Jumat, 31 Desember 2010

TITIK TERPENTING WAKTU

Entah energi apa yang tersimpan dalam 1-1-2011 ini. Saya tidak merayakan kedatangannya seperti orang-orang lain. Tapi, ada kekuatan yang menggerakkan jari-jari saya untuk menulis, seolah menulis sesuatu di tanggal ini adalah momentum yang tidak bisa dilewatkan.

Apa makna di balik waktu? Apakah perjalanannya hanya penting pada titik tertentu? Kita merayakan pergantian tahun, sama saja merayakan perjalanan waktu pada titik itu. Tapi kenapa hanya pada titik itu? Kenapa hanya pada titik-titik tertentu lainnya? Kenapa perjalanan waktu, perpindahannya yang terus menerus dan tidak pernah mengalami akselerasi hanya menarik perhatian manusia pada titik-titik tertentu?

Pergantian tahun sama sekali tidak mengganti peranan waktu, juga tidak menghilangkan esensinya, apalagi menghentikan perjalanannya, kenapa mesti dirayakan?

Apakah pencapaian manusia itu bergantung pada titik-titik tertentu dari waktu itu? Ataukah waktu itu hanya penting pada titik-titik tertentu?

Jika betul seperti itu, berarti selama ini perjalanan waktu dari detik ke detik, menit, ke menit, jam ke jam, hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, tahun ke tahun, dan abad ke abad, sama sekali tidak ada artinya. Perjalanan waktu sehari-hari yang membentuk angka yang semakin besar sama sekali tidak ada artinya. "Bagaimana dengan kemarin ketika kau hanya tidur seharian, melupakan kewajiban, mengabaikan keharusan, apakah karena waktu pada titik itu tidak penting bagimu?"

"Toh, ada pencapaian yang menunggu kita di titik itu, titik yang membuat waktu istimewa dan patut untuk dirayakan."

Maka,kita menginginkan pencapaian, dan mengabaikan perjalanan menuju pencapaian itu. Seperti kita yang merayakan tahun baru, kemudian melupakan waktu-waktu yang selalu penting untuk dihargai jauh sebelumnya dan entah setelahnya.

Senin, 27 Desember 2010

KANVAS

Saat ini aku memiliki kanvas, kanvas tanpa kuas, tanpa cat, juga tanpa buah pikiran. Kanvas ini kubiarkan kosong, karena kanvas putih ini adalah lukisan terindahku untuk mengawali tahun yang baru lagi. Hampir di setiap penghujung tahun aku melukis banyak mimpi, banyak cita, banyak doa, banyak calon pencapaian, tapi semuanya belum bisa membutaku berubah.

Pergantian tahun hanyalah perjalanan biasa dari sang waktu. Hanya membubuhkan kesempatan bagi orang untuk kembali menata mimpi baru, atau memutihkan harapan lama yang sempat usang karena tak sempat terjamah. Kemudian, aku lebih menyukai menitihkan air mata di penghujung tahun, agar sekiranya, aku mengerti betul bahwa semua yang terlewati adalah kegagalanku, kegagalan karena aku masih merasa kurang hidup,kegagalan juga karena aku sudah puas dengan hidup,juga kegagalan karena aku sudah merasa lebih dari hidup.

Kanvas putih di hadapanku, membiarkannya kosong adalah pekerjaan terbaik saat ini. Agar tak ada beban di kemudian hari, agar tak ada tumpukan mimpi-mimpi yang tak mampu terbangun, agar masih ada harapan untuk kembali membiarkan putih tetap putih, dan kosong tetap kosong. Kosong bukan berati tidak berisi.

Tahun ini aku akan menutup perjalanan dengan wajah kanvas yang kubiarkan memutih, aku hanya perlu sedikit senyuman untuk mengimbangi air mataku.

Aku bukan pemimpi, aku hanya seseorang yang menginginkan sesuatu. Bagiku mimpi dan keinginan berbeda, mimpi hanya mimpi yang berbatas pada alam bawah sadar saja, aku tak ingin mengkonotasikannya, maka keinginan adalah sebuah harapan dalam diri yang aku inginkan menjadi sebuah kenyataan, atau memilihnya sebagai takdir, jika aku bisa memilih takdir.

Kanvas yang putih kubiarkan tetap putih. Saat ini sebenarnya aku tengah melukis keinginan, keinginan untuk kosong, kosong selalu seimbang, tidak dominan pada satu arah, juga satu apapun itu. Maka aku melukis keinginanku untuk seimbang, semoga waktu mendatang, aku bisa menjadi manusia yang mampu memanusiakan diriku sendiri, kemudian seperti kanvas putih yang kosong, seimbang, berbicara tentang banyak hal, dan mampu menerima banyak warna.

Aku melukis keseimbangan yang belum bisa aku dapatkan, dan semoga bisa aku dapatkan. Semoga kalian yang berkeinginan mampu menyeimbangkan keinginan itu, terlebih aku yang nyata-nyata menginginkan keseimbangan itu.

Aku tak ingin bermuluk-muluk ria, mendaftar jutaan mimpi, kemudian mengabsennya satu-satu di waktu yang sudah aku rencanakan. Terkadang rencana membuatku tidak alami.

Baiklah, aku mengakhiri lukisanku, masih dengan kanvas yang kubiarkan putih, itulah citaku, itulah keinginanku yang semoga tidak akan berubah wujud menjadi mimpi.

Selasa, 21 Desember 2010

MATAR III

Aku menghabiskannya kali ini. Aku bermaksud mengakhiri kelancanganku menuliskan banyak aksara tentangmu. Matar, aku ingin rehat sejenak, rehat dari kebisingan otakku. Untuk hari ini saja, atau untuk sedetik setelah aku berhasil mengakhirinya.

Matar.....aku masih memelihara semua obsesiku, satu per satu obsesi itu sempat usang, namun aku bisa membuatnya kembali berkilau, tak juga terlalu berkilau, karena itu bisa membuatmu silau.

Matar....pertemuan kita selalu berati buatmu, tapi memalukan bagiku, memalukan karena aku tak mampu membuuahkan apa-apa untukmu. Aku tahu kau tak peduli itu. Seperlunya saja, tidak usah berlebihan, tapi kau selalu belebihan, Matar. Meskipun begitu, harus aku akui bahwa kali ini ada satu pengecualian. Ketika orang bijak mengatkan dengan kuantitas yang banyak, "Segala yang berlebihan itu tidak baik." Saat itu terjadi pengecualian untukmu. Semua hal berlebih yang kau berikan tidak pernah menyusahkanku.

Matar...haruskah aku mengumbar identitasmu di sini? Agar semua orang tahu betapa aku mencintaimu. Kecintaanku terhadapmu sebenarnya takdir, takdir yang aku inginkan, berbeda dengan kecintaanku pada yang lain, di mana aku menyamakan semuanya sebagai takdir yang mesti aku lakoni. Kau itu berbeda, Matar.

Matar.....aku tak pernah mengetahui apa yang terdampar di balik langit, juga yang tersirat di dalam kerumunan udara. Saat ini,aku hanya ingin menjadi atom-atom yang mampu mengkuadratkan diri membangunmu menjadi sebentuk yang utuh, kau utuh, seutuh cinta dan kecintaanku. Aku sengaja membedakannya, cinta itu pemberianmu, sementara kecintaan hanya keterbatasan rasa sebagai persembahan kecilku untukmu.

Matar.....aku menitihkan air mata yang tengah mendidih, mengelupaskan bentangan kulitku. Aku membiarkannya terasa pedih sampai bumi mengabaikannya. Sekarang yang menjadi bebanku bukan lagi perkara ketakutan, melainkan perhelatan dunia yang membuatku tidak hanya meninggalkanmu,tapi juga melupakanmu. Aku masih lemah, Matar, maka itulah yang aku pikirkan.

Matar...setidaknya sampai detik ini aku masih mencintaimu, semoga keyakinanku tetap terjaga sampai aku melupakan waktu, atau sampai aku melupakan sesuatu yang senantiasa mengindikasikan.

Matar....selamat, selamat karena kaum mu menjadi idola kaum ku. Matar....kau berbeda, kau tak pernah sama, kau dinamis.

Matar....kau hujan yang kugambarkan.
Matar....terima kasih telah melahirkanku.

DOA ORANG GILA

Tuhan....aku orang gila ingin berdoa. Doa ini sudah lama aku persiapkan.
Tuhan....hidup begitu mudah, mengapa manusia membuatnya sulit?

Tuhan...Engkau menyulitkan kemudahan agar manusia berusaha, mengapa manusia memudahkan seGala daya?

Tuhan.....hidup itu nyaman, mengapa manusia membuatnya penat?
Tuhan.....Engkau menyerawutkan kehidupan agar manusia mengenal syukur, mengapa manusia mengabaikan penderitaan?

Tuhan....hidup itu rasa, mengapa manusia mengejar kepuasan? Kepuasan bukan rasa, Tuhan, kepuasan itu penjajah, kepuasan tidak pernah memberhentikan kerja nafsu.

Tuhan.....aku orang gila ingin berdoa, doa yang sudah lama aku persiapkan.

"SEIMBANGKANLAH HIDUP KAMI"

MATAR II

Aku kembali dengan pertanyaan yang masih sama, kapan aku akan menjadi manusia? Oh, iya, maaf aku belum bisa menepati janji, aku berjanji tak akan berjanji lagi. Aku tidak ingin kau mengharapkan lebih padakau untuk sesuatu yang masih berada dalam ketidakpastian. Perjalanan waktu terasa sangat cepat, dan yang berhasil aku lakukan adalah menumpuk semua obsesi-obsesi kecil di kepalaku. Sekarang aku kewalahan menampungnya. Sempat terlintas untuk menguburnya dalam-dalam, tetapi aku mengingat pesan terakhirmu, "Jangan buang apapun yang sudah berada dalam bagianmu!"

Aku masih mengingat itu, Matar. terlebih lagi semua lafazmu yang bisa aku rekam baik-baik. Seandainya aku bisa merekam suara aliran darahmu, maka pastilah aku akan menyimpannya.

Oh, iya....ada satu hal yang selalu kuingat dari gerak bibirmu. Ketika aku menjadikan waktu sebagai pembelaan, kau dengan gesit menegurku. "Jangan jadikan waktu sebagai jawaban atas semua usahamu, tapi jadikan dia sebuah pertanyaan, masihkah kau berada di sana keesokan harinya?" Begitu katamu.

