Sabtu, 16 Juni 2012
SEPUCUK SURAT TAK TERBACA
Hanya memulai itu sebuah acuan lantas kau mengagungkannya Kemudian tengah itu proses kau menyungguhinya Dan akhir itu hasil kau mengejarnya Adalah air yang hampir menyamai waktu Ialah kagum yang hampir menyamai cinta Dan mati yang berhasil menyerupai hidup Terlahirlah atom-atom Berkumpullah mereka dalam sebuah medan, bereaksilah mereka membentuk partikel, lalu unsur, lalu senyawa Kitakah kimia itu? Berwujudlah yang nyata, setelah ia berbentuk, setelah ia tercitra, lalu ia bernama, lalu ia berdefinisi, lalu ia terurai kembali, dan muncullah pemahaman-pemahaman, lalu ia diteliti, lalu ia diteorikan, lalu ia menjadi panutan Berbekaslah sebuah sejarah, setelah ia menjadi kini, setelah ia hanya kemarin, setelah ia sebatas masa lampau, setelah ia berhasil dikenang Terhidanglah makanan, setelah ia hanya tumbuhan, hewan, setelah ia ditemukan, setelah ia diketahui bergizi, setelah ia diolah, kemudian terhidang, kemudian dikunyah, kemudian dicerna, kemudian berfaedah Bersembunyilah hitam, di balik cerah warna warni, dibalik gradasi indah, di balik pelangi, di balik putih, di balik hitam yang tak cukup pekat Terlahirlah manusia, setelah ia hanya embrio, setelah ia menginap di rahim, setelah ia dibisikkan Tuhan, kemudian ia bernama, kemudian ia tumbuh, kemudian ia belajar, kemudian ia mengotori diri lalu meminta maaf, kemudian ia mengulangi kesalahan, lalu ia malu, kemudian ia berhasil setelah ia gagal, kemudian ia gagal hingga ia mati, hingga ia hijrah, hingga ia harus menyerahkan segala pinjamannya Berkata-katalah bahasa, setelah ia hanya sebatas titik, kemudian menjadi garis, kemudian menjadi huruf, kemudian menjadi kata, kemudian menjadi kalimat, kemudian berbentuk paragraf, kemudian ia bercerita, kemudian ia bermakna Diketahuilah kehidupan setelah kita sadar, setelah kita lelah bersenda gurau, setelah kita jemu berbaring, setelah kita penat dengan udara, ketika kita habis di ketiadaan, ketika kita merasa butuh, ketika kita merasa ingin, ketika semua harus terpenuhi, lantas ia harus terus berlanjut Sepucuk surat, ia aktif, tidak dalam kaidah, tidak dalam penemuan, tidak dalam pencitraan, tidak dalam hukum pemaknaan, tidak dalam alam bawah sadar, tidak dalam dinamika, tidak dalam keharusan, tidak dalam keperluan, semua begitu saja tanpa ada yang tahu, mungkin tanpa sempat membaca Kemudian kita bertanya, siapa aku? Kau siapa? Kita di mana? Kita harus melakukan apa? Lalu terseretlah sepucuk surat aktif terbawa angin bersama debu, setelah meniup rumput, bunga-bunga, semak belukar, padan ilalang, udara yang diam, sementara gravitasi tak kuasa menariknya rapat dengan tanah, sang lantai bumi yang luas Terbersitlah cinta, kemudian manusia merasa, kemudian menikmati, kemudian merasa indah, kemudian abjad pun terlibat, berpadu, sedikit memaknai, banyak memolesi, membuatnya indah, membuatnya terlihat, terdengar agung, ada juga yang membuatnya seperti lelucon, kekanak-kanakan, feminis, cengeng, air mata, pengorbanan yang bodoh, alibi-alibi atas kesalahan, pertahanan terkuat, gelak tawa di sepanjang perjalanan waktu, hingga kita lupa bahwa ada waktu yang terus berlalu, dan tak akan menunggu Membumilah puisi, atas nama cinta, atas