Di sore hari ketika matahari telah menunjukkan tanda kepergiannya, aku tengah duduk berdua bersama seorang sahabat di kantin kampus. Menatap sekeliling yang mulai renggang dan hampir tak ada aktivitas sama sekali. Tas ranselku begitu setia membebani punggung yang sudah terbiasa dengan semua barang – barang yang juga tak kalah setianya mengisi ruang dalam tasku. Perbincangan hangat nan alot tentang kehidupan baru saja usai antara aku dan dia. Dan akhir dari perbincanan yang hangat itu adalah sebuah rencana untu kembali ke rumah masing- masing. Rencana itu pun kami jalankan. Jadilah kami berangkat untuk pulang. Terlebih dahulu aku harus mengantar sahabatku itu pulang ke rumahnya. Perbincangan hangat kembali terjadi sebagai episode lanjutan dari perbincangan tadi selama perjalanan. Tibalah aku di sebuah lorong menuju rumah sahabatku, namun aku ternyata memilih jalan yang salah. Sahabatku menegur dan menunjukkan jalan yang benar. Kami pun sampai pada tujuan. Dengan salam hangat perpisahan yang sementara (entahlah) aku menuju rumahku. Keesokan harinya kami bertemu kembali, melakuan hal yang sama, berbincang tentang hal yang kami anggap penting untuk didiskusikan setelah jam kuliah usai, dan begitu matahari kembali menunjukkan tanda kepergiaannya, kami pun meninggalkan kampus dan menuju rumah. Kesalahan yang sama aku ulangi lagi, yakni memilih jalan yang salah. Sahabatku kembali menunjukkan jalan yang seharusnya aku pilih sambil mengolokku dengan julukan pikun. Itulah aktivitas kami sehari-hari. Hidup ini menurut kami adalah rangkaian peristiwa, perasaan, dan rencana yang semestinya tidak dilewatkan begitu saja tanpa sebuah perbincangan yang bisa mengingatkan kita akan kesalahan dan menunjukkan kita tentang rencana yang baik. Selalu ada catatan-catatan yang harus dikoleksi dan ditelaah agar keesokan harinya, dua hari kemudian, seminggu, sebulan, setahun, dan watu-waktu mendatang ketika masih ada kesempatan untuk menikmati perjalanan waktu, kita tidak tersesat karena lupa jalan mana yang mengantar kita menuju rumah.
Kembali kami membahas catatan-catatan penting yang kami kutip dari semua kejadian dan perasaan yang sudah atau baru saja terkadi. Kembali pula kami menyimpan catatan baru yang bisa kami bawa untuk mengingatkan kami ketika salah jalan. Dan seperti kebiasaan sebelumnya, acara pulang ke rumah ketika matahari menunjukkan tanda kepergiannya, tidak ketinggalan. Dan lagi-lagi lupa menjadi kebiasaanku. Entah catatan-catatan yang kurangkai tidak mujarab bagiku untuk menemukan jalan yang tepat, aku dipaksa memilih jalan yang salah. Berulang-ulang aku melakukan itu seolah ada candu yang memerintahkan otakku untuk memilih jalan itu yang sudah jelas-jelas salah. Akhirnya sahabatku sampai pada titik jenuhnya untuk mengingatkan. Dengan penuh tanda tanya besar dia berucap padaku, “Apa kau tidak meresapi semua pembahasan kita tentang memilih jalan yang tepat…? Apa gunanya kita mencatat semua peta, semua petunjuk jalan namun kamu sendiri tidak bisa menggunakannya untuk memilih jalan yang benar? Ini baru jalan yang sempit, baru sebatas lorong, bagaimana jika kau ditugaskan oleh dosen untuk mengumpulkan makalah ke rumahnya yan belum sama sekali kau datangi. Seperti menuju sebuah tempat yang tidak kau kenali, bahkan sama sekai tak terpikir olehmu tentang keberadaan tempat itu. Jalan yang kau pilih tadi salah, jalan yang kau pilih kemarin pun salah, begitu juga dengan dua hari yang lalu, seminggu, sebulan, dan waktu-waktu sebelumnya. Semua pilihanmu di waktu-waktu sebelumnya seperti berjuta pertanyaan yang hanya memiliki satu jawaban, SALAH…….! Ada apa denganmu? Mungkin ini hanya sesuatu yang kecil dan mungkin orang yang melihatku memarahimu akan menganggapku gila karena menginterpretasikan sesuatu yang kecil secara berlebihan. Tapi sesuatu yang kecil jika terlalu banyak akan menjadi besar, dan perlahan menjadi sangat besar, sebesar gunung yang tak bisa kau lihat puncaknya. Begitu pula dengan kesalahan.” Aku sempat terdiam seolah tertampar oleh telapak tangan raksasa yang sanggup membangunkan putri tidur dari alam mimpinya yang sebelumnya tak ada yang bisa membuatnya beranjak. “ Maaf kawan, aku tidak tahu mengapa aku seperti ini, bahkan aku tidak sadar apakah aku telah melakukan ini berkali-kali atau tidak…? Tapi terima kasih telah mengingatkanku.” Jawabanku tampaknya tak membuatnya puas. Sangat jelas dari paras wajahnya yang tidak menunjukkan respon apa-apa, seolah baru saja aku tak menjawab pertanyaannya. “Sudahlah, mungkin lebih baik kita tidak berdiskusi dulu soal catatan-catatan hidup. Mari kita menyadari kesalahan masing-masing sampai benar-benar kau sadar bahwa selama ini kau salah jalan.” Jawabannya itu justru membuatku puas, seolah inilah yang aku tunggu selama ini, berhenti sejenak dari rutinitas perbincangan yang sama sekali tak membuatku melihat hingga aku salah pilih jalan berkali-kali,bahkan sering, dan parahnya lagi menjadi sebuah rutinitas.
