BLACKBOX
Minggu, 08 Maret 2015
SAAT KEDUA PASANG MATA KITA BERTEMU
Kau memalingkan wajah menjarah setiap lambaian tangan
Entah sengaja atau tidak, pandanganmu jatuh di mataku
Kita bertatapan cukup lama, mencoba menerka tentang apa, siapa, dan bagaimana
Seperti kau telah mengenalku cukup lama, lalu mencoba memeriksa ingatan dengan seksama
Pun seperti aku telah mengenalmu cukup lama, lalu mencoba menerka perasaan yang begitu perkasa
Ada banyak hal yang terjadi di saat yang sama
Di belahan bumi lain, misalnya
Laut menggulung tinggi, air pasang menjadi kejam
Daratan adalah lahan siap saji nan pasrah
Saat yang sama, di sebuah pesta, sekumpulan manusia tengah larut dalam hingar bingar cahaya
Gelap disamarkan oleh kedipan lampu-lampu
Gelap–gelas berkilau diangkat seperti persembahan untuk dewa
Lalu suara musik berbunyi keras, terdengar hingga ke alam mimpi seseorang
Di saat yang sama pula, ketika dua pasang mata kita bertemu
Di seberang jalan sana, daun dari pepohonan tua mulai berguguran
Sekarang, tak ada yang bisa menerka musim
Ramalan cuaca sama sekali tidak berguna
Hujan tak lagi milik puisi
Terik tak lagi milik keluh
Abu-abu bukan lagi sebuah ketidakjelasan
Melainkan sebuah warna yang dibubuhkan seorang anak di atas gambar payung untuk ibunya
Mendung tak lagi murung, atau mengurung, atau burung-burung yang murung karena terkurung
Saat kedua pasang mata kita bertemu, tersisa satu ihwal
Ialah hasil dari pemeriksaanmu terhadap ingatan, juga hasil penerkaanku terhadap perasaan
Benarlah adanya, kita memikirkan dua hal yang berbeda
Kau menemukanku di masa lalu kala memeriksa ingatan
Aku meletakkanmu di masa depan kala menerka perasaan
Dan benarlah adanya, mungkin kita mencintai orang yang berbeda
Kau mencintaiku, aku malah mencintaimu
Makassar, 2014
Senin, 20 Oktober 2014
Mendengarkan Fix You
Saat semua orang bergegas mengejar waktu, aku memilih berjalan saja
Sebab waktu tidak secepat yang kita kira
Sebab waktu tidak pernah tergesa-gesa
Kita yang panik, takut, gelisah, seolah waktu akan meninggalkan kita
Kita yang udik, ciut, resah, seolah waktu segera mendatangkan kematian di halaman jantung kita
Kakiku telah menapaki berbagai jalan
Tubuhku sudah sampai di berbagai tujuan
Aku sudah cukup banyak kehilangan
Aku pun sudah sangat sering hilang
Kata-kata bergerak
Tak peduli terhadap tinta
Tak acuh kepada penulisnya
Ia melampaui pikiran-pikiran dan waktu yang tak pernah menambah kecepatannya
Langit tak sebijaksana udara
Sebut saja ia tinggi, menjulang, perkasa
Namun udara, tak perlu kaulihat, tak perlu kausentuh, cukup hirup maka kau akan hidup
Di pembaringan udara
Aku rebah menatap angkasa
Lalu tengkurap menutup bumi
Kulihat rumpun daun keladi menampung sisa-sisa hujan
Saat itu aku belajar dari daun keladi
Ia selalu tabah
Tak akan dibiarkannya air mata jatuh sia-sia
2014
Selasa, 24 Juni 2014
MARKISA DAN BAMBU PENYANGGA
Kau markisa, aku bambu penyangga di kebun kecil milik tuan rumah
Batangmu merambat di sekujur tubuh tegarku
Daunmu rebah di dada cembungku
Kulitku akrab denganmu
Di setiap bentangan dan pendirianku, menggantung buah-buah mungilmu
