinggi. Mereka mencintai jalan, hingga semua kepentingannya harus digelar di jalan.

Demonstran dan orang-orang yang mengaku peduli itu mengemis, meneriakkan, dan mengentakkan kepedulian mereka di jalan. Berharap perhatian penguasa mampir di sana. Perjuangan bagi mereka diaktualisasikan dengan turun ke jalan. Mereka membakar ban di tengah jalan, berorasi, hingga menutup akses pengguna lain. Mereka adalah pemilik jalan saat itu. Mereka merasa ada jika berhasil menimbulkan kemacetan di jalan-jalan.

Ada juga calon penguasa yang berkampanye di jalan atau lapangan yang berhadapan langsung dengan jalan. Mereka gembira tatkala pengguna jalan berhenti serempak membentuk blokade dadakan. Baginya, jalan adalah tempat yang paling layak untuk merebut perhatian publik. Pengguna jalan dipaksa berhenti mendengar janji. Atau rombongan pejabat yang melintas di jalan seringkali tidak mempedulikan rambu-rambu lalu lintas. Mereka memaksa pengguna jalan lain minggirseolah-olah pengguna jalan lain hanya kelompok peminjam. Merekalah pemilik jalan.

Tidak melulu pejabat, politikus, atau demonstran yang merasa memiliki jalan. Orang-orang kecil seperti tukang parkir dan “Pak Ogah” pun merasa memiliki jalan dengan begitu egoisnya. Di sebuah mal yang berhadapan dengan jalan, tak jarang lalu lintas menjadi macet karena kehadiran tukang parkir. Mereka seenaknya membuka lahan sampai ke badan jalan. Jalan kehilangan fungsinya. Ada lagi “Pak Ogah” yang berkedok membantu kerja polisi mengatur lalu lintas. Persoalannya, pekerjaan mereka tidak berdasarkan situasi jalan, melainkan ada motivasi mendapatkan imbalan. Mereka dengan entengnya menyetop pengendara yang melaju lurus, karena kliennya ingin berbelok, misalnya. Hasilnya, keberadaan mereka justru mengacaukan arus lalu lintas.

Maka jelaslah penyebab utama kemacetan di kota. Bukan melulu karena jalan yang sempit dan jumlah kendaraan yang terus bertambah, tetapi begitu banyaknya orang yang ingin menarik perhatian dan menunjukkan eksistensinya di jalan. Mereka begitu percaya diri memperlakukan, menggunakan, dan menafsirkan jalan sebagai milik sendiri. Sangat ironis, ketika jalan yang sedari dulu kita yakini sebagai fasilitas umum bebas digunakan untuk kepentingan segelintir orang saja. Akibatnya, terjadi ketimpangan pemenuhan hak. Lebih parahnya lagi, fenomena ini akan terus memacu lahirnya cibiran, keluh kesah, pertentangan, pertengkaran, kesalahpahaman, hingga berbuah ketidaknyamanan

Teori eksitensi Jean-Paul Sartre berbunyi: “Eksistensi mendahului esensi.” Karena itu, satu -satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia. Menurut Sartre, manusia dikutuk untuk bebas. Kutukan adalah sebuah takdir. Orang yang dikutuk seperti dipaksa atau harus melakukan dan melakoni sesuatu. Mungkin demonstran, calon pemimpin yang berkampanye, rombongan pejabat yang lewat di jalan, tukang parkir, dan “Pak Ogah” adalah penganut teori itu. Meluhurkan kebebasan berbuat apa saja di jalan. Mungkin mereka merasa ada ketika berada di jalan demi keagungan eksistensialisme.

Mereka yang begitu mencintai jalan hingga menimbulkan gangguan bagi pengguna jalan lainnya mungkin harus kembali membaca, meresapi, merenungi, dan menghayati sebuah pepatah cinta klasik: “Cinta tak harus memiliki”.

Tulisan ini dimuat di Literasi Koran Tempo Makassar edisi Jumat, 20 September 2013

Senin, 30 September 2013

TIDAK SEMUA ORANG KAMPUNG "KAMPUNGAN"

Jika saya diberikan kekuasaan menghapus satu kata di dalam kamus besar Bahasa Indonesia, saya ingin menghapus kata “kampungan”.

Ketika Anda sedang berselancar di dunia maya, kemudian seseorang menghampiri dan bertanya cara menyalakan komputer, kata apa yang mampir di kepala Anda? Saat berjalan-jalan di pusat perbelanjaan lalu menjumpai seseorang mengenakan daster dengan dandanan norak, menurut Anda dari manakah orang itu berasal?
Hingga saat ini, perilaku dan kebiasaan seseorang yang jauh dari modernisasi cukup digambarkan dengan satu kata, “kampungan”. Lebih parahnya lagi, orang-orang yang berlaku tidak baik, anarkis, kriminal, dan bodoh, pun diartikan sebagai orang yang “kampungan”.
Secara etimologi, “kampungan” berasal dari kata “kampung. Akhiran –an menjadikan kata benda“kampung” ini berubah menjadi kata sifat “kampungan”. Artinya “kampungan” adalah kata sifat yang berdasar pada sifat –sifat orang kampung. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, “kampungan” berarti: berkaitan dengan kebiasaan orang kampung; terbelakang (belum modern), kolot, tidak tahu sopan santun, tidak terdidik, kurang ajar.

Bila kita kembali pada definisi “kampungan” yang merupakan cerminan kebiasaan orang kampung, maka dapat disimpulkan bahwa orang kampung adalah orang-orang dengan kebiasaan yang tidak baik. Kebiasaan kita yang sulit dihindari adalah selalu berupaya menggeneralisasikan hal-hal yang tak bisa digeneralisasi. Seperti kebiasaan orang kampung yang kemudian dimaknai semuanya negatif. Tingkat pendidikan orang kampung jauh berbeda dengan pendidikan orang kota. Tingkat pendidikan yang rendah memungkinkan seseorang berlaku tidak baik, bodoh, dan terbelakang. Kemudian begitu saja disimpulkan bahwa orang kampung adalah orang yang berlaku tidak baik, bodoh, dan terbelakang. Akibatnya, apa yang terlihat adalah apa yang terbaca. Apa yang terbaca adalah apa yang tersurat. Otak kita sudah dijajah oleh fenomena generalisasi. Seperti ketika menjumpai orang yang berkulit putih dan bermata sipit. Sontak kita akan memastikan orang itu keturunan Cina. Atau pemikiran bahwa orang berkacamata adalah orang yang cerdas. Kita kah “kampungan” itu?

Perihal ketidakadilan penggunaan kata “kampungan” ini saya ingin mengajukan pertanyaan: mengapa kata “kampungan” ini hanya bermakna negatif? Apakah kita tak pernah mencapai kata sepakat untuk sebuah kata yang menggambarkan keindahan, keluhuran, dan hal-hal baik tentang kampung? Apakah semua sisi positif telah dijarah dan dimiliki oleh kota?
Masyarakat kampung hidup mengandalkan alam. Kondisi geografis desa dengan alam yang relatif perawan menjadikan profesi mereka bersinggungan langsung dengan alam, semisal petani, nelayan, peternak. Cara mereka bertani, menangkap ikan, dan beternak pun masih mengandalkan alam. Hal itu dimulai dari peralatan sampai membaca musim yang baik, waktu tanam, waktu melaut, dan perkiraan waktu panen. Semua hasil membaca alam. Dengan latar belakang pendidikan formal yang lebih rendah, rasanya sangat cerdas jika mereka mampu membaca alam begitu baik tanpa sempat membaca buku pelajaran paling mutakhir.

Orang kampung mungkin tidak hidup dengan kemajuan teknologi informasi. Toh dengan keterbatasan itu, mereka sanggup menghidupi keluarga mereka. Orang-orang kota pun setiap harinya berharap sokongan bahan pangan dari orang-orang kampung. Inikah makna kampungan? Jika iya, hampir seluruh masyarakat kota hidup dari ke - “kampungan” orang - orang kampung.

Komersialisasi seks bebas, , perjudian, perampokan, pembunuhan banyak terjadi di kota. Rasanya tak pantas bila menilai orang - orang kota itu kampungan. Atau dengan pertanyaan ini; mengapa perbuatan kriminal yang dilakukan warga kota itu tidak disebut “kota-an”? Jawabannya sederhana, tak ada kata “kota-an” di kamus besar Bahasa Indonesia. Tak ada satu kata sifat pun di negara ini yang sanggup mewakili perilaku orang-orang kota.

Saya teringat film “Upside Down.” Film yang dirilis tahun 2012 karya sutradara Juan Dieogo Solanas ini bercerita tentang dunia atas dan dunia bawah. Dunia atas adalah dunia dengan kekayaan yang melimpah, sementara dunia bawah adalah dunia yang melarat. Lelaki dunia bawah jatuh cinta dengan gadis dunia atas, padahal kedua dunia ini memiliki gravitasi masing-masing. Tapi lelaki dari dunia bawah ini mampu menciptakan alat bantu agar bisa menjangkau dunia atas dan melawan gravitasi dunianya untuk bertemu gadis pujaannya. Dunia atas pun bergantung pada sumber minyak dari dunia bawah. Peradaban dunia atas juga disokong oleh kecerdasan dunia bawah.

Memang, tak semua orang kampung itu tertinggal, bodoh, tidak baik. Pun begitu, tak semua orang kota itu maju, berpendidikan, berbudi luhur. Begitu pula sebaliknya. Lagi-lagi, menggambarkan perilaku seseorang atau kelompok masyarakat tak akan pernah cukup bila ditinjau dari letak geografisnya saja, juga tak akan pernah cukup dengan satu kata.

Tulisan ini dimuat di kolom literasi Koran Tempo Makassar edisi Kamis, 12 September 2013


Rabu, 18 September 2013

CARA KOPI MEMPERTEMUKAN KITA

kau hanya minum kopi saat pagi
katamu mata seperti bangun untuk kedua kalinya
dan malam akan memberi kantuk sempurna

aku hanya minum kopi saat malam
kataku mata seperti bangun untuk kedua kalinya
dan pagi akan kutinggalkan sepenuhnya

suatu saat kopi hanya bisa ditemui di sore hari
kau dan aku kebingungan
kau dan aku cacing kepanasan
kau dan aku bertemu

ELEGI KOPI



(gambar diambil dari sini: http://www.desktopwallpapers4.me/typography/i-love-you-more-than-coffee-16683/)

suatu sore ketika warung kopi terlihat mempesona
aku duduk di sana
memikirkan hal yang lupa aku pikirkan sedari pagi

aku memesan kopi
pelayana berkata
gula habis
aku tak mampu meneguk rasa terlampau pekat

untung saja aku punya bahan pikiran
pikiran yang lupa aku pikirkan sedari pagi
aku pun memaksakan diri memesan kopi tanpa gula
mengaduk cangkir itu
sembari melarutkan kenangan kita di dalamnya

Selasa, 03 September 2013

SEPASANG MATA KEPADA WAKTU



Pukul duabelas malam
Bisa kah kau berhenti di situ
Sesaat, dua saat, tiga saat
Beberapa saat, atau bahkan berkali kali saat?
Aku tak bisa memejam
Kantuk tak datang juga

Aku tahu tuanku lelah
Tadi pagi ia menyeruput dua gelas kopi
Berbatang batang rokok
Dan potongan potongan kue kering
Hendak mencari kata

Kala siang, ia berkelahi dengan matahari
Menampik peluh berkali kali
Sesekali berkeluh kesah
Kemudian mengayun kakinya menuju entah
Saat lapar, ia pun menyantap siang
Dengan lahap selagi hangat

Sore tiba
Kakinya mulai lelah
Ayunannya berhenti di warung kopi
Menunggu senja
Katanya kata kata bermukim di sana
Sayang kata kata enggan keluar rumah

Malam berlari segera
Setelah lelah berjaga
Lampu lampu kota menyala
Hasratnya pun berubah
Ia ingin mencapai langit
Katanya di atas sana ada pembaringan udara

Kemudian muncul di kepalanya
Sebuah tanya tak terhingga
Jika Tuhan menciptakan manusia selain Hawa
Apakah Adam jatuh cinta?
Atau apakah Adam jatuh cinta kepada Hawa?
Tanyanya memusingkan kepala
Aku tak tahu ia mencari apa
Aku hanya mampu melihat
Tak bisa merasa
Terlebih lagi menerka

Kepala pernah bercerita
Katanya kau penjawab ulung
Tak ada satu pun pertanyaan yang luput olehmu
Kepala pernah bercerita
Semua manusia berserah padamu
Untuk kau jawab pertanyaannya satu per satu
Benarkah itu?
Jika ia, kapan kau akan menjawab pertanyaan tuanku?

Lelah menyusuri kota
Tuanku pulang ke rumah
Di meja kerjanya tergeletak selembar kertas kosong
Tak ada perolehan kata hari ini, katanya
Andai aku mampu berbicara
Ingin kukatakan pada tuanku
Kosong juga kata
Atau mungkin tuanku tengah berserah
Penuh harap kekosongan itu terisi dengan sendirinya
Kepadamu yang katanya mampu menjawab segalanya

Oh iya, aku juga ingin bertanya
Mengapa Tuhan begitu mengandalkanmu
Membiarkanmu memutuskan segalanya?

Tuanku percaya jodoh di tangan Tuhan
Tapi Tuhan lebih percaya padamu
Meski gadis itu tak berada di gengamanmu
Tuhan tahu kau akan meletakkannya tepat (waktu)

Maka berdoalah tuanku
Kepada Tuhanya juga Tuhanku
Agar jodohnya adalah gadis di seberang jalan tadi
Tengah meneguk entah sembari menyendiri
Doa Tuan kepada Tuhan:
Bukalah tanganMu
Agar ia melihat dirinya di genggamanMu
Sejak saat itu ada dua hal yang membuatku tak mampu memejam
Kantuk yang enggan jatuh dan gadis yang menembus retinaku

Jam duabelas malam
Tetaplah disitu, jangan beranjak dulu
Biarkan malam panjang
Malam ini saja, waktu
Agar tuanku mampu menemukan kata
Kemudian tuanku sanggup menuliskan nama
Yang ia tulis dengan suka cita
Yang ia awali sepenuh jiwa
Kemudian mengkahirinya selepas nyawa

Berhentilah di jam duabelas malam
Berhenti sesaat, dua saat, tiga saat
Beberapa saat hinga berkali kali saat
Agar tuanku punya cukup jeda
Sambil menungu kantuk tiba
Agar tuanku cukup tidurnya

Esok ia akan menyatakan cinta
Kepada gadis di seberang jalan tadi
Yang tengah meneguk entah sembari menyendiri

Tapi sebelum itu
Kumohon padamu
Janganlah kau menjawabnya
Sebab gadis itu tahu caranya
Bagaimana mengatakan iya

Makassar, 26 Agustus 2013
Fadhli Amir





Rabu, 28 Agustus 2013

KEPADA GADIS YANG KUTEMUI DI ALAM TWITTER



Pernah aku membaca di buku buku sejarah
Tentang penemuan situs situs purbakala
Juga sering membaca di buku buku pelajaran sekolah
Tentang penemuan penemuan ilmiah
Isaac Newton menemukan hukum gravitasi
Albert Einstein menemukan hukum kekekalan energi
Dulu aku ingin seperti mereka
Menemukan penemuan penemuan penting untuk dunia
Maka aku belajar dengan giatnya
Hingga saatnya mimpiku berbuah
Aku menemukanmu

Tak ada landasan teori apapun
Alam twitter seperti laboratorium
Beruntunglah kau hidup di sana

Aku senang mengintip linimasa
Aku jadi tahu kau mahasiswi fakultas hukum
Ingin sekali aku bertanya
Tentang hukuman seseorang yang berani menyusupi hati
Aku tak berani mencuri
Aku sabar menunggu kau memberinya cuma cuma
Tenang aku orang yang tahu balas budi
Hati ku pun akan kuberikan cuma cuma
Kelak, saat penyair berhenti menulis
Dan semua sajak sirna
Kuharap namamu tetap ada
Sebagai sajak satu satunya

Sebulan berselang
Aku semakin tahu seluk belukmu
Aku bahkan tahu jam makan dan tidurmu
Aku juga tahu kau membenci malam minggu
Karena saat itu ada banyak yang mengucap rindu
Hingga lupa merasakannya
Ada pula yang mencaci bujangan
Seolah akan mati bila tak berpasangan

Aku pun tahu kau membenci tengah malam
Saat itu kau merasa sendirian
Tak punya sesuatu pun untuk dilakukan
Dijalankan, apalagi diselesaikan
Merasa kesepian
Padahal jika kau menanti hingga malam itu usai
Kau akan tahu ada yang menunggumu
Aku yang bernama pagi

Aku tahu kau membenci tengah malam
Karena saat itu kau tak bisa ke mana mana
Padahal jika kau mengintip isi kepalaku
Kau akan menemukan dirimu di sana
Entah bagaimana caranya kau membagi raga
Dan berangkat jam berapa

Suatu saat kau membagi sebuah pernyataan
“Jodoh di tangan Tuhan”
Lalu aku memohon kepada Tuhan
Agar membuka tanganNya
Barangkali ada wajahku di dalamnya
Lalu kau mencium tangan Tuhan dengan khidmat

Di alam twitter
Semua orang berhak menjadi pengagum rahasia
Tapi aku berbeda
Akulah pencinta rahasia
Setahun sudah aku menjadi rahasia
Setahun sudah pun kau menjadi rahasia
Aku adalah cinta yang rahasia
Kau adalah rahasia tercinta