Perjalananku menuju rumah sangat berbeda dari sebelumnya. Dulu, aku masih sibuk meresapi catatan-catatan yang kami perbincangkan, namun kali ini aku justru menyesali semua perbincangan itu. Yang timbul kali ini adalah rasa penasaran hebat tentang jalan salah yang membuatku candu itu. Malam itu, di kamar kecilku aku menyusun rencana baru. Sebuah perencanaan yang sesungguhnya di luar kebiasaanku. Aku seperti terlahir sebagai pribadi baru dan kesenangan yang baru pula. Aku begitu instan berubah menjadi seorang detektif penasaran yang akan mengulas habis apa di balik jalan salah itu.
Keesokan harinya menjadi hari yang baru bagiku. Perjalanan tanpa catatan-catatan penting, tanpa perbincangan menyoal catatan itu dan mengakhirinya ketika matahari kembali menunjukkan tanda kepergiannya. Jam kuliah usai mengawali aktivitas baruku. Misiku kali ini bukan mengenai menemukan jalan yang tepat, namun memilih jalan yang salah untuk mencari tahu magnet apa yang selalu menarikku ke jalan itu. Aku pun menuju tempat itu,dan nalar liarku membisikkan pesan bahwa kali ini dan sebelumnya sesungguhnya aku telah memilih jalan yang tepat. Aku tak tahu teori apa yang mendasari bisikan itu sehingga terdengar sangat akurat melebihi kebenaran umum yang disepakati semua manusia di dunia ini. Entah kenapa pula motorku berjalan begitu lambat, seolah aku mengendarai motor di jalan yang berlubang, padahal mulus, bahkan tanpa kerikil satu pun. Namun rasa penasaranku mencoba mengkhianati waktu itu hingga aku merasa begitu bersemangat menyusuri jalan itu.
Sepuluh meter pertama tak menjawab rasa penasaranku sama sekali. Keadaan yang tidak berbeda dengan jalan seberang yang menuju rumah sahabatku. Jalan sempit yang lazim disebut lorong, hanya berisi rumah yang berjejeran di sisi kanan dan sisi kiri jalan. Namun belum kutemukannya ujung jalan itu membuatku semakin bersemangat dan semakin penasaran mencari rahasia besar di jalan itu. Aku begitu yakin bahwa ada sesuatu yang benar yang selama ini sahabatku anggap salah. Sepuluh meter kedua aku menemukan tanah kosong yang hanya ditumbuhi rumput liar dan ditongkrongi oleh sapi dan kuda yang entah punya siapa. Mereka begitu asyik melahap rumput-rumput itu, dan sang rumput begitu ikhlas diahap. Masih terbilang biasa meskipun sudah berbeda dengan situasi di sepuluh meter peratama. Kulanjutkan perjalananku. Sepuluh meter ketiga membuatku sedikit tertarik melihat anak-anak yang bermain bola di sebuah lapangan mini. Aku sangat suka dengan sesuatu yang meriah. Meriah tidak selalu mahal dan mewah. Sesuatu kecil yang bisa menghasilkan kesenangan luar biasa bagiku adalah sebuah kemeriahan. Meskipun membuatku mampir sesaat, namun suasana itu rasanya bukan sesuatu yang paling luar biasa di sepanjang jalan ini. Dan, kulanjutkan perjalananku di sepuluh meter keempat. Di sana suasana sudah menunjukkan sedikit keluarbiasaan bagiku. Di area ini ternyata dihuni oleh beberapa keluarga miskin dengan dinding-dinding rapuh dan atap bocor yang mereka gunakan sebagai tempat berlindung dan bermukim. Tampak seorang ibu memandikan anaknya yang kotor dan dekil. Mungkin anak itu adalah anggota kawanan anak-anak yang bermain bola di sepuluh meter ketiga. Terlihat juga seorang bapak tua yang sedang duduk di tangga rumah panggungnya sambil merenung, mungkin