Kita hidup bertetangga dengan kawanan pohon pisang, keladi, mangga, dan jambu
Beruntunglah aku menua
Saat seusia rebung, tuanku melancong meninggalkan rumah
Saat dewasa, tuan pulang dan menebangku
Saat itu,kukira aku sudah mati
Nyatanya aku batang bambu yang tak lagi bisa tumbuh
Dibelah, dibilah, lalu ditancapkan oleh tuan
untuk menyanggamu, rela dijalari olehmu
Di suatu pagi aku menjumpaimu mati
Batangmu menguning
Daunmu mengering
Buahmu tinggal sebiji
Kau gersang di musim penghujan
Aku tetap berdiri dan membentang
Menunggu batangmu kembali tumbuh dan merambati tubuhku
Menunggu daunmu kembali tumbuh merebahi dadaku
Menunggumu kembali berbuah dan bergantung kepadaku
Namun kau benar-benar tiada
Jadilah aku sebatang bambu tua
Menunggu waktu dihabiskan serangga
Sementara itu, aku hanya mampu menyangga udara
Camba, 31 Maret 2014
Fadhli Amir (@Botsun)
Batangmu merambat di sekujur tubuh tegarku
Daunmu rebah di dada cembungku
Kulitku akrab denganmu
Di setiap bentangan dan pendirianku, menggantung buah-buah mungilmu
Kita hidup bertetangga dengan kawanan pohon pisang, keladi, mangga, dan jambu
Beruntunglah aku menua
Saat seusia rebung, tuanku melancong meninggalkan rumah
Saat dewasa, tuan pulang dan menebangku
Saat itu,kukira aku sudah mati
Nyatanya aku batang bambu yang tak lagi bisa tumbuh
Dibelah, dibilah, lalu ditancapkan oleh tuan
untuk menyanggamu, rela dijalari olehmu
Di suatu pagi aku menjumpaimu mati
Batangmu menguning
Daunmu mengering
Buahmu tinggal sebiji
Kau gersang di musim penghujan
Aku tetap berdiri dan membentang
Menunggu batangmu kembali tumbuh dan merambati tubuhku
Menunggu daunmu kembali tumbuh merebahi dadaku
Menunggumu kembali berbuah dan bergantung kepadaku
Namun kau benar-benar tiada
Jadilah aku sebatang bambu tua
Menunggu waktu dihabiskan serangga
Sementara itu, aku hanya mampu menyangga udara
Camba, 31 Maret 2014
Fadhli Amir (@Botsun)
Kamis, 03 April 2014
DOA PEPOHONAN NIPAH
*Foto oleh Sofyan Syamsul*
Selamat beribadah duhai pohon-pohon nipah
Kau menyembah begitu tekun sepagi, sesiang, sesore, sesenja, semalam suntuk
Aku memberanikan diri naik perahu menyeberangi sungai malu-malu
Salam jumpa
Sungai Pute yang menghidupimu serupa sirkuit
Namun perahu-perahu tak pernah balapan
Tak ada kebut, bahkan saat air pasang
Mungkin ia sengaja agar kita bisa berpapasan, bertatapan
Atau bisa saja kita ditarkdirkan menjalin jala di jalan
Menjerat masing-masing mata kita
Atau mungkin mata kita sebenarnya mati
Tak mampu lagi saling menatap
Diasuh udara, tempat semua pertemuan menetap
Sedang udara di sini aman
Sungguh pertemuan kita nyaman
Saat air surut, perahu seperti siput yang belajar berenang
Dipikirnya sungai itu kubangan
Namun kau masih saja setia
Menjaga rumah-rumah penduduk
Dari santapan air yang seketika membawa petaka
Teruslah berdoa duhai pohon-pohon nipah
Jika manusia yang berkunjung tak mampu menemani
Tunaikanlah sesembahanmu
Dengungkan ke telinga Telaga Bidadari
Dan para bidadari telaga itu akan menari
Melentikkan jemarinya ke kanan ke kiri
Teruslah berdoa duhai pohon-pohon nipah
Kawanan kera juga tengah berdoa