Hinga suatu saat
Kau ada di kolom interaksiku
Dengan dua huruf besar yan begitu aku banggakan hingga saat ini: RT
Itu pun sudah cukup
Meski waktu tak akan pernah cukup
Menyempatkanku mengucap cinta kepadamu
Maaf, tak ada ucapan
Ini kan rahasia

Sehari setelahnya linimasa penuh
Dengan ucapan selamat menempuh hidup baru
Aku senang karena ada yang baru hidup di dalam kehidupanmu
Juga sedih karena aku tak mampu menjadi yang baru
Meski tak baru, sebenarnya aku hidup di kehidupanmu

Aku masih sosok yang lama
Lama menguntit
Lama kelamaan mencinta
Kelamaan mencinta
Selamanya mencinta

Waktu menyerah
Ia tak sanggup menghitung
Berapa denyut jantungku saat memikirkanmu


Selasa, 13 Agustus 2013

DOA SEBELUM MATI



Entah mengapa tiba tiba aku sangat ingin menulis
Aku tak tahu hendak menulis apa
Aku juga tak tahu harus menulis untuk siapa
Kadang keinginan muncul dengan sendirinya, tak berkawan, tak mencari lawan

Maka aku menulis
Tepat dini hari
Karena tak tahu ingin menulis apa
Maka aku berdoa
Karena tak tahu ingin menulis untuk siapa
Maka kupersembahkan untuk Tuhan

Tuhan
Jika setelah menulis ini aku tertidur lantas kau membangunkanku lewat malaikat maut
Sampaikanlah pada ibuku
Bahwa ada hal yang tak pernah aku impikan namun selalu aku banggakan
Menjadi anaknya

Tuhan
Jika setelah menulis ini mataku terpejam dan terbuka saat aku tak lagi di dunia
Jangan biarkan serangga hinggap di mata ibuku
Aku tak mau ia menangis dengan alasan apapun
Kecuali karenaMu

Tuhan
Jika setelah menulis ini aku harus berada di hadapanMu
Sampaikan pada ibuku
Ia telah mengalahkan waktu
Karena waktu tak sanggup mengakhirinya
Untuk tetap ada di dalam hatiku

Tuhan
Jika setelah menulis ini ajalku telah tiba
Beritahu ayahku
Aku tak sempat menulis sajak untuknya
Karena tak ada sajak apapun seindah namanya

Tuhan
Jika setelah menulis ini Kau memanggilku
Katakan pada saudaraku
Aku tak akan pernah sanggup membayar waktunya
Yang diluangkan untukku

Tuhan
Jika setelah menulis ini aku harus pulang
Serukan kepada orang orang yang mengasihiku
Tak ada kisah yang lebih indah dari kasih

Tuhan
Jika setelah menulis ini aku mati
Tolong bisikkan pada gadis yang kucintai
Bahwa hidupku adalah tanda aku mencintainya
Dan izinMu adalah alasan aku mencintainya

Tuhan
Jika setelah menulis ini rohku meninggalkan raga
Aku mohon, kabulkanlah doaku

Jumat, 26 Juli 2013

PADA SUATU HARI YANG TERLALU DINI MENJADI HARI



Kuusap keluh yang tinggal separuh
Mengunjungi rumah yang nyaris punah

Pada suatu hari yang terlalu dini menjadi hari
Malam kabur ketika pagi masih simpang siur

Pada suatu hari yang terlalu dini menjadi hari
Embun menyamar dalam gelap segar
Menyerang bulan yang tengah lapar
Terbersitlah niat yang sudah pudar

Pada suatu hari yang terlalu dini menjadi hari
Suara dengkur terbentur
Dengan tutur yang kian menyembur
Sayang ingin sebatas angin
Datang, lewat, kemudian pergi lagi

Pada suatu hari yang terlalu dini menjadi hari
Seseorang mengaku hamba sujud menyembah
Mengirimkan beribu keinginan
Sayang ingin sebatas angin
Terasa ada terlihat tak ada
Untung Tuhan bukan angin
Selalu ada meski terlihat tak ada

Pada suatu hari yang terlalu dini menjadi hari
Mataku bertaruh pada waktu
Siapa saja pemenangnya
Pagi akan segera tiba
Siapa saja yang kalah
Matahari pasti membakarnya

Pada suatu hari yang terlalu dini menjadi hari
Puisi juga lahir seperti biasanya
Entah siapa ibunya
Entah apa rahimnya
Apa dan siapapun
Tuhan mencintainya

Pada suatu hari yang terlalu dini menjadi hari
Tetiba aku ingin menjadi ayah
Tak peduli siapa ibunya
Tak peduli berapa anaknya
Asalkan Tuhan penghulunya

Pada suatu hari yang terlalu dini menjadi hari
Pikiran pandai menyelam
Pikiranmu pun menjadi lautan
Tak peduli seberapa dalamnya
Tak peduli sedingin apa rasanya
Kumohon padamu, biarkan aku tenggelam

Pada suatu hari yang terlalu dini menjadi hari
Mereka menyebutnya dini hari
Bukan malam lagi
Juga belum pagi
Ini hanya elegi
Gigih menagih janji

Pada suatu hari yang terlalu dini menjadi hari
Seseorang ingin menjadi penyelam
Pikiranmu jauh lebih dalam dari lautan terdalam
Biarlah Tuhan yang membuktikan
Mana yang lebih dalam
Pikiranmu atau perasaanku





Minggu, 21 Juli 2013

KUKIRA HUJAN



Ternyata puisi
Entah sejak kapan hujan melahirkan puisi
Setitik saja jatuh, jutaan puisi serempak menggaduh
Entah sejak kapan juga puisi seperti hujan
Sebaris saja tertuliskan indah, jutaan jiwa pun tergugah

Kukira hujan
Ternyata lagu
Entah sejak kapan hujan bernyanyi
Setitik saja ia membasahi, jutaan nada menari nari
Entah sejak kapan juga lagu seperti hujan
Senada saja ia dinyanyikan, jutaan jiwa gemetaran

Kukira hujan
Ternyata doa
Entah sejak kapan hujan berdoa
Setitik saja ia turun, jutaan hamba merapal kata
Kepada Tuhan yang hanya ada dalam doa
Kepada Tuhan yang teringat saat berdosa
Entah sejak kapan juga doa seperti hujan
Satu kata saja dipanjatkan, jutaan mata menjadi awan
Berair mata laksana hujan

Kukira hujan
Ternyata kampanye
Entah sejak kapan hujan berkampanye
Setitik saja ia jatuh, jutaan maksud mengikut
Entah sejak kapan juga kampanye seperti hujan
Satu janji saja disampaikan, jutaan tubuh kedinginan

Kukira hujan
Ternyata rindu
Entah sejak kapan hujan merindu
Setitik saja jatuh, jutaan kasih memilu
Entah sejak kapan juga rindu seperti hujan
Sedetik saja bergemuruh, jutaan pikiran tak mampu berteduh

Kukira hujan
Ternyata seorang wanita
Entah sejak kapan wanita itu menghujaniku
Sesaat saja ia kupandang, hati ini tak mampu lagi mengubah tujuan
Entah sejak kapan juga hujan seperti wanita itu
Sedikit saja ia menyentuh, kulitku menolak peluh

Kukira hujan
Karena ia bersajak telak tak mampu kutolak

Kukira hujan
Karena ia bernyanyi menidurkan sepi

Kukira hujan
Karena ia berdoa agar kemarau belum tiba

Kukira hujan
Karena ia berkampanye dan hatinya menjadi etalase

Kukira hujan
Karena ia rindu
Hadir di sela sela waktu
Di ruang yang asing bagi tubuh

Kukira hujan
Karena ia merindu
Apakah kepadaku?

Kukira hujan
Karena ia jatuh ke dasar hatiku

Kukira hujan
Ternyata dirimu

Camba, 7 Juli 2013
Fadhli Amir

Selasa, 09 Juli 2013

SAJAK KECIL TENTANG HUJAN DAN PUASA



Waktu kecil, bagiku hujan membuat puasa tidak menantang
Rasanya keteguhanku untuk menahan lapar dan haus itu seketika karam

Selangkah berikutnya
Hujan kembali rebah
Seolah ia tak tenang di atas kedudukannya
Sekali lagi, hujan membuat puasa tidak menantang
Rasanya keteguhanku untuk menahan hawa nafsu dipermudah
Karena aku tak bisa keluar rumah
Sementara "RUMAH" adalah tempat paling aman dari dosa, dan paling nyaman untuk pahala

Kukpikir hujan itu berkah
Kadang ia menjadi bencana

Kupikir hujan itu reda
Kadang ia menuliskan sejarah

Kupikir hujan itu kenangan
Kadang ia menuturkan kubangan

Kupikir hujan itu jiwa
Kadang ia air belaka

Kupikir hujan itu cahaya
Kadang ia gelap tak teraba

Kupikir hujan itu senja
Muncul menjelang berbuka puasa


Sekarang hari pertama, hujan turun lagi, tepat tigapuluh menit sebelum berbuka puasa.
Kulihat tanah yang tadinya kering pecah pecah, basah, terisi air layaknya mata air jiwa.
Bahkan hujan pun menyerukan, puasa itu menyegarkan

Jumat, 03 Mei 2013

Antara Kau dan Aku



Seperti dalam sebuah fiksi sedih, kau pergi.
Namun, tak seperti fiksi sedih, aku malah menyiapkan perjalanan di atas meja makan sembari belajar teori bahasa Indonesia.