nama Tuhan, atas nama keluarga, atas nama kehidupan, atas nama aksara, atas nama identitas, hilang tanpa ada apa-apa, hanya selembar surat tak terbaca Kemudian setelah semuanya, semua tanpa sisa, semua yang bersembunyi akan terkuak Semua yang berpadu akan berpisah, semua yang terurai akan berjalan sendiri, mengikuti keharusan, menuruti aturan, tak ada kebebasan, tak ada pengekangan, tak ada apa-apa Dan Semuanya akan berhenti, waktu tak akan berhenti, ia terus melaju, mengikuti perintah Sang Maha Tahu, walau ia sendiri tak tahu mengapa harus terus melaju, walau ia tak tega harus terus tega Kita hanya miniatur, kecil, walau ada yang luas di luar sana, mungkin hanya analogi yang hiperbola, mungkin saja puisi tak akan pernah bermakna, selembar surat tak terbaca, tersimpan penuh debu dalam lemari bersama peluh, bersama tangis, bersama bibir yang merekah, bersama perasaan yang terkuras habis, kering, terjemur, terbakar dan hangus, abunya pun lenyap ditiup Tuhan Keluarlah yang kita yakini, ia berjejer menanyai mata, menanyai telinga, menanyai lidah, menanyai kulit, menanyai hidung, ,menanyai sekujur tubuh, dan hati tak pernah berdusta, ia tega seperti waktu, mereka adil, kita yang tak bertanggungjawab Kemudian aku tak mampu lagi menulis lalu, menulis kemudian, menulis setelah itu, aku tidak tahu, kau pun tidak tahu, hanya pasrah, berserah, tanpa sempat lagi bergegas, tanpa sempat lagi berpuisi, tanpa sempat lagi berkata, puisi sang surat tak terbaca adalah diriku, tertiup angin bersama debu, bersama partikel udara yang mengurai kembali menajdi atom-atom tunggal, egois, enggan menyatu, dan klorofil pun tak mau melahirkan oksigen Kenyangkah dirimu? Apakah kau akan sangat menghargai awal, begitu menyungguhi tengah, dan setia menanti akhir Itu saja? Apakah kau akan berkata akulah puisi yang tak sempat terbaca, maka bacalah aku saat ini Dan Semuanya tak sempat lagi
Jumat, 08 Juni 2012
BUKAN SAJAK MALAM
Apa kabar tengah malam? Entah mengapa manusia menamaimu tengah malam, padahal bagiku kau bukan sebuah perjalanan waktu yang berawal, menengah, dan berakhir. Aku hanya tahu kau kadang indah dengan bulan dan bintang yang membuat manusia seketika berubah menjadi pujangga.
Aku lebih suka menikmatimu, menemanimu, dan kau tidak pernah habis, bahkan saat pagi datang kembali. Harus bercerita apa aku kali ini? Kabarmu statis, lalu kenapa pula aku menanyakannya? Saat ini hujan turun, bagiku kabarmu tetap statis. Oh, iya, aku hanya ingin berbasa-basi seperti manusia lainnya. Kabar adalah sesuatu yang mesti ditanyakan saat berjumpa, entah ketika itu sudah sangat lama baru berjumpa, atau kemarin baru saja jalan-jalan keliling kota. Mungkin itu sebuah kewajiban, apakah harus kusimpulkan bahwa basa-basi telah menjadi sebuah kewajiban tanpa hukum yang nyata? Seperti adat, turun-temurun, tidak formal, namun ada, atau justru itulah nyata yang seseungguhnya?
Serangga-serangga kecil ini menggangguku, aku bahkan mengabaikan kalau sesuatu yang menggangguku itu justru sumber kehidupannya, ia tidak memilih untuk menjadi pengganggu, hanya saja kita yang merasa terganggu, padahal akan ada masa di mana kita akan rindu untuk diganggu, entah oleh siapa, mungkin oleh serangga-serangga itu.