Matar.....kau masih di sana kan? Masih di depan pintu menantiku pulang membawa apa yang kau benamkan padaku? Jika iya, aku ingin bertanya padamu, jika aku berhasil meraih obsesiku, masihkah aku berada di sana pada waktu yang menjadi ketetapan? Atau masihkah kau berada di sana di saat aku pulang?

Aku mempertanyakan peristiwa karena waktu, Matar. Ketakutan terbesarku, waktu bukan hanya jadi pertanyaan seperti yang kau ajarkan, tetapi juga menjadi jawaban perpisaha kita sebelum keinginan.

Senin, 20 Desember 2010

MATAR

Setiap hari kita bertemu, tapi kenapa aku masih rindu?
Haruskan rindu itu berjarak waktu yang lama...?
Maka aku rindu merindukanmu, seperti saat ini, kala sebuah penetapan diriku yang semakin terobsesi untuk menjadi manusia

Lucu ya...aku menerawakan semua hal yang membuatmu menangis.

MATAR....kalau hari ini aku masih terobsesi untuk menjadi manusia, itu karenamu, karena aku masih belum bisa mengobsesikan dirimu, maafkan diriku, sepertinya rasa cinta itu tak lebih dari takdir buatku. Pertemuan kita selama ini aku jauhkan dari pemikiranku, karena aku sudah lama memahaminya.

MATAR.......kalau kau membaca pesan ini, biarkanlah lagu itu menemanimu, kemudian secangkir teh yang aku seduh dengan obsesi kemanusiaanku, hanya itu yang bisa aku sisipkan di setiap waktu luangmu.

MATAR....aku semakin sering menuliskan pesan untukmu, pesan yang aku tak tahu kapan kau akan membacanya. Aku menuliskannya dengan keyakinan kau akan membacanya jika obsesiku menjadi manusia bukan hanya bahan tertawaanmu.

MATAR....aku sudah melupakan wajahmu, aku begitu mudah merusak bingkisan itu, aku merahasiakan hatiku untuk bisa aku buka ketika sudah merasa tepat.

Sekarang aku berada di tempat yang hanya ada satu cahaya, yakni jiwa-jiwa kesepian akan sebuah penerapan kemanusiaan. Aku masih belum bisa menuliskan namaku dengan baik, makanya aku menyamarkan alamat pesanku kepadamu.

MATAR, aku masih berusaha menjadi manusia, manusia yang mampu memanusiakan manusia, bukan sekedar fisik yang menjadi kebanggaan.

MATAR...haruskah setiap saat aku mengulangi kata cintaku padamu? Aku tak mau mencintaimu berlebihan, secukupnya saja, agar tidak hambar tidak pula membuatku terlalu puas, cukup itu sejahtera, MATAR.

MATAR....aku akhiri dulu, aku bahkan belum tahu tujuanku menuliskan ini untukmu
Tunggu aku dengan obsesi yang mati!

KOMPENI

Setujukah Anda kalau saat ini dan sampai waktu yang tidak ditentukan, manusia masih diselimuti penjajahan suasana?

Terkadang,bahkan sering kita mengalami disposisi batin, disfungsi logika, juga manuver gagal kata hati. Suasana sangat kejam mendalamai sampai merasuki kebiasaan. Hari ini kita sedang nyaman sendiri, besoknya bisa saja suasana mengabari kita tentang kebersamaan. Hari ini ideologi sangat menjanjikan menuntun konsistensi, besok, itu semua tidak ada artinya.

Hari ini jatuh cinta, mungkin suasana mendukung, besok, ketika suasana tidak mendukung, cinta itu bisa berubah menjadi rasa bosan.

Seorang ayah tengah menikmati lagu jazz classic di pagi hari. Putranya menghampiri, menggubris, "Lemes banget, Pa, pagi-pagi itu cocoknya dengerin lagu-lagu yang up beat, biar semangat." Sang ayah tersenyum setelah menyeruput kopi tubruknya kemudian berujar santai. "Orang kalau mau semangat gak mesti dengerin lagu up beat, lagu mellow aja bisa jadi penyemangat, tegantung bagaimana kita menyikapi lagu itu, mentransfer energi di dalamnya menjadi segumpal semangat, jangan mau dijajah suasana!"

Saat ini, apakah kita masih dijajah suasana? Jika iya, mari kita meproklamasikan kemerdekaan kita darinya

Minggu, 19 Desember 2010

INCOMPLETE LETTER

(...........................................................)
a....k....u....

i........n......g......i.....n......

b........e......r......h.....a......r.....g......a.......

d.......i......m......a........t......a.........m.......u.......

(...........................................................)
s.......e......b......e........l........u.......m.......

s.......e......t......e.........l........a.......h........

m.......e.......n........j........a.......d......i......k......a.....n......k....u...........

S........E.......J......A........R........A...............H...........

Jika penghargaan itu salah, jadikan ia tak berharga.....

DARIPADA

Selalu ada pilihan di antara pilihan, jika semua pilihan tereliminasi dan menyisakan satu yang mesti, maka pilihan itu akan menjadi lebih baik. Lebih baik begini, daripada begitu. Hidup ini cukup bahkan lebih jika kita mencintai daripada itu.

Hari ini saya hanya bisa makan dua kali sehari, tidak apa-apa, daripada hanya satu kali sehari. Besok mungkin cuma sekali sehari, tetap saja tidak apa-apa, daripada tidak makan sama sekali.

Lagi, suatu hari saya tidak bisa makan sama sekali, tidak apa-apa, daripada saya tidak bisa minum juga. Kemudian, saya tidak bisa melewatkan apa-apa ke tenggorokan juga lambung saya, tidak apa-apa, daripada tidak mampu bernafas.

Selalu ada perbandingan dengan hal yang lebih kecil, maka kita akan merasa cukup atau lebih.

Bagaimana dengan ini....?

"Saya tidak bisa hidup lagi sedetik setelahnya."

Lalu arwah saya berbisik pada jasad yang sudah kesepian,"Tidak apa-apa, daripada kamu hidup berlumur dosa."

AKU GILA

Aku gila, dan aku sadar. Kesadaranku bertumpu pada keadaan psikologisku yang orang sering menyebutnya gila. Gila sebagai sifat dengan aksi yang tidak wajar, jauh dari kelaziman. Aku berbeda, maka aku gila.

"Whuahahahahahahaha......aku berteriak di tengah orang-orang yang diam, diam karena entah, entah karena tidak tahu, atau menyembunyikan "tahu" nya. Aku melantangkan suara, suara yang cukup lama terkubur dalam angan-anganku.

Lalu, mereka meneriakiku, "Kamu gila....!!!"

Tidak apa-apa, setidaknya aku berhasil membuat mereka bersuara. Selanjutnya, nafasku berteman dengan nafas-nafas mereka yang kembali diam. Kali ini sudah samar alasannya, mereka takut salah. SALAH....? Bukannya itu bagus, supaya kau kenal dengan pencapaian yang namanya BENAR. Lagipula, dalam kebenaran manusia, pasti terselip kesalahan, kesalahan dalam bahan baku,pengolahan, dan proses pelepasan.

Aku meneruskan kegilaanku, kegilaan yang aku sadari. Aku menertawai perutku yang masih miskin. Aku terbahak-bahak dengan badan yang semakin kurus.

Lalu, mereka meneriakiku, "Kamu gila....!!!"

Tidak apa-apa, setidaknya aku kembali berhasil menyuarakan mereka. Hal yang aku lakukan memang terbalik, aku menginginkan pandanganku hanya dari mataku saja, kemudian aku mengabarkannya pada mata-mata lain yang masih belum bisa memandang pandanganku.

Waktu menunjukkan pada kegelapan, lampu-lampu jalan terbangun seketika bermaksud memberikan penerangan. Lantas, aku berteriak,"Kenapa gelap sekali?"

Lalu, mereka meneriakiku lagi, "Kamu gila....!!!"

Kali inI,aku sudah bosan, aku berhasil membuat mereka bersuara, tapi mereka hanya bisa mengatakan itu, "Kamu gila....!!!". Siapa yang sebenarnya gila?

Kegelapan bukan semata-mata persoalan cahaya, akan tetapi di mana kau menjadi buta akan pilihan, keputusan, kebijakan, tidak mampu membedah perasaan. Cahaya ada di mana-mana, tapi akan menggelapkanmu tentang sudut yang tidak tersentuh pembaharuan, tidak tersentuh kelengkapan, juga tidak tersentuh keharusan. Kau merasa terang, tapi dengan sendirinya menggelapkan pemikiranmu tentang apa itu terang. Terang soal kebersamaan, bukan perseorangan. Suaraku mungkin hanya seorang, tapi aku peruntukkan kepada orang banyak yang masih sebagian, juga sebagian yang terlampau banyak.

AKU GILA...................

kenapa tidak ada yang berteriak? Aku sadar aku gila, dan aku mengakui itu. Mengapa kalian tidak berkomentar? Kalian meragukan kejujuran juga kesadaranku bahwasanya saat ini aku memang gila...?

Kalau begitu, aku bangga menjadi orang gila, karena mata, telinga, hidung dan batinku mampu menjangkau banyak dunia.

Dunianya hanya bisa direngkuh oleh orang gila, dan pada saat itu, aku akan meneriakkan suara padamu, "KAMU GILA....!!!"

Sabtu, 18 Desember 2010

BAIKLAH

Aku hancur maka tertawakanlah, setelah kau puas maka bangunkan aku. Jamahlah setiap lukaku, hentakkan saja, ludahi saja, jangan beri celah sedikit pun untuk rasa perih yang terlepas.

Ketika kau terbangun dan matamu masih bergerak bias, semalam kau baru saja bermimpi. Mimpimu itu tentang dirimu yang bermimpi bahwa mimpimu untuk indah di mata orang lain hanya mimpi yang hanya bisa diimpikan, kemudian kalau pun diwujudkan, hanya bisa dalam mimpimu.

Suatu sore seorang pemuda yang masih perlu banyak belajar untuk membaca, menulis, kemudian memahami apa itu keindahan, ada dan sedang mengadakan jiwanya di sudut yang pasti menyendiri.

Dia seorang pemuda yang ingin dipandang indah oleh orang lain, ingin sedikit diberikan tepuk tangan oleh orang-orang sekitarnya. Sepanjang hidupnya masih saja sebuah perjalanan teriakan, celaan, tertawaan, tanpa pengakuan, tanpa seorang pun yang mau berdiri menyebutkan namanya.

Sepanjang hidpnya memang hanya hal yang masih biasa. Makannya juga biasa, nasi dan lauk biasa. Minumnya air putih, masih biasa kan? Pakaiannya jeans dan kaos oblong, biasa.......

Tingkah lakunya masih biasa, hidup biasa, mengerjakan pekerjaan yang biasa, mengisi waktu luangnya dengan hal yang biasa, lalu kenapa kalian menertawakannya? Kenapa kalian tidak bertepuk tangan saja untukku? Untuk aku yang sudah berhasil membuat kalian tertawa puas, mengomentari setiap lekuk tubuh lemahku, nasib yang belum sepihak dengan harapanku, kehidupan yang tak seluarbiasa dengan kehidupanmu.

Aku selalu bisa membuatmu terpental-pental karena merasa geli terbahak-bahak. Hari-harimu selalu saja indah karena aku mengisinya sebagai bahan baku candaanmu.
Kenapa tidak memberiku penghargaan sedikit pun? Sedikit saja, setidaknya kau menyebut namaku dengan lengkap. Padahal setiap detikmu aku membuatnya berwarna dengan wajahku yang entah mengapa kau selalu tertawakan. Saat itu yang aku tahu hanyalah mungkin aku pembawa kebahagiaan, dan penerima semua kesedihan. Aku menampungnya, hanya karena aku masih berharap kau menyebutkan namaku dengan lengkap, dan memanggilku "kawan".

Baiklah, saya jadi bahan tertawaan Anda, tidak ada saya, tidak ada yang Anda cela, terus tidak ada yang bisa Anda aniaya, maka kehadiran saya hanya pelengkap bagi Anda, tidak ada apa-apanya, maka izinkan saya mengatakan "Saya Jenuh, I have no privacy. Saya mau menertawai wajah saya dulu, supaya saya bisa tahu berapa kadar keindahan dalam diri saya sehingga kau begitu menertawaknnya.

Jumat, 17 Desember 2010

.......................................

Baru saja saya membaca blog teman yang belum bisa menulis tentang senyum ibu, akhirnya hanYA menulis tentang ibunya yang seorang penjahit. Saya jadi ingin menulis tentang ibu saya juga, tapi sangat sulit menentukan kombinasi abjad yang tepat untuk itu.

Kata ibu terlalu sakral bagi saya, butuh ilham mahadahsyat untuk berani menuliskannya. Tapi kali ini saya tidak mau gagal. Baiklah, ibu....kalau melihat tulisan ini, jangan tertawakan saya.

".........................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................."

karena titik-titik ini lah yang akan saya isi kalau memang nanti saya bisa mendefinisikan mengurutkan,menjumlahkan, kemudian menyebutkan satu per satu pemberianmu.

Rabu, 15 Desember 2010

DEFINISI CINTA

Baiklah, kenapa cinta menjadi topik yang tidak pernah usang? Hampir setiap blog yang berbasis diari pasti memposting sesuatu, beberapa suatu, atau banyak suatu tentang cinta, termasuk saya.

Membingungkan memang, bila hal yang sifatnya abstrak harus didefiniskan. Cinta adalah anugerah, kata para pujangga. Cinta juga bisa membuat kita jadi pujangga dadakan. Cinta bisa bikin gila, melakukan hal-hal bodoh.

Cinta tak butuh definisi, tidak perlu wujud, tidak perlu aksi untuk menggambarkan. Hanya satu yang dibutuhkan cinta, HATI. Cinta bukan serumit mengatakan, beromantis ria, berkorban sedemikian rupa, tapi hanya sesederhana merasakan, menikmati dan memaknai perasaan itu. Maka, semua perbuatan kita atas nama cinta bukan pencapaian.

"Aku mencintaimu."
"Apa alasannya?"
"?????????????"

Mengapa cinta harus diberikan alasan?

"Aku mencintaimu karena aku suka caramu tidur, caramu makan, caramu pakai sepatu,caramu.....karena kau cantik...karena....."

Maka, bila semua "KARENA -KARENA" itu menghilang, apakah kau masih mencintainya?

"Aku mencintaimu, kau bisa melihatnya dengan semua pengorbanan yang aku lakukan, semua itu demi kau."

Kalau ada aksi atas dasar cinta itu bukan pembuktian, tapi hal yang secara otomatis dilakukan karena kita merasakan cinta, begitulah kekuatannya. Jika ingin membuktikan cinta seseorang, berarti kau gagal melihat cintanya, juga gagal membuatnya mencintai.

"Aku mencintaimu, aku tidak tahu kenapa?"

"Yang aku lakukan bukan sebuah kesadaran, apalagi rencana."

Itu baru cinta...

Betulkah itu baru cinta? Bagaimana bisa mendefiniskannya?

TMT

Maafin gue masih jadiin nama lo sebagai password akun social network gue. nama lo masih akrab di jari-jari gue kalo lagi ngetik, juga deket di pikiran gue kalo lagi mengkhayal.

Maafin gue juga, karena gue masih ngebenci kekecewaan yang lo wariskan ke gue. Tapi gue seneng bisa kecewa, karena dengan itu, gue bisa tahu kalo salah satu bahan dasar pemikiran gue di waktu-waktu tertentu adalah lo untuk ngebahas kenapa gue kecewa, untuk apa, dan dampak kedepannya?

Maafin gue, karena tatapan mata yang gak ramah lagi. Membenci ternyata cara yang nyaman buat gue untuk bisa memelihara ingatan tentang lo.

Maafin gue, karena gue masih pengen hidup, bukan tanpa lo lagi, tapi dengan lo di dunia lain.

Gue maafin lo yang gak tau kapan mau meminta maaf.

TOLONG, biarkan aku meminta MAAF atas ucapan TERIMA KASIHmu

Senin, 13 Desember 2010

ANU LAGI

Ngelanjutin postingan sebelumnya, waktu gue lagi mati rasa. Waktu itu hati gue sama sekali gak berekspresi. Statis, diam. Apakah statis dan diam itu gak dinamis? Kalau gak, berarti statis dan diam itu nol. Walaupun hati gue statis dan diam, tapi gue tetep sadar kalo waktu itu gue lagi MATI RASA. Tapi kalo bener statis dan diam itu dinamis, kenapa gak ada perkembangan sama sekali....?

MASIH PUSING.....

Sekarang gue udah sembuh dari MATI RASA. Gue juga sadar, kalo baru saja gue keluar dari penyakit itu. Keluar kandang singa, masuk kandang bapaknya singa. Bukannya jauh lebih nyakitin, tapi justru rada mendingan.

MULAI KELIHATAN KULITNYA

Ini fakta dari opini yang gue keluarin barusan. Sebenernya gue bersyukur ngidap penyakit ini, bad mood. Sekarang jauh lebih baik dari sebelumnya. Hal yang paling mendasar adalah gue bisa ngerasain sesuatu, paling enggak, hati gue sedikit beraktivitas, ya...meskipun itu harus ngerasain hal yang gak nyaman. Daripada gak ngerasain apa - apa....

ISINYA NONGOL

Akhirnya gue sampai juga di main venue. Esensi kerja hati mulai tergambar dengan jelas. Bad mood emang lebih baik dari mati rasa. Gue bisa belajar banyak hal dari satu objek ini. Hal-hal apa aja yang bisa ngebuat lo gak nyaman, sehingga terdefinisikanlah bahwa saat itu lo lagi bad mood. Mengkaji bad mood gak hanya nopang dagu, ngeluh sana sini, kemudian nyari suasana baru. Gak perlu langsung beranjak dari bad mood itu, nikmatin aja dulu. Toh, bad mood gak setiap detik datangnya. Menikmati bad mood kayak nikmatin kopi pahit, pahit tapi gurih,gurih karena hati kita sudah mulai bekerja untuk menangkap rasa. Kalau setiap saat pengen good mood, better mood, atau best mood, gak seru, bad mood nya bakal gak kepake dong.

COBA "ANU"

Cobalah untuk menghargai perasaan bad mood. Karena dari bad mood kita bisa belajar bahwa gak sepenuhnya hidup kita itu nyaman, dan betapa harganya kenyamanan itu, lebih dari yang lebih-lebih.

ANU....

ANU.... Gue cuma mau bilang anu, untuk lo yang gak bisa meraba hati, untuk lo yang masih membenci bad mood, untuk lo yang masih dikurung mati rasa, untuk lo yang selalu mengejar yang enak-enak aja, untuk lo yang di otaknya cuma satu pencapaian, yang penting nyaman.

ANU LAGI...

Anu lagi, gue akhirnya bisa bilang anu lagi untuk lo yang masih belum mengerti apa itu anu, bagaimana itu anu, dan kenapa anu menjadi kata ganti untuk sesuatu yang masih ambigu, tidak diketahui, terlupakan. Anu lagi untuk lo yang gak bisa menghargai suasana, situasi, kerja keras waktu, juga kerja keras hati lo.

Anu lagi...

Untuk kita yang serba tidak tahu, selalu mengeluh dengan keadaan, anu melulu untuk kita yang mungkin belum bisa menikmati hidup, karena di otak kita hanya tersimpan satu kata, anu....

Dan, anu ngebuat kita bingung, karena anu jadi persepsi sesuatu yang gak penting, gak mesti ada, padahal harus ada, dan lo butuh keberadaannya.

ANU

Hari ini gini, besok ngapain lagi? Kalaupun ada rencana, tetep aja gak menarik.
Akhir-akhir ini emang berasa gak ada yang menarik dalam kehidupan gue. Flat....

Improvisasi sedikit, ataupun banyak tetep aja gak ngaruh. Nulis untuk sekedar update blog aja jadi asal-asalan. Dulu, gue semangat banget nulis. Sekarang berasa biasa aja. Diksi bukan lagi pertimbangan.

Setelah makan, kenyang, entar lapar lagi. Gue ikutin siklus aja, ngejalanin peran yang udah dikasi sama Sang Sutradara tunggal. Semua percobaan gue kayak udah diatur gitu aja, gak luwes lagi. Bebas sih, bebas, bahkan gue udah kelewat bebas, tapi tetep aja kayak dipingit. Dipingit takdir, dipingit apalah, gak tau juga.

Mungkin butuh rehat sejenak untuk menjernihkan pikiran. Tapi, semasa rehat, gue ngapain ya....? Khawatair bakalan dipingit lagi sama ketidaktahuan gue mau ngapain, kali ini lebih tepatnya, gue dipingit sama satu, kejam banget dia, MATI RASA

Minggu, 05 Desember 2010

"CRY" AS OUR IDENTITY

Aku manusia, maka aku menangis. Bila kau membenci kesedihan, maka dengan sendirinya kau telah membenci dirimu sendiri, membenci penciptaMu, membenci kehidupanmu.

Banyak manusia yang sangat bereuforia saat kebahagiaan datang menghampirinya. Mungkin itu sebuah pencapaian, tujuan, atau justru kebutuhan pokok. Adakah di antara kita yang menjadikan kesedihan sebagai tujuan, kebutuhan, atau justru kesedihan itu sebuah pencapaian kita?

Mengapa menolak kehadirannya? Kesedihan bukan sebuah kesalahan, juga bukan musuh yang spontan kita membencinya. Mengapa kedatangannya selalu membuatmu lemas tak berdaya, bukankah tamu harus disambut dengan senyuman? Meskipun harus berair mata.

Mengapa kesedihan perlu diperhatikan, mengapa kita bisa saja bersyukur dengan kehadirannya?

Kesedihan bukan semata-mata perasaan yang membuat kita menangis darah, seperti terhempas dari kehidupan nyata, kemudian terkurung pasrah dalam ruang kecil tanpa udara, tanpa apa-apa, hanya kau dan air matamu.

Pernahkah kau berpikir? Kesedihan itu bisa saja menjadi energi bagimu untuk melanjutkan hidup, menata semua kekeliruan rasamu tentang kehidupan, juga meneruskan obsesimu menjadi sebuah pencapaian.

Kesedihan sebuah penolong ketika kau terlarut dengan hiruk pikuk kebahagiaanmu, menjadi pengingat ketika kau lupa bahwa kau punya air mata. Kesedihan membuatmu kuat karena setelahnya kau akan berhati-hati melangkah.

Maka, nikmatilah kesedihanmu selagi kau masih diberi kesempatan untuk bersedih. Kenikmatan bersedih bukannya terus-menerus menepikan diri di sisi senyapnya malam, mendengarkan lagu-lagu melow, merokok, begadang berhari-hari, tanpa melakukan apa-apa. Menikmati kesedihan adalah berbahagia akan kedatangannya karena baru saja kau diberi segenggam kesempatan besar untuk belajar tentang keabstrakan rasa, kemajemukan karakter, kekejaman kenyataan, dan kebijakan pilihan. Seusainya, kau akhirnya mampu bersyukur karena baru saja melengkapkan identitasmu sebagai seorang manusia yang memang layak untuk bersedih.

A:"Kenapa nangis? Dasar cengeng."
B : 'Bukannya cengeng, cuma memanfaatkan fasilitas air mata dari Tuhan, itu tanda kesyukuran."

Ditulis di warnet ketika hati lelah berbahagia.

Makassar, 5 Desember 2010

Senin, 25 Oktober 2010

TRUST ME, I'M LYING

Aku jujur,aku berbohong. Aku berbohong, tapi aku jujur. Yang mana yang bisa dipercaya...? Kejujuran atau kebohongan?

Dalam kasus ini, kejujuran itu adalah kebohongannya, akan tetapi kebohongannya menjadi sebuah kejujuran besar. Ketika manusia mengakui sebuah kebohongannya, maka saat itulah dia telah menafsirkan sebuah kejujuran yang luar biasa. Kemudian maaf menjadi pahlawannya.

Setiap kebohongan selalu dibarengi oleh kejujuran hati. Setiap kata yang terucap dan berbau kebohongan, di saat itulah hati mengakuinya bahwa inilah sebuah kebohongan dan dia telah jujur pada sang empunya ruh.

Percayalah, aku sedang berbohong....! Aku mengurai semua kepalsuan agar terlihat asli di hadapanmu, kemudian senyawa-senyawaku bergulat, menumpuk ribuan titik di dalamnya, membentuk garis yang merumuskan satu teori, kebohongan adalah kejujuranku.

Aku telah banyak berbohong, mengumbar kata-kata salah, tak sejalan dengan persepsi batinku, merajut mimpi yang menurutku masih bias, bahasaku adalah bahasa kebohongan, tapi aku jujur tengah berbohong kepadamu.

Masih ambigu? Katakan ini pada orang-orang terdekat dan terjauhmu! Sebuah kejujuran bukan hanya melulu kepolosan, tapi semurni sebuah pengakuan, pengakuan tentang apapun yang sebenarnya, termasuk kebohongan.

Ketika kau membahasakan satu kata yang tak aku mengerti kemudian aku mengiyakan, setelahnya aku mengatakan padamu, "Aku berpura-pura mengerti perkataanmu", itulah kejujuranku.

Mendung sempat membohongiku ketika dia menampakkan kegelapan di pandanganku, saat itu aku menanti titik-titik air mengeroyok alam dan sekujur tubuhku, tapi kekecewaan aku telan baik-baik, karena hawanya pun tak terasa. Kemudian setelahnya, dia membahasakan dengan abstrak kepadaku, dia telah berbohong, tak ada hujan di mendung saat itu, itulah kejujurannya, dan aku salut pada pengakuannya.

Semua memiliki pertanda, namun alamat sebenarnya akan kau temukan ketika kau menjumpai kenyataan itu terparkir di halaman rumahmu untuk kau persilahkan masuk bertamu dan menyajikannya hidangan teristimewa.

Percayalah, aku berbohong kepadamu, karena hanya sebatas itulah kejujuranku.

Makassar, 25 Oktober 2010

Minggu, 24 Oktober 2010

CATATAN MIMPI

Bukan perpisahan yang melemahkanku, tapi kenyataan yang harus membohongi asaku untuk kesekian kalinya. Catatan ini aku buka dengan pintu di mana namamu sudah menjadi kuncinya. Dulu, ketika asaku terhadapmu masih ada, sekarang ketika asaku terhadapmu masih terpampang, sekarang dan nanti, ketika asaku terhadapmu masih ada dan tak akan pernah aku ganggu gugat lagi.

Kemunafikan harus dilumat oleh persepsi batinku yang masih merasakan kau mempengaruhi hidupku, entah itu melemahkan atau justru menguatkan. Ada satu hal yang membuatku merasa lebih hidup, yakni ketika aku berhasil mentransfer semua kekayaan hatiku padamu, bahkan sampai kau menganggap itu masih terlalu miskin bagimu.

Catatan-catatan yang tak pernah aku habiskan. Tersimpan begitu rapi dalam buku yang kurangkai begitu lama. Aku tak membutuhkan waktu lama untuk mengatakan aku mencintaimu, karena sekarang, besok, atau sampai hari-hari setelahnya, keadaannya akan tetap sama.

Terlalu sempit bila menerjemahkanmu ke dalam bahasa yang bisa ku pahami, bagiku kau sangat luas, seluas keterbatasan pandanganku. Terbukti, sekarang aku tengah menertawai kesedihanku sendiri. Bukankah itu tidak penting bagimu?

Aku tak mau menyebutkan namamu. Bagiku, namamu terlalu mudah untuk disebutkan, dan aku tak mau mengumbar kemudahan itu, biarlah itu menjadi sarapan pagi ribuan kesulitan. Sekarang, kau sudah menunjukkan pelabuhanmu padaku, aku merestui itu.


Pelabuhan itu adalah tempat yang sering aku kunjungi. Dia yang akan mengantarkanmu sampai ke rumah. Tempat berpulang yang aku yakini hanya dia yang pantas menjadi tamu mu.

Catatan ini memang untukmu, untuk hari-hari yang semoga kau lupakan, dan bisa aku letakkan rapi di memoriku. Tak akan pernah aku sampaikan padamu, karena itu tidak ada faedahnya sama sekali untukmu, aku benci memberimu sesuatu yang tidak berguna.

Kau penting, kau kebutuhan, tapi aku sudah kenyang menyantap pemberian tak terbalasku. Itu yang aku harapkan, setidaknya aku telah belajar mencintaimu tanpa alasan, tanpa tujuan, tanpa penjelasan, hanya dengan izin Tuhan, sebatas itulah aku mencintaimu.

Berbahagialah dengan pelabuhan yang kau tuju. Sudah cukup manis pertemuan kita selama ini, aku mempunyai tempat yang jauh lebih luas daripada dunia untuk meluluhkanmu, dialah mimpi-mimpiku. Di sanalah kau tidak bisa menolakku, meski dengan semua dayamu. Kau hal yang sangat penting dalam hidupku, sekarang alurku berubah karenamu, dan aku berbahagia telah menemukan kepedihan ternikmat dalam jejakku bersamamu, hati yang tak pernah bisa aku taklukkan.
Makassar, 24 Oktober 2010

Kamis, 23 September 2010

SILUET

Sayat-sayat runyam terbunuh oleh pertahanan mimpi
Setelah sekian lama terbuai dalam khayalan, ternyata membuatnya tidak begitu rumit
Sebutir pasir sanggup dia genggam menuju tekstur terlembut dan bentuk terkecil
Atom-atom pun menyerah

Inilah siluet hidup. Hal yang dikesampingkan justru lebih melesat ke depan daripada raut wajahnya. Kemudian sayat-sayat runyam itu kembali menafsirkan visual-visual buta, kali ini matanya menjadi lebih peka, tidak manja akan cahaya. Karena baginya kini, gelap justru menerangkan langkahnya.

Kau yang selama ini memandang hidup dai sisi depan hanya mendapatkan sebagian, bahkan tidak ada. Sisi samping siluet sayat-sayat runyam ini membuatmu lebih nyaman mendera kepingan kenanganmu. Tak juga istimewa, namun lebih membuatmu gesit.

Sayat-sayat runyam kini menyiluetkan dirinya, tidak menggantungkan pada wajah, pada hati, pada teori, pada kenangan, pada hal-hal yang membuatnya berbeda. Berbeda tidak perlu berlebihan, berbeda adalah peka, menelusuri semua kebijakan titik.

Maka sampailah ia di ujung jalan di mana sayat-sayat runyam akan mengkahiri siluet hidupnya. Dia tidak mengajak siapa-siapa, hanya meminta izin untuk pergi duluan, kelak kami akan menyusul.

Dedicated to my beloved brother,Almarhum Kadri Amsyar, S.S

Selasa, 31 Agustus 2010

KUCING VEGETARIAN

Ketika kucing menjadi vegetarian...
Harga ikan semakin mahal, apa mungkin kucing-kucing itu menjadi vegetarian?

Hal-hal naluriah, alamiah, dan kodratri, bisakah semua itu berubah seiring modernisasi, tuntutan zaman, atau kebutuhan pasar?

Jika kucing-kucing makan sayuran, rumput, dan tumbuhan lainnya, para petani memiliki musuh baru selain babi, kambing, kuda, sapi, dan hewan-hewan lain yang sering menggerecoki kebunnya.

Imajinasi liar ketika kucing berubah menjadi vegetarian..

BiSa saja, mungkin, entah? Hanya Tuhan yang punya kuasa. Manusia yang seringkali menyalahi kodratnya, mengapa hewan tidak melakukan itu? jika tidak, berarti sekali lagi, hewan jauh lebih baik daripada manusia dalam hal mensyukuri takdir dan anugerahNya

Rabu, 25 Agustus 2010

Laron vs Kunang-Kunang

Jika ada kata serupa, maka analogi yang aku gambarkan adalah laron dan kunang-kunang.
Keduanya tak bisa lepas dari cahaya. Bedanya, laron hanya memburu cahaya, pergi ketika gelap mematikannya, sementara kunang-kunang, membawa cahayanya ke mana-mana.

Jika ada kata serupa, biarlah aku menjadi kunang-kunang.

Senin, 23 Agustus 2010

PULANG

Harus apa aku sekarang ini?
masih aku cari....

Sesaat setelah menyelesaikan hajatan, harus apa aku setelahnya?
Masih mencari............

Membuat perencanaan dan jadwal kegiatan
harus apa aku setelah menjalaninya...?

Pulang....
Pulang menjadi pekerjaan terakhir ketika tak ada lagi rencana kegiatan di kepala. Mungkin melepas lelah, rindu pada rumah, tuntutan tanggungjawab pada anak dan istri, sudah waktunya pulang, atau justru pulang itu ada dalam jadwal kegiatan kita...? Entah

Niat apapun yang melandasi sebuah kepulangan, hanya ada satu aksi yang ditimbulkannya, kembali ke posisi awal.

Dia: "Aku tak mau pulang."
Aku: "Kenapa?"
Dia: "Aku tak punya rumah."
Aku: "Pulang tidak mesti menuju rumah, dan pulang tak membutuhkan rumah."
Dia: "Lalu, bagaimana caranya aku pulang?"
Aku: "Hanya menuju ke tempat yang bisa membuatmu merasa di sinilah kau bermula."

Kemudian dia pulang setelah nafasnya terhenti.
Aku: "Semoga kepulanganmu menyenangkan."

Makassar, 23 Agustus 2010

Di sebuah warung kopi yang membuatku lupa bahwa aku akan pulang

Senin, 09 Agustus 2010

Dear My Memory

Dear ,
My memory
Terkadang aku merasa hidup ketika memejamkan mata. Merespon setiap ikatan yang masuk berebutan dalam ruang memoriku. Seperti saat ini, di dalam kamar yang kusinggahi kala penat. Terhimpun beribu peluh dalam bentuk cerita-cerita. Dia bertutur seperti dongeng penyambut lelap. Merangkum semua ingatan memang mengasyikkan, walau itu menyalahi idealisme berbagi. Hal-hal absurd menjadi sebuah kelaziman nalar dan terpukau olehnya. Saat ini, jemari hanya mampu menyolok kedua bola mata agar terjaga dalam situasi terpejam. Mungkin hangat, sehangat tungku raksasa di tengah kutub. Kemudian, hari-hari baru menempatkanku juga dalam dunia baru, orang-orang baru, aktivitas baru, yang membuatku merasa jadi orang baru, bahkan lebih parahnya lagi terkesan asing, dan aku menikmati keasinganku. Suatu saat jika aku kembali membuka halaman-halaman lampau, maka aku merasa jadi orang tersisih, tanpa identitas, dan tanpa pribadi. Hanya raga yang berdiri di tengah lingkaran, jiwa entah berwisata ke mana.
Untuk ikatan-ikatan itu, aku harus meminta maaf karena merenggangkannya, karena aku merasa sesak, hingga ke lambung dan persendianku. Aku tak bisa bergerak, bahkan melangkah setapak di depanku. Ikatan-ikatan lama sudah usang, bukan dilahap masa, namun termamah oleh dinamisme pribadi. Sebuah perkembangan bukan bermaksud melupakan, hanya memberikan wadah lebih untuk visual baru.
Aku tidak perlu menanyakan apakah aku salah atau menyalahimu? Karena yang kujalani bukan sebuah kebenaran yang bertentangan dengan kesalahan, namun niat yang sudah kubangun jauh sebelum aku mengenalmu. Sekali lagi, aku tak di sampingmu, namun aku begitu fasih menyebut namamu, bukan menghafalmu, namun cukup memahamimu. Catatan-catatan ini untuk ikatan lama yang sementara kurenggangkan. Suatu saat aku akan kembali padamu meminta kau mengikatku seperti dulu.
Makassar, 9 Agustus 2010

Minggu, 25 Juli 2010

SHAREISM

Hidup untuk berbagi. Banyak yang menyalahi itu namun ternyata menjalani. Status makhlk sosial bukan isapan jempol semata. Sungguh kuasa Sang Designer utama. Sebelum menjadi penghuni dunia dan masih menumpang dalam rahim, manusia sudah merasakan hasil dari berbagi, ketika sang ibu membagikan nutrisi yang dia serap bukan untuk dirinya sendiri. Berlanjut ketika sudah hijrah ke wadah yang lebih luas dan megah, maka kewajiban untuk berbagi mulai diperhitungkan.
Saya pernah melihat sebuah iklan salah satu produk di TV. Ada dua orang balita yang sedang makan es krim, salah seorang balita tidak sengaja menjatuhkan eskrimnya, dan teman di sampingnya dengan ikhlas membagikan secuil eskrim miliknya untuk temannya itu. Terlihat sangat indah.

Berbagi dalam hal kebaikan, apapun itu menjadi pekerjaan yang menyenangkan, meskipun banyak yang menyalahi. Konsep individualitas tak akan pernah bisa diterapkan dalam ranah yang saling membutuhkan ini.
Sesendiri dan sesunyi apapun hidup kita, bahkan ketika dengan tegas, manusia menyatakan nikmat menjalaninya, berbagi menjadi pekerjaan yang tak bisa dielakkan. Mungkin Anda seorang yang lengkap, kaya fasilitas, memiliki segala yang dibutuhkan, tak akan pernah bisa menyalahi kodrati sosialisme. Ya, Sekecil apapun itu. Saat Anda mengupdate status di jejaring sosial saja, sebenarnya tanpa sadar Anda melakukan proses sharing. Meskipun tidak meminta orang lain membagi miliknya, atau menginginkan orang lain melakukan sesuatu, Anda telah membagikan keluh kesah Anda, apa yang Anda alami dan rasakan pada satu momen. Itulah esensi membagi. Informasi, dan hal-hal yang mungkin tidak perlu, namun Anda merasa perlu menyebarluaskannya.
Anda kembali menyangkal. Anda bilang kalau Anda tidak senang menyebarluaskan aktivitas dan perasaan Anda melalui jejaring sosial, blog, atau sekedar curhat, Anda lebih senang menulis diari. Itu tetap saja berbagi. Anda membagikan apa yang Anda miliki kepada kertas yang begitu setia menampung tinta demi tinta dari lisan hati Anda.

Ada banyak hal yang bisa dibagi, harus dibagi, semestinya dibagi, dan nikmat dibagi. Jika buku diari rela membagikan tempat kosong untuk cerita Anda, mengapa tidak berbagi itu menjadi indah untuk Anda kepada orang-orang yang memang layak untuk dibagi, agar mereka bisa merasakan juga nikmat Tuhan yang belum sempat mereka rasakan hanya karena kehendak nasib.
Seperti yang saya lakukan saat ini, saya sedang membagi. Membagi apa yang saya tulis kepada Anda yang telah, tengah, atau akan berbagi.
Makassar, 25 Juli 2010

Selasa, 20 Juli 2010

OBSESI

Aku bermimpi, maka aku hidup. Itu yang selalu ku pegang dan ku bawa ke mana aku pergi, dan kapan pun waktu menunjukkan eksistensinya. Saat tertidur selalu ada pengharapan agar mempunyai mimpi baru, dan ketika terbangun selalu ada upaya agar mimpi itu tak sebatas khayalan.
Banyak penulis, orang bijak, dan motivator menyarankan agar tidak takut untuk bermimpi. I have dreams, I have obsessions. Banyak obsesi yang mengantri untuk diperhatikan dan diwujudkan. Kepala sudah semakin berat dan penuh menampung mereka. Bukan mereka yang menumpang, tapi aku yang mengasuhnya.
Memutuskan menghidupkan obsesi dalam kehidupan sudah menjadi keharusan manusia. Menghuni dunia tanpa sedikit pun asa seperti seorang gadis lugu, hidup dalam kamar, tanpa pintu dan jendela, dikuasai oleh konsep pemikiran yang kolot.
Lantas, apa salahnya kalau aku ingin jadi penulis, ingin jadi pengusaha, ingin jadi musisi, pemain film, dan profesi-profesi lainnya? Selama obsesi-obsesi itu tak merubah namaku dalam silsilah keluarga, dan mengganti kepribadianku dalam ruang jiwa, maka aku merasa halal mengasuh semua obsesi-obsesiku.
Saya berobsesi, maka saya mati. Aku akan mati karena obsesi, aku menjadi debu tak terhirup karena obsesi yang kupertahankan hanya sebatas imaji yang aku buat. Besok, ketika aku kembali terbangun, dan tak melakukan apa-apa, bisa saja obsesi itu berkhianat pada tuan rumah, membunuhku dengan tragis, dan betul-betul membuatku menjadi debu tak terhirup. Aku dan semua obsesiku, menantang arus, menyambung garis, dan membunuh lekukan.
Lewat laju obsesi yang semakin kencang, segelas teh manis menjadi kawan setia.
Makassar, 20 Juli 2010

Sabtu, 17 Juli 2010

GENGGAMAN RAHASIA

MULUTMU HARIMAUMU”, sebuah tagline dari iklan salah satu perusahaan telekomunikasi di Indonesia. Entah kenapa dua kata itu tangah membunuhku secara perlahan, menggerogoti dagingku, mengkontaminasi aliran darahku, merapuhkan tulang dan persendianku serta merasuki keyakinanku.
Setiap manusia memiliki idealisme dalam kehidupannya, paham itu sebuah kebenaran yang diakui oleh roh dan dijalankan oleh tubuh. Sesuatu yang diyakini itu diharapkan bisa membuat jalan yang dipilih mengantarkannya pada kebenaran yang hakiki dan keuntungan yang mutlak. Idealisme ini terkadang dilafalkan oleh lidah dengan sumpah tersirat. Konsisten pada apa yang dikatakan dan benar-benar yakin bahwa yang dikatakannya itu adalah sesuatu yang memang benar.

Suatu saat aku begitu yakin pada apa yang selama ini aku anut. Aku menggenggam sesuatu yang belum pernah aku lihat bagaimana wujudnya, namun aku yakin bahwa sesuatu di dalam genggamanku itu adalah sebiuah bom yang ketika aku buka akan meledakkanku menjadi puing-puing daging yang tak beraturan dan berhamburan, kemudian menjadi santapan lezat anjing-anjing liar.

Begitulah kehidupanku. Tak satu detik pun aku lalai untuk menjaga genggaman itu. Bahkan dalam keadaan tak sadar aku menitipkan jiwa yang tak pernah tidur untuk mengingatkanku agar tak membuka genggaman itu, jika tidak, bom mahadahsyat akan meledak dan siap meratakanku dengan tanah dan membaurkanku dengan debu-debu yang beterbangan di sana-sini. Hari demi hari kujalani rutinitas itu. Tak sekalipun aku tergoda untuk sekedar membuka sedikit celah agar aku bisa mengintip secuil wujud dari sesuatu yang bersarang di genggamanku, apalagi membukanya secara utuh walau hanya sekejap. Jangankan mengintip, menebak pun aku enggan, karena aku sudah sangat yakin, sekali lagi bahwa isi genggamanku itu adalah bom dengan ledalakan luar biasa yang akan dihasilkannya. Kujalankan sugesti itu terus-menerus.

Suatu saat, seorang sahabat membawa serta temannya ke rumahku, dia bermaksud mengenalkan orang itu padaku. Seperti lazimnya orang yang hendak berkenalan, maka tradisi berjabat tangan menjadi kewajiban mutlak yang mesti dilakukan. Dia mengulurkan tangannya dengan begitu ramah sembari menyebutkan namanya, “Dinda”. Saat itu, spontan aku menjadi orang yang sombong dan congkak. Tak sedikit pun aku memiliki hasrat untuk mengulurkan tanganku menyambut tangannya yang begitu ramah. Aku hanya menyebutkan namaku dengan senyuman, “Dirza”. Dinda menjadi tersinggung dan memasang wajah yang sangat tidak mengenakkan, sahabatku hanya terdiam menyaksikan peristiwa itu. Setelah Dinda pergi, barulah sahabatku mengambil tindakan interogasi menyoal tindakanku yang sangat tidak etis itu. Kemudian aku menjelaskan atas nama idealisme yang aku agungkan. “Bom, isi genggamanku ini adalah sebuah bom yang siap meledakkan kita semua ketika aku berani membukanya. Aku tak bermaksud untuk menyombongkan diri atau menunjukkan sikap tidak senang pada Dinda. Aku hanya ingin kita semua selamat.” Kataku dengan sangat yakin membujuk sang sahabat yang sama sekali tidak menerima alasanku. Sejak saat itu, aku tak berani menjabatkan tanganku pada orang lain, siapa pun itu, seberapa penting apapun, dan sedekat apa pun orang itu denganku. Sikap idealis tingkat tinggiku ini rupanya tak menghasilkan respon positif pada lingkunganku. Orang-orang yang selama ini menjadi tempat persinggahanku ketika lelah dan menjadikanku tempat persinggahan pula ketika lelah, satu per satu meninggalkanku, dengan satu alasan sama, muak dengan sikap idealis tingkat tinggiku yang bagi mereka hanya gonggongan anjing di siang hari. Awalnya, aku masih bisa bertahan, karena kuyakini dan sangat kuagungkan bahwa apa yang kulakukan ini memang benar. Namun, perlahan aku juga merasa jenuh dengan kesendirianku. Aku jenuh dengan rutinitasku menjaga genggaman itu agar tidak terbuka, dan kebosananku pada rasa penasaran tentang wujud di balik genggaman itu. Aku mulai merasa jenuh dengan idealisme yang aku merasa hanya aku seorang di dunia ini yang menganutnya.

Akhirnya, aku mulai memberanikan diri. Kuintip sedikit, setelah itu aku tutup lagi. Masih berada dalam kebimbangan luar biasa, antara aku akan menemukan sesuatu yang berbeda atau dia betul- betul akan meledakkanku. Tak bisa kubayangkan, bila aku tercatat dalam sejarah dengan wujud kepingan yang tersebar. Namun, rasa sendiri dan bersalah itu akhirnya mengalahkan ketakutan dan keyakinanku. Kubuka genggaman itu dengan berani, dan kutemukan sebatang cokelat yang masih utuh, masih padat. Aku heran luar biasa. Kujilat cokelat itu, dan kurasakan manis yang luar biasa. Baru kali ini aku merasakan cokelat semanis dan selezat ini. Namun, belum sempat aku menghabiskannya, cokelat itu meleleh dan menetes hingga ke dasar bumi. Aku sangat menyesal. Seandainya aku membuka genggaman itu sedari dulu, maka aku telah menjadi seorang yang sangat beruntung telah memilki dan menikmati cokelat terenak di dunia. Penyesalan itu menjadi kata yang tak bermakna lagi, bahkan sampai aku megulangi lafaznya berkali-kali. Mulutku ternyata harimau yang menyantapku begitu kejam.