Ada dua hidangan tersedia, nasi dan telur dadar. Kedua hidangan ini telah melebur menjadi satu. Kombinasi yang sempurna antara karbohidrat dan protein, antara makanan pokok dan lauk pauk. Sementara aku melahapnya, aku berpikir perihal kepergianmu, dan dua buah kalimat tunggal yang setara.

Aku makan nasi di meja makan. Aku makan telur dadar di meja makan. Pada dasarnya, kedua kalimat ini adalah kalimat tunggal. Kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri dari satu pola kalimat. Ada subjek, ada predikat, ada objek. Kedua kalimat tadi mampu berdiri sendiri, sehingga menjadi kalimat yang setara. Kemudian ada kata penghubung "dan" yang membuatnya menjadi satu. Demi efisiensi, kedua kalimat itu digabungkan, meski masing-masing dapat berdiri sendiri. Maka,jadilah "aku makan nasi dan telur dadar di meja makan."

Dewasa ini, semua orang memiliki kesempatan menjadi pujangga. Tersedia begitu banyak kata yang diolah. Demi menuntut sebuah estetika, kata-kata itu diolah sedemikian rupa agar indah dibaca, dan renyah dikunyah. Dari kesemuanya, cinta menjadi topik utama.

Cinta, sebuah kata yang mendominasi kehidupan manusia. Semua hal yang baik didasarkan atas cinta. Lahirlah kalimat populer ini, "Semua karena cinta". Cinta hanya satu kata namun mampu menjabarkan beragam perkara.

Twitter. Sebuah jejaring sosial yang sangat populer. Setiap harinya begitu banyak yang membagi kalimat-kalimat cintanya. Seolah cinta cukup dalam 140 karakter, termasuk aku. Seseorang bahkan banyak orang pernah menulis ini di twitter : Aku merindukan kita.

Kita. Sebuah kata tunggal yang jika dijabarkan, tidak hanya terdiri dari satu orang saja. Kita adalah perpaduan antara kau dan aku, jika banyak ditambah mereka. Kita adalah sabuah "penyetaraan" mini. Jika dalam kalimat ada kalimat setara, maka dalam kata, mungkin kata "kita" ini adalah representasi dari "kesetaraan" itu. Lagi, demi efisiensi, kau dan aku disatukan dalam "kita".

Saat kau masih mencintaiku dan memilih bersamaku, kau selalu mengatakan ini padaku: "Satu hal yang selalu membuatku jatuh cinta padamu adalah kemampuanmu menyatukan aku dan dirimu menjadi kita." Lagi - lagi kita. Kita menjadi sebuah penyatuan ternikmat. Semenjak kita pacaran, hidup kita diliputi oleh "kita". Aku yang dulunya makan di restoran sendiri, kau juga makan di restoran sendiri, berubah menjadi kita makan di restorn bersama. Cinta menyatukan dua buah kalimat tunggal menjadi sebuah kalimat majemuk setara.

Apakah benar kita setara? Apakah kadar cintaku padamu setara dengan kadar cintamu padaku?

Dengan ini, aku ingin membuktikan betapa hubungan kita sebenarnya terangkum dalam teori kalimat ini.

Kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri dari dua atau lebih pola kalimat. Hematnya, kalimat majemuk adalah gabungan dua atau lebih kalimat tunggal. Sebelum kita bertemu, aku adalah kalimat tunggal, kau juga, katamu (entah sebelumnya kau sudah majemuk bersama kalimat tunggal lain atau tidak). Karena aku memilih tak menghiraukan masa lalumu, maka aku menganggapmu sebagai kalimat tunggal saja. Baiklah. Kemudian Tuhan mempertemukan kita, dan jadilah dua kalimat tunggal tadi berbaur menjadi satu kalimat majemuk. Cinta membuat kita majemuk. Manusia lain pun begitu. Kehidupan yang mejemuk tak akan pernah bisa dihadapi dengan hal - hal berbau tunggal. Bahkan, orang yang mengaku mandiri pun tak akan pernah bisa berdiri dan mengakhiri hidupnya sebagai kalimat tunggal,kecuali Tuhan. Itulah mengapa kita hanya bisa menjadi hambanya. Itu pula sebabnya mengapa sendiri itu tidak abadi. Sunyi dan sendiri berbeda.

Kalimat majemuk pun dibagi menjadi empat bagian:

1. Kalimat majemuk setara.

Setelah kita sepakat menjalin hubungan, kita telah berdiri sebagai kalimat majemuk. Saat itu kita memilih menjadi kalimat majemuk setara. Kalimat majemuk setara dibagi lagi menjadi dua, kalimat majemuk setara sejalan dan kalimat majemuk setara berlawanan. Menurutku kita hidup dalam keduanya. Aku tiba pada sebuah pernyataan, bahwa cinta adalah penyatuan perbedaan. Hubungan kita berawal sebagai kalimat majemuk setara berlawanan. Ada banyak perbedaan di antara kita. Aku senang berjalan, sementara kau senang naik kendaraan. Aku senang menunggu, sementara kau tidak. Aku sering begadang, kau senang tidur. Aku sering terlambat, kau tepat waktu. Dari semua kebiasaan-kebiasaan kita, tak satupun yang berkawan. Kemudian kata pujangga, "atas nama cinta" kalimat majemuk setara berlawanan itu digubah menjadi kalimat majemuk setara sejalan dimana mereka dihubungkan oleh konjugsi dan. Pada saat yang bersamaan kita melakukan hal yang sama. Ternyata, dari semua perbedaan itu, kita memiliki kesamaan, senang duduk mendengarkan musik. Maka kegiatan itu sering kita lakukan bersama. Meski selera musik kita berbeda, kau suka pop ballad, aku suka brithpop. Kau suka RnB, aku suka jazz. Pada dasarnya kita adalah kalimat majemuk setara sejalan. Aku dan kau mendengarkan musik. Bukankah, cinta menyatukan perbedaan? Dan penyatuan terindah adalah penyatuan perbedaan. Untung saja Tuhan kita sama. Jika tidak, aku tidak tahu apakah saat itu kita masih menjadi kalimat majemuk setara sejalan atau berlawanan.

2. Kalimat majemuk rapatan.

Selain mendengarkan musik, kita juga sama - sama suka makan dan minum kopi. Itulah mengapa kita menjadi kalimat majemuk rapatan dalam waktu yang sama. Dalam sebuah kesempatan atau lebih, kita sering mendengarkan musik, makan, dan lanjut minum kopi bersama-sama. Di antara begitu banyak perbedaan yang kita miliki, masih ada beberapa kesamaan yang dilakukan bersama. Dengan ini kita menjadi rapat, jarak tak lagi memisahkan, tapi menyatukan. Saat salah satu di antara kita sedang di luar kota, kita masih bisa merapatkan diri. Jarak pun menyatukan kita dalam sebuah kaidah kalimat majemuk rapatan. Dalam waktu yang bersamaan kita sering janjian makan, mendengarkan musik, dan ngopi bersama-sama. Meski tempatnya berbeda. Ruang ada banyak. Tapi waktu membuat dua ruang menyatu. Esensi bersama bukan lagi perkara ruang, namun lebih kepada perkara waktu. Kita melakukan hal yang sama dalam waktu yang sama. Kita pun tak pernah membenci jarak. It's not long distance relationship, it's long time relationship.

