Bukan perpisahan yang melemahkanku, tapi kenyataan yang harus membohongi asaku untuk kesekian kalinya. Catatan ini aku buka dengan pintu di mana namamu sudah menjadi kuncinya. Dulu, ketika asaku terhadapmu masih ada, sekarang ketika asaku terhadapmu masih terpampang, sekarang dan nanti, ketika asaku terhadapmu masih ada dan tak akan pernah aku ganggu gugat lagi.
Kemunafikan harus dilumat oleh persepsi batinku yang masih merasakan kau mempengaruhi hidupku, entah itu melemahkan atau justru menguatkan. Ada satu hal yang membuatku merasa lebih hidup, yakni ketika aku berhasil mentransfer semua kekayaan hatiku padamu, bahkan sampai kau menganggap itu masih terlalu miskin bagimu.
Catatan-catatan yang tak pernah aku habiskan. Tersimpan begitu rapi dalam buku yang kurangkai begitu lama. Aku tak membutuhkan waktu lama untuk mengatakan aku mencintaimu, karena sekarang, besok, atau sampai hari-hari setelahnya, keadaannya akan tetap sama.
Terlalu sempit bila menerjemahkanmu ke dalam bahasa yang bisa ku pahami, bagiku kau sangat luas, seluas keterbatasan pandanganku. Terbukti, sekarang aku tengah menertawai kesedihanku sendiri. Bukankah itu tidak penting bagimu?
Aku tak mau menyebutkan namamu. Bagiku, namamu terlalu mudah untuk disebutkan, dan aku tak mau mengumbar kemudahan itu, biarlah itu menjadi sarapan pagi ribuan kesulitan. Sekarang, kau sudah menunjukkan pelabuhanmu padaku, aku merestui itu.
Pelabuhan itu adalah tempat yang sering aku kunjungi. Dia yang akan mengantarkanmu sampai ke rumah. Tempat berpulang yang aku yakini hanya dia yang pantas menjadi tamu mu.
Catatan ini memang untukmu, untuk hari-hari yang semoga kau lupakan, dan bisa aku letakkan rapi di memoriku. Tak akan pernah aku sampaikan padamu, karena itu tidak ada faedahnya sama sekali untukmu, aku benci memberimu sesuatu yang tidak berguna.
Kau penting, kau kebutuhan, tapi aku sudah kenyang menyantap pemberian tak terbalasku. Itu yang aku harapkan, setidaknya aku telah belajar mencintaimu tanpa alasan, tanpa tujuan, tanpa penjelasan, hanya dengan izin Tuhan, sebatas itulah aku mencintaimu.
Berbahagialah dengan pelabuhan yang kau tuju. Sudah cukup manis pertemuan kita selama ini, aku mempunyai tempat yang jauh lebih luas daripada dunia untuk meluluhkanmu, dialah mimpi-mimpiku. Di sanalah kau tidak bisa menolakku, meski dengan semua dayamu. Kau hal yang sangat penting dalam hidupku, sekarang alurku berubah karenamu, dan aku berbahagia telah menemukan kepedihan ternikmat dalam jejakku bersamamu, hati yang tak pernah bisa aku taklukkan.
Makassar, 24 Oktober 2010
2 komentar:
sepertinya emosimu tertumpahkan di catatan ini..semoga kau bisa segera berdamai dengan hatimu, berdamai atas ketetapanNya.. :)
iya dhe......berdamai dengan ketetapanNya yang menimbulkan perang tanpa ujung, selalu ada kerelaan, tapi berujung pada air mata
Posting Komentar