MAKASSAR, 8 APRIL 2010

JALAN

Di sore hari ketika matahari telah menunjukkan tanda kepergiannya, aku tengah duduk berdua bersama seorang sahabat di kantin kampus. Menatap sekeliling yang mulai renggang dan hampir tak ada aktivitas sama sekali. Tas ranselku begitu setia membebani punggung yang sudah terbiasa dengan semua barang – barang yang juga tak kalah setianya mengisi ruang dalam tasku. Perbincangan hangat nan alot tentang kehidupan baru saja usai antara aku dan dia. Dan akhir dari perbincanan yang hangat itu adalah sebuah rencana untu kembali ke rumah masing- masing. Rencana itu pun kami jalankan. Jadilah kami berangkat untuk pulang. Terlebih dahulu aku harus mengantar sahabatku itu pulang ke rumahnya. Perbincangan hangat kembali terjadi sebagai episode lanjutan dari perbincangan tadi selama perjalanan. Tibalah aku di sebuah lorong menuju rumah sahabatku, namun aku ternyata memilih jalan yang salah. Sahabatku menegur dan menunjukkan jalan yang benar. Kami pun sampai pada tujuan. Dengan salam hangat perpisahan yang sementara (entahlah) aku menuju rumahku. Keesokan harinya kami bertemu kembali, melakuan hal yang sama, berbincang tentang hal yang kami anggap penting untuk didiskusikan setelah jam kuliah usai, dan begitu matahari kembali menunjukkan tanda kepergiaannya, kami pun meninggalkan kampus dan menuju rumah. Kesalahan yang sama aku ulangi lagi, yakni memilih jalan yang salah. Sahabatku kembali menunjukkan jalan yang seharusnya aku pilih sambil mengolokku dengan julukan pikun. Itulah aktivitas kami sehari-hari. Hidup ini menurut kami adalah rangkaian peristiwa, perasaan, dan rencana yang semestinya tidak dilewatkan begitu saja tanpa sebuah perbincangan yang bisa mengingatkan kita akan kesalahan dan menunjukkan kita tentang rencana yang baik. Selalu ada catatan-catatan yang harus dikoleksi dan ditelaah agar keesokan harinya, dua hari kemudian, seminggu, sebulan, setahun, dan watu-waktu mendatang ketika masih ada kesempatan untuk menikmati perjalanan waktu, kita tidak tersesat karena lupa jalan mana yang mengantar kita menuju rumah.
Kembali kami membahas catatan-catatan penting yang kami kutip dari semua kejadian dan perasaan yang sudah atau baru saja terkadi. Kembali pula kami menyimpan catatan baru yang bisa kami bawa untuk mengingatkan kami ketika salah jalan. Dan seperti kebiasaan sebelumnya, acara pulang ke rumah ketika matahari menunjukkan tanda kepergiannya, tidak ketinggalan. Dan lagi-lagi lupa menjadi kebiasaanku. Entah catatan-catatan yang kurangkai tidak mujarab bagiku untuk menemukan jalan yang tepat, aku dipaksa memilih jalan yang salah. Berulang-ulang aku melakukan itu seolah ada candu yang memerintahkan otakku untuk memilih jalan itu yang sudah jelas-jelas salah. Akhirnya sahabatku sampai pada titik jenuhnya untuk mengingatkan. Dengan penuh tanda tanya besar dia berucap padaku, “Apa kau tidak meresapi semua pembahasan kita tentang memilih jalan yang tepat…? Apa gunanya kita mencatat semua peta, semua petunjuk jalan namun kamu sendiri tidak bisa menggunakannya untuk memilih jalan yang benar? Ini baru jalan yang sempit, baru sebatas lorong, bagaimana jika kau ditugaskan oleh dosen untuk mengumpulkan makalah ke rumahnya yan belum sama sekali kau datangi. Seperti menuju sebuah tempat yang tidak kau kenali, bahkan sama sekai tak terpikir olehmu tentang keberadaan tempat itu. Jalan yang kau pilih tadi salah, jalan yang kau pilih kemarin pun salah, begitu juga dengan dua hari yang lalu, seminggu, sebulan, dan waktu-waktu sebelumnya. Semua pilihanmu di waktu-waktu sebelumnya seperti berjuta pertanyaan yang hanya memiliki satu jawaban, SALAH…….! Ada apa denganmu? Mungkin ini hanya sesuatu yang kecil dan mungkin orang yang melihatku memarahimu akan menganggapku gila karena menginterpretasikan sesuatu yang kecil secara berlebihan. Tapi sesuatu yang kecil jika terlalu banyak akan menjadi besar, dan perlahan menjadi sangat besar, sebesar gunung yang tak bisa kau lihat puncaknya. Begitu pula dengan kesalahan.” Aku sempat terdiam seolah tertampar oleh telapak tangan raksasa yang sanggup membangunkan putri tidur dari alam mimpinya yang sebelumnya tak ada yang bisa membuatnya beranjak. “ Maaf kawan, aku tidak tahu mengapa aku seperti ini, bahkan aku tidak sadar apakah aku telah melakukan ini berkali-kali atau tidak…? Tapi terima kasih telah mengingatkanku.” Jawabanku tampaknya tak membuatnya puas. Sangat jelas dari paras wajahnya yang tidak menunjukkan respon apa-apa, seolah baru saja aku tak menjawab pertanyaannya. “Sudahlah, mungkin lebih baik kita tidak berdiskusi dulu soal catatan-catatan hidup. Mari kita menyadari kesalahan masing-masing sampai benar-benar kau sadar bahwa selama ini kau salah jalan.” Jawabannya itu justru membuatku puas, seolah inilah yang aku tunggu selama ini, berhenti sejenak dari rutinitas perbincangan yang sama sekali tak membuatku melihat hingga aku salah pilih jalan berkali-kali,bahkan sering, dan parahnya lagi menjadi sebuah rutinitas.
Perjalananku menuju rumah sangat berbeda dari sebelumnya. Dulu, aku masih sibuk meresapi catatan-catatan yang kami perbincangkan, namun kali ini aku justru menyesali semua perbincangan itu. Yang timbul kali ini adalah rasa penasaran hebat tentang jalan salah yang membuatku candu itu. Malam itu, di kamar kecilku aku menyusun rencana baru. Sebuah perencanaan yang sesungguhnya di luar kebiasaanku. Aku seperti terlahir sebagai pribadi baru dan kesenangan yang baru pula. Aku begitu instan berubah menjadi seorang detektif penasaran yang akan mengulas habis apa di balik jalan salah itu.
Keesokan harinya menjadi hari yang baru bagiku. Perjalanan tanpa catatan-catatan penting, tanpa perbincangan menyoal catatan itu dan mengakhirinya ketika matahari kembali menunjukkan tanda kepergiannya. Jam kuliah usai mengawali aktivitas baruku. Misiku kali ini bukan mengenai menemukan jalan yang tepat, namun memilih jalan yang salah untuk mencari tahu magnet apa yang selalu menarikku ke jalan itu. Aku pun menuju tempat itu,dan nalar liarku membisikkan pesan bahwa kali ini dan sebelumnya sesungguhnya aku telah memilih jalan yang tepat. Aku tak tahu teori apa yang mendasari bisikan itu sehingga terdengar sangat akurat melebihi kebenaran umum yang disepakati semua manusia di dunia ini. Entah kenapa pula motorku berjalan begitu lambat, seolah aku mengendarai motor di jalan yang berlubang, padahal mulus, bahkan tanpa kerikil satu pun. Namun rasa penasaranku mencoba mengkhianati waktu itu hingga aku merasa begitu bersemangat menyusuri jalan itu.
Sepuluh meter pertama tak menjawab rasa penasaranku sama sekali. Keadaan yang tidak berbeda dengan jalan seberang yang menuju rumah sahabatku. Jalan sempit yang lazim disebut lorong, hanya berisi rumah yang berjejeran di sisi kanan dan sisi kiri jalan. Namun belum kutemukannya ujung jalan itu membuatku semakin bersemangat dan semakin penasaran mencari rahasia besar di jalan itu. Aku begitu yakin bahwa ada sesuatu yang benar yang selama ini sahabatku anggap salah. Sepuluh meter kedua aku menemukan tanah kosong yang hanya ditumbuhi rumput liar dan ditongkrongi oleh sapi dan kuda yang entah punya siapa. Mereka begitu asyik melahap rumput-rumput itu, dan sang rumput begitu ikhlas diahap. Masih terbilang biasa meskipun sudah berbeda dengan situasi di sepuluh meter peratama. Kulanjutkan perjalananku. Sepuluh meter ketiga membuatku sedikit tertarik melihat anak-anak yang bermain bola di sebuah lapangan mini. Aku sangat suka dengan sesuatu yang meriah. Meriah tidak selalu mahal dan mewah. Sesuatu kecil yang bisa menghasilkan kesenangan luar biasa bagiku adalah sebuah kemeriahan. Meskipun membuatku mampir sesaat, namun suasana itu rasanya bukan sesuatu yang paling luar biasa di sepanjang jalan ini. Dan, kulanjutkan perjalananku di sepuluh meter keempat. Di sana suasana sudah menunjukkan sedikit keluarbiasaan bagiku. Di area ini ternyata dihuni oleh beberapa keluarga miskin dengan dinding-dinding rapuh dan atap bocor yang mereka gunakan sebagai tempat berlindung dan bermukim. Tampak seorang ibu memandikan anaknya yang kotor dan dekil. Mungkin anak itu adalah anggota kawanan anak-anak yang bermain bola di sepuluh meter ketiga. Terlihat juga seorang bapak tua yang sedang duduk di tangga rumah panggungnya sambil merenung, mungkin meratapi nasibnya atau memunculkan harapan dalam benaknya untuk hidup lebih baik. Dan masih banyak suasana lain yang tak sempat aku tangkap. Cukup mempesona, namun lagi – lag tak membuatku yakin bahwa itu adalah kebenaran yang aku cari. Dan, aku kembali melanjutkan perjalananku hingga aku harus berhenti di ujung jalan itu. Aku kecewa dan menyesal. Kecewa karena tak mendapatkan sesuatu yang aku cari dan menyesal mengapa harus menyempatkan diri menyusuri jalan yang tak berisi sesuatu yang istimewa, lagi-lagi menyesal karena harus berseteru dengan sahabatku dan menghentikan kebiasaan mencatatku. Adzan magrib membuatku mampir sejenak di ujung jalan itu untuk melaksanakan kewajibanku. Mungkin setelah shalat dan berdoa aku mendapatkan magnet yang aku cari itu. Sesuatu yang membuatku selalu memilih jalan yang salah bekali-kali. Setelah menjalani kewajiban, aku pulang, menyusuri jalan yang sama namun dari awal yang berbeda. Di mulutku hanya kata sesal dan kecewa. “Ternyata benar, selama ini aku memilih jalan yang salah.” Kataku dengan maksud meyakinkan diri sendiri bahwa aku memang salah.
“Entah kenapa aku ingin mengunjungi rumah sahabatku dan meminta maaf telah berbuat salah selama ini. Namun, aku begitu terkejut ketika sampai di halaman rumah sahabatku dan kudapati dia tengah mabuk berat, diapit oleh dua wanita yang begitu setia di pelukannya. Kulihat sekitar, tetangganya juga melakukan hal yang sama. “Apa aku berada di jalan yang benar atau salah sekarang ini…? Apa aku selama ini betul-betul mengantarkan sahabatku ini pulang ke rumahnya atau justru ke alamat yang salah. Dia yang selama ini mengajarkanku tentang mencatat peristiwa dan perasaan agar memilih jalan yang benar nantinya justru melakukan hal yang salah. Apa semua catatan dan semua perbincangan kami selama ini hanya bualannya saja ….? Atau topeng yang menyembunyikan wajah aslinya….? Memang tepat aku menuruti perintahnya untuk menghentikan semua perbincangan itu, karena semakin aku berbincang, ternyata kedoknya semakin tebal menyembunyikan identitas asli bahwa dia telah memilih jalan yang salah. Ya….dialah yang selama ini memilih jalan yang salah.
Tunggu dulu, perjalananku di jalan seberang berakhir di sebuah masjid yang memanggilku mampir ke rumah Tuhanku. Mungkin itulah kebenaran. Bukan mungkin, tapi aku sudah sangat yakin, itulah magnet yang meyeretku selama ini. Itulah yang mengingatkanku bahwa selama ini ketika aku mengantar sahabatku pulang ke rumahnya, rupanya aku memilih jalan yang salah. Dan jalan yang kupilih oleh temanku dianggap salah karena tak membuatnya sampai ke rumahnya adalah jalan yang benar. Di sana berisi rumah mewah, lapangan bola mini, pemukiman kumuh, dan berakhir di sebuah masjid. Ya…itulah jalan yang benar. Ternyata magnet itu adalah sebuah kebenaran yang mengajakku menghamipirinya selalu. Semua perbincangan tentang peta menuju jalan yang benar antara aku dan dia hanyalah kesalahan yang mengantarku ke jalan yang sesungguhnya, yakni jalan yang betul-betul benar. Jalan yang mulus tanpa kerikil sebiji pun, tanpa kesuraman, dan ketidakpastian. Aku telah menemukan jalan yang benar,” seruku dalam hati sambil meninggalkan sahabatku yang masih asyik berpesta di jalan yang salah.
Makassar, 11 Maret 2010

LINGKAR BIRAHI HIDUP

Aku lelah hidup dalam lingkaran,
tak tahu di mana aku bermula dan kapan akan berakhir
Aku jenuh hidup dalam lingkaran,
menyusuri jalan yang sama dan menjumpai suasana yang tak berbeda


Suatu hari aku menjumpaimu di separuh jalanku,
dan kembali aku menemukanmu di separuh jalan berikutnya
Masih dengan wajah yang sama, wajah tanpa lekuk senyuman,
polos tak berbicara tentang keindahan
Kemudian aku menatapmu penuh harap
dan menitipkan asa itu agar kau jamah saat aku kembali


Namun, ketika aku menjumpaimu lagi di titik yang sama,
aku tak melihat harapan itu di dalam genggamanmu
Aku tak tahu di mana kau menyimpannya,
atau mungkin kau telah membuangnya di separuh perjalananmu


Aku ingin meninggalkan siklus yang penuh dengan birahi melelahkan ini
Jauh dalam angan ingin kujumpai titik peristirahatan
agar tak menjumpaimu lagi dengan wajah tanpa lekuk senyuman
dan masih dengan birahi liarmu yang seolah perlahan ingin membunuhku


Akulah penghuni lingkaran yang merindukan
sudut untuk berbaring, menghela nafas jeda dan
menciptakan sudut yang lain, di mana aku bisa menjumpaimu
dengan lekuk senyuman yang merona
Dengan harapan yang kau genggam erat dan kemudian kau simpan di hatimu


Akulah penghuni siklus lingkaran yang merindukan sudut
untuk berbaring dan menghela nafas jeda
Menyinggahi sudut yang lainnya untuk menempatkanmu
dalam keadaan terjaga tanpa jamah hati yang lain
Agar ketika aku kembali dan beristirahat di sudut itu,
aku bisa menjumpaimu telah terbangun dan memberiku sarapan
sepiring nasi goreng dengan telur dadar yang kau rangkai sedemikian rupa


Agar ketika aku kembali dan beristirahat di sudut itu,
aku bisa menemukanmu memberikanku buah dari harapan yang
aku tanam dalam hatimu, mungkin sepanjang perjalananku juga lah
kau begitu rajin merawatnya, menyiramnya meski dengan air mata


Aku pun kemudian bertanya,,
Mungkinkah kau menghuni sudut itu lagi???
Agar ketika aku kembali, aku bisa menemukanmu dengan wajah rindu
Yang dengan begitu lahap menyantap kedatanganku yang tiba dengan bibit harapan baru





Makassar, 30 Maret 2010


The Scene Art Line

TERATAI BIRU

Teratai, aku memanggilmu dengan nama itu di setiap pertemuan batinku denganmu. Aku suka dengan nama itu, sama seperti aku menyukai bunga teratai. Aku tak peduli dengan mawar merah yang menjadi simbolis cinta, karena aku merasa teratai memiliki keindahan sendiri, entah orang lain tapi aku merasa keindahan itu berbeda, sama seperti dirimu. Setiap perjalanan yang membuat rindu begitu gemar bertamu dalam ruang pribadiku, selalu ada sosok yang tak kukenali, namun ku pahami. Begitulah aku mencintaimu, dengan memahamimu, meskipun kau tak pernah memahamiku atau bahkan membuatmu percaya dan merasa aku memahamimu. Perbincangan yang biasa kerap terjalin di antara kita, dan k au tak tahu, di setiap perbincangan itu aku merekam semua lekuk senyuman, suara halus, dan semua output inderawi dalam dirimu. Kemudian aku memutarnya ketika aku sedang sendiri dan si rindu kembali bertamu di ruang pribadiku. Saat itulah senyumku menjadi tak biasa dan hela nafas begitu sangat berarti. Semuanya aku lakukan setiap waktu, sebisaku, dan sesempatku. Banyak kata-kata indah yang aku tulis tentangmu, tentu tak seindah aku mencintaimu, namun tulisan-tulisan itu seolah membuatku merasa telah melamarmu dank au mengatakan “ya” dengan penuh yakin seolah itu menjadi takdirmu. Maafkan aku yang selalu menikmati hatimu dalam alam khayal yang aku ciptakan sendiri. Karena hanya dengan itu aku bisa menyatakan cinta yang menghadirkan jawaban yang aku harapkan. Sungguh, tak ada niat memanfaatkanmu dalam imajinasi atau fantasi semu, karena bagiku hal yang surreal itulah realita sejati. Entah sampai kapan aku melakukan ini. Mungkin di saat rambutku memutih dan penglihatanku menjadi samar, atau hal yang jelas menjadi bias bagiku. Atau justru hanya sampai aku menuliskan ini untukmu. Aku tak bisa menjanjikan apa-apa, aku tak bisa mencintaimu selamanya, karena aku hanya bisa mencintaimu sampai Tuhan tak mengizinkanku lagi.
Biru, kuberi warna pada teratai itu. Bukan karena aku begitu menyukai warna biru, atau karena biru begitu menyejukkan bagiku, tapi justru karena kau mengahdirkan luka bagiku, seperti luka memar yang kemudian membekas dan berubah menjadi biru. Itu kutemukan ketika jawaban tidak kau lontarkan dengan sangat yakin kepadaku. Terasa begitu sakit, karena aku baru sadar bahwa imajinasiku diakaahkan oleh kenyataan, pada saat itu. Setelah itu, aku kemudian malas memutar semua rekaman tentangmu, menutup pintu rapat-rapat untuk sang rindu yang tetap rajin bertamu di ruang pribadiku. Memikirkanmu menjadi sesak hebat di setiap hela nafasku. Kemudian pertanyaan besar menghampiriku, masihkah aku mencintaimu? Apakah cintaku sebatas kenyataan? Tidakkah lagi khayalan itu membuatku hidup? Atau justru luka itu akan membuatku menghapuskan semua namamu di dunia ini? Agar tak ada lagi yang memanggil dan menanyakanmu. Pertemuan batin denganmu kuhindari, dan yang kubuat saat itu hanyalah membekukan semua air mata yang aku keluarkan, dan sampai saat ini tak ada lagi yang bisa mencairkannya.
Entah nama apalagi yang aku berikan untukmu. Mungkin akan lebih baik jika kau hidup dalam pikiranku tanpa nama, agar ketika aku menemuimu aku tak mengenalmu, dengan begitu tak ada lagi air mata yang membeku karena sakit yang kau berikan beitu gigil. Namun, tidak mungkin aku tidak mengenal orang yang sudah aku kenal jauh sebelum aku belajar mengenal. Kemudian ada seruan bahwa luka itulah yang membuatku mencintaimu. Aku sedikit ragu, dan aku tak tahu.
Teratai Biru, kali ini kulengkapkan namamu. Hanya kau yang kunamakan itu, dan semoga hanya aku pula yang menamakan itu. Kuletakkan keyakinan dalam ruang pribadiku. Nama itu kusebut berkali-kali sampai telingaku bosan mendengarnya, dan lidahku letih menuturkannya. Teratai Biru, telah kuterjemahkan kau dalam beragam suara dan bahasa, namun masih dalam wujud dan hati yang sama. Maaf aku tak bisa melupakanmu begitu saja. Begitu sulit bagiku menghilangkan ingatan yang sudah melekat dalam memoriku.
Teratai Biru, kau begitu lengkap. Aku tak tahu apakah saat ini aku masih mencintaimu. Karena nalarku tak mampu menngartikan perasaan itu, bukankah perasaan untuk dirasakan? Aku tak tahu, apakah aku masih saja mencintaimu, namun setiap kali bertemu denganmu, baik dalam khayal maupun di dunia nyata, hati ini masih bergetar hebat mengalahkan ritme detak jantung, bahkan dalam keadaan sangat cepat. Kau ku ukir di atas prasasti yang tak akan kuhancurkan walau ada prasasti baru yang harus aku ukir, mungkin dengan nama yang baru.

Makassar, 15 Juli 2010

SURAT YANG TERBENAM

Surat yang terbenam, kunamakan ia
Ku tulis ini ketika menjelang senja,
Suara kepulangan matahari kucerna baik-baik

Surat ini kutujukan untuk matahari yang nyaris terbenam
Karena aku tahu, kau sangat menyukai matahari terbenam

Setengah gelas susu cokelatku masih bertahan menunggu tuannya akan menghabisi nyawanya
Tibalah aku di gerbang rumahku, tempat tinggal yang sudah lama aku tinggalkan
Ternyata, kepergianku merobohkan semua kenangan tentangnya

Lentik jarimu hanya mimpiku, mungkin saja mimpi buruk, karena aku tak mampu meraihnya
Bisa saja rona wajah itu menjadi haram untuk kulahap dengan mataku,
Tersisa banyak dan tak ku ketahui jumlahnya
Ya…. Tulang-tulang kering yang sudah ditinggalkan gumpal daging
Menunggu anjing-anjing liar siap melahapnya

Aku kering kerontang, jauh lebih tandus dari Gurun Sahara
Aku tahu kau tak peduli
Mana mungkin kau sudi menjadi oase untukku
Orang gila pun segan mengharapkan itu

Sayang, maaf, aku memanggilmu sayang
Sebuah sapaan yang pasti tak kau kehendaki
Aku tak lagi merindukanmu
Tak seperti dulu ketika candu bersua begitu membabibuta
Bukannya tak menyayangimu, tapi lebih merelakanmu hanya menjadi harapan untukku
Bukankah gila merindukan seseorang yang bisa kujumpai?
Aku menjumpaimu sayang, di setiap detik-detik khayal
Aku bahkan membelai rambutmu di ujung lelapku
Hei…sayang, aku menikahimu tanpa saksi, tanpa penghulu
Makanya aku tak berani menyetubuhimu
Sayang, aku menempatkanmu dalam setiap imajinasiku

Aku tak peduli cercaan sang idealis dan realis yang menentang surrialis
Aku hanya peduli dengan semua mimpi yang kubangun
Karena menjumpaimu sebagai istriku di ruang khayal bukan pekerjaan mudah
Aku harus mengalahkan malu terlebih dahulu

Sayang, maaf, kata itu sudah membuatku jatuh cinta
Aku menulis semua kata ini dengan jujur, tanpa ritme yang kau akan tagih

Di bawah pikiran tentang hidupku sendiri
Aku menyiapkan meja dan dua buah kursi
Di atas meja itu kuhidangkan semua kepedihan yang masih aku bingkai
Ada air dari darah dan peluh yang masih setia
Dan kau pun menghidangkan kekecewaan dan kebencian dengan keji
Aku melahapnya dengan penuh semangat
Karena aku berharap kau akan tersenyum padaku, meski dengan rupa sinis

Aku ingin bahkan sangat ingin menjadi sejarah untukmu
Karena masih ada sebua asa bodoh kusimpan rapi dalam dadaku
Katakan ini pada anak-anakmu kelak
“Nak, dia adalah orang yang jauh lebih pantas menjadi ayahmu”

Hahahahaha…..
Aku tertawa, tentu tidak menangis, untuk apa?
Untuk kau?
Bisa saja, tapi lebih baik aku menangis untuk diriku sendiri
Karena aku melupakan satu hal, bahwa aku ternyata memiliki tetes air mata

Apakah semua perasaan yang begitu lantang, begitu bodoh, begitu lembut, begitu beragam
Orang menyebutnya cinta…..
Aku ? aku tidak peduli

Ku panggil kau sayang dengan tulus, bukan berharap, dan bukan terpaksa
Kau masih kekasihku, meskipun hanya dalam mimpiku
Kau akan tetap menjadi kekasihku meskipun aku tak akan bisa tertidur dan tak bisa lagi bermimpi

Kau masih kekasihku, sekarang, bukan untuk selamanya
Kau masih kekasihku sampai hati ini lebur menjadi tanah

CAMBA, 30 JUNI 2010

Chat Room Bloofers