Selasa, 16 April 2013

SEMANGKUK MOTIVASI OLEH STANISLAVSKY



(gambar diambil dari www.wikipedia.com)

Apakah benar semua hal memiliki alasan?

Seseorang pernah menyatakan bahwa aktor adalah pembohong ulung. Menurutnya, kejujuran hanya ada dalam realita dimana kita tak akan sanggup menyangkalnya. Waktu membawa kejujuran. Panggung sandiwara hanya sebuah kebohongan. Kejujuran seolah bersembunyi di belakang panggung, menunggu penonton bubar, kemudian menampakkan diri tanpa sempat mendapatkan tepuk tangan riuh. Seseorang itu masih bertahan bahkan terperangkap dalam paradigma "akting adalah berpura-pura".

Manusia dengan kehidupannya adalah rangkaian cerita yang selalu menarik. Bahkan dalam keadaan jenuh sekalipun, manusia cenderung membaginya. Hal yang layak dibagi adalah hal yang tidak layak didiamkan. Hal yang tak layak didiamkan adalah hal yang menarik. Manusia dengan segala ceritanya membaur dalam banyak kejadian. Putus cinta, sosialisasi buruk, keinginan yang belum tercapai, rintangan berat, perselisihan, dan semua hal-hal di dalamnya. Dari semua cerita itu, hanya Tuhan yang telah membacanya. Kita hanya terjebak dalam pertanyaan, ketidaktahuan, bahkan belum menyentuhnya sama sekali. Panggung mengambil peran dalam hal ini. Kisah-kisah yang belum sempat tersentuh oleh khalayak umum, perasaan terkecil yang mungkin hanya jadi konsumsi privasi akan menguak, memberontak, berbicara di atas panggung. Mengapa harus panggung? Sederhana saja. Manusia dengan segala kesibukannya tidak punya banyak ruang untuk melihat sekitarnya. Mengapa harus akting? Sangat sederhana. Masing-masing subyek tak akan pernah bisa menjadi subyek yang lain.

Di sebuah warung pinggir jalan, semangkuk mie instan dengan asapnya yang mengepul menampar penjelajahanku. Aku membuka buku yang baru saja aku pinjam dari perpustakaan sanggar.

"Semua gerak laku dalam panggung harus berdasarkan motivasi, bahkan dalam keadaan duduk diam." Constantin Stanislavsky adalah kiblat terpentingg dalam dunia teater. Dalam bukunya, kita diarahkan untuk berlaku di atas panggung dengan motivasi. Sederhananya bergearak dengan alasan. Artinya, segala sesuatunya harus memiliki alasan. Perlahan tapi pasti, pertanyaan besar muncul di kepalaku. Ketika teater adalah refleksi kecil dari kehidupn yang besar, apakah dalam realitanya, segala hal membutuhkan alasan?

Secara kasat mata, aku bisa saja membenarkannya. Realita adalah kenyataan. Ia pasti. Logisnya, hubungan sebab akibat. Segala sesuatu memiliki sebab hingga ia berakibat pada sesuatu juga. Bagaimana dengan cinta?

Dari semangkuk mie instan, aku beralih ke dunia sosial media. Tengah malam adalah waktu di mana di sana akan selalu marak oleh pujangga. Aku menghidangkan pertantayaan yang sama. Mengapa tengah malam adalah waktu yang tepat untuk menjadi pujangga? Orang - orang termasuk aku merasa nyaman berkicau dengan diksi - diksi, menulis syair, prosa pendek, dan hal-hal yang berbau sastra, kemudian membaginya, dan tengah malam selalu menjadi saat yang tepat. Aku mencoba mencari alasannya, demi membenarkan teori Stanislavsky ini. Setelah perenungan beberapa menit, aku sampai pada sebuah kesimpulan. Tengah malam adalah saat - saat dimana keheningan begitu mudah didapatkan. Lanjut, kata- kata indah akan mudah muncul di saat-saat hening. Pertanyaanku bercabang. Mengapa harus menulis puisi di tengah malam? Apa yang memotivasinya? Sembari menunggu, aku menyantap mie instanku. Semangkuk habis, dan pertanyaan itu pun terjawab. Ada keinginan untuk menonjolkan sisi elegan di tengah malam. Ada keinginan untuk menunjukkan sisi lain yang tak dikenal orang, mencari dan mencuri perhatian. Ada juga keinginan untuk menunjukkan sisi romantis diri. Karena banyak dari kita yang terjebak pada persepsi karya sastra sebagai sesuatu yang mesti romantis. Parahnya jika ada yang memilih motivasi ini, sedang mengikuti tren. Sisi positifnya, ia mengakui kehebatan sastra. Sisi negatifnya, sastra hanya sebatas tren. Aku memilih motivasi ketertarikan. Aku menulis karena aku suka. Sayangnya lagi, banyak dari kita menjadikan kalimat-kalimat gombal sebagai karya sastra. Miris.

Tengah malamku diliputi alasan-alasan yang belum pernah kujumpai. Sepeti halnya, mengapa tempat makan tengah malam ku ini tiba-tiba menjadi temoat tongkrongan favorit. Padahal dulunya, tempat ini dibatasi oleh seniman saja. Tentu saja, orang yang bergerak ke sini memiliki motivasi yang jelas. Tempat ini strategis. Di tempat ini menunya murah dan enak. Semua datang membawa alasan. Semua tiba dengan bekal motivasi.

Aku sering mendengar bahwa mencintai dengan tulus berarti mencintai tanpa alasan. Katanya, ketika kita mencintai seseorang dan kita tidak menemukan alasan mengapa kita mencintainya, artinya ada ketulusan yang kuat di dalamnya. Logikanya, tanpa alasan artinya kita siap berbagi, menerima semua yang ada dalam dirinya. Tanpa memerlukan penelitian, pernyataan ini cukup ilmiah. Bagaimana dengan Stanislavsky? Apakah ia mencintai seseorang dengan motivasi? Pertanyaan itu menggangguku.

Aku berusaha menghabiskan perkara cinta itu. Bagiku mustahil seseorang mencintai tanpa alasan. Semua butuh motivasi. Hal pertama yang sangat jelas adalah manusia pasti akan mencinta. Itulah mengapa kita lebih baik dari makhluk lain. Kedua, Tuhan telah menyiapkan jodoh. Artinya, cepat atau lambat, kita akan mencinta. Ketiga, selalu ada hal menarik dalam diri sesorang. Di antara semua hal menarik itu, selalu ada yang membuat kita memutuskan bahwa kita mencintainya. Cinta tanpa alasan hanyalah teori pujangga yang berkicau di tengah malam melalui sosial media. Aku sepertinya memilih ini: "Aku mencintaimu karena Tuhan mengizinkanku." Semua atas izin Tuhan bukan? Toh, Tuhan menciptakan manusia dengan alasan. Kita terlahir dengan sebuah alasan. Kita juga akan mati dengan sebuah alasan. Surga dan neraka ada dengan alasan. Bukti-bukti kekuasaan Tuhan pun terbukti. Tercatat dengan jelas di kitab suci. Ditemukan oleh manusia itu sendiri. Semua ciptaan Tuhan memiliki fungsi. Maka, Tuhan menciptakannya dengan motivasi yang jelas. Hanya saja pikiran dan batin kita yang membuatnya terlihat kabur, bahkan cenderung tidak ada.

Aku kembali. Di atas meja makanku ada semangkuk mie instan. Di dalamnya ada beribu, berjuta, bahkan tak terhitung motivasi. Hingga mangkuk ini kering aku terus berpikir dengan jutaan motivasi. Hal yang memotivasiku hidup adalah kematian. Setelah kematianku, akankah ada motivasi - motivasi lain?

Di warung Gedung kesenian Societeit de Harmonie Makassar

Terima kasih, Stanislavsky

Chat Room Bloofers