Aku ingin menangis, tanpa sebab, air mata ini jarang keluar. Aku ingin sedih saat ini dan aku merasa sedih, bukan karena apa-apa, bukan karena cintaku padanya tak terbalas, bukan karena aku tak berhasil berada di puncak, bukan karena aku tidak merasa nyaman, aku hanya merasa sedih, aku tak harus sedih, tak harus menangis saat ini, hanya saja aku ingin, ingin sekali. Mungkin ini lebih baik daripada aku harus berpura-pura menangis.
Halusinasi tingkat tinggi, ketika apa yang tidak nyata ini, aku yakin ini tak nyata, namun aku merasa ini nyata, sangat nyata. Kita bersua, hujan mengguyur, mengguyur apa saja, bahkan mengguyur apa yang tersembunyi di bawah tanah, di serat-serat, di partikel-partikel, sampai ke atom-atomnya.
Apakah ini sajak? Tidak, ini hanya sebuah kejujuran, kejujuran atas apa yang sedang dirasakan, karena perasaan bisa berubah setiap detiknya, dan ketika aku menulis seuatu yang selalu berubah, bukankah aku tengah menulis sebuah kejujuran? Aku terlalu banyak mengaktifkan subjek, hingga lupa menjadi pasif, untuk diapakan saja, pasrah, aku pasif di hadapan Tuhan.
Hei, malam, biarkan aku menyebutmu malam saja, itu sudah sangat indah, sedikit cahaya selalu indah. Bahkan tanpa bintang, tanpa bulan, tanpa pujangga dadakan, pujangga sebenarnya, sajak-sajak ilusi, diksi-diksi spektakuler, rima-rima rapi, tema-tema yang situasional, teks-teks yang selalu hidup, prosa-prosa yang menggema, hingga cerita-cerita yang luar biasa nikmat,, kau tetap malam yang kukenal, indah. Itulah mengapa kau statis bagiku, statis tidak selalu apatis, atau enggan berubah, tapi sebuah kesetiaan, atau jati diri, atau identitas, atau nama yang banyak membuat orang tidak bangga.
Hei malam, kau tidak pernah berakhir, bahkan saat pagi datang kembali, merumuskan sebuah siklus waktu, siklus kehidupan, di mana manusia akan menunggu hasilnya, jadwal. Ketika di sini, saat ini kau memudar, matahari kembali perkasa di bola mataku, kau tetap ada, tidak di sini, di tempat lain, di ruang lain di mana banyak manusia menunggumu, untuk berpuisi, untuk menyatakan cintanya, untuk berkencan, untuk melamar kekasihnya, untuk makan, untuk berteriak, untuk bangun, untuk bekerja, istirahat, keluar rumah, berbicara, sendirian, kelayapan, mabuk, bersenda gurau, menonoton acara TV favoritnya, bersandiwara, menunggu hujan, bosan dengan kilau cahaya, atau sepertiku, menunggumu tanpa sebab, bersedih tanpa sebab, tak mampu mengurai alasan, semua hanya melahirkan pertanyaan, itulah kejujuran, karena dunia ini bukan tempat jawaban yang kita harapkan.
Camba, 8 Juni 2012
Senin, 04 Juni 2012
ANGKA
Entah. Angka tidak berujung, akan terus ada, terus bertambah, sampai batas yang hanya bisa kubahasakan tak terhingga.
Namun, kita punya jatah angka yang berbeda, mungkin kau lebih banyak, aku lebih banyak, entah.
Semua akan berpisah, karena perpisahan adalah tujuan dari sebuah pertemuan. Kita ke mana?
Kadang, aku butuh pasif, untuk kau lucuti, untuk kau perlihatkan kepadaku seperti apa kau memandang hidup. Memoria, spektakuler, keragaman, semua terbungkus dalam satu, bersemayam dalam kotak, hitam, gelap, hanya teks yang bersinar, itupun kalau kau sempat membacanya.
Memahami, butuh ruang, butuh waktu, butuh angka, angkaku 11, ganjil, bahkan kau telah genap, biar pun kutambah jadinya tetap ganjil, maka kuputuskan untuk ganjil sendiri, sementara kau genap, mungkin itulah caraku menggenapkanmu.
Langganan:
Postingan (Atom)