Masing-masing berhenti di ranting tua
Mendoakan agar ranting itu tak patah
Dan langit yang merasa paling lapang itu
Cemburu pada pohon-pohon lain di pundak gua
Teruslah berdoa duhai pohon-pohon nipah
Katakanlah pada langit setinggi-tingginya
Ia akan menyambutmu dari puncak ubun-ubunnya
Lalu teruskan doamu hingga langit tak mampu lagi mendaki
Sebab Tuhan berada di kasta tertinggi
Teruslah berdoa duhai pohon-pohon nipah
Sebarkanlah pada air sedalam-dalamnya
Lumpur akan menghalangimu di sana
Tapi, teruskan saja doamu
Jadilah dasar terdalam
Sebab lumpur bukan plastik
Ia lembut dan akan kalah
Dan Tuhan penyelam handal
Sedalam apapun doamu karam
Teruslah berdoa duhai pohon-pohon nipah
Belibis muda tak goyah oleh angin dewasa
Angin purba masih lebih perkasa
Meski di kepala manusia
Semua telah binasa
Berdoalah untuknya
Teruslah berdoa duhai pohon-pohon nipah
Bebatuan kapur yang menancap
Kuanggap sebagai bunga-bunga di sekitaran jalan
Bukan polisi tidur yang bermaksud menghentikan sejenak
Lalu ditinggalkan begitu cepat
Disisakan deru nafas knalpot kendaraan
Tuhan menanam bebatuan kapur itu
Lalu dunia meletakkannya di peta
Sayangnya tuan rumah tak peduli
Sebagian berubah menjadi atom semen
Demi rumah si tuan serakah
Teruslah berdoa duhai pohon-pohon nipah
Di sekelilingmu ada keluarga gua
Saling terhubung, saling terpisah
Gua-gua purba itu memang ramah
Taat membuka mulutnya
Untuk didatangi-ditinggalkan kelelawar setiap harinya
Ia menganga semula hidupnya
Akan terus menganga selepas nyawanya
Berdoalah untuknya
Dan kelelawar juga paham
Ia menjatuhkan kehidupan di sana
Rakyat kerajaan menggantungkan nyawanya di tebing curam
dan menggantungkan hidupnya pada karung kotoran sang tikus terbang
Teruslah berdoa duhai pohon-pohon nipah
Serukan permohonanmu mengantarku ke tujuan
juga perahu-perahu yang setia kutunggangi
dan air Sungai Pute yang tabah kulandasi
Teruslah berdoa duhai pohon-pohon nipah
Aku juga tengah berdoa
Sesampaiku di dermaga terakhir
Akan kusampaikan pada penduduk di sana
Dusun Rammang-Rammang sebenarnya istana
Berlindung dari tangan-tangan penjamah
yang hendak mencabut stalagtit dan stalagmit
Membawanya pulang ke rumah
Juga kau adalah penjaga
Bagi istana Rammang-Rammang
Dari serangan tangan-tangan penjamah
Hendak menjabat telapak tangan yang menempel di dinding gua
Pasti kau adalah penjaga
Bagi istana Rammang-Rammang
Sisa dunia purba
Yang hanya dikenal lewat sejarah
Terus dikenang oleh teori ilmiah
Lalu dihilangkan dari peta
Tidak banyak yang tahu
Kau penjaga istana
Teruslah berdoa duhai pohon-pohon nipah
Jangan hiraukan penguasa
Mata mereka dibatasi gedung-gedung mewah
Jendela mereka hanya mengarah ke jalan raya
Mereka sudah lupa
Kota yang dibesarkan seperti buah tangan pesulap itu
adalah bulir air mata bebatuan kapur
yang setia kaujaga sepanjang doa
Teruslah berdoa duhai pohon-pohon nipah
Sungguh aku merasa aman kautemani hingga pintu istana
Semalam saja aku di rumah raja
Esok saat hujan reda
Tetaplah berjaga juga berdoa
dan antarkan aku menuju dermaga
Tempat kita memalingkan mata
Namun ingatlah
Bukankah mata kita telah menetap di udara?