3.Kalimat majemuk bertingkat

Suatu saat, kau merubah segalanya. Maaf, bukan dirimu, tapi jenuh. Aku tak mau menyalahkanmu. Karena aku masih ingin berdiri sebagai kalimat majemuk bersamamu. Kita melakukan hal berlawanan pada waktu yang bersamaan. Sampailah kita pada kaidah kalimat majemuk bertingkat: dua kalimat atau lebih kalimat tunggal yang kedudukannya berbeda. Di dalam kalimat majemuk bertingkat terdapat unsur induk kalimat dan anak kalimat. Anak kalimat timbul akibat perluasan pola yang terdapat pada induk kalimat. Di antara kita pasti ada yang menjadi induk dan anak kalimat. Saat aku datang ke rumahmu, kau tengah tertidur pulas. Saat aku menemuimu, kau tengah sibuk dengan cita - citamu. Saat aku mengajakmu makan malam, kau serius dengan hobi barumu, menyendiri. Kadang kau yang menjadi induk kalimat dan aku anak kalimatnya. Ketika kau meminta pertimbanganku memutuskan satu di antara dua pilihan, aku sedang berupaya membuat keputusan sendiri. Ketika kau memintaku menemanimu belanja, aku tengah membantu sahabatku menyelesaikan pekerjaannya. Ketika kau merayakan ulang tahunmu, aku tengah melayat di rumah kerabatku. Keadaan yang memaksa kita harus memilih menjadi induk atau anak kalimat. Sayang, antara induk dan anak kalimat itu, tak sekali pun pernah akur. Tak ada yang merawat, juga tak ada yang dirawat. Tak ada yang membesarkan, juga tak ada yang dibesarkan. Kita sebenarnya telah kembali menjadi kalimat tunggal. Ternyata bukan hanya tunggal yang tidak abadi, majemuk juga begitu. Kita berada pada kehidupan di mana semuanya situasional. Ada saat untuk berlari, ada saat untuk berhenti. Mungkin itulah makna keseimbangan. Sayangnya, kau berang.

4. Kalimat majemuk campuran.

Kehidupan kita tak lagi terdiri dari dua buah kalimat tunggal. Tuhan menciptakan banyak manusia. Semua manusia memiliki kesempatan menjadi kalimat. Semua ingin menjadi kalimat. Aku juga begitu. Hanya saja, aku ingin majemuk bersamamu. Sayangnya, bukan hanya aku yang ingin majemuk. Ada kalimat tunggal lain yang mencari kesempatan agar mampu menjadi kalimat majemuk bersamamu. Ketika aku datang ke rumahmu, kau sedang menyeduh kopi untuknya yang sedang menulis lagu untukmu. KIta berada pada kaidah kalimat majemuk campuran dimana ada tiga kalimat tunggal berbeda. Secara kasat mata, kita bertiga melakuka tiga aktivitas berbeda. Aku datang ke rumahmu, kau menyeduh kopi untuknya, ia menuliskan lagu untukmu. Hanya saja kalimat tak cukup dimaknai secara harfiah. Begitu juga cinta, tak akan indah jika ia hanya sebuah kata. Ada keterangan yang membuat kalimat itu berbeda. Aku datang ke rumahmu dengan harapan menemuimu. Harapanku berbuah, aku menemukanmu sedang menyeduh kopi. Sayangnya kopi itu bukan untuk ku, untukmu atau untuk kita, tapi untuknya. Ditambah lagi ia tengah menulis lagu untukmu. Jelas aku melakukan sebuah aktivitas untuk kita (bertemu). Kau dan dia melakukan dua aktivitas simbiosis mutualaisme. Kalian berhasil memaknai kemajemukan dengan cara yang baik. Hanya saja, aku merasa jadi korbannya.

Kopi tak lagi menjadi hal yang sama, bukan lagi untuk kita, tapi hanya untuknya. Kopi yang kau seduh saat bersamaku adalah kopi untuk "kita". Kopi itu dinikmati bersama. Kopi yang kau seduh untuknya bukan untuk "kita". Kau mengkhususkan untuknya. Bukankah kau jatuh cinta padaku karena aku mampu menyatukan aku dan dirimu menjadi kita? Aku telah melakukannya. Kita telah melakukannya. Kopi yang kau seduh untuknya jelas sebuah pengkhianatan pada "kita" yang dulunya sangat kau sakralkan. Jika memang harus ada dirinya, biarkanlah kalian berdua menjadi "kita" bukan "kalian" yang mempersembahkan dua hal berbeda ketika ada satu hal yang bisa dinikmati bersama.

Aku pulang sebagai kalimat tunggal. Baiklah, tak ada lagi "kita". Aku tak akan menuliskannya lagi. Sebelum hidangan makan malamku habis, aku ingin menuliskan ini untukmu.

"Di dunia ini ada kau dan aku. Bahkan kalimat pun menginginkan kita bersama."

Selamat makan malam. Semoga kau tengah melakukan hal sama di ruang yang berbeda.


Selasa, 16 April 2013

SEMANGKUK MOTIVASI OLEH STANISLAVSKY



(gambar diambil dari www.wikipedia.com)

Apakah benar semua hal memiliki alasan?

Seseorang pernah menyatakan bahwa aktor adalah pembohong ulung. Menurutnya, kejujuran hanya ada dalam realita dimana kita tak akan sanggup menyangkalnya. Waktu membawa kejujuran. Panggung sandiwara hanya sebuah kebohongan. Kejujuran seolah bersembunyi di belakang panggung, menunggu penonton bubar, kemudian menampakkan diri tanpa sempat mendapatkan tepuk tangan riuh. Seseorang itu masih bertahan bahkan terperangkap dalam paradigma "akting adalah berpura-pura".

Manusia dengan kehidupannya adalah rangkaian cerita yang selalu menarik. Bahkan dalam keadaan jenuh sekalipun, manusia cenderung membaginya. Hal yang layak dibagi adalah hal yang tidak layak didiamkan. Hal yang tak layak didiamkan adalah hal yang menarik. Manusia dengan segala ceritanya membaur dalam banyak kejadian. Putus cinta, sosialisasi buruk, keinginan yang belum tercapai, rintangan berat, perselisihan, dan semua hal-hal di dalamnya. Dari semua cerita itu, hanya Tuhan yang telah membacanya. Kita hanya terjebak dalam pertanyaan, ketidaktahuan, bahkan belum menyentuhnya sama sekali. Panggung mengambil peran dalam hal ini. Kisah-kisah yang belum sempat tersentuh oleh khalayak umum, perasaan terkecil yang mungkin hanya jadi konsumsi privasi akan menguak, memberontak, berbicara di atas panggung. Mengapa harus panggung? Sederhana saja. Manusia dengan segala kesibukannya tidak punya banyak ruang untuk melihat sekitarnya. Mengapa harus akting? Sangat sederhana. Masing-masing subyek tak akan pernah bisa menjadi subyek yang lain.

Di sebuah warung pinggir jalan, semangkuk mie instan dengan asapnya yang mengepul menampar penjelajahanku. Aku membuka buku yang baru saja aku pinjam dari perpustakaan sanggar.

"Semua gerak laku dalam panggung harus berdasarkan motivasi, bahkan dalam keadaan duduk diam." Constantin Stanislavsky adalah kiblat terpentingg dalam dunia teater. Dalam bukunya, kita diarahkan untuk berlaku di atas panggung dengan motivasi. Sederhananya bergearak dengan alasan. Artinya, segala sesuatunya harus memiliki alasan. Perlahan tapi pasti, pertanyaan besar muncul di kepalaku. Ketika teater adalah refleksi kecil dari kehidupn yang besar, apakah dalam realitanya, segala hal membutuhkan alasan?

Secara kasat mata, aku bisa saja membenarkannya. Realita adalah kenyataan. Ia pasti. Logisnya, hubungan sebab akibat. Segala sesuatu memiliki sebab hingga ia berakibat pada sesuatu juga. Bagaimana dengan cinta?

Dari semangkuk mie instan, aku beralih ke dunia sosial media. Tengah malam adalah waktu di mana di sana akan selalu marak oleh pujangga. Aku menghidangkan pertantayaan yang sama. Mengapa tengah malam adalah waktu yang tepat untuk menjadi pujangga? Orang - orang termasuk aku merasa nyaman berkicau dengan diksi - diksi, menulis syair, prosa pendek, dan hal-hal yang berbau sastra, kemudian membaginya, dan tengah malam selalu menjadi saat yang tepat. Aku mencoba mencari alasannya, demi membenarkan teori Stanislavsky ini. Setelah perenungan beberapa menit, aku sampai pada sebuah kesimpulan. Tengah malam adalah saat - saat dimana keheningan begitu mudah didapatkan. Lanjut, kata- kata indah akan mudah muncul di saat-saat hening. Pertanyaanku bercabang. Mengapa harus menulis puisi di tengah malam? Apa yang memotivasinya? Sembari menunggu, aku menyantap mie instanku. Semangkuk habis, dan pertanyaan itu pun terjawab. Ada keinginan untuk menonjolkan sisi elegan di tengah malam. Ada keinginan untuk menunjukkan sisi lain yang tak dikenal orang, mencari dan mencuri perhatian. Ada juga keinginan untuk menunjukkan sisi romantis diri. Karena banyak dari kita yang terjebak pada persepsi karya sastra sebagai sesuatu yang mesti romantis. Parahnya jika ada yang memilih motivasi ini, sedang mengikuti tren. Sisi positifnya, ia mengakui kehebatan sastra. Sisi negatifnya, sastra hanya sebatas tren. Aku memilih motivasi ketertarikan. Aku menulis karena aku suka. Sayangnya lagi, banyak dari kita menjadikan kalimat-kalimat gombal sebagai karya sastra. Miris.

Tengah malamku diliputi alasan-alasan yang belum pernah kujumpai. Sepeti halnya, mengapa tempat makan tengah malam ku ini tiba-tiba menjadi temoat tongkrongan favorit. Padahal dulunya, tempat ini dibatasi oleh seniman saja. Tentu saja, orang yang bergerak ke sini memiliki motivasi yang jelas. Tempat ini strategis. Di tempat ini menunya murah dan enak. Semua datang membawa alasan. Semua tiba dengan bekal motivasi.

Aku sering mendengar bahwa mencintai dengan tulus berarti mencintai tanpa alasan. Katanya, ketika kita mencintai seseorang dan kita tidak menemukan alasan mengapa kita mencintainya, artinya ada ketulusan yang kuat di dalamnya. Logikanya, tanpa alasan artinya kita siap berbagi, menerima semua yang ada dalam dirinya. Tanpa memerlukan penelitian, pernyataan ini cukup ilmiah. Bagaimana dengan Stanislavsky? Apakah ia mencintai seseorang dengan motivasi? Pertanyaan itu menggangguku.

Aku berusaha menghabiskan perkara cinta itu. Bagiku mustahil seseorang mencintai tanpa alasan. Semua butuh motivasi. Hal pertama yang sangat jelas adalah manusia pasti akan mencinta. Itulah mengapa kita lebih baik dari makhluk lain. Kedua, Tuhan telah menyiapkan jodoh. Artinya, cepat atau lambat, kita akan mencinta. Ketiga, selalu ada hal menarik dalam diri sesorang. Di antara semua hal menarik itu, selalu ada yang membuat kita memutuskan bahwa kita mencintainya. Cinta tanpa alasan hanyalah teori pujangga yang berkicau di tengah malam melalui sosial media. Aku sepertinya memilih ini: "Aku mencintaimu karena Tuhan mengizinkanku." Semua atas izin Tuhan bukan? Toh, Tuhan menciptakan manusia dengan alasan. Kita terlahir dengan sebuah alasan. Kita juga akan mati dengan sebuah alasan. Surga dan neraka ada dengan alasan. Bukti-bukti kekuasaan Tuhan pun terbukti. Tercatat dengan jelas di kitab suci. Ditemukan oleh manusia itu sendiri. Semua ciptaan Tuhan memiliki fungsi. Maka, Tuhan menciptakannya dengan motivasi yang jelas. Hanya saja pikiran dan batin kita yang membuatnya terlihat kabur, bahkan cenderung tidak ada.

Aku kembali. Di atas meja makanku ada semangkuk mie instan. Di dalamnya ada beribu, berjuta, bahkan tak terhitung motivasi. Hingga mangkuk ini kering aku terus berpikir dengan jutaan motivasi. Hal yang memotivasiku hidup adalah kematian. Setelah kematianku, akankah ada motivasi - motivasi lain?

Di warung Gedung kesenian Societeit de Harmonie Makassar

Terima kasih, Stanislavsky

Selasa, 05 Maret 2013

NAGINA



Namanya Nagina. Dia hidup dalam naskah dan beraktivitas di atas panggung. Siapa saja bisa menjadi Nagina. Tergantung kepekaan individu.

Kali ini, dengan segala maaf aku akan membuat sebuah pengakuan.
Perhatikan baik - baik.

Tak ada seorang pun di dunia ini yang berhak memilih menjadi laki-laki atau perempuan. Mengapa? Hanya Tuhan yang patut memastikan.
Aku, seorang manusia biasa, akan menuturkan sebuah persepsi. Laki-laki dan perempuan adalah sebuah contoh keseimbangan yang sempurna. Adam tak akan seimbang jika tak ada Hawa di dunia. Semua manusia adalah pemimpin untuk dirinya sendiri. Laki-laki akan dibebani tanggung jawab untuk memimpin. Mungkin bakat alami dari Tuhan untuk memimpin perempuan. Namun, sebuah ruang nyaman, rahim, adalah tempat pertama di mana semua manusia akan bersaksi bahwa 9 bulan waktu normal adalah sebuah wujud nyata dari rumah. Rahim menjadikan laki-laki lemah di dalamnya, dan perempuan sang pemilik rahim justru rela lemah untuk menguatkan kandungannya. Bahkan, perempuan sang pemilik rahim tak akan pernah peduli jenis kelamin yang menghuni rahimnya.

Kemudian kita lahir, tumbuh, belajar, alami. Di antara selangkangan, terletak 2 jenis yang sama untuk semua manusia. Pada saat itu, apakah kita sempat memilih? Jangan bertanya kepada Tuhan tentang kelamin.

Waktu mengantar kita. Dunia menawarkan rahim yang lebih besar. Lingkungan. Aku belum sempat memilih, bahkan tak pernah memilih hingga organ itu melekatkan "laki-laki" di atas namaku.

Tapi, lingkungan membunuhku. Takdir menjadi musuh besar naluri. Pertentangan antara keduanya membuatku harus memilih. Pilihan adalah takdir. Tuhan menakdirkan kita memilih. Karena Tuhan tidak egois. Memilih pun butuh daya. Logika dan perasaan. Kedua daya itu pun berseteru. Bagi mereka yang "bijak" logika dan perasaan adalah kombinasi yang sempurna. Keseimbangan yang sempurna. Namun, perasaan menghancurkan logikaku. Pertarungan pun dimenangkannya. Aku berhak memilih. Karena Tuhan tidak egois.

Naluri berjalan sempurna bersama waktu. Keduanya menghidupiku hingga perasaan itu menuju tingkat yang lebih kompleks, naluri.

Sejak saat itu, pertanyaan pertama muncul dalam benakku. Apakah kelamin satu-satunya tanda keegoisan Tuhan?

Seperti lazimnya pertarungan, yang menang akan mendapatkan hadiah. Ketika perasaanku menang, naluri pun mencuat, hidup dan tumbuh begitu kuat. Ia layak mendapat hadiah. Maka wilayah kekuasaan pun dilumat. Tak ada logika. Tak ada hukum pasti. Tak ada aturan. Naluri meraja. Logika musnah. Aku memutuskan menjadi wanita. Maka kini panggillah aku Nagina. Aku perempuan, bukan laki-laki. Aku kini perempuan yang dulunya laki-laki. Hidup adalah pilihan bukan? Tuhan tidak egois, kan?

Bertahun-tahun aku menikmati kelaminku, bentuk tubuhku, kehidupanku. Kini aku dihujat, dicaci, dicibir, dikucilkan, diklasifikasikan ke dalam kelompok jenis kelamin ketiga. Jenis kelamin ketiga? Bukannya Tuhan memastikan jenis kelamin hanya ada dua? Sekarang siapa yang tidak logis? Aku atau mereka?

Bertahun-tahun aku membuktikan bahwa yang mereka sebut "banci" lebih bekerja keras dibanding mereka yang begitu bangga disebut "laki-laki". Aku perempuan, bukan laki-laki.

Sekali lagi, aku perempuan bukan laki-laki.

Terus dan terus aku menyerukan itu. Hingga aku baru mengingat bahwa aku sebenarnya melupakan sesuatu.

Dalam lazimnya pertarungan, pemenang akan mendapat hadiah dan yang kalah akan mendapat ganjaran. Naluriku menang. Logika ku kalah. Aku sibuk merayakan hadiah kemenangan naluri sampai lupa merenungi ganjaran kekalahanku. Adam kalah dalam pertarungan melawan setan di surga. Maka ia dikirim ke dunia. Tuhan marah, menjauhkan surga darinya untuk sebuah ujian di dunia. Setan menang. Apakah neraka adalah hadiah kemenangan untuk setan? Atau justru hadiah kemenangan naluriku atas pertarungan melawan logika adalah neraka yang aku pijak saat ini?

Kelamin. Apakah memilih kelamin serupa memilih surga dan neraka?

Tuhan tidak pernah egois. Tuhan itu sempurna. Paling sempurna. Selama ini aku lupa, bahwa memilih adalah bertanggungjawab. Itulah mengapa hidup membutuhkan kebijakan. Bahkan, dengan bijaknya kita tidak seenaknya memilih kelamin adalah sebuah plihan yang tepat. Karena Tuhan telah memberikan pilihan yang paling tepat pada kelamin manusia.

Sekarang, Nagina dan aku sama saja. Tak ada jenis kelamin ketiga. Naluri yang kubanggakan sebagai pemenang adalah bentuk keegoisan sempurna. Aku yang egois. Tentu Tuhan tidak.


Tulisan ini terinspirasi dari naskah monolog "Nagina" karya Nano Riantiarno yang pernah saya mainkan dalam Solo Project Actor Kala Teater "Monolog- Monolog Kelam" Desember 2012

Sabtu, 12 Januari 2013

SEREMONIAL RINDU




Berbahagialah bulan. Ia meminjam sebagian cahaya matahari. Mereka yang sedang merindu memujanya sambil menorehkan kalimat yang sangat sering dilafalkan sang perindu "Kita masih bisa melihat bulan yang sama".

Matahari kian perkasa, kemudian melemah kala senja. Sang perindu gemar mencintai kelemahannya. Matahari hanya dinanti bila hujan sudah terlalu sering tiba. Dalihnya, kedinginan, butuh kehangatan, butuh semangat. Yang tak punya mesin cuci dan tak ada laundry terdekat merindukan matahari demi pakaian yang tak kunjung kering.

Hujan konon romantis. Banyak yang tiba-tiba menyukai kopi, duduk di balik jendela, menyaksikan air langit turun sempurna. Seolah tega melihat bumi basah, mungkin sengsara. Bagi perindu, kalimat ini menjadi sangat familiar: "Ada kenangan di setiap titik air hujan".

Hujan jadi besar kepala. Ia terus-menerus hadir, entah bagi pengagumnya, atau rumah yang digenanginya juga menjadi pengagumnya? Entahlah. Di musim penghujan ini, orang-orang sibuk mengungsi, juga menguras air di rumahnya. Maka, mereka juga menguras kenangan, entah kenangan siapa.

Hujan semakin dihujat. Sang perindu tak bisa lagi menyaksikan senja kesayangannya. Lebatnya hujan menutupi. Bulan pun seakan lenyap. Akhirnya, sang perindu memasang bulan di langit-langit kamarnya. Agar setiap berbaring ia dapat melihat bulan, meski bukan bulan yang sama.

Rinduku padamu tak tergantung apapun. Rinduku bukan karena bulan, hujan, atau matahari terbenam.

Pada suatu saat, aku memikirkanmu. Aku memikirkan hal-hal tentangmu. Aku memikirkan hal-hal tentangmu di masa lalu. Di saat yang sama kau juga memikirkanku. Itulah sederhananya rindu. Di antara pikiran kita ada Tuhan menyaksikan, mempersatukan. Masihkah kita memerlukan bulan?

Rinduku padamu bukan karena hujan. Aku menyukai hujan. Visual yang dihasilkannya sangat menarik. Tapi jika ia marah, banjir di mana-mana. Apakah rinduku padamu marah, dan menggenangi rindu-rindu yang lain? Atau bila ia hujan yang menggenangi rumah-rumah, haruskah aku mengurasnya untuk menemukan kenangan kita? Bagaimana jika ia mengalir, menghanyutkan semua yang tak berdaya? Haruskah aku memohon kepada matahari untuk menambah keperkasaannya mengeringkan laut?

Rinduku padamu tidak ada di dalam larutnya orang-orang menyaksikan matahari terbenam. Aku menyukai senja. Sangat menyukainya. Jika rinduku padamu adalah senja, di mana matahari akan terbenam, ketika usai, apakah rinduku juga akan usai? Kemudian berubah menjadi gelapnya malam? Rindu kita kelam.

Rindu kita sesederhana saling memikirkan. Ada Tuhan di tengahnya, mempersatukan. Kemudian ada waktu setelahnya, dan Tuhan di atasnya mempertemukan. Kita.

Selasa, 08 Januari 2013

Zarah, Kapan Pulang? (Pandangan Pribadi Novel Dewi "Dee" Lestari "PARTIKEL")


Saya akan mengulas "Partikel" bukan supernova. Alasan yang sederhana adalah saya tahu soal "Partikel", satu-satunya serial SUPERNOVA yang pernah saya baca. Pertama-tama saya tidak meragukan kualitas seorang Dee dalam menulis. Bukan soal diksinya yang banyak dipuja orang, bukan juga soal cara dia membentuk karakter yang kuat, setting dan plot yang menarik, sampai rasa penasaran yang banyak dirayakan pembacanya. Kekaguman saya pada Dee adalah "kematangan".

Iya. Ironis sekali. Saya seorang penulis blog, mahasiswa sastra, yang baru mengenal sastra 4 tahun belakangan berbicara soal "kematangan". Terlebih lagi "kematangan" itu menjadi indikator utama kekaguman pada seorang penulis besar di Indonesia.

Sebulan yang lalu, saya mengikuti workshop penulisan cerpen bersama Aan Mansyur (@hurufkecil) seorang penyair kenamaan Makassar saat ini.

Beliau mengajarkan kami soal prosa. Buku terakhir Aan Mansyur adalah kumpulan cerita, dimana cerita itu dikemas dengan identitas penyairnya. Unik.

Tak bermaksud mengulas "KUKILA" nya Aan Mansyur, tapi ada hal yang bisa saya petik untuk mengulas karya besar Dewi Lestari ini. Aan Mansyur mengemas Kukila, kumpulan cerita atau prosa yang ia kemas dengan bahasa penyairnya. Gaya bertutur puisi pada prosa. Unik. Menarik.

Pada workshop itu, Aan Mansyur yg menjadi mentor mengatakan bahwa kebanyakan para penulis sekarang lebih memperhatikan "kata-kata indah" plot yang "menarik", dan ending yang "surprising". Kemudian mereka lupa hal-hal mendasar dari sebuah prosa. Misalnya fungsi paragraf sebagai perangkum satu ide utama, tanda baca, petunjuk aksi, ekspresi, dan perasaan sebelum dan setelah dialog, dan cara menyampaikan cerita. Soal hal-hal dasar itu plus penguasaan kosakata, Dee tak perlu diragukan.

Lanjut ia menjelaskan bahwa, setiap penulis dan yang ingin jadi penulis pasti memiliki ide cerita yang menarik. Dengan modal itu ditambah penguasaan "diksi yang indah" menurut mereka sudah cukup menghasilkan karya prosa yang bagus. Mereka melupakan satu hal. Kemasan.

Cerita akan menarik dibaca bila penulis mengemasnya dengan baik. Cerita yang baik, luar biasa akan terasa biasa-biasa saja, bahkan klise jika disampaikan dengan cara yang salah.

"PARTIKEL" satu-satunya serial "SUPERNOVA" yang pernah saya baca sampai saya menulis ini adalah bukti bahwa "kemasan" menentukan menarik tidaknya sebuah karya sastra, terkhusus prosa, lebih detailnya lagi novel, lebih luar biasanya lagi novel serial.

Cara bertutur Dewi Lestari sangat spesial di "PARTIKEL". Kadang dia bercerita dengan biasa, mendeskripsikan suasana dengan cara yang lazim. Namun, pada bagian cerita tertentu, seperti pertentangan batin yang sering didapatkan pada novel yang menceritakan perjalanan spiritual seperti "PARTIKEL" Dee menuturkan dengan sangat elegan. Tak jarang ia membiarkan kejadian pada bagian cerita sebelumnya begitu saja, kemudian direcall pada bagian cerita berikutnya. Menurut saya itu penting, untuk menyegarkan, membantu mengingat, dan tentunya bukan hanya alasan sederhana itu. Dee menyisipkan semiotika yang kuat di dalamnya.

Kejadian pertama, Zarah meninggalkan ibunya, tidak serumah dengan ibunya, ke Kalimantan, dan tinggal bertahun-tahun di sana. Dee membiarkan ini lumrah. Zarah sudah divonis sebagai Firas kedua di keluarganya. Zarah tetap bersikukuh mencari ayahnya, sosok yang ia idolakan. Dua ideologi yang berbeda diakhiri dengan sebuah perpisahan adalah hal lumrah. Selesai.

Kejadian kedua. Tanjung Puting menjadi tempat pertemuan Zarah dan Sarah. Zarah yang merasa sudah biasa mendapatkan kejutan dalam hidupnya, kembali menemukan sesuatu yang baru. Hingga pada akhirnya waktu, kesempatan, dan keputusan membuat mereka berdua terpisah. Ironisnya pada posisi ini Zarah adalah seorang ibu dari Sarah yang merasakan kesedihan luar biasa tatkala harus berpisah dari Sarah. Pada situasi ini perpisahan terasa lumrah, dimana obsesi Zarah yang begitu besar menemukan ayahnya.

Nah, Dee merecall dua hal, perpisahan dan ibu. Perpisahan dengan ibunya tak membuat Zarah sedih, tapi perpisahan dengan Sarah membuat Zarah merasakan kepedihan ibunya yang merasa ditinggalkan olehnya.

Sepele, sangat sepele. Perpisahan hampir ditemui dalam semua novel, cerpen, puisi, dan karya sastra lain. Tapi, di "PARTIKEL" perpisahan itu menjadi sangat berbeda.

Lalu, di mana semiotiknya?

Pada dua peristiwa perpisahan di atas, menurut saya Dee, sengaja atau tidak sengaja menjadikan "perpisahan" sebagai sebuah elemen semiotika.

"Perpisahan" merupakan tanda dua orang, elemen, hal, yang tidak bisa bersama. Perpisahan bukan cuma secara fisik antara Zarah dan ayahnya, tapi juga perbedaan ideologi antara Zarah dengan ibu, umi, dan abahnya.