meratapi nasibnya atau memunculkan harapan dalam benaknya untuk hidup lebih baik. Dan masih banyak suasana lain yang tak sempat aku tangkap. Cukup mempesona, namun lagi – lag tak membuatku yakin bahwa itu adalah kebenaran yang aku cari. Dan, aku kembali melanjutkan perjalananku hingga aku harus berhenti di ujung jalan itu. Aku kecewa dan menyesal. Kecewa karena tak mendapatkan sesuatu yang aku cari dan menyesal mengapa harus menyempatkan diri menyusuri jalan yang tak berisi sesuatu yang istimewa, lagi-lagi menyesal karena harus berseteru dengan sahabatku dan menghentikan kebiasaan mencatatku. Adzan magrib membuatku mampir sejenak di ujung jalan itu untuk melaksanakan kewajibanku. Mungkin setelah shalat dan berdoa aku mendapatkan magnet yang aku cari itu. Sesuatu yang membuatku selalu memilih jalan yang salah bekali-kali. Setelah menjalani kewajiban, aku pulang, menyusuri jalan yang sama namun dari awal yang berbeda. Di mulutku hanya kata sesal dan kecewa. “Ternyata benar, selama ini aku memilih jalan yang salah.” Kataku dengan maksud meyakinkan diri sendiri bahwa aku memang salah.
“Entah kenapa aku ingin mengunjungi rumah sahabatku dan meminta maaf telah berbuat salah selama ini. Namun, aku begitu terkejut ketika sampai di halaman rumah sahabatku dan kudapati dia tengah mabuk berat, diapit oleh dua wanita yang begitu setia di pelukannya. Kulihat sekitar, tetangganya juga melakukan hal yang sama. “Apa aku berada di jalan yang benar atau salah sekarang ini…? Apa aku selama ini betul-betul mengantarkan sahabatku ini pulang ke rumahnya atau justru ke alamat yang salah. Dia yang selama ini mengajarkanku tentang mencatat peristiwa dan perasaan agar memilih jalan yang benar nantinya justru melakukan hal yang salah. Apa semua catatan dan semua perbincangan kami selama ini hanya bualannya saja ….? Atau topeng yang menyembunyikan wajah aslinya….? Memang tepat aku menuruti perintahnya untuk menghentikan semua perbincangan itu, karena semakin aku berbincang, ternyata kedoknya semakin tebal menyembunyikan identitas asli bahwa dia telah memilih jalan yang salah. Ya….dialah yang selama ini memilih jalan yang salah.
Tunggu dulu, perjalananku di jalan seberang berakhir di sebuah masjid yang memanggilku mampir ke rumah Tuhanku. Mungkin itulah kebenaran. Bukan mungkin, tapi aku sudah sangat yakin, itulah magnet yang meyeretku selama ini. Itulah yang mengingatkanku bahwa selama ini ketika aku mengantar sahabatku pulang ke rumahnya, rupanya aku memilih jalan yang salah. Dan jalan yang kupilih oleh temanku dianggap salah karena tak membuatnya sampai ke rumahnya adalah jalan yang benar. Di sana berisi rumah mewah, lapangan bola mini, pemukiman kumuh, dan berakhir di sebuah masjid. Ya…itulah jalan yang benar. Ternyata magnet itu adalah sebuah kebenaran yang mengajakku menghamipirinya selalu. Semua perbincangan tentang peta menuju jalan yang benar antara aku dan dia hanyalah kesalahan yang mengantarku ke jalan yang sesungguhnya, yakni jalan yang betul-betul benar. Jalan yang mulus tanpa kerikil sebiji pun, tanpa kesuraman, dan ketidakpastian. Aku telah menemukan jalan yang benar,” seruku dalam hati sambil meninggalkan sahabatku yang masih asyik berpesta di jalan yang salah.
Makassar, 11 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar