Minggu, 17 November 2013

Elegi Tepuk Tangan

Saya penasaran terhadap orang yang pertama kali bertepuk tangan kemudian menjadi kebudayaan turun temurun. Apa yang ia saksikan, pikirkan, dan rasakan hingga memutuskan untuk bertepuk tangan?

Secara etimologi, tepuk tangan berarti menamparkan kedua telapak tangan untuk menghasilkan bunyi. Bunyi tepuk tangan ini dalam sejarah beberapa bangsa ternyata berbeda. Bangsa Romawi kuno, misalnya. Mereka memiliki kebudayaan tepuk tangan untuk memberi penghargaan bagi sebuah pertunjukan. Lain halnya dengan orang Tibet yang mengartikannya dengan pendekatan mistik. Mereka melakukannya sebagai upaya mengusir roh jahat. Meski begitu, ada juga yang berpendapat bahwa tepuk tangan sebenarnya terinspirasi dari alat musik perkusi yang digunakan saat upacara umum orang Mesir kuno.

Peneliti di Universitas Hartford, Connecticut, Amerika Serikat, Yvette Blanchard mengatakan manusia bertepuk tangan karena “dibuat”, bukan sejak lahir.

Jika dicermati, tepuk tangan memiliki tugas mulia. Taruhlah Anda seorang seniman, pembicara, atau hanya orang biasa yang sekadar menyampaikan opini di depan umum. Suara kita terasa didengarkan dan diakui bila disambut dan diantar dengan tepuk tangan. Sebuah bentuk penghargaan luar biasa melalui aktivitas yang biasa-biasa saja. Sungguh mulia kita yang bertepuk tangan untuk suara-suara yang layak didengarkan dan dihadiahi penghargaan. Namun apa jadiinya, jika tepuk tangan itu kian bergeser dari landasannya? Rasanya, kita telah mengajak tepuk tangan bepergian terlampau jauh lalu lupa mengantarnya pulang.

Anda mungkin pernah menyaksikan sebuah acara kuis berhadiah, atau dalam beberapa kompetisi dan perlombaan. Sang pembawa acara kerap harus menentukan pemenang dari beberapa peserta melalui tepuk tangan. Perihal ini menunjukkan tepuk tangan dianggap sebagai sebuah tolak ukur sempurna dan sahih. Demi mendapatkan hadiah, kita rela melakukan hal-hal gila sembari mengemis tepuk tangan. Penonton seperti dipaksa tepuk tangan untuk menentukan yang terbaik. Saya berani bertaruh, tidak semua penonton yang tepuk tangan itu tahu untuk apa tepuk tangan ditujukan. Yang mereka tahu adalah nasib seseorang ditentukan oleh tepuk tangan. Tepuk tangan telah kehilangan obyektivitasnya. Bayangkan jika semua kompetisi menerapkan peraturan serupa. Lambat laun anak cucu kita tidak lagi mengenal pemenang sebagai orang yang terbaik. Mereka akan hidup dalam pemahaman bahwa seorang pemenang adalah pengumpul tepuk tangan terbanyak.

Saya pernah menyaksikan seorang ulama didaulat memimpin doa dalam sebuah perhelatan kampanye pasangan calon gubernur beberapa bulan silam di televisi. Ia naik ke panggung melafalkan doa dengan nada meringis. Kata-katanya pun dipaksakan puitis. Sementara itu, hadirin berpaling dengan kesibukan lain. Memang ada yang menadahkan tangan, namun lebih banyak yang sibuk berbincang, bermain dengan ponsel dan mengipas-ngipas wajah. Selepas memimpin doa, para hadirin mengantarnya turun dari panggung dengan tepuk tangan. Rupanya kita ini manusia mekanis. Kita terbiasa dengan orang yang naik dan turun dari panggung. Kemudian, kita lupa, bahkan cenderung mengabaikan penyampaian seseorang di atas panggung tersebut. Kemunculan seseorang di atas panggung ditafsirkan hanya sebagai dua aktivitas lazim: naik dan turun. Kedua aktivitas itu membuat kita merasa harus tepuk tangan. Padahal, melalui doa, kita mengakui kekuasaan Tuhan dan betapa kecilnya kita yang hidup dari permohonan dan harapan untuk dikabulkan. Sedemikian larutnya kita dalam euforia, hingga doa pun dianggap mesti diberikan gemuruh tepuk tangan. Imbasnya, doa kehilangan esensinya sebagai permohonan khidmat. Akibat tepuk tangan, doa telah digiring menuju ruang kemeriahan, bukan keheningan. Tanpa sadar juga, tepuk tangan menjadikan doa tadi terlihat sebagai tontonan, bukan komunikasi intim dan penyerahan diri manusia kepada Tuhan. Atau mungkin di mata kita, sang pembaca doa itu seperti seorang peserta “ajang pencarian tepuk tangan” yang tengah berupaya menjadi pemenang.

Masalahnya sederhana, kita terlena. Hanya karena tepuk tangan adalah bentuk penghargaan paling sederhana, mudah, dan sangat mendunia, kita malah lupa bahwa tidak semua hal pantas dihargai dengan tepuk tangan. Sungguh tepuk tangan kita semakin artifisial.

Ada sebuah jawaban nakal di kepala saya tentang orang yang pertama kali bertepuk tangan. Mungkin ia adalah seorang yang ingin bersuara, namun bisu. Satu-satunya kebaikan yang mampu ia lakukan adalah dengan kerja kedua tangannya. Namun dari semua buah tangannya, tak satupun didengarkan dan memperoleh pengakuan. Agar karyanya didengar lalu dihargai, ia pun membuat bunyi-bunyian dengan menepuk kedua telapak tangannya. Bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk dirinya sendiri.

Ketika budaya tepuk tangan terus terbawa arus kesalahpahaman, maka kita perlu menanyakan ini pada diri sendiri. Jika esok kita mati, relakah roh itu meninggalkan jasadnya, menghadap Tuhan dengan iring-iringan tepuk tangan?

Fadhli Amir
Aktor Kala Teater

Tulisan ini dmuat di kolom literasi Koran Tempo Makassar edisi Sabtu, 9 November 2013


Tidak ada komentar:

Chat Room Bloofers