Akulah stimulusmu. Aku mungkin tak bernama, maka jangan memanggilku. Aku ebnci dipanggil hei, kau, oi.....mas.......bang.......apapun sapaannya, aku membencinya, karena aku tak punya nama dan tak ada yang berhak memanggilku. Kau menanyakan mengapa aku hadir? Aku justru mempertanyakan mengapa aku lahir? Mengapa aku tidak pernah lahir saja? Mengapa aku tak memiliki tujuan? Ini alamiah, bukan sebuah tujuan hidup, aku tak mau jadi parasit. Ada satu teori yang menurutku pasif, jadilah stimulus untuk sebuah akselerasi. Gerakmu berakselerasi, dengan mengabaikan bahkan menghancurkan konstanta, menelurkan bunyi untuk merumuskan beberapa hukum, senyawa-senyawamu semakin aktif. Aku pasif, aku hanya stimulus, mungkin hanya pelumasmu. Di sini, kehidupanku pasif, aku ingin sepertimu, berakselerasi, mendahului ketertinggalan.
Bertahun-tahun, bahkan waktu yang tak bisa dihitung lagi, hanya sebuah angka nol buatku, waktu tak akan mampu mengubahku menjadi akselerator, sampai kapan pun, takdirku adalah stimulusmu, aku ingin sepertimu. Sebuah kenyataan yang tak akan pernah aku nyatakan pada jiwa. Sebuah takdir yang tak bisa diubah, ada apa? Bukannya aku tak rela, aku hanya ingin lebih besar lagi, Tuhan. Aku hanya butuh mereka melihatku, bukan membicarakanku. Aku butuh wujud, aku butuh raga, aku butuh jasad, aku butuh bentuk, aku butuh tekstur, aku ingin bergestur.
Aku tahu, tanpa stimulus, tak akan ada akselerasi, tak akan ada perpindahan lokasi, tak akan ada gerakannya, dia akan mati, bagai kanvas tanpa kuas. Apa yang akan dilukis? Wahai bilangan-bilangan ganjil, kau hanya penggenap, bukan seorang genap, wahai tanda-tanda baca, kau hanya pertanda, bukan kata. Wahai garnis-garnis makanan, kau hanya penghias, bukan santapan. Wahai para stimulus-stimulus percepatan, kita hanya stimulus, bukan akselerator.
APA.......? APA.................? APA........................?
Hai, para stimulator, akulah akselerator, akulah kecepatan yang kau ubah. Akulah percepatan yang kau bentuk, akulah akselerasi yang membutuhkanmu, aku aktif karena aktivitas stimulusmu, bukan pasivitasmu. Mengapa mengurung diri dalam area rendah? Toh, kita ini susunan bangunan, tak ada salah satunya, maka tak akan jadi sebuah bangunan. Kita, bukan aku, bukan hanya kamu, kita, adalah satu, sebuah senyawa, sebuah kumpulan atom-atom tak terhingga, kita sebuah ikatan tanpa simpul yang mampu dibuka. Kita sebuah satu, tanpa urusan ganjil genap, kita hanya satu, bukan dua, bukan tiga, bukan empat, bukan banyak, banyak itu tak menentu, satu itu pasti.
Akulah stimulus-stimulusmu, menelusuri kekuatan psikis untuk menjadikanmu tak terkalahkan, kitalah sebuah urutan yang menengah, berpusar pada satu titik, pasti, eksakta. Stimulus itulah diriku. Mari menjadi stimulus-stimulus kehidupan, mari menjadi satu, pasti.
6 komentar:
Amin..., aku hanya menerka satu butir hikmah yang melaras dalam stimlus itu. Yaitu Peka. Peka meraba setiap tiba kelahiran nafas-nafas baru, penguatmu, penggerakmu, motivasimu.
Salam Bloofers...
selalu keren tulisannmu, selalu jadi enak di baca, selalu buth waktu luang bua mencerna......, aku suka....
...dan kecepatan itu...akhirnya dipercepat...sehingga ia dinamakan percepatan...stimulus2 itu kemudian membuat bulu romanya merinding menandakan mencapai klimaks sebuah percepatan sebuah zat...
(jadi ingat puisi bersambung bloofer...heheee..)
motivasi dari setiap tulisan mas memang keren mas, saya mulai mengerti tulisan dan isinya.. jadi lah stimulus kebaikan yang bergerak memberikan aura positip di sekitar
tulisan yang memberikan pencerahan
@Qefy: yup, bener mas
@Ridwan: Ah, saya jg suka tulisan mas
@Aul: Makasih mas
@Nitnot: hehehe, bener bgt teorinya
@Rumah: Makasih
Posting Komentar