Aku menghirupnya setiap kelana
Teruslah berdoa duhai pohon-pohon nipah
Jika ada pelancong yang bertanya
Katakanlah, ini Indonesia
Bukan Vietnam atau China
Jangan lupa
Berdoalah juga untuk mereka
(2013)
Elegi Lupa
Kadang aku membayangkan
kenangan mendadak lupa,
hingga tak ada yang perih saat membuka
atau terlampau girang kala mengulang.
Tetapi setiap orang punya ingatan
dan ingatan tak pernah lupa.
Lalu aku membayangkan
ingatan tiba-tiba lupa,
agar kemarin dan waktu sebelumnya
ikut dikubur masa.
Tetapi setiap orang punya perasaan
dan perasaan sanggup menjangkau apa saja
Lalu aku membayangkan
perasaan seketika lupa
dan hati bukan lagi timbangan sempurna.
Tetapi setiap orang punya engkau
yang selalu hadir di setiap langkah dan jeda.
Lalu aku membayangkan
kenangan, ingatan, dan perasaanku tak punya engkau.
Tetapi aku punya waktu
Terus kubayangkan tak punya waktu.
Lalu aku mati.
Untuk siapa saja yan telah berbuat baik bagi bangsa dan negara. Besar-keclinya upaya, mereka telah mengubah keluh menjadi peluh yang berharga.
Makassar, 2013
Sabtu, 22 Februari 2014
Ada Tabungan Di Belahan Dadamu
Entah berapa banyak,
tampaknya bra tak mampu lagi menampung
hingga mereka sedikit menampakkan wajahnya.
Katamu dengan begitu kau kelihatan kaya
dan lelaki yang menemukanmu akan segan membayar murah.
Untuk semalam yang menuntaskan birahi lama lalu melahirkan birahi baru.
Untuk sepanjang hidup yang memaksamu menabung malu
di kedalaman belahan dada.
tampaknya bra tak mampu lagi menampung
hingga mereka sedikit menampakkan wajahnya.
Katamu dengan begitu kau kelihatan kaya
dan lelaki yang menemukanmu akan segan membayar murah.
Untuk semalam yang menuntaskan birahi lama lalu melahirkan birahi baru.
Untuk sepanjang hidup yang memaksamu menabung malu
di kedalaman belahan dada.
Rabu, 19 Februari 2014
KATA CINTA
Di bibir sebuah meja perdebatan, tiga orang membahas cinta:
Orang pertama mengatakan cinta adalah kata benda.
Sebab ia diberi dan dibagi.
Orang kedua membantah. Katanya cinta itu kata kerja.
Sebab ia memberi dan membagi.
Orang ketiga berbeda. Baginya, cinta ialah kata sifat.
Sebab memberi dan diberi, juga membagi dan dibagi adalah tabiat cinta.
Perdebatan terus berlanjut dengan bukti.
Dari semua bukti yang ada di kepala tiga orang itu, hanya satu yang nyata:
Cinta berhenti hanya sebagai kata.
Orang pertama mengatakan cinta adalah kata benda.
Sebab ia diberi dan dibagi.
Orang kedua membantah. Katanya cinta itu kata kerja.
Sebab ia memberi dan membagi.
Orang ketiga berbeda. Baginya, cinta ialah kata sifat.
Sebab memberi dan diberi, juga membagi dan dibagi adalah tabiat cinta.
Perdebatan terus berlanjut dengan bukti.
Dari semua bukti yang ada di kepala tiga orang itu, hanya satu yang nyata:
Cinta berhenti hanya sebagai kata.
Langganan:
Postingan (Atom)