MULUTMU HARIMAUMU”, sebuah tagline dari iklan salah satu perusahaan telekomunikasi di Indonesia. Entah kenapa dua kata itu tangah membunuhku secara perlahan, menggerogoti dagingku, mengkontaminasi aliran darahku, merapuhkan tulang dan persendianku serta merasuki keyakinanku.
Setiap manusia memiliki idealisme dalam kehidupannya, paham itu sebuah kebenaran yang diakui oleh roh dan dijalankan oleh tubuh. Sesuatu yang diyakini itu diharapkan bisa membuat jalan yang dipilih mengantarkannya pada kebenaran yang hakiki dan keuntungan yang mutlak. Idealisme ini terkadang dilafalkan oleh lidah dengan sumpah tersirat. Konsisten pada apa yang dikatakan dan benar-benar yakin bahwa yang dikatakannya itu adalah sesuatu yang memang benar.
Suatu saat aku begitu yakin pada apa yang selama ini aku anut. Aku menggenggam sesuatu yang belum pernah aku lihat bagaimana wujudnya, namun aku yakin bahwa sesuatu di dalam genggamanku itu adalah sebiuah bom yang ketika aku buka akan meledakkanku menjadi puing-puing daging yang tak beraturan dan berhamburan, kemudian menjadi santapan lezat anjing-anjing liar.
Begitulah kehidupanku. Tak satu detik pun aku lalai untuk menjaga genggaman itu. Bahkan dalam keadaan tak sadar aku menitipkan jiwa yang tak pernah tidur untuk mengingatkanku agar tak membuka genggaman itu, jika tidak, bom mahadahsyat akan meledak dan siap meratakanku dengan tanah dan membaurkanku dengan debu-debu yang beterbangan di sana-sini. Hari demi hari kujalani rutinitas itu. Tak sekalipun aku tergoda untuk sekedar membuka sedikit celah agar aku bisa mengintip secuil wujud dari sesuatu yang bersarang di genggamanku, apalagi membukanya secara utuh walau hanya sekejap. Jangankan mengintip, menebak pun aku enggan, karena aku sudah sangat yakin, sekali lagi bahwa isi genggamanku itu adalah bom dengan ledalakan luar biasa yang akan dihasilkannya. Kujalankan sugesti itu terus-menerus.
Suatu saat, seorang sahabat membawa serta temannya ke rumahku, dia bermaksud mengenalkan orang itu padaku. Seperti lazimnya orang yang hendak berkenalan, maka tradisi berjabat tangan menjadi kewajiban mutlak yang mesti dilakukan. Dia mengulurkan tangannya dengan begitu ramah sembari menyebutkan namanya, “Dinda”. Saat itu, spontan aku menjadi orang yang sombong dan congkak. Tak sedikit pun aku memiliki hasrat untuk mengulurkan tanganku menyambut tangannya yang begitu ramah. Aku hanya menyebutkan namaku dengan senyuman, “Dirza”. Dinda menjadi tersinggung dan memasang wajah yang sangat tidak mengenakkan, sahabatku hanya terdiam menyaksikan peristiwa itu. Setelah Dinda pergi, barulah sahabatku mengambil tindakan interogasi menyoal tindakanku yang sangat tidak etis itu. Kemudian aku menjelaskan atas nama idealisme yang aku agungkan. “Bom, isi genggamanku ini adalah sebuah bom yang siap meledakkan kita semua ketika aku berani membukanya. Aku tak bermaksud untuk menyombongkan diri atau menunjukkan sikap tidak senang pada Dinda. Aku hanya ingin kita semua selamat.” Kataku dengan sangat yakin membujuk sang sahabat yang sama sekali tidak menerima alasanku. Sejak saat itu, aku tak berani menjabatkan tanganku pada orang lain, siapa pun itu, seberapa penting apapun, dan sedekat apa pun orang itu denganku. Sikap idealis tingkat tinggiku ini rupanya tak menghasilkan respon positif pada lingkunganku. Orang-orang yang selama ini menjadi tempat persinggahanku ketika lelah dan menjadikanku tempat persinggahan pula ketika lelah, satu per satu meninggalkanku, dengan satu alasan sama, muak dengan sikap idealis tingkat tinggiku yang bagi mereka hanya gonggongan anjing di siang hari. Awalnya, aku masih bisa bertahan, karena kuyakini dan sangat kuagungkan bahwa apa yang kulakukan ini memang benar. Namun, perlahan aku juga merasa jenuh dengan kesendirianku. Aku jenuh dengan rutinitasku menjaga genggaman itu agar tidak terbuka, dan kebosananku pada rasa penasaran tentang wujud di balik genggaman itu. Aku mulai merasa jenuh dengan idealisme yang aku merasa hanya aku seorang di dunia ini yang menganutnya.
Akhirnya, aku mulai memberanikan diri. Kuintip sedikit, setelah itu aku tutup lagi. Masih berada dalam kebimbangan luar biasa, antara aku akan menemukan sesuatu yang berbeda atau dia betul- betul akan meledakkanku. Tak bisa kubayangkan, bila aku tercatat dalam sejarah dengan wujud kepingan yang tersebar. Namun, rasa sendiri dan bersalah itu akhirnya mengalahkan ketakutan dan keyakinanku. Kubuka genggaman itu dengan berani, dan kutemukan sebatang cokelat yang masih utuh, masih padat. Aku heran luar biasa. Kujilat cokelat itu, dan kurasakan manis yang luar biasa. Baru kali ini aku merasakan cokelat semanis dan selezat ini. Namun, belum sempat aku menghabiskannya, cokelat itu meleleh dan menetes hingga ke dasar bumi. Aku sangat menyesal. Seandainya aku membuka genggaman itu sedari dulu, maka aku telah menjadi seorang yang sangat beruntung telah memilki dan menikmati cokelat terenak di dunia. Penyesalan itu menjadi kata yang tak bermakna lagi, bahkan sampai aku megulangi lafaznya berkali-kali. Mulutku ternyata harimau yang menyantapku begitu kejam.
MAKASSAR, 8 APRIL 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar