INI ADALAH HALAMAN TERAKHIR UNTUKMU.
Perlu melewatkan beberapa halaman untuk merefleksikan diriku sebagai seorang perindu. Sudah tiga kali aku menganalogikanmu dan kau tak pernah mengerti bahwa kerinduanku itu penuh. Perlahan, semuanya menyusut, mengurangkan massa jenisnya, kemudian tinggallah tetetsan yang hanya memicingkan mata.
Pada halaman inilah akan kusebutkan namamu, setidaknya aku bisa menahan rahasianya hingga tulisan ini betul-betul berakhir. Banyak yang menolakku untuk menuliskan ini, aku hanya ingin mengakhirinya. Banyak suara yang menyebutku terlalu cengeng, terlalu puitis, terlalu mengada-ada, aku tak peduli pada teori-teori itu, entah mereka menikmatinya, atau justru menertawaiku.
Akulah penikmat ludahmu, aku jugalah air selokan itu, dan usaha rindu terakhirku adalah menjadi oksigen setelah menampung semua karbondiokasidamu. Sesederhana itu aku menganalogikan rinduku. Terkadang analogi perlu untuk mengungkapkan hal yang sulit dilugaskan, itulah aku, dan pada posisi itulah dirimu.
Aku menyudahi ini untuk merumuskan satu kalimat lagi, entah ini terakhir, tapi aku berencana untuk menghapus semua kemungkinan keberadaanmu di halaman rumahku.
Sesungguhnya bila kau menanyakan apa yang membutaku jatuh cinta padamu adalah ketidaksiapanku pada takdir bahwa kaulah takdir yang kuinginkan. Kemudian jika kau kembali mempertanyakan kecintaanku padamu di sela-sela basa-basimu, aku hanya bisa menjawab bahwa apa yang menjadi takdir akan aku jalankan sampai Tuhan tak mengizinkannya lagi. Kemudian sekarang kau tengah berbahagia dan semoga terus berbahagia, hadir untuk mengusir penasaranmu bertanya pada diriku yang masih entah, apakah aku masih menyimpan kecintaan itu padamu, maka sejujurnya aku menjawab, aku akan selalu jujur pada takdir itu, takdir yang menggariskanmu menjadi takdirku, kalaupun suatu saat nanti aku berbohong, sebenarnya kebohongan itu adalah kebohongan bahwa aku memebenci takdirku, yakni dirimu.
Dan....ketika kau menanyakan padaku, apakah aku masih menyimpan kerinduan padamu, maaf aku harus menyudahinya sampai saat ini, karena kerinduan itu sudah berakhir, kerinduan itu sudah habis, tak bersisa, tanpa jarak, bukannya mengubur sosokmu, tapi menyimpanmu dalam sebuah sejarah terindahku.
Untuk "SILVIANA LARASATI"
By Gandi Firmnasyah
(prosa fiksi)
5 komentar:
berdamailah dengan kenyataan.. :)
setiap membaca postingan mas fadhli, berat banget buat komen, tulisannya terlalu berat maknanya mas.. hehe. seperti ini kah fiksi ?? soalnya saya juga masih belajar dan ingin tau tentang fiksi dan ilmiah seperti apa , karena yang saya tau cuma Karya Ilmiah mas.. ^_^
kotak kenangan-kotak kenangan yang akan selalu tersimpan dalam perpustakaan hati manusia..
*idem sama auraman..hehe^^
sama comment with dhe_bie :
" berdamailah dengan kenyataan...:)" :)
dhe and bunda: semoga....thx
Mas aul: Wah...gak kok mas, mas bebas menginterpretasinya, tapi secara garis besar ada kok sinopsis di wall bloof
@hasbuloh : thx
Posting Komentar