Selain itu, ada yang paling menarik. "Rumah" dan "pulang". Pada beberapa bagian, Dee bahkan sengaja menambahkan tanda kutip pada kata itu. Rumah sebagai tempat tinggal, dan pulang menuju tempat tinggal. Konsep tempat tinggal bukan sebuah bangunan yang melindungi dari panas dan hujan, atau sederhananya hunian, tapi dalam konteks tempat di mana seseorang merasa nyaman, memilikinya, dimilikinya, dan ketika keluar dan kembali, ia layak menyebut dirinya sudah "pulang". Bahkan, dengan liar saya menangkap bahwa Zarah hanya menginginkan rumah yang diisi Firas dan Hara. Ketika rumah itu ada dan bisa ia temukan, saat itulah dia pulang. Kedua kata ini seolah menjadi fokus Dee, menurut saya cukup mendominasi, dimana Dee selalu mengulangnya.

Dee menggambarkan Zarah bahkan tidak tahu di mana "rumah" dan harus "pulang" ke mana. Atau tepatnya, Zarah adalah pribadi yang tidak punya "rumah' dan tidak akan pernah "pulang".

PARTIKEL juga menyinggung dua hal yang sangat kontras, religius dan aninisme. Zarah hidup dalam lingkungan yang sangat beragama, kemudian ia dan ayahnya menjadi seperti "tak beragama". Jamur, shaman, UFO, crop cirlcle, Tuhan diragukan, versi bahwa "buah pengetahuan" (buah khuldi dalam ajaran Islam) adalah jamur, dan semuanya adalah persinggungan luar biasa. Tuhan yang diyakini ada bersinggungan dengan naluri ilmuwan.

Kemudian, Zarah berubah dari gadis yang baik secara personal menjadi pribadi yang mudah jatuh cinta pada pandangan pertama, melakukan free sex, menenggak alkohol, dan kebinalan lain.

Dee menyisipkan kisah percintaan pada novel yang sejatinya bukan novel roman, entah sebagai bumbu atau pelengkap stigma bahwa cinta adalah elemen wajib dalam sebuah karya sastra, apapun status, ukuran, dan identitasnya. Meski kekecewaan saya secara subyektif ada ketika Dee tidak menuturkan kisah percintaan seelegan tema cerita lain pada novel ini. Kesannya kisah percintaan Zarah dengan Storm yang akhirnya selingkuh dengan sahabat terbaiknya, Koso, Paul yang diam-diam menaruh cinta pada Zarah menjadi sedikit serupa FTV. Instan. Dipaksakan. Meski menurut saya Dee berhasil menutupinya dengan berbagai filosofi kehidupan yang ilmiah. Misalnya sperma dan sel telur yang menjadikan wanita pemilih, dan pria diharuskan mengencani banyak wanita agar tak rugi.

Lanjut, Dee membenturkan pembaca (utamanya saya) pada satu konsep yang sangat lekat, "Seluruh hidup Zarah cukup dalam satu ransel." Sungguh kesegaran yang luar biasa. Karakter Zarah yang terbiasa nomaden, dengan ranselnya mampu membawanya ke mana-mana membawa semua kehidupannya. Sayang, ada yang terlupa, Firas tak ada dalam ransel itu.

Kemunculan Bodhi dan Elektra di akhir novel adalah cara Dee yang cerdas menjadikan "PARTIKEL" ini adalah bagian dari serial "SUPERNOVA".

Jadi, apa yang sebenarnya Dee ingin sampaikan melalui "PARTIKEL" terlepas sebagai salah satu bagian dari serial "SUPERNOVA"?

Fungi? Orangutan? Alien?

Semua pembaca punya pilihan sendiri. Yang jelas saya meyakini Partikel adalah sebuah perjalanan spiritual, dan membaca sinopsis serial lain, "SUPERNOVA" adalah kisah perjalanan spiritual.

Berat. Perjalanan spiritual bukan hal yang mudah untuk dituliskan, apalagi bisa dicerna dengan baik. Namun, lagi-lagi, kemasan. Dee mengemas "PARTIKEL" ini dengan baik, sangat baik, bahkan luar biasa. Bayangkan bila dunia mikologi dan teman-temannya pada buku ini dipaparkan dengan gaya non fiksi. Ketertarikan mungkin hanya muncul pada pembaca yang memang menggandrungi ilmu pengetahuan. Tapi, dengan kemasan sastra yang sangat baik, mikologi bisa diterima oleh mereka yang mungkin sama sekali tidak tertarik pada mikologi.

Selanjutnya, bayangkan bila cerita tentang orangutan dikemas dengan cara yang tidak menarik. Apa pembaca yang apatis soal satwa bisa menangkap pesan moral yang agung dari orangutan?

Atau hal sederhana, perpisahan. Hampir setiap novel apalagi novel roman mengangkat peristiwa pahit ini. Bayangkan bila Dee menulis perpisahan begitu saja, tanpa semiotika yang menurut saya ada di dalamnya, tanpa perbandingan dengan orangutan, tanpa penjelasan perpisahan sejati menurut Dee dalam karakter Zarah? Bukankah itu akan menjadi biasa saja.

Dari sini saya mengamini nasehat Aan Mansyur bahwa cerita yang baik adalah cara penulis mengemasnya dengan baik.

Lantas, apakah saya secara gamblang mengatakan bahwa ide cerita Dee di novelnya ini biasa saja? Tidak. Di sinilah saya membantah konsep mengenai "kemasan" itu. Kemasan yang menarik mungkin akan menjanjikan tulisan yang bagus. Tapi kemasan yang baik harusnya mengemas isi yang bagus juga.

Partikel adalah sebuah novel tentang perjalanan spiritual Zarah mencari ayahnya, membuktikan "kebenaran" ayahnya, mencari ayahnya, "rumah" dan tempat ia "pulang".

Perjalanan itu didapat dari jamur, dari alien, dari hal-hal di luar logika, ajaran agama di mana Zarah mengalami sensai jamur yang dahsyat. Zarah kemudian sadar bahwa pertentangan yang hebat antara dia dan abahnya bukanlah kenangan terakhir, tapi ketika hatinya dan hati abahnya berusa untuk terakhir kalinya dengan bantuan keyakinan akan sebuah kekuatan jamur.

Ceramah pak Simon tentang fungi, stonehenge, celoteh Hawkeye tentang shaman, dan penelitian Firas tantang kerajaan fungi itu sendiri adalah bukti bahwa novel ini layak dinanti selama 8 tahun. Riset dan riset. Inilah hasilnya. Bukan sekedar hal ilmiah yang Dee sisipkan, tapi aplikasi dan nilai yang terkandung dalam ilmu pengetahuan itu sendiri.

Kemudian saya menangkap bahwa Dee sengaja atau tidak sengaja mengembalikan kita pada hal sederhana yang terlupa, "rumah" dan "pulang". Sudahkah kita memiliki "rumah"? Jika iya, kapan kita "pulang"? Atau apakah kita akan "pulang"?. Dan ya, saya menyimpulkan, bukankah perjalanan spiritual sebenarnya menuntun kita menuju "rumah" itu sendiri?

Karakter? Dee membentuk karakter yang kaya. Setiap karakter hidup. Bahkan Firas yang muncul sesaat terasa hidup dan ada sampai akhir.

Saya merindukan karya sastra yang tidak hanya berbicara tentang cinta, kehidupan dari sisi filosofisnya, persahabatan. Dan rindu saya terbayar dengan kehadiran "PARTIKEL" yang menawarkan gagasan baru, pengetahuan baru, dan skema yang jarang dicoba penulis lain. Terlebih lagi "SUPERNOVA" merupakan ide Dee yang sangat fantastis.

Maka, dengan berani saya mengatakan bahwa Dee adalah penulis cerdas, fokus pada tema yang selalu berbeda, dan pengetahuan sastra yang sangat mumpuni.

Namun, ada 2 kekecewaan saya pada novel ini. Pertama, Dee bagi saya melupakan bahwa Zarah tidak meninggalkan keluarganya, tapi mencari ayahnya. Tujuan utama itu kemudian luntur tatkala Zarah menikmati kehidupannya sebagai fotografer wildlife dan kekasih Storm yang sangat dipujanya. Sosok Firas seolah mati dan tak pernah ada selama itu. Barulah ketika bertemu Simon, Firas kembali hadir dalam diri Zarah seutuhnya. Ini sangat kontras dengan pernyataan Zarah ke Simon bahwa ia sama sekali tidak tertarik pada alien, ia hanya ingin mencari ayahnya.

Kedua, saya kecewa kenapa diberi hidayah kenikmatan sastra pada usia di mana saya hanya bisa menjumpai "PARTIKEL"? Meski semua seri sebelumnya dicetak ulang, saya tetap merasa telat menikmati "SUPERNOVA"

Sekian, ulasan subyektif saya.

Terima kasih.

Chat Room Bloofers